Kamis, Desember 31, 2009

Di Akhir Tahun

2009 udah mentutup matanya, diganti oleh 2010 yang sudah menanti di depan. Di penghujung tahun ini, Indonesia kembali kehilangan satu tokoh besarnya. Beliau bernama Abdurrahman Wahid, atau lebih akrab dipanggil Gus Dur. Semoga arwah beliau diterima di sisi-Nya, di tempat terbaik. Amin. Selama setahun ini, gue masih berusaha untuk menyelesaikan kuliah gue untuk keluar secepatnya dari UI. Gue juga udah merasakan magang di konsultan pajak dan merasakan iklim kerja sebenarnya di kantor yang sedikit gokil. Pernah suatu hari gue lagi ngerjain kerjaan di Excel, tiba-tiba dateng senior gue ke ruangan.

"Jal, ada INDONESIA gak?"

Heh? Apa itu yang dimaksud Indonesia? Gue tau itu sebuah negara kesatuan yang mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tapi apakah jawaban itu yang diperlukan?

"Indonesia apaan mas?", kata gue mencoba memperjelas situasi yang sedikit membingungkan itu.

"Alah, pake belagak gak tau. Pelm Indonesia, 3 GP!!"

Oalah. Dia minta pornografi. Untungnya gue banyak contact dan relasi yang memungkinkan gue untuk memenuhi permintaan senior gue itu. Tadinya gue gak mau ngasih, tapi liciknya dia mengancam nilai. Terpaksa gue penuhi nafsu bejatnya itu (Mmmm... Terdengar seperti pengakuan korban perkosaan). Gue bilang, "Ini lagi ada kerjaan mas, deadline besok". Eh dia malah, "Kerjaannya sape sih? Toni (bukan nama sebenarnya) ye? TOOONNN!! ITU MASIH LAMA KHAN!!?" Gak beberapa lama, dateng senior gue yang ngasih kerjaan. Disusul senior-senior lainnya.

"Cina atau Jepang ada kagak?"

"Arab sama India tuh, jarang, cakep..."

"Yang ituu aja.. yang amatir gitu, yang video rumahan"

"Baik-baik, semua sabar. Antri yaa...", gue hanya bisa pasrah. Gue bisa dijerat UU Pornografi karena mendistribusikan barang haram tersebut ke satu kantor. Tapi gak masalah, asal nilai bisa aman dan terkendali.

Selain itu, skripsi gue udah rampung setengahnya, ditandai dengan selesainya prosesi sidang outline gue. Prosesi sidang itu sendiri berjalan lancar aja. Tadinya gue sempet ngerasa takut karena yang jadi ketua sidang gue adalah dosen yang kemeja-nya belum gue balikin. Bukan karena gue maling kemeja atau gue minjem kemeja dia untuk ngelamar kerja, lebih-lebih kemeja fettish, ogah. Kalo pun gue fettish , pasti sama hal yang lebih okeh.

Ceritanya gue dikasih kepercayaan untuk bikin 31 kemeja lapangan pengajar untuk mata kuliah Metode Penelitian Sosial ke Kuningan, Jawa Barat, bukan deket Gatot Subroto. Berhubung dikasih waktu cuma 1 minggu untuk produksi kemeja, terjadilah kesalahan teknis. Ukuran yang dikasih di awal gak sesuai dengan hasil akhir. Jadinya, kemeja tersebut gak muat dan gue suruh revisi itu kemeja. Damn. Gue bikin mentok sementok-mentoknya, tapi gue tetep gak yakin bakal muat. Pengen rasanya nambahin kain perca warna merah polkadot. Tapi itu akan membuat dia terlihat seperti badut. Kasihan.

Kalau dia terkenal baik sih gue santai-santai aja. Sayangnya dia terkenal sebagai dosen jutek yang suka sinis sama mahasiswanya. Oleh karena itu, gue sidang sambil bawa itu kemeja. Rencananya kalo gue didesek, ditanya-tanya sampe gue bingung, gue bakal ngangkat kemeja ke atas sambil dengan korek di bawahnya.

"SEKALI LAGI ANDA BERTANYA, KEMEJA INI SAYA BAKARRR!!! SAYA SERIUS!!!"

Untungnya pada hari itu dia menjadi orang paling baik di dunia. Gue juga takjub dengan perubahan yang ada. Dia menjadi penyabar, tutur katanya lembut, dan bisa mengayomi. Cocok untuk jadi istri yang baik. Kalo dia cewek gue nikahin kali. Skripsi gue gak banyak direvisi oleh dia sebagai ketua sidang, penguji ahli, dan pembimbing gue. Alhamdulillah. Sekarang tinggal melanjutkan apa yang udah ada. Gue harus sembuh dari outline syndrome. Sejak outline tanggal 14 Desember sampe sekarang, 31 Desember, itu skripsi belum gue sentuh lagi. Berasa udah lulus kali ya, tinggal bikin toga-nya aja. Dibuat dari kaen poster film panas bioskop murahan.

Tahun 2009 ini gue bener-bener sendiri tanpa ada yang menemani sejak 4 tahun belakangan. Well, gue cukup menikmati kesendirian (atau kebebasan, tergantung dari sudut mana memandang) ini. Terkadang saat ngeliat temen-temen gue yang berpasangan saling berselisih paham karena hal-hal sepele kayak "Kok ada suara cewek di telepon? Siapa itu?" atau menjadi tahanan kota karena gak keluar surat jalan dari pasangannya, gue merasa bersyukur sendiri karena bisa bebas bergerak mengarungi lautan. Tapi saat gue butuh seseorang untuk berbagi, cerita, atau sekedar pembicaraan ngalor-ngidul tanpa arah, gue berasa banget gak punya sosok itu.

Enough for the past. Untuk ke depannya, pastinya gue berencana untuk nyelesain skripsi gue yang setengah terbengkalai itu dan lulus dari kampus FISIP UI. Memakai toga dan sebagainya. Mendapatkan satu kertas A4 bertuliskan IJAZAH, satu kertas kecil yang bisa dengan mudah hancur terkena air. Refleksi lembaran 5 tahun hidup gue di kampus.

Gue juga mau mencoba merintis usaha untuk menghasilkan uang. Gue bosan dengan asupan. Malu sama umur yang belum bisa mencari uang secara konstan. Semoga apa yang akan gue rintis nanti akan berhasil ke depannya. Amin. Apa usahanya? Gue berencana untuk mengurangi tingkat gembel yang cukup tinggi di Jakarta. Dimana gue punya ide untuk mendaur ulang gembel menjadi plastik Alfa Mart. Menurut penelitian yang dilakukan Dr. Ekky, seorang mahasiswa Kesejahteraan Sosial, kulit gembel alot dan memiliki zat kimia berbahaya. Oleh karena itu gak bisa dikubur di dalem tanah. Solusinya, ya itu. Dibikin plastik Alfa Mart. Niscaya akan menjadi plastik yang sangat kuat. Seperti sifat gembel yang diusir balik lagi, plastik ini kalo robek atau hancur akan kembali seperti semula.

Hehee.

Gak lah, emang gue Hitler. Pokoknya gue mau memulai suatu usaha lah.

Apa lagi ya? Mungkin juga mencari pasangan baru, tapi itu gak terlalu diniatin. Seperti teori BAB (Buang Air Besar) yang gue temukan, yang akan gue patenkan untuk menjatuhkan teori gravitasi Isaac Newton. Inti teori BAB adalah let it flow. Analoginya seperti ini, coba lah BAB dipaksakan. Dia gak akan mau keluar bukan? Seberapa kerasnya kita ngeden sampe mengeluarkan berbagai bebunyian aneh, tetep aja itu muatan gak bisa keluar. Malah bisa jadi ambeien. Sama dengan nyari pasangan, jangan terburu-buru. Kalau kata Dewa "Beri sedikit waktu biar cinta terbiasa". Kalau kata gue "Cinta jangan dipaksa, nanti bisa ambeien". Harus pelan-pelan, sabar. Coba diiringi dengan nyanyi-nyanyi kecil atau membaca buku. Kalau perlu dirayu, "Ayo donkk.. keluarr... keluaar...". Pertamanya memang dia akan keluar malu-malu. Tapi pada akhirnya semua rasa yang ada akan keluar. Pada akhirnya, kita akan merasa lega.

Walaupun teori itu jijik, gue tetap bangga menelurkan teori BAB. Hehee.

Oiya, gue juga mempunyai resolusi untuk menaikkan level ibadah gue, yang seperti gue bilang di postingan sebelumnya, ada di lantai basement paling bawah. karena setiap usaha yang gue lakuin itu gak bisa berhasil tanpa izin dari-Nya. Gue juga mau mengungkapkan rasa syukur atas apa yang udah gue dapet selama ini.


Well, let's hope for a better year and a better life.
Tommorow is a mistery, yesterday is a done.


Cherioo...!!



-=M=-
mari kita lanjut...

Minggu, Desember 27, 2009

Malu Bertanya Gak Dapet Diskonan

Bangun tidur di pagi hari sungguh menyejukkan hati. Actually, gue bo'ong. Bangun pagi-pagi bikin kepala puyeng, mata sepet, belekan, dan pikiran masih antara alam mimpi dan kenyataan. Terutama kalo sebelumnya gue baru tidur jam 3 pagi dan dibangunin jam 6 pagi. Disuruh sholat subuh sama nyokap yang selalu setia berteriak dengan nada tinggi setiap pagi. Teriakannya begitu tinggi sampai-sampai gue takut gelas-gelas di rumah mulai pecah dan burung-burung berhenti berkiacauan, lupa akan suara kicauan mereka. Kalah sama tereakan nyokap.

Sejak nyokap gue pensiun dari kerjaan, pagi gue selalu meriah dengan prosesi bangun pagi itu. Seringkali gue cuma menggumam, "Iya...iyaa..." sambil kembali narik selimut dan meluk bantal guling, kemudian kembali bermimpi punya rumah di Monas. Kalau hal ini terjadi, akan ada percikan air yang dingin mendarat di muka gue. Mata gue mau gak mau membuka untuk ngeliat apa yang terjadi di tempat tidur gue. Itu bukan tsunami atau bocoran aer ujan dari genteng. Seiring dengan membaiknya indra penglihatan gue saat membuka mata, gue bisa ngeliat nyokap gue lagi nenteng gayung dan nyiprat-nyipratin aer bak mandi gue. Persis kayak dukun ngusir setan.

"SHOLATTTT!!", begitu beliau memulai percakapan satu arah.

Terpaksa gue bangun. Dan tentu saja mengerjakan sholat subuh. Kemudian makan. Sampai akhirnya gak bisa tidur lagi. Damn. Gue adalah tipe orang yang gak bakal bisa tidur lagi kalo dibangunin. Buruknya, kantuk itu bakal balik lagi di saat-saat yang tidak tepat. Kalo lagi kuliah ngantuk gue muncul saat dosen melakukan atraksi monolog. Kalo lagi ngantor ngantuk muncul saat berkutat dengan ratusan tabel Microsoft Excel. Sekarang, kantuk gue muncul saat gue sampai di Grand Indonesia. Kempinsky nama kerennya.

Gue sampe di GI jam 10 pagi, sama nyokap dan abang gue. Niatan kita jauh-jauh kesana dari Depok adalah demi bisa menikmati diskon buku 35%. di Gramedia. Jam 10 pagi masih terlalu dini untuk GI, Gramedia-nya belum buka, masih disapu sama mas-mas nya. Kita aja yang kerajinan dateng pagi-pagi. Maksudnya sih biar parkirannya masih gampang dan bayarnya gak ngantri panjang. Antisipasi dari rumor yang beredar kalo pengunjungnya sangat membludak, menciptakan antrian panjang untuk membayar, bahkan sampe makan waktu 1 jam untuk bayar.

Untuk membunuh waktu, kita keliling-keliling GI dulu. Ngeliat barang-barang yang belum bisa gue jangkau untuk saat ini dan terperangah ngeliat celana rombeng dengan tambelan sana-sini berharga 1,5 juta. Kemungkinan celana itu bekas dipake sama legenda dunia. Didi Kempot contohnya. Sempet juga ngeliat TKP bunuh diri yang waktu itu sempat menghebohkan ranah Indonesia dan memunculkan tren bunuh diri di tempat-tempat ber-AC.

#That's stupid, to give up your life just like that.#
#Life is much more meaningful to be ended... meaningless.#

Selesai tour de mall, kita kembali ke tempat tujuan awal : Gramedia. Pada awalnya, gue gak percaya itu adalah Gramedia. Lebih mirip daerah pasca-perang atau rumah yang baru aja dibobol maling saat ditinggal pemiliknya pulang kampung ke Tegalrejo. Buku bertebaran di lantai tak teratur dan buku yang di dalam lemari udah gak jelas lagi. Gue bisa nemuin Jakarta Undervocer di bagian BUKU ANAK dan buku AYO MENGGAMBAR di bagian NOVEL DEWASA, sederetan sama I Only Sleep With Supermodel. Sesaat disana membuat kepala gue pusing. Gue gak tahan ngeliat keadaan yang sangat berantakan. Apalagi yang bikin berantakan itu orang lain, bukan gue.


Tapi kepala nyut-nyutan itu gak mengalahkan gesitnya badan gue untuk bergerak dinamis menyusuri sudut demi sudut Gramedia, gue kalap nyari-nyari buku untuk dibeli. "Mumpung lagi diskon ", gue membatin. Abang gue bahkan ngambil buku NAGABUMI yang jauh lebih tebel dari Al-Qur'an dan bisa ngebuat pala orang orang bocor kalo dikeprokin ke kepala. Nyokap gue juga kalap, dia beli sekitar 5 atau 6 buku. Salah satu bukunya berukuran A3 kayak buku menggambar. Gue sempet berpikir, ini buku apa tempayan? Gue sendiri gak menemukan buku yang membuat gue tertarik, maunya sih Perahu Kertas tapi ternyata udah abis. Pada akhirnya pilihan gue jatuh ke buku kaumemanggilkumalaikat dan majalah Cinemagz.

Buku-buku yang udah dimasukkin ke kantong belanja itu dibawa ke kasir, dengan arogan gue amprokin isi-isinya ke meja kasir dan nyerahin kartu Debit BNI. Mau nagih diskon 35%.

"Kartu BCA-nya ada mas?", kata mbak-mbak kasir ke gue.

"Lah, bukannya pake BNI diskon 35% mbak?"

"Maaf mas, udah gak diskon lagi. Terakhir kemaren"

Mata gue terpaku ke mbak-mbak kasir.

"Udah enggak mbak?", kata gue gak percaya dan berharap mbak-mbak itu sedang becanda dan bilang, "Boong kali mas, saya bercanda". Kemudian dia tersipu malu seperti gadis desa yang digoda sama komandan polisi yang masih muda. Dengan genit mengerlingkan matanya ke arah gue dan berkata, "Jangan mas, banyak orang...". Kemudian gue berkata, "HALAH! Tidak apa-apa lah... orang-orang itu tidak melihat!". STOP. Gue kebanyakan nonton film panas jaman dulu nih.

"Iya mas, udah abis...", ternyata hanya itu jawaban yang muncul dari mbak kasir.

Sompret. Pengorbanan dateng pagi-pagi, ngalahin Cleaning Service GI terbuang percuma. Diskonnya cuma sampe tanggal 25 Desember sedangkan gue dateng tanggal 26 Desember. Pantes aja udah jam 12 siang Gramedia masih keliatan sepi, gak terbukti teori-teori keramaian yang membludak. Gue kira karena orang-orang udah pada berangkat liburan ke luar kota, bosen ke Gramedia, atau alasan apapun yang bikin mereka gak mau ke sini. Ternyata tak lain tak bukan karena masa diskonnya udah abis.

Setelah gue pulih dari kebengongan akut tingkat tinggi, gue sadar kalo gue harus melakukan sesuatu. Mencari solusi. Karena di belakang gue udah ada beberapa orang yang ngantri dengan wajah ditekuk dan bersungut seperti bulldog. Terlihat tidak ramah.

"Dikurangin aja yah mbak..", kata gue memecahkan masalah yang ada dan keadaan pun menjadi terbalik. Seharusnya gue arogan karena beli banyak, malah jadi tengsin karena ketauan banget ngincer diskonan. Orang-orang di belakang gue pun berubah wajahnya. Dari seram, gelap, dan mengancam jadi ceria, senang, dan mengejek. Bahasa ilmiahnya adalah ngenyek. Tangannya ditaro di muka, memalingkan muka, dan menahan tawa. Asem. Gue seperti badut yang sedang beratraksi.

Selesai milih buku-buku yang emang harus dibeli, kita langsung cabut menyingkir dari situ. Wajah masih terlihat syok dan tidak percaya. Berasa nyesel telat sehari, karena menyebabkan selisih 150 rebu. Tapi itulah yang namanya gak rejeki, mau gimana juga gak bisa gue sesalin lagi. Seenggaknya setelah kejadian ini, gue bisa menarik pesan moral : Malu Bertanya Gak Dapet Diskonan.


Cheerioo...!!



-=M=-
mari kita lanjut...

Jumat, Desember 18, 2009

The Weirdest Trip

Hari ini tepat tanggal satu Muharram, alias tahun baru Islam 1431 H .Jalanan terlihat lenggang sejak siang. Mungkin ini efek dari long weekend Jum'at-Sabtu-Minggu atau orang-orang lebih memilih menyepi di rumah untuk evaluasi nilai ibadah mereka di tahun kemarin. Semoga pilihan kedua yang menang. Gue sendiri mempunyai resolusi untuk memperbaiki tingkat ibadah gue yang masih ada di lantai basement. Semoga itu bukan hanya jadi resolusi.

Reportase tentang jalanan itu bisa gue berikan karena pada tanggal satu Muharram tersebut gue ngiderin jalan dari Depok-Salemba-Kramat-Tebet-Kemang-Fatmawati-Pasar Rebo. Sebuah perjalanan panjang untuk bersenang-senang bersama teman-teman sampai malam hari. Tepatnya pukul 21.30, gue berada di dalam Bis Mini Artha menuju Bogor untuk pulang ke Cimanggis. Belum terlalu malam, memang, tapi entah kenapa perjalanan gue pulang kali ini dari Pasar Rebo - Cimanggis berisi hal-hal aneh dan sedikit menyeramkan.

Bangku tempat gue duduk berada 45 derajat dari pintu depan bis. Di bangku depan gue, bangku yang tepat berada di depan pintu depan bis, ada seorang bapak-bapak gondrong dengat rambut diikat, brewokan, dan bertopi putih lagi senderan di kaca sambil pegangan di reel yang menempel di sepanjang kaca. Bapak-bapak itu terlihat menggigil, tapi bukan seperti menggigil kedinginan, lebih ke menggigil sakaw. Mata-nya menatap tajam ke luar, ke jembatan layang dan jalanan yang dihias lampu malam. Gue membatin, "Ada yang aneh dari bapak satu ini".

Setelah menunggu beberapa lama, bis yang gue tumpangi bergerak maju. Saat bis yang gue tumpangi tersebut mulai bergerak, kenek bis pun ikutan bergerak jalan di dalam bis untuk minta ongkos ke masing-masing penumpang. Penumpang demi penumpang berhasil dia ambil ongkosnya, sampai pada akhirnya dia sampai ke bangku bapak sakaw itu. Bapak sakaw ngerogoh kantong jaketnya sebentar dan ngeluarin duit 2 rebu.

"Mau ke mana pak?", kata kenek untuk menyesuaikan ongkos yang seharusnya dibayar.

"Cibinong", jawab bapak sakaw.

"Kurang nih, 4 ribu!"

Bapak sakaw kemudian mengambil duit yang ditolak kenek. Setelah itu dia diam. Bengong ajah gitukayak gak ada apa-apa. Diem kayak anak patung. Kenek jadi kesel.

"PAK! Ongkosnya!

"Tadi khan udah..."

"Lah! Khan diambil lagi!", kenek makin kesel dibuatnya. Berasa dikerjain lagi. Apalagi pas disodok-sodok tete-nya buat minta ongkos, bapak sakaw cuma diem aja bergeming. Gak tau cuek apa menikmati. Untung aja bapak sakaw gak nelp 112 untuk bikin pengaduan kasus pelecehan seksual. Bisa dicegat tuh bis gue sama polisi.

"3 rebu!", akhirya kenek memberikan diskon kepada bapak sakaw.

Dengan gerakan tanpa suara, bapak sakaw kembali merogoh sakunya untuk ngambil 2 rebu yang dikasih sebelumnya ke kenek. Setelah itu dia kembali diam. Seolah gak terjadi apa-apa. Seolah-olah dia lagi sibuk dengan pikirannya, tamasya dengan imajinasi. Udah gila kali nih bapak. Tanpa ampun kenek itu pun langsung nyodok-nyodok tete bapak sakaw. Mungkin kalo diliat, tete bapak sakaw udah memar. Sodokan itu berhasil, bapak sakaw bereaksi. Lagi-lagi dengan gerakan tanpa suara, bapak sakaw merogoh lagi kantong jaketnya dan ngasih duit seribu. Kenek langsung cabut begitu dapet apa yang dia pengen.

***

Bis yang gue tumpangi sampai di jalan Pekapuran - Cimanggis, gue pun langsung turun dan naik ojek. Saat naik ojek itu, gue mencoba membuka pembicaraan sama tukang ojek itu, kebetulan gue juga lagi butuh informasi tersebut.

"Pak, pabrik Ebara itu hasilin apa ya?", kata gue begitu motor melewati pabrik bernama Ebara. Udah sekian lama gue lewatin itu pabrik, sampe sekarang gak tau itu buat apa.

Motor ngerem kenceng, kemudian kembali berjalan.

"Gang Musholla kan? Itu mah setelah Dongkal! Masih disana", kata abang tukang ojek sambil nunjuk-nunjuk ke depan.

Heh? Gue nanya itu pabrik, malah dijawab apa. Penasan, gue bertanya lagi. Siapa tau dia gak denger, maklum kalo ngobrol di atas motor suka bikin kuping budek karena bercampur sama angin dan suara mesin.

"Iya pak Musholla... Kalo Ebara hasilin apa?"

"Saya gak tau! Bener! Saya gak tau! Musholla kan!? Kalo Ebara mah bukan pabrik! Gak tau apaan!", sahut abang tukang ojek. Intonasi abang tukang ojek udah kayak orang dituduh nyolong sendal jepit presiden. Gue pun menyadari kalau ada sesuatu yang aneh juga dengan abang ini.

Setelah pertanyaan terakhir yang gue tanyain, gue gak ngomong atau nanya apapun lagi. Anehnya, abang tukang ojek terus ngoceh gak jelas dengan bahasa apa. Entah bahasa Indonesia, Jawa, atau Zulu. Seperti dukun merapal mantra, dia terus aja ngoceh gak jelas. Gue juga gak ngerti dia ngomong apa. Pada awalnya gue mengira dia lagi ngomong sama gue, makanya gue respon dengan "He-eh", ngangguk, dan senyum gak jelas. Lambat laun gue makin yakin kalo dia emang lagi ngomong sendiri. Karena sesekali dia ngomong berbisik, seperti ada orang lain selain gue di motor itu.

"ARGGHHHH!!!", tiba-tiba ojek dukun itu tereak. Setelah itu dia ngoceh-ngoceh lagi.

Gue langsung kaget. Anjrit. Jangan-jangan ini seperti kisah-kisah dimana orang berasa naik kendaraan, padahal kalo diliat sama orang dijalanan dia lagi digendong sama makhluk halus. Bulu kuduk gue merinding. Apalagi sesekali tercium bau harum bunga entah dari mana asalnya. Gue pun ngeliat orang-orang di pinggir jalan, ngeliat apa reaksi mereka begitu ngeliat gue. Ternyata mereka gak kaget. Hal itu menjadi pembenaran bahwa ojek yang gue naikin ini masih ojek manusia.

"HA...HA...HA...HA...", kali ini dia ketawa. Nada ketawanya seperti ketawa jahat khas tokoh antagonis begitu ngeliat tokoh protagonis menderita. Contohnya : sembelit 3 tahun. Alamak. Padahal gue diem aja sejak pertanyaan terakhir tersebut, sama sekali gak ngajak ngomong. Atau jangan-jangan gue lagi disirep, dibawa ke rumah dia dan diperkosa sama Robot Boneka Barney (Kenapa Boneka Barney? Karena mukanya paling cocok buat penjahat seksual homo.)? Atau mungkin berbicara dengan gue bisa menyebabkan kegilaan terhadap lawan bicaranya?

Perjalanan terus berlanjut diiringi ocehan ojek dukun yang semakin gak jelas. Kadang berbisik, kadang kayak orang marah-marah, dan kadang kayak lagi ngomong sama temen. Ojek akhirnya memasuki gang Musholla tempat rumah gue berada. Di tempat yang semakin seram ini, dimana terdapat pohon pisang dan kebun-kebun gelap di sekelilingnya, perbuatan ojek dukun semakin aneh. Kali ini dia mencondongkan badan ke depan. Bukan seperti pembalap MOTO GP yang merunduk, tapi seperti orang yang lagi push-up di stang motor. Sompret. Gue makin paranoid. Gue semakin curiga kalo tukang ojek ini merangkap setan atau apapun itu. Takutnya saat dia nengok ternyata mukanya rata atau melepuh-melepuh bekas kebakar gitu, kemudian dia bilang :

"TAU GAK!? SETRIKA GAK BISA DIPAKE BUAT NGELURUSIN KERIPUT!! GAK BISA!!!"

Setelah pengalaman aneh tersebut, ojek dukun gue suruh berhenti di depan rumah dan gue ngebayar ongkos yang udah gue sepakatin. Saat ojek dukun itu pergi menjauh, gue masih ngeliatin dia. Memastikan kembali kalau dia gak bakal ilang tiba-tiba atau berubah jadi makhluk menyeramkan kayak bencong gagal operasi plastik. Ternyata sampai di kejauhan pun, dia tetaplah sebuah motor dengan manusia di atasnya. Tapi tetep aja gue bingung. Kenapa dia ngoceh-ngoceh sendiri terus sepanjang jalan?

Mungkin dia dukun.


Cheerioo...!!!



-=M=-
mari kita lanjut...

Kamis, Desember 17, 2009

Tidak Penting Dibuat Penting

Hari ini, Kamis 17 Desember 2009, batas akhir pengumpulan skripsi. Sedangkan gue, skripsi belum selesai sampai detik ini dan terdampar di gedung E melihat kegiatan kampus yang terus berjalan seperti biasanya. Hey, untungnya gue gak sendiri disini. Gue bersama temen gue bernama Apis, baru selesai UAS Ekonomi Manajerial yang membuat senyum menjadi kering dan otak pusing. Bingung gak ada kegiatan, gue mengadakan battle deskripsi. Dimana gue dan Apis saling menggambarkan hal-hal gak penting yang dikemas dengan kata-kata bagus, sehingga terlihat penting. Apakah hal-hal gak penting itu? Silahkan tebak dan intrepretasi sendiri.

Apis
di tengah pagi sebelum siang. , ku merana bagai lembayung senja,, terpatung meratapi ocehan orang ditempat berkumpulnya para dedengkot yang kini semakin sepi, , hanyalah tinggal kisah beberapa yan lain, dan kini tinggalah beberapa sisa dari mereka yang masih berjuang demi terciptanya keriangan di seriusnya tatapan mata , ,

Mirzal
Mengapa mereka mengoceh tanpa alasan yang konkrit. Seperti ucapan kosong yang tak pantas keluar, ungkapan hampa tak jelas, dan kata-kata seperti mengomel. Hanya berdasar emosi tanpa logika. Terlihat satu kurcaci menjadi pemimpin diantara para raksasa yang sedang berada di batas tertawa atau serius. Terpancar ruang tak berisi dari mata mereka, tapi mereka tetap bertahan apa adanya.

Apis
itukah pandanganmu tentang kumpulan daging, , mreka jauh lebih baik dalam kaleng, jauh lebih terlihat berguna daripada duduk dengan membebani punggung mereka dengan sesuatu yang tak pernah mereka mengerti tapi terus mereka cari tahu, meski tanpa hasil, meski mereka menata bagai badai lanina di tengah musim gugur, , haha .. itu absurd dan ku hanya menatap sudut sudut yang saling berjauhan, ,tapi tetap mereka jaga dengan sekumpulan benang, dan kawat yang di bentuk

Mirzal
Saat dua kubu dekat saling bertentangan, tak ada indah yang terbentuk. Mereka akan bergoyang tanpa arah, menuju bawah, dan gelisah. Apakah itu yang kau mau? Sebaik apapun kau menyokongnya, menjadi percuma. Bahkan beberapa menjadi pisau tajam yang siap menusuk badan. Dua kubu bertentangan, jalan ke arah yang berbeda, sering membuat manusia menjadi kecewa. Karena begitu kau mendapatkannya, tak bisa kau makan buahnya. Semua akan percuma, hancur dibalik sehelai benang.

Apis
tapi terlalu sepat untuk ku bayangkan, , aku hanya bisa berharap membasuh buahnya dengan kelembutan kulitku, ,dan kini ku tambahkan beban pikiranku,dengan apa mau ku, hanya berharap, tapi kosong, , hanya membuatku merasakan adanya sayap yang terbentang tak berujung ,tapi tetap tak bisa terbang sitinggi khayalan, begitu keras sanggahannya, tapi begitu lembut ketika kau menyingkirkannya, akhhhh. . terserah mereka menyebutnya apa, ,

Mirzal
Sang pemilik kebun berpolah pesanan. Tak bisa dia bertindak sesuka hati. Seyumnya mengembang, entah apa di dalam. Apakah dia benar-benar senang? Sedih? Jijik? Atau merasa muak? Entahlah. Untung saja dia membeli topeng kesenangan, jadi semua rasa terkubur hilang di dalam. Si kebun terus meminta hal-hal leyeh. Hal yang menurut dia penting dan sukar dikabulkan. "Sebagai syarat", begitu katanya. Sang pemilik pun terlihat bodoh dibuatnya. Apa esensi jadi manusia kalau tidak bisa berbuat sekehendaknya? Hanya terpaku di satu pilihan. Menyedihkan, tampaknya.

Apis
hanya berawal dari mimpi, dan bermodal apa yang mereka sebut moral, akankah kau terus sembunyikan hasilmu dari para kaum adam, kenapa kau bersikap seperti itu dari sesuatu yang sebenarnya kau banggakan , kau selalu merawatnya tapi kenapa kau sembunyikan, kenapa kay takut dari apa yang kau banggakan, kenapa kau terus marah, , padahal kau sangat merawatnya, dan menawarkan pada ku dengan sedikit belahan, akhhhhhhhhhh............... tabiatmu bagai desing peluru dari laras panjang sang jendral di pikiranku

Begitulah kegiatan dua orang mahasiswa tingkat akhir yang di kampus, gak ada kerjaan. Mencoba menimbulkan kreativitas dengan penggambaran unik khas masing-masing, sambil menyusun rencana apa yang akan dilakukan nanti. Otak harus dimanfaatkan, walaupun untuk hal gak penting. Setidaknya bisa sedikit mengasah otak, walaupun dengan batu asahan yang lembut.

Cheerioo...!!


-=M=-
mari kita lanjut...

Jumat, Desember 11, 2009

Why We Write

Menulis merupakan suatu alat untuk mengingat setiap kejadian yang sudah kita alami, baik atau buruk, pahit atau manis, asem, asin, ramai rasanya. Sebuah tulisan jauh lebih bisa diingat dibandingkan gambar atau pun video. Karena melalui sebuah tulisan setiap orang bisa mempunyai penggambaran sendiri, tidak hanya dari sudut pandang sang pencerita. Beda dengan video atau gambar yang harus mengikuti penggambaran yang telah disediakan. Contohnya mobil terbang di Harry Potter, kita bisa saja membayangkan kalau mobil terbang itu sebuah Lamborighini seri terbaru atau Nissan Skyline yang bentuknya seksi, mengundang birahi tinggi. Dalam film, mobil itu hanyalah sebuah mobil tua berwarna biru-putih. Mungkin bagi beberapa orang akan merasa kecewa karena penggambaran sutradara yang berbeda tersebut.

Tulisan adalah sebuah karya yang universal. Setiap orang bisa membuat figur sendiri, membayangkan bentuk seliar mungkin, dan bahkan menjadi tokoh di dalamnya. Tulisan membuat orang memakai imajinasi untuk menciptakan adegan demi adegan sesuai dengan keinginannya. Penulis hanya memberikan sedikit deskripsi yang dipakai sebagai dasar untuk pembaca merancang suatu adegan sesuai dengan kreatifitasnya masing-masing.

Untuk apa menulis? Apakah sebagai hobi, kesenangan, atau sekedar mencari popularitas?

Kalau menurut gue setiap orang memerlukan catatan sebagai pengingat kehidupannya. Otak manusia tentu tidak bisa mengingat semua kejadian secara detil dan menyeluruh. Padahal seluruh kejadian yang kita alami tersebut tidak akan terulang dan sayang untuk dilupakan begitu saja. Masalah tulisan itu bagus atau tidak, banyak dibaca orang atau tidak, disukai atau tidak, itu urusan belakangan. Kalau menurut Ndoro Kakung : Menulis dengan Hati. Kalau menurut gue : Menulis Untuk Mengingat.

Sebuah tulisan terkadang bisa mempengaruhi gaya hidup, perilaku, dan pemikiran orang. Das Kapital -nya Karl Marx berhasil menciptakan ideologi komunis yang dipakai oleh para diktator pada Perang Dunia ke II. Contohnya Adolf Hitler yang menterjemahkannya pada buku Mein Kampf. Selain itu, sebuah tulisan bisa digunakan untuk bisa digunakan untuk merancang dunia sesuai dengan keinginan sang penulis. J. R. R. Tolkien merancang sebuah dunia khayal yang terdiri dari pohon yang bisa berbicara, orang kecil bernama Hobbit, dan mata yang bisa berkuasa bernama Sauron. Apakah ada yang protes seperti, "HEY! DUNIAMU TERLALU BERANDAI-ANDAI!!". Nyatanya tidak. Pembaca justru senang diajak bertualang dalam dunia tersebut melalu kisah Lord Of The Rings. Selain itu, apakah kalian menyadari bahwa sejarah selalu ditulis oleh pihak yang menang?

Sekuat itulah sebuah karya berupa tulisan. Selain sebagai pengingat, bisa juga menjadi inspirasi bagi orang lain yang membacanya dan bahkan menjadi dasar pemikirannya. Tulislah apa yang ingin ditulis dan ungkapkan apa yang ada di dalam. Jangan dipendam terus sampai membusuk dan mengeluarkan bau tak sedap.

FYI, artikel ini bakal diikutin ke Kontes Menulis Motivasi Blogger Indonesia yang diadain samaIndonesia Menulis. Tentu aja kontes tersebut gak bakal terselenggara tanpa adanya sponsor-sponsor yang menopang. Berikut adalah daftar sponsor yang membantu penyelenggaraan kontes :

01. Sawa Sanganam
02. Mbak Diah
03. Bujang Rimbo
04. Ahmad Sofwan
05. WP Template Gratis
06. Khairuddin Syah
07. Reseller Indobilling
08. Ardy Pratama
09. Hangga Nuarta
10. Abdul Cholik
11. Herman Yudiono
12. Aldy M Aripin


Cheerioo...!!


-=M=-
mari kita lanjut...

Minggu, Desember 06, 2009

Empirik

Sekian lama duduk manis di perpustakaan dan berkali-kali menitipkan tas di tempat penitipan barang yang selalu dijaga oleh manusia-manusia jutek dengan pertanyaan template, "Mau kemana mas?" yang pada awalnya membuat gue bingung. Masalahnya gue nitipin tas niatnya mau ke perpustakaan, emangnya gue nitipin tas mau buat naik haji? Kenapa mereka suka pertanyaan retorika?

Duduk dan titip yang gue lakukan itu membuahkan hasil, tiket gue untuk keluar dari kampus udah jadi setengahnya. Skripsi yang gue ajuin akhirnya disetujuin sama pembimbing gue dan membuka pintu gerbang selanjutnya menuju sidang outline, sidang rancangan skripsi. Pada akhirnya gue gak bisa keluar semester ini diakibatkan telatnya gue mencapai setengah perjalanan ini. Semua karena pergantian tema dan proses menemukan tema yang sangat sulit. Membutuhkan berjam-jam bengong di Pusat Studi Jepang (PSJ), perpustakaan, dan mencari wangsit sama beragam cerdik cendikia. Setelah menemukan tema, hampir sekitar 3 minggu gue habiskan untuk menggarap BAB I dan BAB II ditemani Samira kekasih hitam gue tercinta. Yang rela dipegang-pegang tubuhnya untuk menyelesaikan skripsi gue. Tapi, selama 3 minggu itu gue gak terus-terusan di perpustakaan sampe tumbuh jenggot di dengkul. Sesekali gue berjalan-jalan untuk rehat sejenak dari penatnya kampus.

Seperti pada suatu hari gue berjalan-jalan keliling mall antah berantah sama Apid, temen gue yang kentutnya silent. Perjalanan tersebut sangat nggak direncanain, awal kejadiannya karena kita cuma berdua aja di kampus dan merasa terasing. Well, jadi mahasiswa yang udah lama di kampus membuat gue kembali menjadi anak baru lagi. Kalo jalan planga-plongo gak ada yang kenal dan bingung mau ngapain. Bahkan kalau menurut gue, keadaan ini jauh lebih buruk dari anak yang baru masuk kuliah. Seenggaknya mereka masih punya semangat untuk mengikuti perkuliahan yang terlihat seperti sebuah permainan yang mengasyikkan dan memiliki banyak teman baru di sampingnya. Sedangkan gue, stok teman seangkatan menipis, banyak yang udah cabut dan pergi melanglang buana. Pada akhirnya gue menyadari kalau perkuliahan merupakan permainan yang sama sekali tidak menyenangkan. Seperti main monopoli dengan teman yang curang.

Bosen di kampus, kita berdua memutuskan untuk pulang. Tapi sebelum pulang, kita mau ke daerah Cimanggis dulu untuk ngeliat lapangan futsal yang baru dibangun. Tempatnya bagus dan lapangannya banyak, sayangnya agak mahal. Terasa berat untuk ukuran kantong berdasar dangkal. Selesai ninjau lapangan, kita kembali ke rencana awal untuk pulang ke rumah. Sesampainya di jalan raya kepala gue memunculkan ide gila, "Ke Mall Cimanggis yuk". Untuk yang belom tahu, Mall Cimanggis adalah sebuah mall yang terletak di bilangan Cimanggis yang memiliki cat norak kayak baju badut. Campuran merah, oranye, hijau terang, dan biru. Kalau salah jangan salahin gue, saya parsial. Paduan warna tersebut akan membuat seorang Pablo Picasso menangis meraung-raung.

Selain warnanya yang unik, mall ini juga terkenal karena ketidak jelasannya. Bioskopnya yang bernama Smiling Theater mengganti filmnya 3 bulan sekali. Film yang diputar pun tidak jauh dari film sadis penuh tebasan, sayat, dan darah atau film Indonesia yang dibikin tanpa pertimbangan bakal laku atau enggak. Hal-hal seperti itulah yang membuat gue penasaran, kehidupan apakah yang ada di dalam Mall tersebut?

Setelah memarkir motor, kita berdua langsung masuk ke Mall ajaib tersebut. Lantai pertama isinya menjual baju-baju tak jelas, DVD bajakan, dan alat-alat yang diklaim sebagai "Terobosan Inovatif" seperti alat cebok otomatis tanpa tangan. Lantai ke-2 ada pasar swalayan, lantai 3 ada Pojok Busana yang bisa terlihat pojok-pojoknya, efek dari mall yang sempit, sangat tidak bagus untuk penderita Claustrophobia . Lanjut lantai 4, ada yang dagang-dagang hape. Para pedagangnya selalu aja nanyain, "Nyari apa mas?". Dalam hati gue menjawab, "Disini gue mencari pengalaman, nona!". Lantai 5 terdapatlah bioskop legendaris itu, jam menunjukkan pukul 12.30 dan gue liat di jadwal film ada film yang (seharusnya) main pukul 13.00. Anehnya, loket yang ditutupi kain kumuh berwarna merah marun tersebut masih tutup. Apa disini telah dikembangkan sistem pembelian tiket inden? Entahlah. Di lantai 6 ada arena bermain untuk anak kecil yang ingin terkena radang pernapasan akut karena menghirup debu dengan intensitas abnormal dan sebuah Cafe Dangdut - Billiard bernama SAYUWIWIT. Tempat itu pada awalnya menggantungkan tulisan TUTUP, begitu ngeliat gue, entah kenapa tulisan tersebut langsung berputar menjadi BUKA.

Selesai ketawa ngakak 6 tingkat, kita memutuskan untuk turun dan (lagi-lagi) kembali ke niat awal untuk pulang ke rumah. Sesampainya di lantai 3, ternyata ada sebuah toko kecil yang menjual barang-barang dengan satu harga. Oleh karena berdua adalah orang-orang kritis, selalu penasaran dengan hal-hal yang ada, kita langsung masuk ke toko untuk ngeliat barang apa aja yang dijual disana. Setelah masuk dan keliling-keliling, gue bisa membuat kesimpulan kalau toko ini seperti Diagon Alley yang menjual banyak alat-alat aneh. Sebilah kayu, sepotong ranting panjang, dan bahkan ada alat menyerupai ari-ari bayi yang menghitam dijual disini tanpa ada penjelasan fungsinya apa. Hey, apakah kalian pernah liat sumpit yang disambung sama selang infus? Di sini lah tempatnya. Seperti Indiana Jones, gue seperti menemukan artifak-artifak baru yang bisa digunakan untuk menguasai dunia.


Sumpit yang disambung selang infus

ada yang tau ini alat apa?

Selesai ekspedisi toko gaib, kita bergerak keluar menuju parkiran motor. Sempet ngeliat ada lapangan futsal yang terbuat dari beton disewain. Tentu aja lapangan itu kosong, mendingan maen di lapangan kampus atau sekolah. Gratis. Sampe ke motor, kita meneruskan perjalanan lewat Jalan Raya Bogor. Jalanan sangat bau , efek dari Idul Adha, bertebaran bau tai kambing, sapi, dicampur bau sungai yang kotor. Ide gue untuk iseng muncul lagi, kali ini menuju Mall Graha Cijantung.

Kali ini, tempatnya gak separah sebelumnya. Mall-nya masih luas dan banyak pengunjung. Kalo tempat sebelumnya emang sih masih ada pengunjung, tapi gue masih gak yakin apakah itu pengunjung atau zombie. Gue pun keliling-keliling gak jelas, ngeliatin pemuda pemudi yang bergaya masa kini, seperti di acara musik tivi setiap pagi. Sampai pada akhirnya gue di Gramedia, ngeliat buku SMS TEKA-TEKI GOKIL dan ketawa-ketawa kayak orang sarap sama lawakan garing nan jadul seperti "Bagaimana bunyi kentut Ade Rai?". Yang bikin gue geli sendiri adalah, gue menemukan seorang berwajah oriental, berbadan gendut, dan raut muka culun dengan gaya harajuku. Pake poni horizontal kayak potongan cetak mangkok di depan, ditambah dengan rambut yang menyisa di samping kanan-kiri berbentuk taring Drakula, dan jangan lupa rambut belakangnya yang cuma sedikit diikat sebagai pemanis. Saking terpananya gue sampe-sampe kartu penitipan tas gue sampe jatoh dari tangan. Anjrit. Udah kayak pandangan pertama.

kira-kira seperti ini lah bentuknya

Selesai dari situ sekitar jam 8 malem. Sungguh waktu yang lama untuk pulang ke rumah. Padahal gue berangkat dari kampus sekitar jam setengah 12 siang. Petualangan unik gue pada akhirnya ditutup dengan mampir ke "Jembatan Cinta". Sebuah jembatan fly over yang ada di daerah Pasar Rebo yang terkenal sering dipake buat orang pacaran, kumpul, dan wisata keluarga. Gue mencoba merasakan sensasi yang ada untuk ngeliat kenapa jembatan ini laku untuk dijadikan tempat kumpul-kumpul. 10 menit gue disana, kepala gue pusing karena bunyi ratusan kendaraan yang lewat, baik di jembatan maupun di bawahnya yang merupakan jalan berlalu lintas padat. Selain itu, asep knalpot membuat gue sesek napas dan keracunan gas CO. Heran, kenapa orang-orang itu pada betah lama-lama di jembatan ini. Bahkan sampe ada beberapa tukang jualan minuman atau kacang sekalipun.

Perjalanan ke jembatan cinta menutup petualangan gue hari itu. Sebuah petualangan unik untuk ngeliat keadaan sosial masyarakat, melihat apakah realita yang terjadi sesuai dengan teori yang sudah ada. Ini merupakan pembuktian secara empirik dan ilmiah atas suatu fenomena yang terjadi di struktur sosial suatu kebudayaan. PRET. Hahaa. Sok peneliti ah.


Cheerioo...!!


-=M=-
mari kita lanjut...

Jumat, November 27, 2009

271104

Hidup adalah sebuah buku cerita beralur maju yang terbagi menjadi bebeberapa Bab. Judul Bab bisa beragam, dimulai saat manusia dilahirkan dan diakhiri saat manusia terpendam di balik tanah lembab dan berbaju putih seragam. Buat gue, sesuatu yang udah gue lakukan harus gue ingat walau seburuk apapun itu. Sesuatu yang buruk diingat untuk belajar, sesuatu yang baik dikenang untuk tersenyum.

Tanggal 27 November ini mengingatkan gue akan awal dari Bab kehidupan gue yang berjudul Cinta Pertama, tepatnya tanggal 27 November tahun 2004.

Waktu itu gue masih seorang bocah yang beranjak dewasa, ditandai dengan umur gue yang udah menyentuh angka 17 tahun. Angka yang sakral dan banyak dipakai di kehidupan. Orang-orang menyebutnya sweet seventeen, sebuah gerbang menuju kedewasaan. Selama 17 tahun itu, mulai dari gue lahir manjat ari-ari sampe jadi anak SMA kelas 3 yang kerjaannya ngupil mulu di kelas, gue belum pernah sekalipun merasakan apa yang namanya pacaran. Boro-boro deketin cewek, kalo ada cewek yang gue suka deket dan ngajak ngobrol kegiatan gue cuma tiga : Gugup, diem, dan keringetan. Untungnya gak sampe mencret. Tengsin juga kalo lagi gitu tiba-tiba celana gue basah dan timbul bau tak sedap. Bisa-bisa gue dijulukin Mirzal Si Sigung. Intinya gue gak tau mau ngapain dan ujung-ujungnya gue kabur ke kantin, patungan sama temen gue buat beli es teh manis seharga 200 perak.

Pada kelas 3 SMA itu lah, gue mulai berani sama cewek yang gue suka. Dia bernama Laras, temen seangkatan gue yang kelasnya tetanggaan. Gue mulai lah masa-masa PDKT, sampai pada akhirnya gue memberanikan diri untuk ngajak dia jalan. Pada waktu itu gue ngajak nonton film Shark Tale di Taman Ismail Marzuki. Untungnya, dia setuju. Kita pun sepakat untuk janjian di SMA 68, hari Sabtu tanggal 27 November tahun 2004 jam 10 pagi.

Pada hari yang ditentukan, gue memilah-milah banyak baju di lemari dan matut-matut di cermin kayak cewek kecentilan. Untungnya rambut gue pendek, jadinya gak bisa dikepang dua, soalnya kalo bisa gue bakal terlihat kayak gadis desa kebanyakan nonton film porno. Celana juga gue pilih yang paling mengkilap, model masa kini, model boot cut yang kuncup di atas dan agak lebar di bawah. Mantapz. Parfum yang gue pake impor langsung dari Arab, oleh-oleh dari emak-bapak abis naik haji. Botolnya ada gambar tanda tanya gede. Mungkin itu perlambang kalo baunya gak teridentifikasi, undefined, mungkin campuran bau bunga mawar sama sayur kolak.

Saking lamanya gue bersolek di kamar, gue sampe telat berangkat. Janji jam 10, gue berangkat dari rumah jam 10 juga. Gimana bisa sampe tepat waktu? Hehee. Dengan buru-buru gue naik mikrolet, turun di depan RS Carolus, dan naik tangga. Abis itu gue lari ke tempat perjanjian. Dari jauh gue liat ada seorang wanita memakai baju putih, celana item, dan tas item juga. Jantung gue berdegup kenceng. Gimana enggak, gue baru sekali jalan berdua sama cewek yang gue demen, jantung udah kayak mau loncat dari rongga dada.

"Maaf-maaf, udah nunggu lama ya?", kata gue untuk memulai hari itu.

Dengan muka kampret-udah-tau-lo-telat-pake-nanya-nanya-lagi dia ngejawab "Hehee, enggak kok"

"Kita langsung cabut yuk", gue mengajak dia untuk langsung ke tempat tujuan.

"Yuk"

Dia langsung ngikutin gue menuju pintu gerbang hitam di depan kompleks pendidikan Salemba. Sesampainya di depan, gue mengangkat lengan gue 90o dari badan dan menggoyangkan telapak tangan gue pertanda memanggil kendaraan umum yang lewat. Gue gak bermaksud untuk menyetop taksi, mikrolet, atau bis. Gue berusaha untuk menghentikan bajaj. Yaps, kereta kencana unuk kencan pertama gue adalah bajaj. Bentuknya bulat dan warnanya merah, bangkunya terbuat dari kulit kelabang, dan abangnya nyetir sambil ngangkang. Setelah gue sepakat akan harga, kita berdua langsung masuk ke dalam dan timbullah getaran di antara kita. Maksud gue, bener-bener getaran. Tau sendiri lah jalannya bajaj selalu bikin orang berasa kena parkinson.

Sampailah gue di TIM berdua dengannya berjalan bersama-sama menuju loket penjualan karcis. Belum sampe loket, tepatnya di pintu depannya, ada tulisan TUTUP. Beh. Ternyata gue kecepetan, bioskopnya baru buka jam 12 siang dan filmnya baru main jam 13.00. Gue pun berinisiatif untuk bergerak ke American Hamburger (AH) yang ada di seberang TIM untuk makan dulu. Mengisi perut biar gak laper saat nanti di dalam bioskop.

Sesampainya di AH gue mesen paket nasi + 2 ayam, sedangkan dia mesen... sesuatu... yang bisa dimakan lah pokoknya. Lupa. Hehee. Kebiasaan gue kalo makan ayam adalah menghabiskan ayam tersebut sampai lapisan yang paling dalam. Kucing aja gak bakal dapet apa-apa kalo dapet sisaan ayam dari gue. Bersih, tuntas, dan lunas! Tapi keadaannya pada saat itu adalah situasi kencan pertama. Hey, gue harus menjaga image gue sebagai cowok cool yang kalo makan itu classy. Mirzal sang penghisap saripati ayam harus dipendam, diganti sama Mirzal sang cowok berkelas. Gue makan ayamnya pelan-pelan dan lemah lembut, belum abis semua udah gue stop makannya.

"Udah makannya?", kata Laras ke gue.

"Udah lah, tinggal segitu doank kok", gue belagak jaim, gak doyan makan ayam sampe bersih. Sampe diemut-emut kayak dot.

Selesai makan kita langsung bergerak ke bioskop, pesen tiket dan nunggu sebentar, baru abis itu masuk ke studio. Di dalem studio gue tentu saja duduk sebelahan, membuat gue jadi diem gak tau mau ngapain. Tapi walaupun secara fisik gue gak ngapa-ngapain, alam bawah sadar gue bergerak kemana-mana. Seperti orang skizofernik, kepala gue muncul suara-suara.

"Zal, tembak sekarang! Kapan lagi!?"

"Eh jangan, khan dia lagi sibuk nonton"

"Dongo! Entar dia cabut! lo kembali lagi jadi bocah tengik yang doyan ingusan!"

Kata-kata seperti itu terus terngiang di kepala gue sampe film-nya selesai. Sampe saat gue ada di depan TIM untuk nunggu bis P17, mau pulang ceritanya. Sampe saat gue duduk di bangku plastik warna orange, bersebelahan sama dia. Penyakit skizofernik gue makin parah dan jantung gue berdegup sangat kencang. Saking kencangnya jantung memompa, gue jadi takut bakal pipis darah di celana.

"Tembak sekarang! AYO KITA BISA!"

"IDIOT! Masak nembak di dalem bis!? gak elit!"

"Buruannn... entar keburu cabut...!!"

"Kok ayam tadi gak diabisin yah? Sayang banget" -> tetep nyesel.

Bis bergerak terus sampe ke tempat gue harus turun, di depan bank BNI. Kemudian gue dan dia lanjut nyebrang. Dia masih harus nunggu angkot lain untuk pulang dan gue tinggal jalan kaki ke rumah. Sesampainya di lampu merah seberang jalan, gue langsung nekat. Gue memberanikan diri gue untuk nyatain perasaan ke dia.

"Yas, lo mau gak jadi cewek gue?", kata gue ke dia.

Singkat, padat, jelas, dan sangat frontal. Bersetting di bawah lampu merah pinggir jalan, dan dihiasi oleh bebunyian klakson dan puluhan juta debu yang berterbangan. Sebuah setting yang sangat tidak romantis untuk film sinetron remaja jaman sekarang. Normalnya pernyataan itu harusnya diajukan di tempat temaram dan diterangi sebuah lilin . Sayup-sayup terdengar seorang penyanyi jazz bersuara berat bernyanyi lagu L.O.V.E untuk menambah romantisme. Sebagai penyedap mungkin ditambahkan dengan pemberian setangkai bunga mawar yang harum. Tapi untuk abnormal seperti gue, inilah yang terjadi. Tak ada penyanyi jazz, adanya abang angkot yang menggoda gue untuk naik ke atas angkotnya atau suara derungan bajaj yang terdengar seperti senapan mesin. Bunga mawar? Boro-boro. Pohon palem aja setengah mati bertahan idup disini.

Dia berpikir sebentar, mungkin agak syok. Mungkin juga berpikir kalau dia masuk SPONTAN. Mikirin kapan si Komeng dateng dan ngasih dia duit. Gak beberapa lama, kepalanya bergerak naik turun. Tanda gue diterima. Woh. Pada saat itu badan gue serasa mau melayang ke atas langit. Tapi setelah gue liat, langit lagi panas, gak jadi ah. Gue gak bawa sunblock. Setelah itu gue bingung, gue gak tau apa yang harus gue lakukan saat seorang wanita menerima perasaan yang dilempar seorang lelaki. Apakah gue harus menempelkan pipi di muka dan berterika kegirangan sambil ngangkat-ngangkat kaki seperti pose Chun-Li kalo lagi menang berantem? Atau gue harus mengepalkan kedua tangan dan mukul-mukul dada kayak gorila horny?

"Yang bener nih? Salaman dulu deh kalo gitu"

Dan, gue memilih salaman. Salaman seperti kalo orang jual-beli barang. Salaman kalo orang negosiasi-nya lancar dan sama-sama dapet apa yang dia inginkan. Salaman kayak orang lagi lebaran. Salaman kayak orang abis sholat berjamaah. Salaman. Mempererat tali silaturahmi. Salaman, membuat gue tampak semakin idiot. Gue berhasil membuat dia terlihat seperti SPG properti yang berhasil ngejual apartemen.

Dia syok dua kali.

Setelah itu, gue langsung jalan pulang dengan langkah kaki riang. Sedangkan dia gue biarin naik angkot sendiri dan pulang kerumahnya. Pada saat itu gue gak ngerti prinsip seorang pria bertanggung jawab nganterin pasangannya ke rumah sampai selamat.

Gue yakin dia syok tiga kali.


Itulah awal Cinta Pertama gue, sebuah kejadian yang membuat gue memulai satu bab dalam buku kehidupan yang gue tulis dan arahin sendiri. Bab itu pada akhirnya berakhir setelah 2,5 tahun karena beberapa hal yang tidak bisa disebutkan. Tapi seperti yang gue bilang di awal, bab-bab yang ada dalam kehidupan gue ada bukan untuk dilupakan. Biarlah itu menjadi sebuah penanda tentang apa yang udah gue lakukan dan hal apa yang harus dilakukan nanti. Karena gue gak bakal tau apa yang akan tertulis di lembar selanjutnya dan apa yang akan menjadi ending dari kisah tersebut. Gue hanya bisa belajar dari bab-bab terdahulu, memperbaiki yang buruk dan mempertahankan yang baik.


Cheerioo...!!


-=M=-
mari kita lanjut...

Jumat, November 13, 2009

Friday The 13th

Friday The 13th (baca : fraidei de tertin). Terdapat dua hal yang terbesit di pikiran begitu mendengar kalimat itu :
  1. Jason Vorhees, karakter fiksi ciptaan Victor Miller. Merupakan seorang pembunuh yang memakai topeng hoki dan membawa golok segede tangan orang dewasa. Gemar membunuh orang, terutama cewek-cewek seksi yang suka senggama di tengah hutan kayak orang idiot. Kegilaannya lahir saat ngeliat dengan mata kepala sendiri Ibu-nya dipenggal pake golok yang sering dia bawa-bawa itu sama survivor Camp Crystal Lake , sebuah camp yang membuat hidup Jason merana. "Avenge me...!", begitu pesan terakhir Ibu-nya. Contoh nyata dari bad parenting. Pesen terakhir kok menyesatkan sih buu.
  2. Hari sial. Kepercayaan yang berkembang nun jauh di Barat sana adalah kombinasi antara angka 13 dan hari Jum'at adalah kombinasi yang super-sial. Gue belum menemukan alasan kenapa hari Jum'at yang dijadiin hari sial, tapi untuk angka 13 ada banyak cerita yang menyebabkan angka tersebut menjadi angka yang sial. Contohnya dalam kepercayaan Romawi Kuno, angka 13 dianggap sebagai iblis sedangkan 12 adalah penyihir.
Bahkan, ada orang yang memiliki rasa takut luar biasa (phobia) terhadap hari Jum'at tanggal 13. Phobia itu dinamakan triskaidekaphobes (Friday the 13th Phobia Rooted in Ancient History : 2004), penderita phobia ini biasanya sangat gak mau untuk keluar di hari dan tanggal tersebut. Mereka takut terjadi sesuatu yang sangat buruk kalo-kalo mereka keluar rumah. Mungkin langit berasa mau runtuh nimpa mereka kalo mereka keluar rumah.

Eniwei, kenapa gue tiba-tiba membahas Friday The 13th ini?

Simple, karena gue mengalami kejadian sial pada hari Jum'at tanggal 13 bulan November tahun 2009.

***

Jum'at, 13 November 2009
Mulai dari 17:00

Gue lagi ada di daerah Kemang dan berniat untuk jalan lagi ke Citos (Cilandak Town Square) buat ngambil tiket Playground Festival yang nampilin Franz Ferdinand, sebuah band keren dari ranah britania raya. Pada saat itu, Jakarta lagi dihadiahin hujan deras. Membuat gue gak bisa bergerak kemana-kemana. Gue cuma bisa duduk sambil ngotak-ngatik hape nungguin si ujan reda.

Sekitar jam 17.35, setelah ujan gue anggep udah sedikit reda, gue bergerak keluar Kemang. Gue bergerak menuju jalan Ampera, nungguin bis bernomer 615 yang lewat seberang Citos. Dengan memakai jaket capuchon abu-abu tua, sembari ditemani udara dingin dan tetes-tetes ujan, gue menunggu bis dengan sabar.

10 menit...

20 menit...

30 menit...

Bis yang gue harapkan gak kunjung datang. Hal ini memaksa gue mencari alternatif baru menuju Citos. Alternatif pertama adalah naik ojek, tapi begitu ngintip isi dompet gue, alternatif itu resmi gue coret. Dompet gue isinya cuma20 rebu sama puluhan jenis bon dari berbagai toko dan warung makan, udah gitu bau. Ngeliat keadaan yang macet dan jarak yang jauh, uang 20 ribu cuma bisa bikin gue sampe Citos. Pulangnya? Wallahualam. Gue memilih alternatif kedua, jalan sedikit menuju Kemang Village dan mencari bis lain yang bernomer 619. Pilihan gue bener, gak beberapa lama dateng bis metro mini merah tercinta itu.

Gue kebagian berdiri paling belakang, palang sebelah kanan. Gue cuma kebagian ujung pegangan saja. Dengan jatah yang tidak memenuhi syarat itu, gue seperti orang lagi wall climbing, mengandalkan kekuatan otot lengan untuk bertahan. Apalagi kalo jalan menanjak, kontraksi otot lengan gue mencapai titik maksimal. Bedanya kalo wall climbing bertahan idup, kalo gue bertahan biar gak nimpa embak-embak yang lagi duduk di belakang gue. Bisa mati sesek napas dia. Susah payah gue mencari pose lain yang lebih mumpuni, tapi gak bisa. Penumpang terlalu penuh dan gue gak bisa bergerak lagi. Sial. Udara di dalem bis juga pengap, lembab, dan minim udara. Gue terancam keabisan napas.

Posisi gue itu bertahan lama, awet sentosa. Kemacetan di sepanjang jalan Ampera membuat bis gue bergerak kayak siput abis sunat jalan pake kancut. Jalannya amat sangat pelan karena takut begesek. Lalu lintas padat. Ah, gue berharap Doraemon menjadi nyata. Gue pengen minta pintu kemana saja, cukup itu aja, gak perlu yang laen. Tinggal bilang mau kemana, buka pintu, TING!, langsung sampe. "Milan!", setelah itu buka pintu, sampe di Milan ketemu Ronaldinho lagi sikat gigi. "Liverpool!", buka pintu, sampe di Abbey Road maenin gitarnya John Lennon. Atau kalau mau ke daerah terpencil yang sangat jauh, di luar peradaban manusia. Tinggal sebut aja, langsung sampe.

"BEKASI!!", buka pintu, muncul blue screen : ERROR - Location Is Too Far Far Away. No Hope. Kemudian pintunya meledak dan kebakar.

"Macet! Ini pasti gara-gara gak ada polisi yang ngatur jalanan. Gimana sih polisi, kayak gak ada kerjaan. Padahal udah dikasih fasilitas banyak. Mobil, seragam, Jas Ujan.", kata seorang bapak-bapak yang duduk di samping mbak-mbak yang terancam nyawanya karena ada tepat di belakang gue. Membuyarkan khayalan gue. Tontonan gratis gue.

Dia lagi mencoba ngobrol dengan sama mbak itu. Mbak itu cuma menggubris asal-asalan, "Iya yah?" abis itu diem aja. Kemudian bapak itu kembali memasang headset yang tersambung ke handphone-nya itu. Tiba-tiba aja, lalu lintas jadi sedikit bergerak. Mengundang angin segar masuk ke dalam. Mungkin inilah yang disebut "angin surga".

"Nah! Lancar khan? Saya tuh yang ngelaporin ke Elshinta, laporin Ampera macet!", sang bapak kembali berceloteh. "Mbak, saya tuh yang laporin, jadinya ada polisi tuh", kata dia mempertegas begitu menyadari omongan pertamanya gak digubris sama mbak itu. "Hmm.. iya ya..", embak itu berkomentar. Singkat, padat, jelas.

Setelah sebentar lancar, lalu lintas kembali macet. Macet diem. Macet total. Gue memandang keluar jendela, memandang iri mereka-mereka yang ada di dalem mobil ber-AC. Gak harus berbagi udara dan merasa pengap kayak gue. Pengap karena banyak orang. Pengap karena jendela ditutup sama bapak penggerutu. Sompret. Ternyata saat jalanan lancar dia nutup itu jendela. Takut tatanan rambutnya rusak kali.

Dengan pandangan penuh nafsu membunuh gue ngeliatin dia. Dia cuma ngelirik gue bentar, abis itu ngetik sms. Mungkin dia lagi sms-an sama Elshinta. Parahnya, jendela tetep ditutup. Gue lemes total, sesek napas. Saat life meter gue mungkin tinggal seperempat, jendela dibuka sama dia. Udara segar kembali ber-sirkulasi. "Hahaha... Gak kuat dia... Argo-nya 400 ribu", ternyata dia ngebuka jendela karena ngeliat bule keluar taxi Silver Bird.

"Heh..hee..", mbak itu tertawa garing.

Kalo gue jadi dia, gue diem total. Nyatanya, gue bukan dia dan dia bukan gue. Dia tetep ngoceh gak jelas. Gue udah gak peduli lagi. Sampe waktu udah nunjukkin jam 20.30, yang berarti gue udah berdiri selama kurang lebih dua setengah jam. DUA SETENGAH JAM dari Kemang - Arteri. Padahal biasanya cuma 15 menit. Kaki udah berasa pegel dan tangan kebas. Di jalan Arteri ini, perjalanan gue menuju Citos memasuki tahap akhir. Tinggal masuk terowongan kolong jalan, belok kanan, sampe Citos!

Sayangnya, kenyataan berkata beda. Kolong jalan udah berubah menjadi Danau Situ Kolong. Ujan deras membuat air tergenang tinggi di terowongan yang bentuknya "U" itu, air ujan ngumpul di tengah. Terowongan kolong jalan ditutup. Mau gak mau bis gak bisa lanjut lurus, dipaksa belok kiri, yang berarti bis harus mencari puteran balik untuk bisa masuk ke arah yang seharusnya dituju.

Kemacetan yang begitu busuk, puteran yang begitu jauh, dan udara yang begitu pengap. Ditambah celotehan bapak penggerutu, "Bagaimana sih pejabat? Gak bisa memacahkan masalah sepele kayak begini" membuat gue gak tahan lagi di bis. Gue memutuskan untuk turun, nyebrangin jalan, dan jalan kaki menuju Citos. Jalan kaki, malam hari, dan dinaungi ujan deres. Sungguh, ide yang sangat brilian.

Di jalan arah ke Ciputat dst. itu, tepatnya mulai dari gedung Talavera, gue berjalan kaki. Seperti berenang melewati lautan. Lautan mobil dan motor. Seperti adegan Will Smith lagi dikejar-kejar pemerintah di film Enemy Of The State. Lari-lari, nyempil-nyempil di ratusan mobil yang tumpah di jalanan. Sayangnya, gue gak ganteng kayak dia. Makanya gak ada yang peduli. Malahan banyak yang klakson kenceng-kenceng. Karena seharusnya gue gak boleh ikutan make jalan itu. Gak ada trotoarnya. Walhasil gue nemplok-nemplok di tembok pembatas dan jalur hijau yang ada di sisi kiri-kanan jalan.

Setelah nemu trotoar, gue kesana dan jalan disana. Sialannya, lagi ada pembangunan gedung, jadinya banyak tanah-tanah bercampur air. Tanah-tanah itu kalo diinjek kayak punya kekuatan untuk ngisep kaki-kaki gue. Sepatu gue jadi basah dan butek warnanya. Udah gitu, dinginnya malam makin kerasa karena jaket gue jadi ikut-ikutan basah. Mental gue juga udah mulai terganggu, untuk ngusir kebosanan gue, gue ngegerutu sendiri. Gue semakin gila. Otak gue beku dan perut gue laper.

Perjalanan demi perjalanan gue lewati, sampai pada akhirnya gue sampe ke Citos jam 21.00. 3 jam menuju Citos udah kayak perjalanan Tom Sam Chong mencari kitab suci. Gue pun langsung bergerak ke Score! untuk ngambil itu tiket. Bon pembayaran udah gue siapin dan langkah kaki gue berjalan pasti. Sepatu gue nomel-ngomel, "Cepret... cepret..." efek dari air yang menumpuk di sepatu.

Pokoknya kalo nanti itu tiket udah gue dapet, gue bakal angkat kayak waktu Fabio Cannavaro ngangkat Piala Dunia. Ini bakal jadi kemenangan gue. Kemenangan atas perjuangan yang udah gue lakuin. Walaupun penampilan udah lusuh, kayak abis maen ujan-ujanan, gue tetep PD menghadapi mbak penjaga Score!.

"Mbak! Mau ambil tiket", kata gue mantap.

"Oh, tiket Playground yah? Tulis namanya mas disini sama nomer telepon", sahut si mbak.

Gue langsung nulis nama gue di kertas yang dia kasih. Mungkin ini prosedur yang harus gue jalanin untuk dapetin itu tiket.

"Jadi gini mas, nanti dihubungin lagi ya. Soalnya tiketnya belum dateng dari panitianya sampe sekarang...", kata mbak-mbak penjaga Score! begitu gue selesai nulis nama.

"Belom ada mbak...!??Blom ada!!??", intonasi gue seperti cewek yang divonis hamil diluar nikah.

Isi kepala gue yang sebelumnya memutar lagu Maju Tak Gentar berubah menjadi lagu yang berlirik, "Hatiku hancurr.... Tertusuk durii...". Memori gue tentang perjuangan ke Citos terkuak satu demi satu, bersliweran di dalem kepala gue. 3 jam di bis penuh sesek, sepatu basah dan kena tanah, bapak penggerutu, dan jalan kaki-ujan-malam. Perjuangan-perjuangan yang tak berguna karena kelalaian panitia yang gak profesional. So, untuk para panitia yang tidak profesional itu, "SILIT!!".

Setelah menerima kenyataan pahit itu, badan gue lemes total. Tangan udah mulai tremor, gemeteran. Gue blum makan dari siang soalnya dan badan udah gak bisa nerima hal itu lagi.Terpaksa gue ke A&W dulu untuk istirahat dan makan. Sekedar rengangin kaki dan pikiran untuk kemudian dipake lagi buat pulang ke rumah gue di Cimanggis. Perjalanan masih jauh, kawan.

Jam 21 :30, gue nunggu bis Kopaja bernomer 20 di depan Citos. Pemilihan bis itu atas nasihat mas-mas sekuriti yang bilang kalo bis itu lewat Pasar Minggu. Yang salah dari informasi itu adalah, bis itu lewat DAERAH Pasar Minggu. Sedangkan gue butuhnya bis itu lewat TERMINAL Pasar Minggu. Kalo gue tetep lanjutin naik bis itu, gue bakal kebawa sampe Kuningan. Gue memutuskan turun di lampu merah Cilandak dan mencari bis berdasarkan intuisi. Pada saat itu, intuisi gue mengarahkan gue menuju bis yang menuju Kp. Rambutan. Seenggaknya daerah itu gue kenal. Untungnya kali ini gue benar. Huf,ternyata gak semua hal sial hari ini.

Sampai di Kp. Rambutan, gue langsung naik bis terakhir. Bis terakhir yang gue naikkin sebelum naek ojek dan sampe di rumah. Isi dari bis pas jam 22.35 adalah orang-orang bermuka bengis dan keras. Ada bapak-bapak botak gendut gede item dan berkumis baplang duduk di samping gue. Mukanya serem, kayak sapi item. Seenaknya dia nyulut rokok dan membagi asepnya ke banyak orang di sekitarnya. Ada juga anak muda berambut jabrik yang gak mau bayar ongkos dengan modal gitar sama bungkusnya. Dia hanya mengangkat gitar yang udah terbungkus itu dan abang kondektur gak minta duit sama dia. Kemudian ada bapak-bapak yang berkumis baplang juga, namun keriput dan terlihat sangat tua duduk di pojokan bis. Dia bayar ongkos bis cuma 500 perak. "Udeh...", kata dia lemah ke kondektur.

Dalam hati gue bilang, "Mas, this is Friday The 13th! Lo pantes dapet sial !!". Kemudian gue tertawa lepas melihat kesialan si abang kondektur. Seenggaknya gue bisa sedikit tertawa malam itu. Setelah kejadian yang gue alamin tersebut, gue memiliki cukup alasan untuk mulai mengidap triskaidekaphobes. Tapi, ogah deh. Gue gak percaya mitos aneh. Lagian nama penyakitnya susah, kurang keren. Hehee.

Cheerio...!


-=M=-


mari kita lanjut...

Jumat, November 06, 2009

Satu Setengah Hari

Kamis, 5 November 2009

Pagi hari sedang bermesraan dengan terik matahari, membuat udara terasa gerah dan keringat lengket menempel di kulit. Dua kelopak mata gue susah membuka, seolah-olah dilumurin sama lem aibon, kepala gue puyeng banget karena dibangunin dengan "Teriakan 7 Oktaf" ala nyokap gue. Kemungkinan dia dulu berguru sama Aretha Franklin.

Gue masih ngantuk. Efek bangun jam 2.30 untuk nonton Lyon VS Liverpool yang berjalan mengecawakan dengan kedudukan 1-1. Walaupun lapangan rumput hijau sering berubah menjadi hamparan awan putih dan pemain menjadi domba-domba lucu yang berlari saling mengejar satu sama lain, gue tetep menghitung ini sebagai kegiatan begadang. Setelah ngucek-ngucek mata untuk ngilangin belek campur aibon tersebut, mata gue menyisir kamar buat nyari jam.

06.45

Weh, ternyata udah cukup siang untuk bangun pagi. Masalahnya gue ada kuliah jam 8.00 dan seperti biasanya, perjalanan menuju kampus memerlukan waktu yang tidak bisa diprediksi. Kadang 15 menit, 30 menit, 45 menit, bahkan sejam. Ini disebabkan oleh abang angkot yang terlalu bersemangat mencari penumpang, sampai rela berhenti di tempat yang sama dengan waktu yang lama.

07.30

Gue baru brangkat dari rumah dengan bersimbah keringat segede baso kecil. Terlihat seperti tumor idup yang bergerak aktif di muka. Setengah berlari gue melalui rute demi rute. Rutinitas biasa menuju kampus. Kalo diliat dari jam-nya, gue gak mungkin bisa sampe ke kampus tepat waktu, kecuali angkotnya gue carter dan dipasang dua buah mesin jet. So, gue pasrah aja dengan keleletan angkot yang bergerak 1 km/jam itu.

Tiba-tiba terdengar intro lagu Ting Tings - Great DJ dari kantong celana gue. Ada panggilan masuk dari Harry, temen sekelas gue, orang Padang yang penuh perhitungan.

"Hoi! Kelasnya dimana nii?"

"G 402 cing!", kata gue dengan sedikit berteriak.

"Kosong !! Gak ada isinya!! Gimana nih?"

Setelah dia bilang itu, gue langsung nge-cek contact hape, nyari temen sekelas yang lain. Takut-takut kelasnya dipindah jauh. Ke bulan contohnya. Setelah menemukan pilihan yang cocok dan tepat, gue langsung bertanya gimana keadaan kelas gue. Ternyata kelas gue dibubarkan, ditiadakan, dan dientaskan. Perjuangan gue mengarungi pagi hari yang terik dan tengik menguap begitu aja. Tanggung udah setengah perjalanan, gue lanjut ke kampus. Mencari kegiatan dan teman bersuka cita riang tawa.

15.00

Gue berangkat dari kampus menuju daerah Kebon Kacang, belakang Grand Indonesia. Tujuan gue kesini adalah ngambil name ID Card untuk ngeliput acara Djakarta ARTmosphere, sebuah acara musik yang mengundang sejumlah artis masa kini dan legenda masa lalu. Setelah berjuang bersusah payah untuk mendapat helm , gue berangkat bareng Apis dari kampus.

16.00

Kebon Kacang, gue udah sampai di daerah yang terkenal dengan nasi uduk-nya ini. Alamat yang gue tuju adalah Kebon Kacang XXXIII, tapi entah bagaimana caranya kita malah nemuin plang dengan tulisan XL. Sampe sekarang, gue gak tau apa maksud XL di situ. Kemungkinan karena jalannya lebar. Yang lebih gue heran, tiba-tiba gue udah sampe di Grand Indonesia dengan waktu yang amat singkat. Padahal dari Depok, sama kayak waktu gue ngeliat SALE Nike. Setelah beranalisis dengan cermat, gue bisa menyimpulkan bahwa pada saat itu kita mengambil arahan yang sesat. Bergantung pada Aan yang nyetir berdasarkan intuisi. Hehee.

Setelah bertanya sana-sini akhirnya gue menemukan tempat yang gue tuju dan ngambil ID Card yang dicari tersebut. Pada saat ini, gue resmi menjadi seorang reporter.

17.00

Kita berdua gak tau mau kemana. Mau balik sekarang ke Cimanggis, gue males. Busway penuh sesak dengan manusia dan gue lagi males jadi rempeyek ikan asin. Setelah berdiskusi dan debat kusir, kita sepakat menuju Taman Menteng, duduk-duduk sembari bertukar pikiran. Sekalian juga wisata komentar kalau-kalau ada keanehan yang melintas di depan mata.

19.30

Perut udah menggelar konser Rock and Roll, protes untuk diisi kembali. Gue baru inget dari tadi siang belum makan sama sekali. Untk itu gue berjalan menyusuri taman untuk mencari makan. Saat gue berkeliling nyari makanan, ternyata tukang nasi goreng murah udah gak ada. Menghilang entah kemana. Adanya makanan lain yang harganya jauh lebih mahal. Dengan keadaan keuangan gue yang lagi sekarat, makanan itu sama sekali gak cocok. Bikin bolong kantong. Lebih baik gue memutuskan untuk mencari makanan di tempat lain.

Pilihan jatuh kepada taman Situ Lembang. Sebuah tempat kongkow klasik jaman gue SMA dahulu. Tempat gue bersantai ria disaat jam sekolah dan tempat syuting film Mana Tahan Warkop DKI. Setelah gue kelilingin, gue menyimpulkan bahwa masa jaya taman ini telah lewat. Sekarang, taman ini sepi pengunjung. Beda banget saat beberapa tahun yang lalu dimana bertebaran berbagai macam merk mobil lengkap dengan sound system dan lampu kerlap kerlipnya. Sekarang cuma terlihat beberapa motor diparkir seadanya dan sejumput mobil yang bisa diitung dengan jari babi.

Gue mesen Nasi Goreng Gila. Sebuah menu klasik yang umum dipesan di tempat ini. Entah karena pengunjungnya sedikit atau abangnya itu seorang nenek sihir yang mau ngegendutin badan gue untuk dipotong dijadiin campuran ramuan obat awet muda, porsi makanan yang disajikan amat sangat banyak. Menghabiskannya membuat gue hampir gila. Pantas lah nasi ini disebut Nasi Goreng Gila. Akhirnya gue menemukan arti dari nama nasi goreng tersebut. Ini membuat gue mencoret satu dari banyak poin daftar TUJUAN HIDUP gue.

Saat lagi asik makan nasi goreng gila. Saat rahang gue hampir gak bisa balik karena keseringan ngunyah, gue denger suara sirine kenceng. Apakah ini razia bencong atau razia sunat? Gue gak tau. Seenggaknya gue udah bersiap untuk terjun ke danau kalau-kalau emang bener itu razia. Walaupun gue gak tau itu razia apa, tapi keliatan seru aja kalo loncat ke danau tiba-tiba. Serasa David Hasselhoff lagi nyelametin cewek berbikini yang kelelep.

Saat gue bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi, terdengar suara yang dihasilkan dari mikrofon mobil, "PARA PENGUNJUNG TAMAN SITU LEMBANG, PERSIAPKAN BARANG-BARANG ANDA DAN SEGERA KOSONGKAN AREAL TAMAN SITU LEMBANG. TERIMA KASIH".

Weh, gue takjub. Lembang benar-benar udah berubah. Padahal dulu gue sampe larut malem di sini gak masalah. Sekarang, baru jam setengah sembilan udah ada suara peringatan yang intonasinya seperti polisi yang mau grebek sarang teroris atau rumah bordil. Untungnya gue gak diciduk dan digebukin. Atau dikasih ke Evan Brimob (Hehee. Lagi rame nih).

Setelah menghabiskan nasi gila, sarap, uedan, sinting itu, gue berangkat ke Cimanggis naek busway - bis - ojek. Pulang ke rumah untuk tidur, tanpa sadar tugas yang menunggu keesokan harinya.

Sabtu, 6 November 2009

Gue bangun pagi untuk sampe lebih cepet di kampus, dengan niat ngerjain tugas ngerangkum. Gue ngerangkum pokok bahasan berjudul "Pasar Monopoli", karena menurut keyakinan gue itu merupakan bahan kuliah hari ini. Saat gue ngerjain rangkuman dengan syahdu, dateng Aan dengan muka optimis karena udah ngerjain tugas. Waktu dia ngeliat apa yang gue tulis, dia mencak-mencak, "AH KAMPRET! Kata lo ngerangkum "Pasar Persaingan Monopolistik"!".

"Heh, emang beda ye?", kata gue. Ketauan gak pernah baca buku.

"Beda anjrit! Gue udah bela-belain ngerjain ini dari jam 2 sampe jam 3 pagi!"

"Ahahaa... Yaudah, biar impas, gue ngerjainnya setengah aja. Sekarang masuk kelas dah!", kata gue memberi solusi.

Kita berdua pun sepakat untuk masuk kelas dan mengumpulkan tugas apa adanya itu. Kelas udah dimulai dan dosen udah mulai memberikan materi. Di depan kelas ada White Board gede dan pancaran sinar In-Focus ke tembok. Di proyeksi komputer itu terlihat materi apa yang sedang diajarkan sekarang, materi yang harus kita rangkum sebelumnya. Terlihat dengan jelas tulisan :

"Pasar Persaingan Sempurna"

Gue bengong. Tugas yang gue bikin useless. Sekarang, gue bener-bener impas sama Aan. Tugas yang ada tak nyambung dengan apa yang diminta.

Ciaoo...
mari kita lanjut...

Minggu, November 01, 2009

Cinta dan Ungkapan

Cinta, sebuah perasaan yang dikenal oleh setiap orang. Bisa membuat orang berubah 180 derajat jika sedang merasakan cinta. Seorang preman bongsor, item, dan gemar membunuh bisa terdiam, kaku, dan keringetan apabila dia lagi ketemu sama cewek yang dia sukain. Akhir-akhir ini, kata "cinta" sering diumbar secara vulgar lewat lagu-lagu yang dibawakan oleh band-band yang tampil seperti Moymoypalaboy. Cuma bisa mangap-mangap dan bergaya, bahkan listriknya tak nyala.

Seperti yang udah disebutin tadi, lagu merupakan salah satu cara untuk mengumbar atau mengungkapkan perasaan cinta seseorang. Selain itu, mungkin lo masih inget dengan acara "Katakan Cinta" dimana terdapat 1001 cara mengungkapkan cinta. Ada yang lari dari Tanjung Priok - Depok, naek kapal bebek di danau Ancol, atau bahkan berpakaian adat Jawa keliling Jakarta. Cinta memang bisa membuat orang gila, tak tahu malu, dan mabuk kepayang.

Kalau mau ditarik ke belakang, jangan diturutin. Nanti takutnya diculik. Jaman sekarang lagi tren penculikan. Eh salah topik. Ulang. Revisi. Tidak nyambung. *Terbawa sindrom skripsi*

Kalau mau ditarik ke belakang, ungkapan rasa cinta yang paling klasik adalah dengan tulisan. Mulai dari jaman kerajaan Majapahit sampe Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Romeo-Juliet sampe Kabayan-Iteung, Julius Caesar sampe Julius Sitanggang, cara ini terbukti masih sering dipakai dan cukup efektif. Menggunakan kata rayuan maut dan pujian setinggi langit. Analogi hiperbolis dan ungkapan manis.

Cara ini terus mengalami perkembangan. Dulu biasanya memakai media surat yang dianter sama pak pos. Media ini disebut "SURAT CINTA". Seseorang yang sedang jatuh cinta akan sering menunggu di depan rumah, menunggu datangnya pak pos datang membawa surat dari sang kekasih nan rupawan. Begitu pak pos dateng, langsung lari ke arah dia. Membuat pak pos takut, karena terlihat seperti ingin nomprok pak pos. Pak pos takut karena pak pos bukan pemain rugby.

Begitu berhasil ngerebut surat dari pak pos, langsung masuk ke kamar. Pintu kamar dikunci, lampu dimatikan, dan lampu baca dinyalakan. Biar syahdu. Mungkin untuk menambah suasana, imajinasi memutar lagu Elvis Presley - Can't Help Falling In Love. Setelah suasana siap, menatap surat yang ada di meja. Fungsi dari menatap itu adalah sebagai fotografi pikiran. Warna amplop, tulisan, dan detil-detil lipatan disimpan secara lengkap di otak. Memaksakan diri untuk memiliki kemampuan Photographic Memory, ingatan yang seperti gambar video. Tergambar secara nyata.

Sebelum surat dibuka, dicium dulu wangi suratnya. Diendus-endus seperti anjing pelacak yang mencari bom. Walaupun udah tercampur bau keringet pak pos, gak masalah. Yang penting bau kekasih masih berasa dominan. Setelah puas ngendus-ngendus surat dan sesekali menarik ingus -takut kena surat-, surat dibuka pelan-pelan dengan menggunakan pisau dapur.

Mas Jono Pangeran Hatiku,

Aku sangat senang menerima surat dari kamu. Hatiku terbuai ke langit, kaki ku terpisah dari tanah, dan gravitasi tak mampu menarikku lagi. Ungkapan perasaan mu kepadaku membuatku tidak percaya. Seperti pangeran yang jatuh cinta kepada rakyat jelata. Sebenarnya, aku telah mengagumi mas sejak pertama kali mata kita beradu pandang. Tapi, apakah dayaku sebagai seorang wanita, aku hanya bisa menahan napas dan terdiam melihatmu melangkah gagah di hadapanku membawa lembayung surgamu.

Mas, sesungguhnya aku sangat ingin kau miliki. Rasa cintaku padamu tak tertahan lagi, ingin rasanya memeluk erat dirimu dan tak kulepas lagi. Aku terbayang akan kisah yang akan kita torehkan dalam kehidupan kita bersama nanti. Tak kuasa aku menahan tangis saat mengingat ini. Terisak melihat kenyataan yang ada.

Aku...

Tidak bisa memilikimu mas. Ibu akan menikahkanku dengan kawannya yang kaya raya. Aku tak kuasa menolaknya mas, aku tidak bisa melawan keinginan seorang Ibu yang telah melahirkanku ke dunia fana ini. Dunia yang telah mengantarkanku menemuimu, tapi tak mampu untuk memilikimu. Maafkan aku mas, cinta kita harus dipendam sampai disini, biarlah cinta kita abadi di hati kita masing-masing.

Walaupun...

Walaupun...

Raga kita tidak bisa bersama.


Salam



Sutini Nur Maemunah


"Walaupun kita terpisah secara raga, hati kita terjalin kuat selalu mas..."


Air mata membasahi lembaran surat yang terlebih dahulu terlihat penuh dengan bekas air mata juga. Ada dua pilihan buat Joni, patah hati gantung diri atau pergi berlari mengejar cinta. Joni terdiam. Sampai pada akhirnya terdengar suara, "JONNNN !!! NGAPAIN SIH DI KAMAR !!!?? BANTUIN EMAK NIMBA AER!!!". Dan sepertinya, pilihan yang ketiga lebih aman. Bantu emak nimba aer.

***


Jaman udah berubah saat ini dan teknologi berkembang pesat. Surat macam itu udah jarang dipake lagi. Selain lama... Surat itu gak bisa cepet sampe. Hehee. Gue gak bisa nemu alesan lain selain lama. Sekarang ada berbagai macam media untuk menuangkan perasaan melalui tulisan. Ada email, message Facebook, SMS, dll.

Baru-baru ini, di era globalisasi saat ini. Temen gue menerima surat cinta yang dikirim melalui Facebok. Ini sangat mencengangkan. Ternyata masih ada orang yang mau menulis puitis untuk pujaan hati tersayang dengan kata-kata menyayat hati dan emosi. Gue sendiri takjub ngedenger cerita kalo dia dikirimin surat cinta. Ternyata masih ada laki-laki yang sangat melankolis yang gemar mengirimkan surat berkata-kata indah untuk cewek yang dia suka.

Berikut adalah isi surat cinta di era globalisasi seperti ini, tanpa editan, kecuali nama.
Untuk keamanan image sang penulis dan penerima, nama mereka berdua gue samarkan.


Joni October 27 at 9:06pm
Hi lisa pa kabar?
Thanks ya dah confirm, lam kenal ya ^_^

Sebenarnya ad sesuatu hal yang pengen ak katakan secara langsung am kamu...cm mendapat waktu yg tepat u/ bisa mengatakannya rasanya cukup sulit :)
mungkin hanya lewat e-mail ini ak bisa mengungkapkannya.

Sejujurnya semenjak p'tama x aku melihat km..ntah knapa muncul rasa suka dan t'tarik am km...ak jg ngk ngerti knapa ad p'rasaan itu secara tiba2..

Maaf, mungkin kamu anggap hal ini "BEGITU KETERLALUAN" ..ya ket'laluan soalnya ad se2orang yg masih asing bwat km tiba2 mengungkapkan p'rasaannya sama km.

Mungkin km pikir aku ini seorang pembual, tak tau malu, tak punya sopan santun dsb..oke bwat ak ngk masalah karena mungkin itu wajar :)

Tapi ak punya alibi u/ itu semua...
mohon jangan dsamaartikan antara "RASA SUKA" dengan "CINTA"
karena itu hal yg sangat b’beda, cinta jauh lebih luas maknanya drpada hanya sekedar rasa suka
bwatku bisa mencintai se2orng tdaklah mudah…dan membutuhkan proses yg tidak mudah pula & tentuny mbutuhkn waktu…

Anggaplah..ungkapan rasa suka ini bisa km artikan sebatas keinginanku bwat b'teman baek ama km, sesuatu yg wajar yg hrs dilakukan seorang laki2 dlm memulai sesuatu hubungan yang baek..
Hmm...mungkin jg km berfikir whatever ap itu rasa suka atau apalah..tetep idealnya butuh waktu bwat menyampaikannya,,
Ya..silakan & mohon maaf klu mnrutmu caraku salah,,ak hanya ingin memilih jujur tanpa dsertai topeng basa basi yg esensinya sama2 aj ^_^

Bagiku ungkapan suka, benci, rindu, t’tarik, sayang, cinta dll itu hanya sebuah apresiasi dari hak azasi yg dimiliki setiap manusia, dan pastinya takan ada seorang pun yg bisa membatasinya ^_^

Oke lisa, thank bgd ya dah mau membaca e-mailku ini, I am so sorry isi e-mailnya agak mendalam, lancang & sedikit panjang hehe
Maaf juga dah membuat hari2 kemarin km di *** mnjadi t’ganggu krn ulahku
Salam hangat ya bwat org2 yg km sayangi ^_^



Salam

joni


Perlu gue tekankan, dia mengungkapkan perasaan "CINTA" bukan "SUKA". Ingat...!! Jangan salah membedakannya!! Hehee.

Untuk jaman canggih seperti sekarang, surat seperti ini gue namakan : "SURAT CINTA ELEKTRONIK". Mungkin kah ini menjadi tren? Hehee.

Ciaoo...
mari kita lanjut...

Rabu, Oktober 28, 2009

Embrio Karya

Skripsi menjadi beban yang sangat berat di kepala gue untuk saat ini. Menulis ilmiah membuat kepala gue hampir pecah. Kesulitan yang dihadapi dalam membuat makhluk bernama skripsi ini adalah banyaknya peraturan yang harus dipatuhi. Seperti jalan di lorong sempit tak berujung. Sangat sempit sehingga bergerak pun susah. Apalagi salto. Untuk gue yang terbiasa nulis tanpa aturan apapun, hanya berdasarkan intuisi dan keyakinan tidak meyakinkan, hal ini amat sangat menyulitkan.

Tahap pertama dalam menyusun skripsi adalah mencari tema. Berhubung gue jurusan administrasi fiskal, tema yang gue cari adalah tema yang berhubungan dengan dunia perpajakan, tarif, pungutan, dll. Sebenernya gue pengen menggunakan tema Kekeluargaan atau Gotong Royong untuk menjadikan skripsi gue mempunyai pesan moral yang sangat kuat dan berguna untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Tapi berhubung tema itu sudah sering masuk ke majalah Bobo, tema tersebut haram untuk dipake.

Sebenarnya gue udah lebih dulu dapet tema, proposal udah dikasih, pembimbing udah didapat. Semangat udah membumbung tinggi dan gue udah optimis akan kelulusan gue yang semakin terlihat jelas di ujung sana. Langkah gue tegap saat melangkah menuju pembimbing untuk konsultasi skripsi. Akhirnya gue bisa memakai jawaban, "Lagi bimbingan" saat ditanya, "Lagi dimana jal?".

Saat gue ke ruang dosen, ternyata pembimbing gue lagi sholat dan gue disuruh nunggu di ruang tamu. Gue menunggu dengan was-was. Ketakutan akan ditolaknya tema yang gue ajuin. Di depan gue ada dispenser, gue berpikir untuk mencet tombol "Cold" terus menerus sampe air galon abis kalo misalnya tema gue ditolak. Gak penting emang, tapi seenggaknya gue menunjukkan kalo gue marah. Seenggaknya marah gue akan membuat orang repot nge-pel dan mengganti galon yang udah abis aernya. Saat gue menyusun rencana, muncullah pembimbing gue, membawa kertas proposal skripsi gue.

Dia duduk di sebelah gue, ngebolak-balik halaman proposal. Sedikit mengerutkan kening, sebelum pada akhirnya angkat bicara.

"Mmm... Ini bukannya udah berubah ya?".

"Pertanyaan penelitian kurang konkrit".

"Kalo cuma menjelaskan, apa pentingnya diteliti?".

Konklusi dari semua pertanyaan dan pernyataan tadi adalah,"Coba kamu liat lagi deh, kalo emang gak bisa, ganti tema lain". Sebuah kata halus dari : "Tema kamu kampret, mending jadi tissue toilet".

Hasrat gue untuk mencet dispenser semakin bertambah.

***

Setelah berpikir panjang dan berkonsultasi dengan Melisa,temen sekaligus malaikat penolong gue, akhirnya gue menemukan tema yang baru. Yang lebih jelas arahnya, sederhana permasalahannya. Proses untuk menentukan dan mengerti dengan baik tema yang gue angkat memakan waktu 3 hari. Mayoritas ber-setting di perpustakaan MBRC dan Cafe Bloc yang ada di kampus FISIP UI. Proses tersebut berlangsung lama karena gue harus menemukan jalan pikiran yang pengen gue tempuh dan tujuan apa yang ingin gue capai. Selain itu, godaan untuk ngobrol dan bercanda tawa sangat merusak rencana gue.

Pada hari ke-4, berbekal tema yang udah mantap, gue nongkrong di lantai 3 perpustakaan MBRC. Kencan dengan Samira, laptop hitam gue tercinta. Berbagai macam referensi berserakan di depan gue. Dua skripsi dan banyak buku bertebaran. Gue seperti pedagang buku di pasar Kwitang. Tujuan gue di situ adalah mencari masalah. Heran, dari kecil sampe sekarang udah punya bulu kaki gue selalu diajarin untuk tidak mencari masalah dimanapun gue berada. Saat kuliah, untuk lulus gue harus cari masalah.

Perbedaan pola pikir tersebut membuat gue sulit untuk memulai latar belakang masalah. Pengen rasanya gue memulai dengan kalimat " Pada suatu hari di dunia bernama Kropok, hidup seorang katak yang mempunyai telinga panjang bernama Todi". Setelah gue pikirkan lagi, gue inget kalo gue lagi menulis skripsi, bukan dongeng tidur di malam hari.

Halaman demi halaman referensi gue bolak balik. Begitu juga sowan ke rumah Mbah Google, mencari inspirasi, informasi, dan sedikit relaksasi. Akhirnya sedikit demi sedikit gue mulai bisa menyusun kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf. Kumpulan banyak paragraf yang pada akhirnya menjadi 4 halaman. Embrio skripsi gue resmi terbuat. Butuh ketelatenan, bimbingan,dan perhatian agar embrio tersebut bisa tumbuh menjadi suatu karya bagus yang berujung pada sebuah kertas A4 bertuliskan IJAZAH.

Ciaoo...
mari kita lanjut...

Selasa, Oktober 20, 2009

Simpleks

Simple menurut kamus Bahasa Inggris - Indonesia adalah :

Simple (adj) --> Sederhana
comparative: simpler
superlative: simplest

Menurut gue, kata itu sangat universal. Dikenal sebagai kata yang melambangkan kemudahan, kesederhanaan, dan tanpa harus membuat kening keriput seperti nenek-nenek pengunyah sirih yang suka make stagen warna item. Tetapi setelah ditelisik lebih lanjut, ada satu kata yang mengandung kata SIMPLE dan kata SIMPLE disebut di awal, tetapi makna dan penerapannya sangat jauh dari definisi sebenarnya.

Perkenalkan, sebuah mata kuliah bernama teknik-teknik kuantitatif. Suatu mata kuliah dimana pada semester ini gue berperang melawannya. Di hari Senin, 19 Oktober 2009, gue UTS mata kuliah tersebut. Berbekal sebuah pensil dan penggaris baru yang gue beli di Kober seharga 3000, gue menghadapi kertas soal fotokopian yang berisi 5 soal. Gue harus mengisi 4 soal, dimana satu soal merupakan soal Wajib, harus dijawab. Kalau tidak bisa dosa, disamber petir.

Soal wajib yang harus gue jawab itu adalah soal programa linear dengan menggunakan metode SIMPLEKS. Makhluk apakah itu metode SIMPLEKS? Secara logika, SIMPLEKS itu mempunyai kata dasar SIMPLE yang ditambah -EKS di belakangnya. Bisa diartikan bahwa metode ini adalah suatu metode pemecahan masalah yang amat sangat mudah, bahkan untuk anak balita sekalipun. Kenyataannya, metode ini sangat cocok untuk membuat seorang balita bunuh diri.

Sekali lagi gue menemukan bahwa teori dan praktek memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Kalau di dalam kelas, belajar, kemudian dikasih latihan, pembatas yang dipakai cuma 2 atau 3 dan batas waktu untuk menyelesaikan soal adalah seminggu : 7 hari. Apa itu pembatas? Pembatas adalah hambatan-hambatan yang ada untuk mencapai suatu solusi dalam programa linear. Bentuknya berupa persamaan seperti : 2X1+3X2+9X3 > 25.


Basis

Z

X1

X2

S1

S2

S3

Solusi

Rasio


Z

1

-3

-4

0

0

0



S1

0

2

3

1

0

0

24

8

LV

S2

0

3

1

0

1

0

21

21


S3

0

1

1

0

0

1

9

9


(sebagian) metode simpleks dengan 3 pembatas (hanya untuk latihan)


Dalam ujian kali ini, sang dosen sangat baik hati dan maha pemberi. Dia ngasih soal dengan 5 PEMBATAS dalam waktu 2 jam saja. Dimana gue harus ngurutin angka masing-masing pembatas ditambah dengan variabel bantuannya. Total ada 9 kolom angka dan puluhan baris yang harus gue itung dan isi dengan baik dan benar. Walhasil, dengan mata silindris gue, puluhan angka itu terlihat seperti menari-nari dan kompak mau menyerang gue. Mereka terlihat seperti lari-larian, bersenang, dan bercanda tawa. Untuk itu gue harus agak menunduk dengan maksud biar mata gue fokus, biarpun hal tersebut membuat leher gue sakit.

Mungkin itulah penyebab dinamakan SIMPLE dengan akhiran -EKS di belakangnya. Dimana akhiran -EKS melambangkan mantan atau keadaan yang sudah tidak terjadi lagi. Metode ini tadinya sederhana, tapi karena kurang seru, disusahin.

Menyelesaikan soal tersebut membuat kepala gue mau putus, sedangkan masih ada 3 soal lagi yang harus gue kerjain dengan baik dan benar. Walaupun 3 soal yang kesisa itu gak seribet simpleks, mata gue keburu kliyengan dan otak gue udah mencair jadi congek di kuping. Gue stress berat di kelas. Pengen rasanya buka baju dan make beha keliling kampus untuk menunjukkan betapa stress-nya keadaan gue saat ini.

Gue melanjutkan pekerjaan gue yang tersisa. Gak tau bener apa salah, grafik yang gue gambar udah mencong sana-sini. Bentuknya kayak celana dalem setengah jadi, segitiga asimetris. Angka-angka yang gue taro juga udah gak jelas lagi. Mungkin ada baiknya angka-angka asal itu gue pasang jadi togel. Siapa tau tembus, karena biasanya yang tembus berasal dari inspirasi tak terduga. Oke, gue makin ngaco. Ujian belum selesai malah mikir togel.

"3 menit lagi"

Terdengar suara pengawas berkumandang dari belakang. Gue baru ngisi 2 1/2 nomer. Saat-saat inilah gue berserah diri pada-Nya, gue menatap ke atas langit. Ada plafon dan lampu neon. Andai gue bisa menjadi plafon, yang gak perlu mikir apa-apa. Tapi enggak ah, gue geli digerayangin kecoak. Gak lama, pengawasnya dateng ke meja gue, mau gak mau gue harus ngasih lembar jawaban yang udah gue isi sekuat tenaga ke dia.

Setelah ujian selesai, kepala gue pusing dan bawaannya mau keprokin kepala orang ke tembok. Akumulasi dari emosi tingkat tinggi, kelas yang gerah, kepala pusing, dan suasana berisik di luar kelas. Ada banyak mahasiswa yang lagi nungguin kelas untuk masuk ke dalem. Lorong sempit yang harus gue lewatin dengan berdesak-desakan penuh dengan mahasiswa yang berbicara seenak jidat, masang volume keras-keras, dan mengimitasi penjual tahu di kereta dengan berteriak "TARAHUUU... TARAHUU...". Mungkin menurut mereka lucu. Menurut gue, Annoying!!

Ciaoo...
mari kita lanjut...