Rabu, Oktober 28, 2009

Embrio Karya

Skripsi menjadi beban yang sangat berat di kepala gue untuk saat ini. Menulis ilmiah membuat kepala gue hampir pecah. Kesulitan yang dihadapi dalam membuat makhluk bernama skripsi ini adalah banyaknya peraturan yang harus dipatuhi. Seperti jalan di lorong sempit tak berujung. Sangat sempit sehingga bergerak pun susah. Apalagi salto. Untuk gue yang terbiasa nulis tanpa aturan apapun, hanya berdasarkan intuisi dan keyakinan tidak meyakinkan, hal ini amat sangat menyulitkan.

Tahap pertama dalam menyusun skripsi adalah mencari tema. Berhubung gue jurusan administrasi fiskal, tema yang gue cari adalah tema yang berhubungan dengan dunia perpajakan, tarif, pungutan, dll. Sebenernya gue pengen menggunakan tema Kekeluargaan atau Gotong Royong untuk menjadikan skripsi gue mempunyai pesan moral yang sangat kuat dan berguna untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Tapi berhubung tema itu sudah sering masuk ke majalah Bobo, tema tersebut haram untuk dipake.

Sebenarnya gue udah lebih dulu dapet tema, proposal udah dikasih, pembimbing udah didapat. Semangat udah membumbung tinggi dan gue udah optimis akan kelulusan gue yang semakin terlihat jelas di ujung sana. Langkah gue tegap saat melangkah menuju pembimbing untuk konsultasi skripsi. Akhirnya gue bisa memakai jawaban, "Lagi bimbingan" saat ditanya, "Lagi dimana jal?".

Saat gue ke ruang dosen, ternyata pembimbing gue lagi sholat dan gue disuruh nunggu di ruang tamu. Gue menunggu dengan was-was. Ketakutan akan ditolaknya tema yang gue ajuin. Di depan gue ada dispenser, gue berpikir untuk mencet tombol "Cold" terus menerus sampe air galon abis kalo misalnya tema gue ditolak. Gak penting emang, tapi seenggaknya gue menunjukkan kalo gue marah. Seenggaknya marah gue akan membuat orang repot nge-pel dan mengganti galon yang udah abis aernya. Saat gue menyusun rencana, muncullah pembimbing gue, membawa kertas proposal skripsi gue.

Dia duduk di sebelah gue, ngebolak-balik halaman proposal. Sedikit mengerutkan kening, sebelum pada akhirnya angkat bicara.

"Mmm... Ini bukannya udah berubah ya?".

"Pertanyaan penelitian kurang konkrit".

"Kalo cuma menjelaskan, apa pentingnya diteliti?".

Konklusi dari semua pertanyaan dan pernyataan tadi adalah,"Coba kamu liat lagi deh, kalo emang gak bisa, ganti tema lain". Sebuah kata halus dari : "Tema kamu kampret, mending jadi tissue toilet".

Hasrat gue untuk mencet dispenser semakin bertambah.

***

Setelah berpikir panjang dan berkonsultasi dengan Melisa,temen sekaligus malaikat penolong gue, akhirnya gue menemukan tema yang baru. Yang lebih jelas arahnya, sederhana permasalahannya. Proses untuk menentukan dan mengerti dengan baik tema yang gue angkat memakan waktu 3 hari. Mayoritas ber-setting di perpustakaan MBRC dan Cafe Bloc yang ada di kampus FISIP UI. Proses tersebut berlangsung lama karena gue harus menemukan jalan pikiran yang pengen gue tempuh dan tujuan apa yang ingin gue capai. Selain itu, godaan untuk ngobrol dan bercanda tawa sangat merusak rencana gue.

Pada hari ke-4, berbekal tema yang udah mantap, gue nongkrong di lantai 3 perpustakaan MBRC. Kencan dengan Samira, laptop hitam gue tercinta. Berbagai macam referensi berserakan di depan gue. Dua skripsi dan banyak buku bertebaran. Gue seperti pedagang buku di pasar Kwitang. Tujuan gue di situ adalah mencari masalah. Heran, dari kecil sampe sekarang udah punya bulu kaki gue selalu diajarin untuk tidak mencari masalah dimanapun gue berada. Saat kuliah, untuk lulus gue harus cari masalah.

Perbedaan pola pikir tersebut membuat gue sulit untuk memulai latar belakang masalah. Pengen rasanya gue memulai dengan kalimat " Pada suatu hari di dunia bernama Kropok, hidup seorang katak yang mempunyai telinga panjang bernama Todi". Setelah gue pikirkan lagi, gue inget kalo gue lagi menulis skripsi, bukan dongeng tidur di malam hari.

Halaman demi halaman referensi gue bolak balik. Begitu juga sowan ke rumah Mbah Google, mencari inspirasi, informasi, dan sedikit relaksasi. Akhirnya sedikit demi sedikit gue mulai bisa menyusun kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf. Kumpulan banyak paragraf yang pada akhirnya menjadi 4 halaman. Embrio skripsi gue resmi terbuat. Butuh ketelatenan, bimbingan,dan perhatian agar embrio tersebut bisa tumbuh menjadi suatu karya bagus yang berujung pada sebuah kertas A4 bertuliskan IJAZAH.

Ciaoo...
mari kita lanjut...

Selasa, Oktober 20, 2009

Simpleks

Simple menurut kamus Bahasa Inggris - Indonesia adalah :

Simple (adj) --> Sederhana
comparative: simpler
superlative: simplest

Menurut gue, kata itu sangat universal. Dikenal sebagai kata yang melambangkan kemudahan, kesederhanaan, dan tanpa harus membuat kening keriput seperti nenek-nenek pengunyah sirih yang suka make stagen warna item. Tetapi setelah ditelisik lebih lanjut, ada satu kata yang mengandung kata SIMPLE dan kata SIMPLE disebut di awal, tetapi makna dan penerapannya sangat jauh dari definisi sebenarnya.

Perkenalkan, sebuah mata kuliah bernama teknik-teknik kuantitatif. Suatu mata kuliah dimana pada semester ini gue berperang melawannya. Di hari Senin, 19 Oktober 2009, gue UTS mata kuliah tersebut. Berbekal sebuah pensil dan penggaris baru yang gue beli di Kober seharga 3000, gue menghadapi kertas soal fotokopian yang berisi 5 soal. Gue harus mengisi 4 soal, dimana satu soal merupakan soal Wajib, harus dijawab. Kalau tidak bisa dosa, disamber petir.

Soal wajib yang harus gue jawab itu adalah soal programa linear dengan menggunakan metode SIMPLEKS. Makhluk apakah itu metode SIMPLEKS? Secara logika, SIMPLEKS itu mempunyai kata dasar SIMPLE yang ditambah -EKS di belakangnya. Bisa diartikan bahwa metode ini adalah suatu metode pemecahan masalah yang amat sangat mudah, bahkan untuk anak balita sekalipun. Kenyataannya, metode ini sangat cocok untuk membuat seorang balita bunuh diri.

Sekali lagi gue menemukan bahwa teori dan praktek memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Kalau di dalam kelas, belajar, kemudian dikasih latihan, pembatas yang dipakai cuma 2 atau 3 dan batas waktu untuk menyelesaikan soal adalah seminggu : 7 hari. Apa itu pembatas? Pembatas adalah hambatan-hambatan yang ada untuk mencapai suatu solusi dalam programa linear. Bentuknya berupa persamaan seperti : 2X1+3X2+9X3 > 25.


Basis

Z

X1

X2

S1

S2

S3

Solusi

Rasio


Z

1

-3

-4

0

0

0



S1

0

2

3

1

0

0

24

8

LV

S2

0

3

1

0

1

0

21

21


S3

0

1

1

0

0

1

9

9


(sebagian) metode simpleks dengan 3 pembatas (hanya untuk latihan)


Dalam ujian kali ini, sang dosen sangat baik hati dan maha pemberi. Dia ngasih soal dengan 5 PEMBATAS dalam waktu 2 jam saja. Dimana gue harus ngurutin angka masing-masing pembatas ditambah dengan variabel bantuannya. Total ada 9 kolom angka dan puluhan baris yang harus gue itung dan isi dengan baik dan benar. Walhasil, dengan mata silindris gue, puluhan angka itu terlihat seperti menari-nari dan kompak mau menyerang gue. Mereka terlihat seperti lari-larian, bersenang, dan bercanda tawa. Untuk itu gue harus agak menunduk dengan maksud biar mata gue fokus, biarpun hal tersebut membuat leher gue sakit.

Mungkin itulah penyebab dinamakan SIMPLE dengan akhiran -EKS di belakangnya. Dimana akhiran -EKS melambangkan mantan atau keadaan yang sudah tidak terjadi lagi. Metode ini tadinya sederhana, tapi karena kurang seru, disusahin.

Menyelesaikan soal tersebut membuat kepala gue mau putus, sedangkan masih ada 3 soal lagi yang harus gue kerjain dengan baik dan benar. Walaupun 3 soal yang kesisa itu gak seribet simpleks, mata gue keburu kliyengan dan otak gue udah mencair jadi congek di kuping. Gue stress berat di kelas. Pengen rasanya buka baju dan make beha keliling kampus untuk menunjukkan betapa stress-nya keadaan gue saat ini.

Gue melanjutkan pekerjaan gue yang tersisa. Gak tau bener apa salah, grafik yang gue gambar udah mencong sana-sini. Bentuknya kayak celana dalem setengah jadi, segitiga asimetris. Angka-angka yang gue taro juga udah gak jelas lagi. Mungkin ada baiknya angka-angka asal itu gue pasang jadi togel. Siapa tau tembus, karena biasanya yang tembus berasal dari inspirasi tak terduga. Oke, gue makin ngaco. Ujian belum selesai malah mikir togel.

"3 menit lagi"

Terdengar suara pengawas berkumandang dari belakang. Gue baru ngisi 2 1/2 nomer. Saat-saat inilah gue berserah diri pada-Nya, gue menatap ke atas langit. Ada plafon dan lampu neon. Andai gue bisa menjadi plafon, yang gak perlu mikir apa-apa. Tapi enggak ah, gue geli digerayangin kecoak. Gak lama, pengawasnya dateng ke meja gue, mau gak mau gue harus ngasih lembar jawaban yang udah gue isi sekuat tenaga ke dia.

Setelah ujian selesai, kepala gue pusing dan bawaannya mau keprokin kepala orang ke tembok. Akumulasi dari emosi tingkat tinggi, kelas yang gerah, kepala pusing, dan suasana berisik di luar kelas. Ada banyak mahasiswa yang lagi nungguin kelas untuk masuk ke dalem. Lorong sempit yang harus gue lewatin dengan berdesak-desakan penuh dengan mahasiswa yang berbicara seenak jidat, masang volume keras-keras, dan mengimitasi penjual tahu di kereta dengan berteriak "TARAHUUU... TARAHUU...". Mungkin menurut mereka lucu. Menurut gue, Annoying!!

Ciaoo...
mari kita lanjut...

Sabtu, Oktober 17, 2009

Kamuflase Masa Depan

Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia. Begitulah apa yang ditulis Andrea Hiirata dan dinyanyikan Nidji dalam novel dan lagu Laskar Pelangi. Mimpi adalah hak setiap orang, mereka berhak menyutadrai mimpinya masing-masing tanpa ada batasan dan halangan apapun. Mimpi adalah fantasi sekaligus hiburan gratis dengan memakai imajinasi. Gue sendiri mempunyai mimpi, mimpi yang simpel, yaitu menjadi orang sangat kaya. Saking kayanya gue, bisa membeli seluruh dunia dengan mudah, semudah merobek kertas tissue.

Apa yang gue lakukan setelah impian gue tercapai? Gue mempunyai banyak keinginan gila yang hanya bisa terwujud apabila mimpi gue tersebut jadi kenyataan. Gue mau ngebeli mobil supermewah yang tidak dimiliki oleh orang lain dimanapun di dunia ini. Gue mau nyuruh Ferarri untuk bikin BAJAJ. Sebagai orang yang sangat kaya, tentunya gue gak mau mobil gue disamain sama yang lain. Banyak orang yang punya Enzo Ferarri, Ferarri Spider, atau Toreador. Karena gue super kaya, jenis mobil itu gue anggep biasa. Bajaj merk Ferarri ini bakal gue namain Baffer 720 XZ (Bajaj Ferrari).

Baferr 720 XZ

Konsep bajaj yang akan dibuat tetap mengadopsi model aslinya. Atepnya tetep dibikin dari terpal, tentu saja bukan terpal biasa, tapi terpal nomer 1 dunia yang Waterproof , Fireproof, hingga Taiproof. Menghindarkan kendaraan dari air, api, dan tai burung yang berjatuhan bagai serangan bom Perang Dunia II, selalu sukses ngotorin atep bajaj. Atepnya juga bisa dilipet sendiri secara otomatis, membuat bajaj gue menjadi bajaj convertible. Cocok saat berjalan di daerah pegunungan, menikmati angin sejuk dan sepoi-sepoi.

Setirnya tetap memakai stang dan cara menyalak mesin juga masih tetap mempertahankan nilai-nilai aslinya. Untuk starter, tetep ngokang, memakai tuas yang terbuat dari gading gajah berkualitas nomer satu dan dihiasi dengan ukiran huruf "MDP" (inisial nama gue, Mirzal Dharmaputra) pada kepala tuas untuk menambah kesan elegan. Bunyi mesin udah gak merusak kuping seperti bajaj konvensional pada umumnya, "TEKETEKETEKETEK!!!". Bisa membuat orang menjadi gila saat mendengarnya. Bunyi bajaj bikinan ferarri adalah, "Ngunggg... ngunggg...". Bunyinya halus, khas mesin racing yang dipasangkan turbo dan dilengkapi oleh dua tabung NOS yang terletak di bawah tangki bensin, di depan. (kalo meledak, seru nih. Hahaa).

Jangan lupakan style mengemudi. Style mengemudi masih tetap seperti biasa. Kaki pengendara tetep nangkring di atas dan jalannya masih bisa ngesot, tapi tentu saja dengan kecepatan yang jauh lebih hebat. Harus tetap diingat, setiap pengendara bajaj harus memegang teguh prinsip yang telah disepakati bersama, yaitu : "Hanya Tuhan yang Tahu Kemana Kami Menuju".

Bangku belakang gue kasih Sound System 10.000 watt, biar bisa sekalian ngadain konser dimana-mana, di depan gue kasih lampu Xenon yang saking terangnya bisa bikin orang kulit item jadi keliatan putih. Soal kapasitas penumpang maksimal, seperti bajaj pada umumnya : Fleksibel. Mulai dari 2 sampai 11 orang bisa masuk ke dalem kendaraan canggih dan mahal tersebut. Terserah mau ditaro dimana. Sejujurnya, gue pernah kok ngerasain naek bajaj 11 orang waktu SMP dulu. 4 orang di depan, samping supir, 7 orang diumpelin di belakang. Pas belok, bajaj-nya udah kayak mau kebalik.

Setelah gue punya bajaj itu, gue akan keliling dengan bangga, dengan style nyetir kaki nangkring di atas. Gue akan melambai ke arah-arah orang yang mangap dan bengong. Seakan-akan berkata, "ANJRIT NII ORANG TAJIR BANGET!!". Bajaj merk Ferarri gitu loh... Gak bakal ada yang punya selain gue. Outfit gue memakai kacamata item, topi, tak lupa handuk kecil melingkar di leher sebagai pengganti bling-bling yang menjadi lambang kemapanan seorang rapper.

Mimpi emang enak. Apapun bisa terjadi asalkan kita belum mati, tanpa imajinasi.

Ciaoo...


mari kita lanjut...

Senin, Oktober 12, 2009

Siapa Berani (Nulis) Kuis ?

Waktu menunjukkan jam 11 pagi menuju siang, panas terik menyelimuti tanah Depok yang selalu diwarnai kemacetan panjang. Gue ada di kantin kampus bersama dua orang temen gue, Apis dan Mo. Mereka berdua sebentar lagi mau masuk kelas di gedung G lantai 4. Sebuah gedung tanpa lift, seringkali membuat napas pendek sesampainya di kelas. Terancam sendirian di kampus, tanpa kerjaan apapun, membuat otak iseng gue merajalela.

Gue denger dari mereka kalo di kelas mereka bakal diadain kuis, entah hadiahnya apa, mungkin TV 24 karat berwarna merah marun. Mendengar kata "kuis", membuat gue semangat untuk nebeng di kelas mereka. Tujuan gue ikut kuis bukan untuk nge-tes kemampuan gue, apanya yang mau di-tes dengan kemampuan yang pas-pasan? Tujuan gue untuk ngisi lembaran kuis dengan jawaban Ala Mirzal - "Sebuah Jawaban Ngaco, Tanpa Arah Yang Jelas".

Setelah perkuliahan selesai, sang dosen mulai meminta kita untuk mengeluarkan kertas selembar. Kuis dimulai. Pertanyaannya adalah, "Apakah perbedaan presiden sebagai kepala negara dengan kepala pemerintahan?". Hmmm. Sebuah pertanyaan cukup sulit, harus sedikit kreatif untuk menjawabnya. Gue langsung mengambil bulpen item pinjeman dari apis, menggoreskannya di kertas putih bergaris bagian kiri paling atas.

Nama : Jumadilakir Riswanto Udin
Jurusan : ******* (sensor, biar keliatan rahasia)
NPM : 090601135Y

Berikut adalah jawaban (ngaco) yang gue tulis :

Perbedaan mendasar dari Presiden sebagai kepala negara dengan kepala pemerintahan adalah dari panggilan dia kalo lagi jalan di jalanan. Kalo Presiden sebagai kepala negara, dia akan dipanggil dengan sebutan "Raja", atau "King" di daerah Inggris sana. Panggilan ini penuh dengan kewibawaan jika dibandingkan dengan panggilan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang dipanggil "Press..!!". Seperti Pasar Inpres. Untungnya bukan, "Prett..!!" seperti bunyi kentut.

Hal kedua adalah pakaian. Kalau seorang Presiden sebagai kepala negara, dia akan mencabai jubah beludru dengan mahkota berlapis emas dengan ornamen batu rubi dan berlian. Terlihat sombong dan arogan. Presiden sebagai kepala pemerintahan memakai setelan jas, kemeja, dan dasi. Lengkap seperti seorang pesulap tanpa tongkat. Kalau saja ditambahkan tongkat, niscaya Presiden akan terlihat seperti pesulap dengan sulapan template yang selalu dipanggil untuk mengisi acara ulang tahun anak bocah. Emang mau Presiden kayak gitu!?

Perbedaan mendasar yang paling krusial dari keduanya adalah bentuk badan. Presiden sebagai kepala negara badannya gendut karena dia gak ngapa-ngapain, selalu ditemani Perdana Menteri, selir / gundik, dan pembantu-pembantunya. Sebel deh. Enak banget idupnya. Selain itu, nama dari seorang Presiden sebagai kepala negara selalu memiliki nomer di belakangnya. Persis kayak antrian. Contoh : Louis I, II, II, dst.

Tapi perlu diingat, tolong bedakan antara King dengan King Kong! Itu sangat berbeda!

Setelah waktunya abis, gue langsung ngumpulin kertas jawaban penuh dengan teori baru tersebut ke dosen yang duduk dengan manis di meja depan. Gue gak tau apa yang akan terjadi begitu dosen meriksa kertas jawaban yang gue buat. Gue sih mengharapkan jawaban yang gue paparkan tersebut menjadi suatu teori yang baru, dibukukan, dan nama gue akan terkenal sepanjang masa seperti Gossen dengan teori Law Of Diminishing Return -nya. Kalau itu memang kejadian, gue akan bersiap menagih uang royalti. Namun, untuk saat ini lebih baik gue bersiap untuk gak melangkahkan kaki ke kelas itu lagi. Biarlah kertas jawaban itu menjadi sebuah misteri. Misteri Jumadilakir Riswanto Udin, seorang mahasiswa yang terganggu mentalnya.

Ciaoo...
mari kita lanjut...

Selasa, Oktober 06, 2009

Togel dan Air Hujan

"Yak, mas yang di belakang, yang pake baju biru dan kacamata, tolong pilih dua nomor", kata seorang dosen dari garis depan kelas sambil mengarahkan matanya gue. Keadaan gue saat itu lagi becanda sama Mo membuat gue terdiam seribu kata, bengong. Maksudnya apa dua nomor? Perasaan gue gak lagi di bandar togel. Kalaupun dosen itu bandar togel, gue belum bayar apa-apa. Apa ini salah satu hal yang disebut togel gratisan?

"Ehhh.....", itulah kata-kata yang gue keluarkan saat ditodong masang nomer. Persis kayak logat Bugs Bunny kalo bilang "Errr.. What's Up Doc?". Gue ngeliat di papan tulis ada 8 nomer dengan tulisannya masing-masing. Ada sistem peradilan, kodifikasi, konvensi, konsinyasi, komunikasi, komputerisasi, sampe konyol. Gue gak tau juga ada apa aja dan tujuan gue memilih itu apa. Setelah belagak mikir sebentar, diiringi tatapan mata satu kelas, akhirnya gue menjawab mantap.

"3 & 4 pak", suara gue penuh keyakinan bagai seorang peserta cerdas cermat.

"Alasan kamu milih itu apa? Tolong jelaskan", timpal sang dosen.

Problematika muncul kembali. Nomer 3 dan 4 itu adalah kodifikasi dan konvensi. Gue gak ngerti dua kata itu, gue memilih hanya karena dua kata itu terdengar keren dan gue bakal terlihat pintar kalo milih itu. Apa yang harus gue jelasin kalo kata "Kodifikasi" aja gue gak ngarti? Gue taunya kodi, satuan jumlah. Mungkin kodifikasi itu mengumpulkan beberapa orang atau barang menjadi satu kodi. Karena gue tau jawaban itu ngaco kuadrat dan bisa dipastikan 10000% salah, gue kembali mengeluarkan logat Bugs Bunny.

"Errr... mungkin... karena... ", setelah itu kelas hening.

Putus asa menunggu jawaban gue, dosen itu akhirnya angkat bicara juga. Gue gak tau apa yang dia bicarakan. Yang pasti dia langsung meminta seorang mahasiswi untuk maju dan maen game mencocokkan tulisan Civil Law dan Common Law yang ada di kiri dengan 8 tulisan di kanan yang gue harus pilih sebelumnya dengan cara menggambar panah untuk mencocokkan antara yang kiri dengan yang kanan. Persis kayak di majalah Bobo. Selain permainan "Cocok Kata", dosen itu juga mengajak mahasiswa/i -nya untuk maen Hangman, dengan menuliskan :

D_ _ K R _ _ I

Gak sampai 5 detik, tanpa petunjuk apapun. Muncul satu suara wanita berteriak keras, "Diskresi!". Membuat sang dosen jadi bengong sejenak, entah kaget atau bingung mau ngapain lagi. Sampai pada akhirnya bilang, "Ya benar itu" tanpa menggubris permainan itu lagi. Sama sekali.

Setelah itu kuliah kembali dilanjutkan. Pembahasan di kelas sangat beragam, mulai dari menjelaskan perangkat aktor-aktor pengadilan seperti hakim, lawyer, jaksa, dll. sampai cerita di Papua kalo seseorang nyerempet orang sampe mati, harus membayar ganti rugi berupa nilai biaya yang dipakai orang tersebut dari lahir sampe mati. Pembayarannya menggunakan banyak gentong yang diisi duit, seakan-akan gentong tersebut adalah kotak sumbangan. Selain itu dibayar juga pake Babi, yang harus diimpor dari Singapura dengan ongkos 12 juta. Penjelasan ini membuat gue menjadi mahasiswa yang kritis. Gue jadi berpikir, " Kenapa juga musti BABI SINGAPURA!!??". Pertanyaan yang sampai saat ini tak terjawab. Karena gue malas bertanya pada dosennya.

***

Sore hari, ditemani rintikan deras hujan yang membuat rambut kriting gue lepek, gue sama Aan menuju ke jalan Margonda menuju bengkel motor temen gue, Dyka, disana. Tujuan gue kesini bukan untuk membeli atau memperbaiki motor, punya juga enggak. Gue kesini untuk ngasih lagu yang akan dibawain saat gue manggung hari Kamis nanti. Gue mengajukan konsep band THE ALAYZ dengan membawakan Wali - Cari Jodoh, The Virgin - Cinta Terlarang, dan The Potters - Cinderella. Menurut gue alay itu bukan berarti tidak keren, itu salah satu bentuk kebebasan berekspresi. Walaupun kebanyakan terlalu bebas sampai menjadi tidak keren. Sayangnya, konsep gue ditolak mentah-mentah. Alasan paling mendasar adalah : Tengsin.

Pilihan jatuh pada 4 lagu :

- Jikustik : Samudra Mengering
- Dramagods : Something About You
- Daughtry : Over You
- Maroon 5 : Nothing Last Forever

Setelah selesai milih lagu dan sepakat untuk latihan besoknya, kita bubar. Saat keluar, ternyata ujan masih deres dan belum berhenti. Untuk itu gue nunggu disana sambil ngobrol-ngobrol. Sambil ngobrol, Aan beli batagor yang mangkal di depan bengkel. Terlihat sangat menggoda. Godaan untuk membeli makin bertambah saat gue mencoba batagornya. Rasanya enak, membuat gue jalan ke abang batagornya untuk memesan satu piring. Gak beberapa lama, pesenan gue dateng dan gue menghabiskan sepiring batagor dengan nikmat.

Hari udah masuk ke waktu Maghrib, ujan masih tetep deras. Gue, Aan, dan Dyka masih di depan bengkel sambil ngobrol dan duduk-duduk.

"Lo liat dah tu orang", kata Dyka ke gue dan Aan.

Ada dua orang yang lagi berdiri di atas kubangan aer ujan yang warnanya udah coklat bercampur tanah dan pasir. Celananya digulung ke atas layaknya orang banjir. Bedanya orang banjir gak mengharapkan adanya aer dateng menyentuh kakinya. Gak beberapa lama orang itu menunduk dan menciduk aer dengan tangannya. Pose yang sangat familiar, pose orang kalau lagi berwudhu. Kita pun langsung berdebat tentang sah atau enggaknya wudhu yang dilakukan oleh dua orang itu.

Saat gue lagi berdebat sengit, seperti debat antar parpol mengumbar janji manis, gue ngeliat abang-abang batagor jalan ke dua ember item yang ditaro di pinggir jalan sambil bawa piring-piring kotor. Tadinya gue kira ember itu bukan punya dia karena letaknya jauh dari gerobak. Ternyata salah. Ember itu punya dia dan dia sekarang lagi nyuci piring make bekas aer ujan. Irit sih, tapi dia gak tau prinsip ujan mengandung zat-zat kotor. Mirisnya lagi, setelah mencuci piring yang bekas gue pake itu, aernya gak dibuang. Tetep aja dibiarin seperti semula.

Dari penelitian yang telah gue paparkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa piring yang gue pake makan itu dicuci dengan AER UJAN bekas RENDEMAN PULUHAN PIRING KOTOR sebelumnya. Mungkin rasanya kayak makan soto mie yang dibikin sama abang-abang cacing. Bedanya, gue gak pernah nyobain soto mie itu lagi sejak saat gue menjadi saksi mata kejadian menjijikkan itu.

Batagor itu tidak berasa enak lagi.

Ciaoo...
mari kita lanjut...

Sabtu, Oktober 03, 2009

Menjadi Indonesia

Sebelumnya, gue mau mengucapkan belasungkawa yang amat sangat mendalam untuk para korban gempa yang mengguncang pulau Sumatra. Semoga mereka bisa cepat diberikan bantuan dan support yang maksimal, tabah dan bisa menghadapi ini semua dengan sabar dan kuat. Ini merupakan cobaan yang sungguh berat setelah bulan Ramadhan usai, perayaan rampung, dan silaturahmi. Musibah tidak bisa ditebak, malang tak dapat diprediksi, semua berserah pada-Nya.

"Ya Allah, tolong bantu mereka"


*Mengheningkan cipta untuk para korban gempa*

***

2 Oktober 2009, hari pengukuhan batik sebagai salah satu produk kebudayaan Indonesia oleh UNESCO. Berarti, batik telah diakui dunia sebagai milik dan kepunyaan bangsa Indonesia tercinta ini. Pada hari itu tanggal tersebut, gue ke kampus menggunakan kemeja batik lengan panjang yang dibeli di pameran. Sebenernya bukan dalam rangka pengukuhan batik tersebut, tapi udah sejak sebelum lebaran, dimana dosen gue mem-provokasi satu kelas untuk serempak pake batik saat masuk ke kelasnya.

Dosen gue berkata, "Bagaimana kebudayaan kita gak mau direbut sama negara lain, kalau kita tidak mencintai kebudayaan tersebut dan mengimplementasikannya dengan memakai batik. Setuju?"

Argumen tersebut menurut gue sangat-sangat masuk akal, kita gembar-gembor dan ribut-ribut saat kebudayaan kita di-klaim oleh negara lain. Sayangnya saat kita gembar-gembor, kita memakai kemeja Next, jas Armani, ataupun sepatu Pedro. Seakan-akan lupa dengan apa yang ada, terkesima oleh rumput tetangga. Untuk itu, gue sepakat dengan kata-kata dari pak dosen dan setuju untuk memakai baju batik setiap hari Jum'at.

Kembali ke tanggal 2 Oktober, tepatnya di kampus. Gue melihat hampir seluruh manusia yang berjalan, melenggok, dan lenggang kangkung di sekitar wilayah kampus memakai baju batik dengan berbagai macam corak yang ada. Gue merasa sangat Indonesia, tinggal di Indonesia, dan cinta Indonesia. Pengen rasanya berteriak kepada banyak pengamat yang menyebut persatuan Indonesia buruk, nasionalisme kurang, dan terancam punah.

"KAMPRET!"

Sesampainya di jalan raya, terlihat juga banyak orang yang memakai batik. Batik jadi pemenang, pakaian biasa jadi minoritas. Terlihat indah dan rupawan ngeliat pemandangan yang ada. Paradigma lama yang bilang batik cuma buat kondangan harus dihilangkan. Kuno. Batik bisa menjadi pakaian sehari-hari dan gak kalah dengan kemeja Armani. Yang pasti, dengan memakai batik, kita telah Menjadi Indonesia (Efek Rumah Kaca-2008).

Indonesia bukanlah batu yang rapuh.

Ciaoo...
mari kita lanjut...