Jumat, Desember 24, 2010

Stock Opname

Opname, sebuah kata yang identik dengan seseorang yang sakit parah dan harus menginap di rumah sakit. Tangannya dituncep pake jarum infus dan (mungkin)memakai masker seperti Sub-Zero nya Mortal Kombat. Dia harus dirawat secara intensif dalam pengawasan dokter-suster selama 24 jam non-stop.

Ngomong-ngomong masker, sekarang banyak orang yang pake barang itu di jalanan dengan motif bermacam-macam. Ada yang Kerro Kerropi, Sponge Bob, atau bahkan berbentuk mulut atau gigi taring yang pada akhirnya membuat si pemakai terlihat menyeramkan. Jadi pengen beli masker deh. Tapi yang buat industri. Jadi gue bakal terlihat kayak monster bermulut tentakel di film Resident Evil : Afterlife.

Opname, ternyata bukan berlaku untuk manusia. Istilah itu juga bisa dipakai untuk barang-barang persediaan atau stok. Bukan, barang-barang itu bukan dipasangin infus atau ditaroin di tempat tidur sambil ditanyain dokter, "Ada keluhan apa wahai sapu ijuk?" Stok opname ditujukan untuk melihat secara fisik barang-barang persediaan atau harta. Mencatat dan menyamakannya dengan perhitungan sebelumnya.

Kemarin, gue diminta oleh seorang teman untuk melakukan stok opname, menggantikan dia yang lagi berhalangan. Lagi M katanya. Mudik ke Solo. Stok opname yang gue lakukan itu untuk keperluan Write-Off (WO), penghapusan, atau bahasa kerennya, PEMUSNAHAN. Barang-barang yang dapet giliran untuk dicatat adalah punya bagian IT dan Maintenance.

Pertama-tama, gue melancong ke bagian Maintenance. Di tempat itu, banyak kamera, walkie talkie, microphone, dan entah alat apa lainnya yang lagi di mutilasi untuk diperbaiki. Saat gue memasuki ruangan yang bentuknya seperti koridor itu, gue ketemu sama kuncen daerah situ yang bernama Kopral. Dia lah yang memberikan instruksi, memperlihatkan barang-barang mana saja yang ingin di WO. Untung dia gak jadi Kopral beneran. Bisa-bisa dia kayak Hitler, manggangin orang-orang yang dia anggap tidak berguna.

Setelah diberikan daftar barang-barangnya, gue dibawa ke ruangan paling ujung, gudangnya bagian Maintenance. Memasuki ruangan itu, rasa sumpek langsung menyelimuti gue karena banyaknya barang yang bertumpuk disana. Segala macem tas, kabel, amplifier, batere, pedal drum, dan alat asing lainnya. Permukaan lantai yang tersisa cuma cukup untuk ditempati dua kaki sebagai jalan setapak untuk menyisir ruangan yang bentuknya memanjang itu.

Barang-barang yang di akan di WO, terdapat di sebelah kiri pintu gudang. Berupa tas-tas kamera dan tripod yang sudah usang dan berdebu. Pengangannya udah sobek, resletingnya udah diganti tali rafia, dan bahkan ada yang berbentuk seperti kain perca. "Ini dulunya tas kamera mahal," jelas Kopral saat gue bertanya makhluk apa itu. Setelah mendengar aba-aba Kopral, gue langsung mencatat barang-barang apa saja yang ada disana.

Selesai mencatat di Maintenance, gue menuju bagian IT untuk mencatat barang-barang mereka yang mau di WO. Dan seperti sebelumnya, gue bermain dengan gudang dan peralatan usang.

Gudang IT, terletak di pojokan yang terpojok. Bahkan lebih pojok ketimbang pojok. Ruangannya kecil, sumpek, dan padet. Isinya penuh oleh monitor, CPU, dan peralatan komputer lainnya yang udah wafat. Begitu masuk kesana, kaki gue langsung gatel-gatel terkena debu dan (mungkin) kutu busuk.

Harddisk, router, monitor, dan CPU adalah beberapa barang yang akan di WO oleh bagian IT. Banyak banget barang-barangnya. Mungkin kalo dikumpul-kumpul bisa dibikin jadi robot Transformers atau Iron Man versi rongsokan. Yang kalo nge-gebukkin robot lain malah dia yang ancur sendiri.

Seperti main game Mystery Case, itu lah keadaan gue saat melakukan stok opname di gudang IT. Mata gue harus teliti mencari barang-barang mana yang ada di daftar WO. Gue sempet menunjuk sebuah komputer pose horizontal berwarna krem, "Ini bukan?"

"Bukan, komputer kayak gitu masih 'dianggap' bisa. Buat backup spare part yang dapet komputer kayak gitu. Orang-orang sial," gue langsung teringat komputer yang gue pakai di kantor. Komputer jaman purba yang dipake Pitecantropus untuk pabrik kapak perimbas. Ternyata, gue termasuk orang-orang sial.

Menjelang akhir proses stok opname, semua barang udah berhasil ditemukan. Kecuali 1 monitor bernomor urut 58 merk HP tipe 550. Yang susah dari pencarian itu adalah, ada puluhan monitor dengan merk dan tipe yang sama. Satu-satu nya cara membedakan antara satu monitor dengan lainnya adalah denga melihat nomer seri dan barcode yang terletak di bagian belakang monitor. Dengan keadaan tempat yang sumpek dan posisi monitor yang ada di atas rak, gue berkewajiban untuk manjat-manjat seperti Sylvester Stallone di film Cliffhanger.

Diubek-ubek selama setengah jam, monitor nomer 58 itu gak ketemu juga. Gue berkeliling gudang sekali lagi. Mata gue terarah ke rak yang terletak di pojok bagian bawah. Apapun barang yang ada di situ tertutup sama kardus Power Mac yang gedenya kayak tempayan nasi goreng kambing Kebon Sirih (super enak!). Gue berinisiatif ngebongkarin kardus itu, ngeliat barang apa kah yang ada di situ.

Voila! Barang itu ketemu! Gue dan kawan-kawan bersorak lega. Barang merepotkan itu akhirnya ketemu juga. Dengan ditemukannya barang itu, maka proses stok opname gue pada saat itu berakhir sudah. Sebuah pengalaman baru untuk gue yang selama ini cuma tau stok opname dari cerita dongeng seorang dosen.


mari kita lanjut...

Sabtu, Desember 18, 2010

Batu Pertama

Terhitung 20 tahun sudah sejak terakhir kali gue menulis. Rambut dan jenggot sudah beruban, kulit keriput jarang disetrika, dan tulang-tulang terancam osteoporosis. Teman-teman, itu lah yang dinamakan lebay. Bahasa gaul untuk kosakata 'Berlebihan'. Gue udah cukup lama gak nulis, tapi gak sampe 20 tahun. Ya kira-kira 12 1/4 lah.

Ketidak-pernahan gue menulis disebabkan oleh masuknya gue ke dunia baru. Dunia pekerjaan. Suatu tempat dimana seluruh pengetahuan akademis gue mendapatkan tantangan dari sisi praktis. Gue harus mengimplementasikan teori-teori yang udah gue pelajari ke dalam suatu tindakan konkrit, konkret, dan kroket.

"Selamat datang di dunia kerja," batin gue saat diterima kerja di sebuah stasiun TV swasta yang identik dengan seragam item-itemnya. Di tempat ini, gue dikasih kesempatan untuk belajar, mendapat lebih banyak ilmu, dan menjadi profesional. Dan di tempat ini juga, tidak ada internet. Oleh karena itu, gue sama sekali gak sempet nulis apapun.

Pada saat itu tanggal 29 November. Hari Senen, kalau gak salah, gue mulai masuk ke bilik yang bakal menjadi tempat gue ngejogrok sampai entah kapan. Gue dapet komputer jaman batu. Komputer bekas zaman Megalithikum yang dipake sama Pitechantropus Erectus. Disaat komputer sekarang didominasi warna hitam dengan pose vertikal tegak ke atas, komputer ini masih saja berwarna krem dengan pose horizontal. Ampun.

Mengikuti mayoritas orang tua jompo yang sudah pikun, komputer ini seperti tidak mau kalah dengan manusia. Seringkali saat dipake kerja dia mendadak diem di tempat. Entah ngambek atau lagi mikir. Malah kadang-kadang dia mati sendiri, restart ulang. Mungkin komputer ini bekas dipake pom bensin, yang harus memulai segala sesuatu dari nol. Kalau peristiwa itu terjadi, pose andalan gue adalah ngejambak rambut sendiri sambil tereak, "AAAAAAAAAAAAAAAAAAA..."

Selain kenalan dengan komputernya -sesepuh dari segala komputer di dunia-, tentu aja gue harus kenalan sama orang-orang yang ada di sekitar gue satu demi satu. Sambil ditemani seorang senior, gue keliling lantai 6, tempat dimana gue bekerja. Berbekal model muka cengar cengir ala kuda tetanus plus kata perkenalan standar, "Kenalin, Mirzal, anak Pajak baru..." gue nemuin semua orang yang ada disana.

Dan walaupun mulut gue sedikit berbusa gara-gara kenalan sama sekian puluh orang, tetep aja gue gak afal nama dan muka mereka. Gak apa-apa, yang penting gue gak lupa sikat gigi #gaknyambung.

Setelah selesai kenalan sama komputer dan orang-orang yang bakal bekerja sama dengan gue ke depannya, agenda gue selanjutnya adalah perkenalan dengan pekerjaan yang bakal gue hadapi entar. Ini adalah agenda yang paling penting.

Dengan menggunakan komputer keluaran pertama yang diciptakan oleh manusia nomaden dengan memakai kapak perimbas, gue dijelasin tentang detil pekerjaannya. Tugas gue adalah meng-handle seluruh pajak penghasilan. Terutama pajak penghasilan artis-artis ibukota yang bisa gue liat di layar kaca. Walhasil, gue jadi tau kalau nama asli Komeng adalah Alfiansyah dan Wildan Delta adalah nama Kiwil sebenarnya.

Proses pengajaran gue berlangsung +/- 4 jam. Kepala gue diisi semua pengetahuan, tata cara, dan proses yang diketahui oleh senior gue. Dan berhubung dia udah mau resign mau gak mau gue harus segera menguasai seluruh ilmu yang dia warisin. Otak gue yang lebarnya sejengkal dimasukki berbagai macam ilmu dalam tempo yang relatif singkat. Kalau aja isi kepala gue bisa di X-Ray, kontur otak gue bakal lempeng, gak kriting, dan belahannya udah bukan di tengah, tapi di pinggir kayak rambutnya Hitler.

Menjelang malam, saat gue udah bisa pulang, otak terasa beku. Segala pengetahuan yang didapet tadi harus segera dicairkan biar bisa meresap di otak. Capek, iya, tapi gue merasa tertantang. Ini adalah lembaran baru dalam hidup gue. Ibarat pembangunan gedung bertingkat, fase yang sedang gue alami ini adalah sebuah proses peletakan batu pertama. Apakah batu kecil itu bisa berkembang menjadi gedung yang tinggi dan menjulang?

Harapan tetap ada, ujung pelangi menunggu disana, saatnya bangun dan mengejarnya.


mari kita lanjut...

Senin, November 15, 2010

Supergayus

Headline berita akhir-akhir ini selalu diisi oleh dua hal :
  • Update terbaru tentang bencana-bencana yang terjadi di Indonesia
  • Pria hitam dengan wajah mirip Tukul Arwana, bergaya rambut seperti Ariel Peterpan
Untuk berita yang pertama, berangsur-angsur muncul hal baik tentang bencana. Rehabilitasi, aktifitas Merapi yang cenderung berkurang, pembangunan di Mentawai, dan lain sebagainya. Semoga tidak ada lagi bencana yang menerpa bumi pertiwi kita tercinta ini. Amin.

Yang kedua, well, ini yang menarik. Belum lama gue ngeliat kasus video porno 'mirip artis'. Kenapa dibilang mirip? Karena sampai saat ini, yang bersangkutan menolak tuduhan bahwa dia ada di video porno tersebut. Video porno itu sendiri sempat membuat kehebohan dan salah urat pada bagian leher bagi orang-orang yang menontonnya. Sebuah kasus yang masih dalam proses. Entah kapan selesainya.

Baru-baru ini muncul lagi orang dengan model rambut sama, belah tengah, muncul secara visual di depan publik. Dia sedang nonton pertandingan tenis internasional di Bali yang dihadiri oleh salah satu diva dunia tenis, Ana Ivanovic. Duduk di tribun, di sebelah Ibu-ibu berjilbab, dia tampak tekun menonton pertandingan dengan tangan dilipat. Tak lupa dia mengabadikan gambar dengan smart phone yang dia pegang.

Dia adalah (terduga) Gayus. Seorang tersangka kasus pajak, mantan pegawai Direktorat Jendral Pajak yang sedang dalam proses pidana. Kasus ini sempat menjadi sorotan nasional dan membuat orang malas membayar pajak, karena melihat penyelewengan yang dibahas oleh barisan media yang ada di Indonsia. Gayus, sebagai pesakitan, tentu saja dia ditahan oleh pihak berwenang.

Dunia persilatan Indonesia langsung heboh begitu melihat (mirip, katanya) Gayus terlihat di Bali, bukan di tahanan Brimob Kelapa dua. Dia terlihat anteng nonton tenis di tribun. Nekat bener. Dia lupa kalo dulu sempet ditungguin satu Indonesia karena ngumpet di Singapura. So pasti semua orang tau gimana bentuk muka dia, mirip Tukul Arwana.

Well, dia bukannya tidak menyadari akan popularitas yang dia punya. Oleh karena itu dia merubah model rambut untuk menyamarkan wajahnya. Kalau biasanya model pendek dan botak, kali ini dia bermodel rambut belah tengah layaknya Ariel Peterpan saat baru muncul. Dia merasa seperti Superman, yang berhasil menyembunyikan jati dirinya hanya dengan menambahkan segaris rambut keriting di jidat dan melepas kacamatanya.

Sayang seribu sayang, Gayus bukan Clark Kent dan orang-orang di dunia nyata tidak sebodoh di dalam komik. Tanpa perlu penelitian yang komprehensif, semua orang tahu kalau dia adalah Gayus. Tersangka kasus penggelapan pajak dan suap menyuap antar pemeriksa pajak dengan perusahaan yang diperiksa. Kalau menurut gue, ketimbang merasa seperti Clark Kent, lebih baik dia jadi Peter Parker yang harus pake topeng lengkap dari kepala sampe kaki untuk menyembunyikan identitasnya sebagai Spiderman. Pake kostum apa kek, badut Ancol juga boleh. Sekalian bisa menghibur anak-anak di sekitar lapangan.

Menginap di hotel Westin yang mahalnya naujubillah himinjalik, Bapak belah tengah itu menyeret orang-orang yang dia suap agar bisa keluar penjara ke dalam masalah pelik. Dan secara tidak langsung, citra Kepolisian semakin tercoreng dengan adanya kasus ini. Bapak Gayus, kalau anda mau kabur tolong lah jangan ke event internasional seperti ini. Indonesia tidak bodoh, Indonesia bisa mengenali wajah anda yang kadung populer. Seberapa tegang pun urat leher anda untuk meyakinkan orang bahwa yang terlihat di Bali itu bukan anda, tetap saja anda tidak akan berhasil. Itu mungkin berhasil kalau saja Ariel Peterpan meng-klaim bahwa yang ada di Bali itu adalah dia dan yang main dalam video porno itu adalah anda. Tukar peran.

Pak Gayus, be as smart as your phone are...

Parade Gambar Gayus

Ini bisa jadi referensi samaran Gayus selanjutnya



Atau mungkin dia bisa berkelit bahwa yang di Bali itu bukan dia, tapi Afgan



Wajahnya terlihat polos


Beberapa orang yang bisa dijadikan sanggahan oleh Gayus



mari kita lanjut...

Rabu, November 10, 2010

Hari Pahlawan (Pahlawan Angkot)

- 10 November -

Tanggal itu mempunyai makna sebagai hari Pahlawan. Hari dimana kita dihimbau untuk mengingat pahlawan, merenungi, dan memaknai perjuangannya. Ah, tulisan awal gue sungguh cocok untuk ditaro di buku PPkn. Dipelajari oleh anak-anak SD. Siapa tau yang baca tulisan gue jadi presiden Amerika kayak Barrack Obama, atau minimal supir president taksi. Siapa tau.

Ngomong-ngomong soal presiden Obama, dua hari ini Indonesia heboh akan kedatangan dia. Udah kayak nyambut Nabi Isa turun ke bumi. Kampus UI yang bakal dia kunjungi tiba-tiba penuh TNI dan bule-bule berbadan gede dan berkacamata item. Sangat kontras antara TNI yang hitam legam diterpa matahari sama bule yang putih bersih mandi pemutih. Mereka terlihat menenteng senjata. Yang TNI bawa senapan gede-gede, yang bule entah bawa apa dibalik jas-nya. Semua dilakukan untuk mengamankan daerah UI sebelum kedetangannya.

Saat beliau dateng, jalan Thamrin-Sudirman-Tol Dalam Kota ditutup. Khusus biar dia gak ngerasain kemacetan. Sesampenya di istana negara, semua menteri hadir disana. Disalamin satu-persatu. Bahkan salah satu menteri yang terkenal dengan ketidak-mauan-salaman dengan wanita yang bukan muhrimnya, ikut-ikutan nyosorin tangan Michelle Obama, sang first lady. Salaman yang menjadi perbincangan hebat karena beliau membantah nyosor, dia bilang si Ibu yang nyosor. Sayang, Bapak Menteri lupa ada teknologi bernama kamera. Mata merangkap otak, bisa melihat dan menyimpan memori.

Melihat kedatangan Mr. Obama di televisi, gue bisa menilai kalau dia seperti seseorang yang pulang kampung. Matanya berbinar, seakan menarik ingatan-ingatan dia saat disini. Masa-masa kecil dia, masa pembentukan dia menjadi sosok seorang Presiden. Dia satu-satunya Presiden yang memiliki kedekatan personal dengan Indonesia. Banyak orang bilang itu lebay, karena dia cuma sebentar disini. Sebenarnya itu bukan lebay, itu prestasi. Indonesia ternyata bisa membentuk personality seorang tokoh dunia, dimana personality itu dominan terbentuk pada masa kecil seorang manusia, sebagai dasar untuk menjadi dewasa.

Pret. Semua puja-puji itu sirna keesokan harinya, 10 November 2010. Di angkot 129 jurusan PAL - Pasar Minggu, di samping supir berlogat betawi yang memakai peci. Pagi-pagi jam 7 gue ada di PAL. Tujuan gue pengen ke Pasar Minggu untuk lanjut lagi ke Tendean. Mau tes kerja. Berusaha untuk promosi dari jabatan gue sekarang sebagai luntang-lantung profesional.

Yang namanya tes kerja, gue gak boleh telat. Gak boleh ngasih penilaian jelek. Untuk itu gue berangkat jam 6 pagi dari rumah, sedangkan janjiannya jam 9. Depok-Tendean sebenarnya deket, namun kemacetan selalu aja membuat yang dekat menjadi jauh, yang jauh mendingan puter balik, pulang, dan tiduran sambil garuk-garuk pantat.

Baru sampe Jalan Raya Bogor, yang mana dimana ada apa dan bagaimana, cuma seimpritan dari rumah, udah mulai macet parah. Kalau jalanan diibaratkan kue, dia adalah sebuah kue lapis. Lapisan pertama isinya motor, kedua angkot, ketiga mobil pribadi. Kemacetan ini gak seperti biasanya. Terlalu padat, penuh, dan pepet.

Hal itu imbas dari ditutupnya Jl. Juanda Depok. Dikarenakan Obama mau ngasih kuliah umum di UI, jalan ke arah Depok ditutup dan orang yang dari Depok dialihkan ke Jl. Raya Bogor. Truk, angkot, mobil pribadi, dan bus membaur jadi satu disana Padahal normalnya jalan itu cuma cukup untuk dua mobil aja. Alhasil, macet total jadi harga mati. Dari Juanda ke PAL aja butuh waktu 45 menit dari biasanya cuma 15 menit. Di PAL, gue langsung naik 129, ngeloyor ke Pasar Minggu.

Perjalanan di Kelapa Dua berjalan lancar. Pada awalnya. Keadaan mulai runyam saat angkot gue diberhentiin Kopassus disuruh puter balik. Jembatan UI resmi ditutup. Daerah itu dibikin steril juga menyambut Bapak Barry. Konklusi : Margonda tutup, Jembatan UI tutup. Cuma ada dua jalan yang masih dibuka, Jl. Raya Bogor atau terbang di langit pake baling-baling bambu.

Untungnya sopir angkot gue canggih. Dia langsung ngebelokin mobilnya ke jalan antah berantah. Gue gak tau ujungnya dimana. Yang pasti jalannya sempit, belok-belok, dan beberapa ada yang nanjak parah. Gue berasa ikut Jejak Petualang.

"Jalan ini alternatif untuk ke Ps. Minggu mas," Abang angkot sepertinya bisa membaca pikiran gue yang bingung dan rada-rada cemas. Takutnya gue dibawa ke Puncak dan disuruh kawin kontrak.

Belok sana, belok sini. Angkot bergerak tidak pasti dan gue gak ngarti. Kalo gue disuruh balik ke sana dan diminta untuk nunjukkin jalan, gue bakal ngasih GPS ke orang yang minta ditunjukkin jalan. Gue aja masih gak yakin apakah presiden di tempat itu masih SBY atau bendera yang dipake masih Merah Putih. Jangan-jangan kepala negara masih Adam Malik dan bendera masih Merah Putih Biru.

Jalan yang berkelok-kelok dan berliku itu ternyata tembus ke komplek Kopassus di daerah Cijantung. Tepat di depan Mall Graha Cijantung. Angkot gue bergerak menuju arah Condet dan voila, macet juga. Ratusan motor berjubelan di jalan dua arah tersebut. Ratusan motor yang harus diterjang sama abang angkot gue saat mau memutar balik, keluar dari kemacetan yang berpotensi membuat peci abang angkot hangus karena kepalanya menjadi sangat panas.

Selesai memutar balik, diiringi ratusan pasang mata yang menatap angkot gue dengan tatapan benci, angkot gue bergerak menuju Pasar Rebo. Dan, bisa ditebak dengan mudah, terjadi kemacetan parah. Mau gimana lagi, ini adalah jalan yang paling mendingan. Seenggaknya jalannya lebar dan masih bergerak walaupun cuma 3-4 km/hari.

Muke abang angkot udah nekuk, asem, dan kecut. Cocok buat bumbu rujak atau Ibu-ibu hamil. Udah muke bentuknya gitu, masih ada aja tukang buah dan tahu sumedang keliling ngegodain, "Macet ye be. Obama lewat, macet."

Abang angkot langsung ngeliatin, pasang muka sangar, "IYE. UDAH TAU!" Bikin tukang buah keliling itu kaget, trus kabur ngeloyor pergi. Masih untung dia gak dikeprok setir mobil. FYI, merk-nya MOMO lho. Setir racing buatan Italy. Tau bener tau kagak. Siapa tau buatan Pekanbaru, jadinya MOMO Geisha.

Abang angkot gue itu sebenernya orang baik. Sangat baik malah. Begitu gue bilang ada tes kerja jam pagi, dia langsung masuk tol. "Biarin aja lah mahal dikit. Kesian abisnya," duilah Bang, untung elo cowok. Kalo cewek udah gue lamar kali. Lagian mahal kalo kawinnya mesti ke Belanda dulu.

Suara mesin begitu menggelegar begitu masuk ke dalem tol, seperti ada di dalam mobil Formula 1. Bedanya kalo Formula 1 mobilnya ditempel stiker perusahaan. Kalo ini ada tempelan 'Selain Playboy Dilarang Masuk' lengkap dengan logo kelinci mesum yang dicoret. Gak sampe 20 menit, gue udah sampe di LP31 Pasar Minggu. Tempat gue janjian sama Mo, yang dipanggil tes kerja juga. Berkat abang angkot, gue bisa sampai tepat waktu, jam 9 tepat.

Pahlawan menurut gue bukan cuma orang yang fotonya ditempel di dinding-dinding lengkap dengan biodatanya, dipigura, dan harus dibeli terlebih dahulu. Pahlawan adalah orang yang berandil dalam kehidupan gue, berkontribusi walaupun cuma setitik jarum, ataupun sebesar alam semesta. Ibu, Bapak, teman, guru, atau orang-orang asing yang berjasa. Semua bisa menjadi pahlawan, entah itu diingat atau tidak. Gue akan berusaha mengingat setiap kebaikan yang diberikan oleh orang lain. Salah satunya melalui tulisan. Dan untuk kali ini, pahlawan gue adalah Abang Angkot.


SELAMAT HARI PAHLAWAN
"setiap orang bisa menjadi pahlawan bagi orang lain"


mari kita lanjut...

Kamis, Oktober 21, 2010

Posting Aneh

Jakarta, 22 Oktober 2010

Macet.

Macet luar biasa.
Macet tak ada habisnya.
Pantat saya keringat basah.

Itulah puisi getir tentang keadaan gue saat ini. Dimana gue lagi ada di bus TransJakarta arah Pasar Rebo. Untungnya gue dapet tempat duduk. Walaupun... keadaan tetap tidak nyaman. Di depan gue, ada bapak berbaju batik, bertopi hitam, bercelana coklat. Sudah sejak dari PGC dia nangkring di depan gue. Dan sejak saat itulah...

Jarinya selalu masuk ke mulut, entah lagi nyari apaan. Kemungkinan sih minyak bumi atau batu bara.

Kalo udah nemuin apa yang dia dapet. Tanpa peduli keadaan sekitar yang sangat padat, ramai, dan sama sekali tidak merayap, dia ngeludah. Ah, menjijikkan. Aneh sekali bapak ini. Pengen rasanya pindah. Tapi keadaan bus yang terlalu ramai ini membuat gue gak bisa apa-apa. Lagian kalo gue berdiri, jangan harap bisa duduk lagi. Karena ada puluhan orang yang mengincar tempat gue itu. Gue seperti kena skak mat, gak bisa pindah, nontonin dia ngeludah.

Aneh. Weird. Itu lah keadaan gue saat ini. Weh. Gak enak rasanya. Apa aja yang gue lakuin hari ini rasanya salah. Aneh. Entah kenapa. Entah apa salah hamba.

Mari kita putar beberapa jam ke belakang, saat gue ke 7/11, iseng pengen beli coklat hangat. Kunjungan pertama gue ke 7/11 sendirian. Biasanya gue ditemenin cewek gue. Dia lah yang ngajarin gimana cara mesen makanan, minum, ambil saos, dll. Persis kayak suster panti jompo lagi ngangon pasien lansia. Sedangkan pada saat itu, gue sendirian. Bingung nyari gelas. Eh, giliran ketemu gelasnya, yang keluar malah aer panas. Apa-apaan ini mesin, pasti rusak. Yaudah gue ketok-ketok aja. Eh, malah dimarahin satpam. Dia bilang gue salah pencet.

Selesai minum, gue kembali berangkat. Bertualang. Tujuan gue kali ini bikin Kartu Kuning Pencari Kerja, legalisir Kartu Keluarga (KK), dan minta Surat Keterangan Sehat. Benang merah dari 3 item itu adalah : birokrasi. Salah satu kata yang paling gue benci.

Dari 7/11 Salemba, gue jalan kaki sedikit untuk naik Metro Mini nomer 49. Bis-nya biasa-biasa aja. Yang luar biasa itu gue. Luar biasa bengongnya. Di saat seharusnya gue turun di Pasar Genjing untuk nyebrang dan naik APB, gue malah bengong gak keruan. Gak tau mikirin apa. Tiba-tiba aja pikiran jadi kosong dan tiba-tiba juga gue udah sampe di depan Hotel S***L.

Tanpa pikir panjang gue turun disana. Sebuah hotel yang menjadi pusat komunitas orang Arab kegedean nafsu. Biasanya mereka seragam pake gamis, jenggotan kaya ustad tapi kelakuan bejat. Kanan-kiri nya selalu merangkul wanita berpakaian minim, ketat, dan berdandan menor. Ah, tapi sebagai kaum muda intelektual yang selalu menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah, gue dilarang berburuk sangka. Siapa tau itu ibunya. Atau adiknya. Atau anaknya. Atau mungkin... pawang uler.

Eniwei, tujuan gue disana bukan nyari kenalan Arab. Gue masih gak berani adu pedang. Terutama kalo lawan gue pake rudal Scud. Tujuan gue kesana untuk nyari kendaraan yang lewat Pramuka, trus ke Kelurahan ngurus Kartu Kuning, legalisir, dung dung pret.

Satu per satu gue liatin angkot yang lewat. 46, 49, dan M35. Itu lah angkot yang sering lewat di depan gue. Gue mulai menganalisis. Kalo 46 dan 49 itu, dia lewat Utan Kayu. Enggak mungkin dia langsung ke Pramuka kalo gue naik dari situ. Jadi jelas, gue milih M35. Bukan berdasarkan analisis, tapi feeling. Seinget gue dia lewat Pramuka. Garis bawahi kata 'Seinget Gue'. Sayangnya, gue lupa kalo gue gak inget.

M35... ternyata bergerak ke arah Utan Kayu juga. Kamfret. Gue salah arah. Rugi deh gue ngeluarin dua ribu perak terakhir gue cuma buat salah arah.

Pikir punya pikir, gue mutusin untuk turun di Indomaret. Mau mecahin duit karena uang kecil terakhir gue adalah dua ribu yang dikasih ke abang angkot M35. Setelah turun dari angkot, gue jalan ke Indomaret. Saat gue jalan masuk ke sana gue ngeliat ada sekelompok cewek pake kemeja putih dan rok item. Mereka lagi di briefing sama cewek yang lebih tua. Sepertinya anak-anak trainee.

Mereka disuruh mencari sesuatu yang disembunyikan di sekeliling toko. Ada 9 barang, kata instrukturnya. Mungkin selain jadi manajemen toko, mereka juga dilatih sebagai detektif, in case ada barang yang ilang.

Sebodo amat lah. Kenapa gue malah merhatiin mereka, padahal gue belum menemukan barang apa yang bisa dibeli buat mecahin duit. Celinguk kanan, celinguk kiri, akhirnya gue nemu barang yang cocok : SHAMPO. Tiba-tiba gue keinget kalo shampo di rumah udah abis. Gue langsung ambil shampo favorit gue dan ngacir ke kasir.

Saat di depan kasir, saat gue mau bayar itu shampo, gue baru merasa nyesel. Buat apa gue beli shampo disaat pulsa hape gue gak ada. Mendingan beli pulsa buat internetan ketimbang beli shampo. Emangnya gue pengen mandi di tengah jalan!? Dan ini bukan masalah tidak adanya air di tengah jalan . Sering ujan kok akhir-akhir ini. Yang gue belum siap adalah popularitas yang bakal gue dapet kalo mandi di tengah jalan. Gue gak siap kalo tiap jalan ditanyain, " Hey Mirzal, panu di pantatnya udah sembuh belom?" #aneh1

Abis dari Indomaret, gue naik angkot yang bener, trus ngacir ke Kelurahan. Disana ada satu loket yang dipakai untuk segala macam urusan. SALOME. Satu Loket Rame-Rame. Gue langsung ngedatengin Ibu-Ibu yang ada di dalamnya.

"Pagi bu, mau ngurus kartu kuning tuh gimana ya?"

"Yah, bukan disini... Di Kecamatan. Jadi dari sini, lurus... bla.. bla.. bla..."

Gue gak tau dia bilang apa lagi selanjutnya. Yang pasti gue dapet informasi kalo gue salah alamat. TITIK. Oleh karena itu, gue cabut lagi. Kali ini menuju Puskesmas buat minta Surat Keterangan Sehat. Karena Kecamatan-nya agak jauh dari tempat gue berada., gak efisien kalo kesana dulu. Di tempat Puskesmas, gue kembali luntang lantung. Gak tau harus ngurus kemana. Ngurusin badan aja gue gak bisa-bisa, apalagi ngurusin beginian.

Akhirnya, setelah tanya sana-sini, gue tau musti kemana. Gue harus ke lantai dua, loket pendaftaran. Gue pun menyusuri jalan yang benar, jalan yang ditunjukkan oleh Ibu-Ibu berbaju coklat. Aneh, loket yang gue tuju itu masih tutup. Loket itu masih tertutup gorden berwarna krem (kalo kata orang Bekasi, hordeng [h-o-rr-deng]). Gue ngeliat jam, ternyata masih jam setengah 12. Weh. Waktu istirahat mereka lebih cepet dari anak SD. #aneh2

Terpaksa gue tinggalin Puskesmas itu, menuju ke rumah sepupu gue. Peregangan kaki sambil ngadem. Keluar dari hiruk pikuk dan cuaca panas. Lagian percuma juga gue tetep disana, gak ada lagi yang bisa dilakuin Mau gue nangis sambil salto, posisi lilin, atau tiger sprong, tetep aja gak bakal diurusin.

13:00 [Kembali ke Puskesmas]

Loket itu masih aja ketutup gorden. Tak terlihat ada orang apa enggak dibaliknya. Gue malah curiga itu bukan loket. Itu sebenarnya warnet, yang kalo gak dipake berubah jadi loket. Pengen rasanya ngintip ke dalem, tapi takut dicolok stetoskop.

13.15, loket itu baru buka. Gue ambil formulir yang ada disana, isi baik-baik, dan taro lagi ke loketnya. Setelah itu, gue kembali disuruh nunggu. 5 menit... belum dipanggil... 10 menit... belum juga... 15 menit... tetap aja... 30 menit... gak berubah. Gue sempet ngebaca tulisan yang ada di depan pintu 'Biarkan Kami Melakukan Pekerjaan Kami Dengan Tenang'. Kalo kayak begini mah, bukan tenang lagi. Pingsan. #aneh3

Setelah 1 jam menunggu, gue baru dipanggil masuk ke ruangan. Gue disuruh ke timbangan, disuruh handstand. Hehee. Dikira Tes TNI apa. Gue disuruh nimbang berat badan. Beh. Mengerikan. Karena menurut penelitian ahli dari seluruh dunia, gen yang paling banyak menyebabkan stress adalah keGENdutan. Dan ternyata, gue termasuk golongan orang stress.

Kelar cek berat badan, lanjut cek tinggi. Setelah itu... udahan. Yak, udahan. Gak ada cek tensi, kardio, dan jantung. Cukup berat dan tinggi. Dan gue menghabiskan 1 jam idup gue cuma untuk tau berat badan dan tinggi gue. Oh, terima kasih. Mendingan gue ke tukang beras yang merangkap profesi jadi tukang jait.

Tugas gue masih belum selesai. Gue masih harus ke Kecamatan, ngurus Kartu Kuning. Kartunya para pencari kerja. Bukan seperti kartu kuning-nya wasit bola, yang berfungsi untuk memberhentikan orang lagi kerja. Dari Puskesmas itu, gue naek ojek ke Kecamatan. Badan udah lemes karena belum makan sejak Nyonya Meener merangkak, belum berdiri. Hadeh. Semua hanya untuk lembaran kertas legalitas.

Bapak pengurus Kartu Kuning gue ini ternyata tidak banyak tingkah lakunya. Bahkan cenderung pasif. Dia sudah terlihat tua dan lelah. Sesuatu hal yang sangat bisa dimengerti. Kalo gue disuruh untuk bikin kartu kayak begituan selama bertahun-tahun, mungkin gue bisa muntah di depan orang yang ke 1756 saking enegnya. Walaupun gak se-eneg ngeliatin orang ngorek-ngorek mulut selama 2 jam berturut-turut sih.

Kartu Kuning itu selesai tanpa hambatan yang berarti. Alhamdulillah. Selesai sudah agenda hari ini. Tinggal pulang dan ongkang-ongkang kaki. Atau biar puas, surat-surat itu di sablon ke T-Shirt dengan tulisan 'I DEFEAT BUREAUCRACY'. Gue pun melangkah pasti menuju tukang ojek. Sampai pada saat gue inget sesuatu hal yang gue lupakan. Gue lupa minta legalisir foto kopi Kartu Keluarga.

Alhasil gue kembali masuk ke dalem Kecamatan. Sialnya, Kecamatan bukan tempat legalisir. Tempat legalisir yang benar adalah di Kelurahan. Yak, Kelurahan. Tempat yang pertama kali gue datengin. Sableng. Gue musti balik lagi ke tempat awal, disaat pikiran gue berpikir kalo ini semua udah berakhir. Ojek yang seharusnya nganter gue ke tempat busway malah ke Kelurahan.

Sampai di Kelurahan, gue langsung menuju loketnya dengan nafas tersengal-sengal dan perut terlapar-lapar. Ketemu Ibu-Ibu yang tadi lagi.

"Loh, kamu ngapain lagi kesini?"

Fotokopi KK dan KTP gue kasih ke dia, "Mau legalisasi fotokopi KK sama KTP bu"

"KK aslinya bawa?"

"Enggak bu"

"Yah, gak bisa kalo begitu," sambil ngebalikin fotokopian gue.

"Aduh bu, gak bisa dibantu?" ujar gue mengais harapan. Pengen rasanya gue minta tolong kayak Pak Tarno, "Tolong dibantu ya... Bim Salabim jadi apa... prok prok prok!"

"Yah... gimana ya? Bisa gak Bu?" dia nengok ke belakang, ke arah Ibu-Ibu yang jauh lebih tua daripada dia. Keliatannya sih indukan-nya (disangka lele kali yah ada indukan). Dengan enteng dia cuma angkat tangan, "ENGGAK! Kalo gak ada KK asli, Lurah gak mau tanda tangan."

Putus asa. Gue gak bisa ngapa-ngapain lagi, "Yaudah. Terima kasih"

Kenapa sih untuk legalisir aja harus nunjukkin KK aslinya? KTP bukannya udah cukup nunjukkin domisili dan identitas gue? Bukan kah itu jadi riskan ya ngebawa dokumen sepenting itu kemana-mana? Atau, apa emang ini salah satu cara agar birokrasi itu semakin sulit? #aneh4

Selesai dari Kelurahan, waktu masih menunjukkan pukul 15:00. Masih ada waktu tersisa sedikit sebelum jam pulang kantor. Gue berniat ke CCF Salemba untuk ambil brosur Europe On screen. Gue berdiri di seberang Pasar Genjing untuk naik 905 atau NE 2.

Apa lacur, bis yang gue tungg gak dateng-dateng. Padahal bentar lagi jam 4 yang notabene udah ada beberapa orang kantoran yang pulang. Yaudah daripada gue kejebak macet total, mendingan gue langsung pulang naik busway.

Dan emang dasar hari ini adalah hari yang salah. Pas gue lagi di halte busway, lewat bis Jepang berwarna hijau. Itu adalah NE 2. Gak lama setelah bis itu lewat, dateng lagi bis warna hijau yang ukurannya jauh lebih besar ketimbang yang lewat sebelumnya. Itu adalah 905. Ada apa ini!!??#%$%$^@@!! #aneh5

Dan sekarang, gue lagi ada di bus TransJakarta. Di tengah-tengah kerumunan penumpang, berhadap-hadapan dengan Bapak-pengorek-mulut. Mungkin dia terbiasa menyimpan stok makanan di balik gigi-nya. Hadeh.

Hari ini sungguh melelahkan. Capek fisik dan mental. Semua hal yang gue lakukan jadi salah pada hari ini dan membuat gue merasa....

ANEH



mari kita lanjut...

Rabu, Oktober 20, 2010

Angkot Furious

Selembar kertas itu bernilai 5 tahun. Saat semua persyaratan untuk mendapatkan kertas itu selesai, gue belum bisa meraba, menyentuh, dan memegangnya. Kertas itu masih muter entah dimana. Entah di percetakan, bagian akademis, atau di meja Rektor. Atau justru masih diketik satu-satu? Itulah misteri alam. Setelah hampir 2 bulan menunggu, akhirnya gue dapet kabar kalo kertas itu telah keluar. Wew. Sebuah kabar bagus. Untuk itu gue langsung cepet-cepet mandi pagi dan berangkat ke kampus. Naek angkot, pastinya.

Udara panas pada hari itu sungguh abnormal. Panas banget! Mungkin kalo gue mecahin telor di aspal bakalan jadi telor mata sapi rasa aspal. Di pinggir jalan gue menunggu dengan setia angkot yang tak kunjung datang. Tumben banget angkotnya lama. HEH. Mereka kayaknya lagi bersekongkol sama matahari, untuk menciptakan suatu keadaan penyiksa. Setelah menunggu beberapa saat, baru lah muncul warna biru dari kejauhan yang mendekat ke arah gue. Bukan, itu bukan Doraemon. Itu angkot yang gue tunggu.

Di dalem angkot ada tiga cowok dan dua cewek. Kalo sama gue, berarti ada empat cowok. Sedangkat yang dua cewek, yang satu mandi keringat kepanasan. Dia pake legging dan karena lagi keringetan, jadi keliatan kayak lagi pipis di celana. Yang satu lagi main Blackberry. Eh, Blueberry ternyata. Dia sibuk ketak-ketik gitu. Sebuah pose standar anak-anak muda sekarang. Contohnya kalo di mall, setiap cewek pasti jalan sambil nunduk, ngeliatin hape. Kalo gak dipencet-pencet, ditenteng sambil jalan. Mungkin untuk persiapan nimpuk jambret yang berani ngejambret dia.

Angkot yang gue tumpangi itu jalannya amat sangat lambat. Kayak siput jalan jongkok. Bikin kesel aja. Walaupun berkali-kali di klakson sama mobil lain yang terhambat gara-gara dia, tetep aja jalannya lambat. Santai banget kayak gak ada dosa. Kayak semua orang mempunyai waktu luang sebanyak dia. Kayak udara lagi dingin aja. Sayangnya, UDARA LAGI PANAS BUNG!

Tiba-tiba, terdengar raungan mesin dari belakang. Raungan kasar yang menggelegar. Campuran mesin turbo sama mesin peres kelapa.Bersatu padu dengan dengkingan klakson yang bunyinya kayak sirine ambulans. Sungguh sangat annoying. Setelah meneliti lebih dalam dan melakukan studi banding ke Antartika, seperti para terhormat kita, gue bisa melihat lebih jelas mobil yang ada di belakang. Ternyata mobil angkot juga. Dan dia terlihat tidak sabar.

Angkot saingan itu langsung menyalip angkot yang gue tumpangi. Sambil nyalip, gak lupa dia menggeber mesinnya. Seakan-akan berkata, "Lama banget lo kampret!". Sopir angkot gue langsung misuh-misuh, "An**ng, angkot orang Padang tuh. Belagu banget padahal baru narik angkot." Weh. Bawa-bawa suku doi. Gue sebagai masyarakat Padang merasa tersinggung. Tapi kalo gue ribut juga, gue sama kayak mereka. Mendingan nonton, lebih seru dan kocak.

Temennya sopir, yang duduk tepat dibelakangnya, juga ikutan panas. Dia juga menggerutu gak jelas. Saat angkot depan -yang tadi nyalip- berhenti buat nurunin penumpang, dia ngeluarin badan, "WOY PANT****K!! Jangan belagu kau yaa!!!!! Biasa aja nyopirnyaa!!"

Ow ow ow. Keadaan mulai panas rupanya. Angkot depan bales tereak, "DIAM KAU! JANGAN MACAM-MACAM KAU!" Ternyata dia orang Batak. Yang ada di angkot gue juga orang Batak. Batak sama Batak berantem. Sama-sama keras. Gue nonton. Males ikut-ikutan. Angkot depan gue gak turun ternyata. Mungkin karena di tenga jalan dan keadaan dia lagi bawa penumpang. Setelah tereak dia cuma lanjut jalan.

Setelah kejadian itu, mulailah balap liar antar angkot. Untuk memudahkan, gue namain angkot yang gue naikin dengan nama Angkot Oke. Sedangkan angkot saingannya gue namain Angkot Aye.

Saat Aye mulai melaju, Oke menyalip dia dari belakang. Tipis sekali selisihnya. Mungkin sekitar 0,2451 cm. Udah gue ukur sendiri pake bulu idung. Tak lupa dia menggeber mesin begitu selesai menyalip. Knalpot-nya jelas udah di modif. Mungkin udah ditaro speaker merk SANNY yang treble-nya over di dalem biar suaranya tambah sember. "Mampus," kata temennya sopir. Dasar mental provokator., keseringan kumur-kumur pake bensin kali. Setelah menyalip dengan teknik tingkat tinggi tersebut, Aye menghilang di tikungan. Ketinggalan.

Merasa jumawa (juara makan waria), sopir Oke kembali nyetir santai. Dia kira Aye gak bakal nyusul . Sebuah pemikiran yang sangat brilian. Pemikiran yang terbukti salah total. Terbukti, saat dia lagi asik-asiknya nungguin gang kosong (ngarep ada orang lewat disana), terdengar bunyi desingan angin di samping kanan. Udah kayak setan lewat, keliatannya cuma sekelebat. Aye berhasil nyusul Oke. 2-1 untuk dia.

Sopir Oke ngeluarin jurus burnout. Pedal gas diteken dalem dulu, baru koplingnya ditarik. Ngacir. Segala motor, orang jalan kaki, dan tukang somay dikasih angin semilir, saking cepetnya dia nyalip. Beh. Berasa Vin Diesel di film Fast and Furious dia. Tak lupa sebelum nyalip dia ngucapin kata-kata keren dulu, "Biar mampus lo begeng." Udah gitu nyalipnya gak tanggung-tanggung. Truk udah nongol di arah berlawanan, dia tetep aja melaju. Bikin gue ketar-ketir, olahraga jantung. Secara reflek gue pegangan ke pintu angkot. Takut-takutnya kelempar keluar, nyusruk di got. Sebagai pemanis, gue juga mengeluarkan suara pekik tertahan. Sama seperti dua cewek di depan gue.

Proses salip menyalip itu terus berlangsung sampe di ujung jalan. Di pertigaan antara Pekapuran dan Raya Bogor. Keadaan sementara, Oke ada di depan. Di ujung jalan, kedua angkot itu diharuskan menunggu. Karena untuk menyebrang, mereka harus ngelewatin arus kendaraan lainnya. Yang ngatur kapan angkot itu boleh nyebrang apa enggak dinamakan Pak Ogah. Diinspirasi dari tokoh serial anak-anak Unyil yang suka bilang, "Cepek dulu dongg..." Oleh karena itu, selain Pak Ogah, mereka juga sering disebut Polisi Cepek. Tapi jangan coba-coba ngasih cepek ke mereka. Bisa-bisa body kendaraan ditanda tangani pake logaman.

Pak Ogah akhirnya nyuruh mereka berdua untuk nyebrang. Sesampainya di ujung, Oke dan Aye saling bertatapan mata. Romantis sekali. Ditambah lagi panas terik yang selalu menyinari dari atas. Persis kayak kisah cinta Onta padang pasir. "Turun mas..." kata sopir angkot membuyarkan lamunan gue. Nada bicaranya seperti saat orangtua ngelarang anaknya untuk nimbrung saat mereka ngobrol, "Adek maen dulu ya... Tuh liat, Abang lagi loncat indah dari atas genteng." Persamaan dari dua pernyataan itu adalah : gue gak boleh ikutan lagi. Tontonan gratis itu dibubarkan. Gue gak diajak maen. Padahal gue nunggu adegan laga-nya, tapi ternyata filmnya udah abis di awal. Kecewa.

Yah, itulah sopir angkot. Selalu gampang terbakar emosi. Maklum lah. Kalau saja mereka lebih wise, mungkin udah jadi professor.

Atau minimal Guru Ngaji.


mari kita lanjut...

Senin, Oktober 11, 2010

Java Rockin' Land 2010

Masih segar ingatan di kepala gue tentang Java Rockin' Land (JRL) tahun lalu. Ada Vertical Horizon yang memanggil kembali kenangan gue saat SMP, MR BIG yang sukses bikin gue ternganga, dan Mew yang bikin gue serasa ada di dunia dongeng, seperti Alice yang jatuh ke dalam lubang kelinci. Acaranya berlangsung tiga hari dan salah satu harinya jatuh tepat saat gue lagi ulang tahun. Ulang tahun yang diiringi Best I Ever Had (Grey Sky Morning) punyanya Vertical Horizon.

2010, gue kembali kesana. Tempatnya masih sama, di pantai Karnaval Ancol. Tata letak panggung pun masih sama. Ada 7 panggung disana dengan artisnya masing-masing. Pada tahun ini, gue dateng cuma pas hari Sabtu aja. Selain karena gue gak terlalu suka sama artis yang tampil hari Jum'at dan Minggu, keadaan keuangan juga lagi ada pada posisi kritis.

Tahun ini gue ngincer Stereophonics sama Dashboard Confessional. Gue sangat mengagumi keduanya. Walaupun untuk Stereophonics gue cuma tau 4 lagu, gue yakin bakal bisa menikmati penampilan mereka karena kekuatan suara vokalisnya yang keren parah. Sedangkan untuk Dashboard Confessional, musik mereka punya perang penting dalam hidup gue. Berperan sebagai soundtrack hidup gue saat kelas 3 SMA dahulu.

Jam 16.00, gue sampe di pantai Karnaval bareng Gadis. Suasana masih belum terlalu rame dan gue masih sempet duduk-duduk di depan pintu masuk untuk nungguin temen gue yang lain. Jalanan di depan gue serasa catwalk, banyak orang berdandan dengan cap 'Mode Masa Kini'. Yang cowok pake sepatu basket jadul setengah tinggi. Istilahnya model 'Dunk', mungkin. Gue gak tau juga. Gue jarang pake sepatu. Lebih enak pake sendal jepit merk Ando seri F22 yang bisa berubah fungsi jadi pentungan.Yang cewek pada pake sendal (apa sepatu?) berjenis Wedges. Semacam sepatu hak tinggi, tapi solnya ada di semua dasar sepatu. Gitu lah kira-kira penjelasan awamnya. Pokoknya gak enak buat dipake main bentengan.

Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya temen gue yang lain bermunculan. Kita pun langsung masuk ke venue. Lapangan utama venue sangat berantakan. Lapangan yang aslinya adalah pantai itu berubah jadi kubangan lumpur karena ujan yang mengguyur sehari sebelumnya. Jalan disana susah, banyak lubang-lubang lumpur dan sendal jepit mutakhir gue sering nyangkut. Udah gitu lumpurnya suka nyiprat dan nempel di kaki. Terlihat seperti lintah yang nempel di kaki. Gue aja repot kayak gini, apalagi yang pake wedges ya? #mendadakiba

Performers pertama yang gue liat adalah Boomerang. Sebuah band tua dari Surabaya. Penampilannya sih keren, tapi gue gak ngarti. Cuma ada satu lagu yang bisa gue nikmatin. Liriknya ada, "Kubernyanyi..." gitu. Selain itu, gue cuma bisa sok-sok an headbanging belagak ngarti. Padahal aslinya lagi nyari duit jatoh di tanah.

Setelah itu Roxx. Band yang lebih tua lagi. Vokalisnya serem kayak tukang palak. Kalo aja gue ketemu dia di jalan, gue gak bakal ngira dia vokalis band legendaris. Gue bakal ngira dia mau malak dan nyulik gue untuk dibikin video buat minta tebusan. Kemudian videonya diedarkan lewat YouTube dengan memakai C.I.N.T.A -nya XPDC sebagai soundtrack (bagi yang gak tau lagunya, search diYouTube). Dan gue pun terkenal layaknya Sintha-Jojo.

Dua lagu sudah cukup disana. Gue bergerak keluar untuk ke panggung utama, ngeliat Slank yang bakal tampil sebentar lagi. Sesaampainya di panggung utama, gue ada disebelah ibu berjilbab yang lagi dikelilingin cewek-cewek cantik nan seksi. Gue membatin, "Gila nih ibu-ibu, gaul amat nonton konser rock." Tapi setelah gue liat lagi, mukanya terlihat familiar. Oh! Dia adalah Bunda Iffet, manager Slank yang juga ibunya Bim Bim sang drummer. Yeah, gue nonton Slank bareng beliau, The Rock And Roll Mom.

Me With The Rock And Roll Mom

Konser Slank di JRL tetap seperti tahun lalu. Masih ada 'kandang' raksasa di depan panggung untuk para Slankers agar mereka gak bakal memaksa masuk ke dalam venue tanpa bayar. Ujung-ujungnya bakal ngamuk dan ribut. Memang sih cara ini terkesan gak etis, tapi gue ngerti kok alesannya.

Next : The SIGIT. Band yang namanya panjang kalau diurai itu merupakan salah satu band rock n' roll Indonesia favorit gue. Wajar kalo gue sangat menunggu penampilan mereka pada JRL kali ini. Sayang, mereka gak bisa memuaskan gue. Tempo lagu yang mereka suguhkan lambat dan berkesan tidak semangat tampil. Gak terlihat lagi kemarahan dan emosi yang mereka suguhkan tahun lalu. Ditambah lagi vokalisnya pake topi lebar ala Yoko Ono yang membuat dia terlihat seperti ibu-ibu yang lagi kepanasan saat ke pasar. Gak cowok banget lah. Gue langsung cabut nyari makanan.

Selesai makan, gue kembali lagi ke panggung utama. Nungguin Dashboard Confessional yang bakal tampil. Orang-orang udah rame. Gue gak dapet tempat di depan panggung. Gak tembus. Udah kepenuhan sama orang. Untungnya saat konser dimulai gue bisa merangsek beberapa meter mendekati panggung. Karena seperti Sholat Jumat, penonton menjadi padet begitu artisnya tampil.



Playlist yang dia bawain ternyata jauh dari harapan gue. Dia kebanyakan bawa lagu-lagu baru yang gue gak ngerti. Paling cuma 'Belle of The Boulevard' yang gue ngerti. Selebihnya, bengong sambil menggerutu karena kualitas sound yang buruk. Gue baru bisa berjingkrak saat 'As Lovers Go' dan 'Hands Down', yang dipasang sebagai lagu penutup, main. Dan parahnya, no encore. Thanks for the disappointment there Mr. Carraba.

Kelar Dashboard, gue gak beranjak dari tempat gue berpijak. Gak mau kerjadian kayak sebelumnya dimana gue berada jauh dari panggung. Penampilan selanjutnya adalah Stereophonics dan gue sama sekali gak mau melewatkan penampilan mereka dengan nonton dari jauh. Entah kapan lagi mereka dateng. Arkarna yang lagi tampil cuma gue liat dari jauh. Gue gak ngerti juga musik mereka. Gue cuma tau lagu 'So Little Time' yang lagunya ada di album kompilasi FRESH dengan kover bergambar jeruk kuning dan latar belakang putih, pada saat gue SD dahulu. Setelah album itu keluar, kover kaset bajakan selalu bergambar buah-buahan. Entah itu strawberry, pir, atau anggur.

Setelah menunggu sekitar satu jam sambil dengerin 'So Little Time' dan 'Life is Free' -nya Arkarna, Stereophonics pun tampil. Wew. Seperti yang sudah diduga. Suara vokalisnya sangat menghipnotis, walaupun gue gak bisa ikutan nyanyi karena lagunya gak familiar di kuping. Gue baru bisa ikutan nyanyi pas lagu 'Maybe Tommorow'. Sebuah lagu indah yang jadi soundtrack film Wicker Park yang penuh dengan twist cerita mengejutkan.

Great voice there Mr Kelly

Yang bikin gue kesel. Di sebelah gue ada sekumpulan bule mabok yang kerjaannya tereak-tereak. Hooligan nyasar mungkin. Mereka memegang gelas plastik dengan air berwarna hijau di tangan dan berteriak, "NEWCASTLEEE....!!" Itu bule maboknya rese. Gue gak yakin apakah dia mabok beneran apa enggak. Siapa tau mereka itu bule miskin dan aer yang ada di gelasnya itu adalah Tebs. Jadi mereka pura-pura mabok untuk melegalisasikan ke-rese an mereka. Mana badannya lengket lagi kayak kadal. Ampun dah. Saat 'Have a Nice Day' dan 'Local Boy In Photograph' ditampilkan, saat itulah gue membalas dendam. Gue injek kaki bule kadal itu trus nabrakkin badan gue ke dia sampe kelempar ke temen-temennya. Gue bisa ikut jejingkrakan di lagu itu. Semangat tandur. Pantang mundur!

Konser Stereophonics akhirnya ditutup dengan lagu 'Dakota'. Sangat sangat pas sebagai penutup konser. Tempo lagunya membuat semangat dan lagunya sangat familiar di semua kuping penonton disana. Semua orang asik jejingkrakan di lagu terakhir. Loncat-loncat sambil teriak-teriak. What a great performance from Stereophonics!!!

Setelah itu, gue sama Gadis langsung cabut ke mobil. Dia gue anter pulang, gue lanjut ke Depok untuk ikut acara inagurasi jurusan. Sesampenya di Depok. Tepar. Bahkan keesokan harinya gue sempet ketiduran saat melaju di jalan tol.

Capek tapi PUAS!!


mari kita lanjut...

Jumat, Oktober 08, 2010

Tes Kerja Pertama

Untuk masuk ke suatu perusahaan, gue perlu mengikuti sejumlah tes. Salah satu tes yang harus diikuti adalah wawancara, dimana gue harus berbicara sama orang asing yang baru sekali itu gue temuin dan membiarkan dia menilai gue dalam waktu 15 menit. Sebenarnya, gue gak suka dinilai sama orang asing. Mereka merasa bisa tau personaliti gue yang terbentuk selama 23 tahun dalam waktu 15 menit. Dan mereka berhasil membuat gue gugup.

Hal itu gue alami saat gue ikut tes masuk suatu bank terkemuka di Indonesia yang namanya terdiri dari 3 huruf (2-18-9). Tes masuk itu terdiri dari beberapa tahap, tahap pertama adalah tatap muka, pada tahap ini penampilan dan keberuntungan memegang kunci lolos-enggaknya gue ke tahap selanjutnya. Bertempat di sebuah auditorium kecil yang muat menampung sekitar 100 orang.

Sayangnya, peserta yang ada itu sekitar 600 orang dan semua pengen cepet masuk ke ruangan, padahal pintu yang tersedia cuma muat untuk dua orang yang berjalan dempet. Imbasnya, suasana disana persis kayak orang mau mudik naik kereta. Desek-desekkan parah, untungnya gak ada orang ngelempar-lempar anak kecil kayak pas mudik. Ampun.

Setelah dapet giliran masuk ke ruangan, gue harus antri lagi. Kali ini ngantri untuk tatap muka. Setelah mendapat giliran, gue langsung maju ke pojok depan ruangan, ketemu sama pria tua dengan wajah berparas keras.

"Selamat siang Pak," kata gue dengan penuh keyakinan sambil ngasih formulir ke dia.

Dia ngeliat-liat berkas yang gue kasih dan mencoret-coretnya, "Selamat siang... Mmmm... Ini lulus sejak kapan ya?"

"Bulan Juli Pak"

"Oke, besok siap tes ya," kata dia begitu selesai meriksa formulir gue.

"Siap Pak, terima kasih," sambil gue ngeloyor pergi keluar. Setelah itu gue harus nunggu hasilnya yang baru keluar pas Maghrib. Tepat setelah buka puasa.

Maghrib, setelah buka puasa. Gue udah buka laptop nongkrongin website pengumumannya. Alhamdulillah nama gue nongol disana dan gue berhak untuk masuk ke tahap selanjutnya, psikotes dan tes bahasa Inggris, yang bakal dilaksanakan keesokan harinya. Yes!

***

Besoknya, gue kembali ke gedung yang bertempat di daerah Manggarai itu. Keadaannya lebih manusiawi dibanding kemarin. Setiap orang udah dapet nomer dan bangku masing-masing. Setelah menemukan bangku yang bertuliskan nomer gue dan nunggu bentar, kuis-nya pun dimulai.

Tes psikotes menurut gue adalah tes imajinasi. Gue harus membayangkan suatu keadaan dan bagaimana jika keadaan itu diubah. Misalnya ada gambar segitiga dan persegi panjang tumpang tindih, gue disuruh ngebayangin gimana bentuknya kalau dua gambar itu diputer.

Selain itu ada juga tes menggambar. Kalau sebelumnya gue udah dikasih gambar, dalam tes ini gue harus menciptakan sebuah gambar. Gue disuruh bikin 2 gambar, pohon dan orang. Terus terang kemampuan gambar gue jauh dari definisi kata 'Bagus' atau 'Luar Biasa'. Kemampuan gambar gue lebih masuk ke dalam definisi kata 'Ancur' dan 'Lebur'.

Pada kertas pertama gue gambar orang lagi main basket dengan gaya freestyle lagi ngangkat tangan lengkap dengan bulu keteknya. Senyum orang itu terlihat nyengir-nyengir. Maksud gue sih pengen bikin dia seperti sedang menikmati permainanya di lapangan. Tapi karena kemampuan gambar gue, dia terlihat seperti lagi nyengir-nyengir mesum. Mungkin dia bukan seorang atlit, tapi germo yang nyamar buat rekrutmen orang di sekitar lapangan.

Kertas yang satu lagi harus gue isi degan gambar pohon. Disini gue sempet bengong sebentar. Bingung menentukan pohon apa yang harus gue gambar. Gue liat tetangga gue sebelah kiri, dia lagi gambar pohon mangga. Tetangga gue sebelah kanan, mangga juga. Hmm. Mangga. Buah favorit gue. Pohonnya gitu-gitu aja dan buahnya gampang. Jadilah gue gambar mangga.

Pada awalnya gue membuat dahan mangga dengan hati-hati, lekukannya harus rasional dengan daun yang lebat. Tapi begitu pengawas tes udah tereak, "10 menit lagi" gue langsung panik. Langsung aja dahannya gue tarik asal-asalan dan daunnya udah kayak bakso salah urat. Di tengah awut-awutan antara dahan dan daun, baru gue taro buah mangganya. Jadi deh pohon mangga yang cocok untuk muncul di kartun Nightmare Before Christmas.

Begitu pohon mangga gue selesai, masih ada waktu kesisa. Nengok kanan-kiri lagi. Depan-belakang juga. Gue baru sadar kalo semua orang mempunyai pikiran yang sama. Semua menggambar pohon mangga. Wey, pikiran gue terlalu umum. Pikir-pikir sebentar, akhirnya gue punya ide cemerlang. Gambar pohon mangga mimpi buruk itu gue tambahin.

  • Ada bulan sabit di pojok kanan
  • Tambahin awan-awan
  • Kuburan lengkap dengan batu nisannya, dan nama yang tinggal disana
  • Orang lagi pesugihan, plus sesajen dan asap kemenyan
  • Judul gambar nya gue bikin 'Pohon Mangga Keramat'
  • 1 minggu setelah itu, gue dinyatakan lulus psikotes
  • Konklusi : Gue lolos pake bantuan dukun
Kelar psikotes, gue harus ikut tes wawancara. Wawancara pertama gue. Gue belum pernah ngerasain wawancara kerja sebelumnya. Well, ada sih. Pas gue mau magang . Tapi disana gue gak ditanya-tanyain apa-apa. Langsung disuruh masuk dan gak boleh masuk kerja kepagian. Karena kalau datengnya kepagian bakal dibilang selingkuhan OB. Gue gak suka OB. Terutama karena dia laki-laki.

Jadwal wawancara jam 10, jam 9 gue udah sampe dan langsung disuruh briefing. Setelah itu gue disuruh nunggu giliran wawancara. Pada saat itu ada satu orang lagi yang nasibnya sama kayak gue, lagi nunggu wawancara juga. Mulutnya komat kamit ngebacain buku kecil yang ada di tangannya. Sekelebat gue sempet ngeliat tulisan arab di kover buku itu.

Gak mau kalah dengan dia yang lagi baca. Gue ikut-ikutan baca. Apa yang gue baca lebih gede dari dia, butuh dua tangan untuk ngebukanya lebar. Dengan kepercayaan diri tingkat tinggi, gue ngebuka TOPSKOR. Bukannya doa, gue malah ngeliat berita tentang bola. Maafkan saya ya Allah. Bukannya sombong, cuma penasaran.

Orang-yang-baca-doa itu akhirnya dipanggil. Gak lama setelah itu, dia keluar. Tibalah giliran gue untuk diwawancara. Gue langsung menarik nafas panjang untuk menenangkan diri, "Bismillah....!!"

Gue membuka pintu ruangan wawancara. Di dalam ada dua orang yang udah gue pernah gue liat saat tes dulu. Yang pertama adalah orang yang tatap muka sama gue di awal. Yang kedua mukanya mirip Rhenald Khasali. Ngeliat dua orang yang mukanya sangat serius itu, gugup gue seketika langsung muncul. Bahkan gue sampe diingetin untuk nutup pintu.

"Coba ceritakan secara singkat tentang diri kamu"

Gue langsung ceritain tentang hidup gue, mulai dari orangtua, tempat tinggal, sampe kehidupan kampus gue. Sampai sini gue masih bisa mengendalikan diri gue.

"Cita-cita kamu untuk saat ini apa?"

Waduh. Gue baru inget kalo gue belum punya cita-cita. Sebenarnya ada sih. Cita-cita gue pengen menguasai dunia. Tapi kalo gue bilang apa cita-cita gue itu, gue bakal dikira Hitler baru dan dilarang untuk memelihara kumis.

"Gubernur BI Pak"

"Wow, kenapa?"

Nah. Sampai sini gue makin bingung. Gue juga gak ngarti gubernur BI tugasnya ngapain, yang gue tau cuma kerjanya dimana. Di daerah Thamrin. Akhirnya gue jawab asal-asalan, muter-muter gak nentu, "Saya... ingin... mengaturr... tentangg... keuangan... Indonesia"

Jidat orang yang ngewawancara gue berkerut. Gue langsung sadar kalo gue telah berbuat kesalahan. Muncul lah paniknya gue. Badan gue dingin, seperti ada es darah mengalir di dalam pembuluh darah gue.

"Apa gebrakan yang akan dilakukan BI akhir-akhir ini," kata si pewawancara.

"Denominalisasi Pak"

"Coba jelaskan sama saya tentang hal itu sambil berdiri, anggep saya orang awam"

Masalahnya, gue juga awam. Gue cuma tau denominalisasi dari headline koran tanpa baca artikelnya. Itupun salah. Nama seharusnya adalah redenominasi.

"Ok, denominalisasi," gue menuliskan kata salah itu di papan tulis. "Denominalisasi adalah penyesuaian mata uang dengan cara mengubah penyebutannya. Denominalisasi berbeda dengan pemotongan nilai mata uang, dimana nilai mata uang itu berubah. Rencana Indonesia adalah mengurangi tiga nol, misalnya 1000 menjadi 1 rupiah"

"Saya sering nih kalo nyetir ketemu sama Pak Ogah di jalanan. Saya biasanya ngasih 500 rupiah, nah kalo ada redenominasi ini, saya harus ngasih berapa?"

Sungai es di pembuluh darah gue banjir bandang. Airnya keluar jadi keringet dingin. Dengan adanya redenominasi maka 500 jadi disebut jadi 0,5 rupiah. Masalahnya gue enggak tau 0,5 rupiah itu berapa sen. Sebuah hal sepele memang. Tapi karena itu gak pernah jadi concern buat gue, itu dianggap tidak penting untuk diketahui.

"5 sen Pak"

"5 SEN!? 5 SEN!!? .... Baca baik-baik lagi ya soal itu, silahkan kembali duduk"

Oh, gawat. Semakin gawat. Ini RAJANYA GAWAT. Gue salah. Panik gue udah sampai ke tingkatan maksimal. Otak dan pikiran gue udah gak fokus. Tiba-tiba semua hal yang udah gue pelajarin sebelumnya, hal-hal tentang bank tersebut, menguap seketika di udara. Ah. Gue tau kalo gue udah gagal. Gak beberapa lama, wawancara gue selesai dan dipersilahkan untuk keluar dari ruangan. Langkah gue gontai. Sampainya di rumah gue kecewa sama diri sendiri dan tidur dari jam 11 sampe setengah 7.

Antara kecewa sama mental kebo gendud. Doyan tidur.

mari kita lanjut...

Kamis, September 16, 2010

Konklusi Ramadhan

Waduh waduh, telat banget bikin posting ini. Posting tentang Ramadhan tahun ini dan bermaaf-maafan untuk Lebaran. Yah, lebih baik terlambat bukan daripada enggak sama sekali? (sebuah prinsip yang gak diterima dosen kalo telat masuk kuliah, tetep aja gak diabsen)

MINAL AIDIN WAL FAIDZIN
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

Kalau ada salah-salah kata atau ada posting yang menyinggung, gue mohon maaf sedalam-dalamnya. Terutama untuk tamu blog gue yang post komen ini :

Anonim mengatakan...

hhhhh,,,
npe lo SIRRIIIIK!
susaaaaaah sih..
klo gk suka DIEM AJA..
gk usah komend...
LO TUH CMA TUKANG GOSSIP
YG SUKA NGOMONGIN ORG...
dsar FREAK...


Anonim mengatakan...

kamu yg weird..goblog!


Anonim mengatakan...

A...mimpi lho, F..utk yg tak beradat, dosesnnya namanya ntek nyahok...boggolok weird lho!

Anonim mengatakan...

yg weird tu lo yang nulis blog ini, jahanam lho!

Gue mau ngucapin terima kasih atas kritiknya dan berusaha untuk lebih baik lagi. Ini masih merupakan karya yang prematur, masih butuh banyak perbaikan dan tidak berlaku umum. Pasti ada yang tidak setuju dengan pendapat gue. Tapi sebelumnya gue juga mau bilang, sebelum berkata orang lain goblog, lebih baik liat dulu diri sendiri. Apakah bijaksana mengkritik orang dari balik semak yang gelap?

***

Ramadhan tahun ini, gue mengalami kemajuan dalam hal tarawehan. Cuma bolong 1 taraweh di awal Ramadhan. Setelah itu semua berjalan lancar, walaupun kebanyakan sholatnya sendiri, bukan berjamaah. Sebenarnya -dalam lubuk hati yang paling dalam- gue pengen banget sholat berjamaah.

Apa daya,semua mesjid di deket rumah gue taraweh-nya 23 rakaat. Udah gitu gerakan sama ucapannya cepet-cepet banget dan didominasi surat Al-Ikhlas. Setiap jeda dua rakaat, ada orang yang tereak-tereak bahasa Arab, kemudian disautin sama yang lain. Karena gue gak ngerti harus baca atau nyautin apa, gue cuma bisa bilang, "Hewe hewe hewe heeee...!!" seperti seorang dukun suku pedalaman Afrika lagi ritual minta hujan. Kalo aja gue boleh bergerak pada saat itu, gue bakal nari "Waka-Waka" ala Shakira.

Selepasnya Ramadhan, tentu aja ada Lebaran. Sebuah pesta kemenangan. Kemenangan atas hawa nafsu. Katanya. Atau kemenangan untuk kembali berbuat maksiat? Entahlah. Yang pasti gue gak berani ngerayain abisnya bulan Ramadhan secara berlebihan seperti anak-anak bercelana ketat yang memakai baju hitam dengan sablon tengkorak dan mengusung bendera Slank pada malam Takbiran. Mereka ada diatas, didalam, dan gelantungan di bus PPD yang berjalan miring. Gue jadi kasian mikirin nasib yang ada di dalem bus, mengingat minimnya tingkat kesadaran atas manfaat memakai deodoran untuk lingkungan. Memberikan efek "Global Stinking" yang bisa meluluh lantakkan bulu idung dalam sekejap.

Mereka senang dan bergembira, merasa tugasnya telah selesai dengan baik. Gue gak bisa. Karena gue terlalu minder untuk berpesta pora seperti mereka. Gue gak merasa yakin ibadah gue selama bulan Ramadhan itu baik dan benar. Setelah malam takbiran, saatnya Lebaran. Lebaran yang diawali dengan shalat Ied yang hampir aja gue lewatin karena baca Doraemon di kamar mandi. Terlalu asik ngeliat baling-baling bambu dan berharap pintu kamar mandi jadi pintu kemana saja. Begitu sampe di jalan, shalat udah dimulai. Terpaksa gue olahraga pagi, lari-lari di hari yang Fitri.

Selepas shalat Ied, tentu aja ada sesi wajib tiap lebaran, sesi salam-salaman sama bokap, nyokap dan abang. Abis itu, nungguin sodara-sodara untuk dateng ke rumah trus cabut keliling. Ke rumah para Tetua alias nenek-nenek gue. Kegiatan inilah yang paling berat, karena gue harus makan setiap mampir ke satu rumah. Pada saat itu, gue mengunjungi 4 rumah. Perut serasa mau pecah. Mau nolak gak makan, pasti gak bisa. Karena gue bakal langsung diambilin makanan dengan porsi yang banyak. Mendingan ambil sendiri sambil dilama-lamain, pura-pura ngambil banyak makanan. Taktik yang cukup efektif sampai pada suatu saat gue disamperin, dikasih 3 potong daging asem pedes yang berlemak. Lebaran adalah sebuah proses penggendutan badan secara paksa.

***

Pada hari ketiga Lebaran, gue udah gak keliling-keliling lagi. Untunglah. Perut gue udah perih karena kebanyakan makan, serasa ada alien di dalamnya. Karena pada hari itu gak ada acara, gue berangkat nonton di GI sama sepupu gue, Naya, Ufan, dan Haikal untuk nonton Hello Stranger. Sebuah film komedi romantis tentang sepasang anak muda Thailand yang ketemu di Korea dan menjalin kisah disana.

Filmnya cukup menghibur, tapi ada suatu hal yang menggelitik saat gue nonton film. Bukan, itu bukan kaki orang yang ada di belakang gue naik ke leher. Saat melihat adegan dimana muncul satu karakter secara tiba-tiba tanpa penjelasan apapun, gue menyadari cara pandang gue yang berubah setiap nonton film. Kalo dulu, gue nonton film tanpa logika. Gak ada pertanyaan, "Kok bisa ya kayak gini?" dan semua adegan terlihat keren. Dulu gue percaya aja kalo ada karakter yang tiba-tiba muncul setelah ditembakkin, jatoh ke jurang, atau ditinggal sendirian ngelawan musuh. Sekarang, gue bakal bertanya-tanya bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul disana, gimana cara lolosnya, dan (mungkin) siapa nama emaknya.

Logika, harus gue akui, sedikit banyak merusak kenikmatan gue. Saat gue nonton film Power Rangers jaman SD dulu, Tommy si Ranger Putih terlihat keren saat manggil robot macannya dari atas bukit pake alat yang terlihat seperti peranakan antara pisau dan suling. Sekarang, dia terlihat seperti pemain Soneta. Tinggal dipasang syal arab, telpon Rhoma Irama, jadi deh.

Terus terang, gue rindu nonton tanpa logika. Seperti saat gue nonton The Expendables. Gue tau filmnya itu hanya berisi adegan tabok-tabokan, tembak-tembakan, patah-patahin leher,dan sebagainya. Untuk itu gue menggeser tombol logika di otak gue ke posisi "OFF" biar bisa nikmatin filmnya. Adegan demi adegan gue lewati dengan baik tanpa logika. Sampai pada akhirnya gue ngerasa dibodohin, dianggep idiot sama yang bikin film.

Bayangin aja, seorang tentara kekar dengan nyali segede King Kong rela balik ke pulau yang dikuasain ratusan gembong narkoba, bertaruh nyawa, cuma buat nolongin cewek yang baru dia kenal selama +/- 2 jam. Terdengar sangat telenovela. Mungkin judul filmnya harus diganti jadi The Esmeralda. Hal itu diperparah dengan adegan Jet Li minta duit mulu kayak pengemis tanpa ada alasan yang jelas. Gue sukses tertidur. Ternyata gue gak bisa mematikan logika.


Logika adalah produk pendewasaan. Seiring bertambahnya umur, kita semakin pintar membuang rasa senang, sakit, dan sedih, belajar bermain logika, mempelajari untung-rugi dan mengetahui sebab-akibat. Kejadian di bioskop itu membuat gue sadar kalo gue bukan Peterpan. Gue bisa menjadi dewasa.


mari kita lanjut...

Senin, Agustus 30, 2010

Tukang Administrasi

Masa kuliah itu telah berakhir. Masa kuliahbyang dimulai dari tahun 2005 dengan rambut botak dan celana nomer 36, diakhiri dengan rambut sedikit banyak dan celana nomer 33. Kesimpulan : Saya masih tetap gendut.

Tahun 2005, gue masih jadi mahasiswa baru yang disuruh untuk jadi paduan suara acara wisuda. Gue duduk di tribun paling atas dalam gedung aula UI yang bernama Balairung. Memakai jaket kuning yang masih berbau pabrik, kemeja putih bekas SMA dengan tanda OSIS yang udah dilepas, dan celana putih ala John Travolta di film Grease.

Ngomong-ngomong tau gak kenapa lambang OSIS ditaro di dada?
Jawab :
Karena kepanjangan OSIS adalah Ojo Senggol Iki Susu
(sumber : Guru SMP yang perawakannya mirip Luigi dari Mario Bros).

Kembali ke topik awal, wisuda, pada saat itu, gue berada di bagian suara Tenor. Entah suara macam apa yang disebut tenor. Gue sendiri gak tau kenapa gue bisa masuk golongan tenor, padahal suara gue kayak knalpot motor.

Sebagai anak baru, gue mendapat tugas menyanyikan lagu Gaudeamus Igitur dan lagu-lagu lain untuk para wisudawan. Sebelumnya gue juga sempet latihan paksa selama 4 hari sama konduktor-nya. Disebut latihan paksa karena latihan tersebut diwajibkan. Diabsen. Katanya kalo gak ikut nilainya dikurangin. Sebuah ancaman kosong yang sukses mengelabui ribuan mahasiswa baru pada saat itu. Termasuk gue.

Latihan itu pada akhirnya terbuang percuma, karena pada saat nyanyi benerannya gue kebanyakan duduk-selonjor-tiduran, menikmati angin sepoi-sepoi yang menyusup melalui ventilasi Balairung. Buku kuning yang isinya teks sama notasi lagu sukses jadi kipas angin manual. Dan Keroncong Kemayoran pun jadi lagu pengantar tidur.


Kelakuan gue saat jadi paduan suara dulu itulah yang membuat gue gak bisa ngeliat keadaan di bawah. Gue jadi gak bisa ngeliat kalo lulus Cum Laude duduk di barisan paling depan dan mempunyai kesempatan untuk masuk DVD Wisuda lebih besar. Tau gitu, gue belajar. Hehee. Rendah amat yak.


***

Pada tahun 2010, saatnya gue yang memakai toga. Toga yang bahannya panas. Gue curiga toga itu dibikin dari bahan eks bioskop panas di Grand Senen. Mungkin kalo gue buka jaitannya, bakal ada gambar cewek setengah telanjang dengan tulisan "BERCINTA DENGAN MAUT".
Dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gue bukan termasuk kaum Cum Laude. Jadi gue gak mempunyai hak untuk duduk di bangku paling depan (kecuali gue bawa bangku sendiri dan tahan ditombak Rektor). Oleh karena itu, gue harus cari duduk sendiri. Dan sialnya, bangku yang kosong cuma ada di paling belakang. Sial. Padahal gue mau dadah-dadahin maba. Belagak ngetop, berharap ditimpukin logam lima ratusan, kayak anak-anak kecil di laut saat kita mau berangkat naik kapal Ferry dari Merak menuju Bakauheni.

Di tempat itu, para petinggi UI keliatan kayak kutu goyang dangdut. Item, kecil, goyang kiri, goyang kanan. Muka mereka cuma bisa keliatan jelas dari TV yang udah disediakan di depan barisan. Itupun bercampur dengan para Cum Lauder (sebutan untuk orang-orang Cum Laude) yang sesekali disorot dan tersipu malu. Persis kayak mbak-mbak yang digodain selepas taraweh.


Karena gak bisa liat apa-apa dan gak ngerti jalannya acara wisuda, kegiatan gue di bangku paling belakang itu cuma maen lempar komentar. Mulai dari pidato Om Gum yang pake Bahasa Inggris terbata, nyumpahin perwakilan maba kesandung dan nyusruk (untuk menambah tense acara wisuda), sampai ngomongin perwakilan wisudawan yang cakep. Ternyata wisuda cuma gini doang. Kerjaannya cuma nontonin orang tanpa bisa dengerin apa yang dia bilang, efek buruknya kualitas speaker dan akustik gedung. Lebih enak nonton cengdoleng-doleng (dangdut kampung), bisa goyang dan nyawer. Seenggaknya, apa yang disampaikan cendoleng-doleng jelas : AYO GOYANG DANGDUT.

Kalau menurut gue, saat wisuda udah dirasain sehari sebelumnya, dalam acara yang bernama Gladi Resik. Di acara itu gue bisa salaman dan difoto sama Rektor UI dan Dekan FISIP. Sayang gak ada sesi tanda tangan. Padahal gue pengen minta tanda tangan di toga. Hehee. Di acara Gladi Resik itu, kerjaan Pak Rektor cuma berdiri sambil nyalamin sekitar 2000 wisudawan/i. Gue jadi iba sama dia. Gue takut tangannya remuk kebanyakan disalamin.

Saat gue dapet giliran salaman, telapak tangannya udah keringetan. Entah udah ada berapa negara bakteri dengan trilyun penduduknya ada disana. Siapa tau ada wisudawan yang lupa cuci tangan abis pipis atau boker. Pengen rasanya gue suruh dia cuci tangan dulu, tapi gue takut ijazah gue disumbangin ke tukang nasi uduk untuk ngebungkus tempe mendoan.


Saat hari-H wisuda, beliau lebih banyak pidato dengan intonasi seperti presenter acara Uka-Uka atau narator Scary Job. Termasuk pidato penutup wisuda yang menandakan kalau gue udah resmi menjadi sarjana. Kalau si Doel "Tukang Insinyur", gue "Tukang Administrasi" karena gelar gue yang Sarjana Ilmu Administrasi. Saat keluar dari Balairung. Ingatan-ingatan gue tentang UI terproyeksi di kepala. Gedung Rektorat, Balairung, danau, mesjid UI, dan FISIP.

Tempat-tempat itu memegang peranan penting dalam hidup gue. Mengajarkan gue untuk tumbuh dan belajar berpikir secara dewasa. Mempersiapkan gue dengan ilmu-ilmu untuk terjun ke masyarakat. Berkontribusi kepada bangsa & negara, menjaga ketertiban dunia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai sama pembukaan UUD 45'.


tukang administrasi

Karena pembukaan UUD 45' udah dibaca, ayo kita upacara.



mari kita lanjut...

Minggu, Agustus 22, 2010

Alasan Sebagai Pengalih

Hari ini tanggal 22 Agustus 2010, entah udah puasa hari keberapa.

Ah, bulan puasa. Bulan dimana ibadah menjadi suatu kenikmatan, bukannya beban. Kenapa gue bisa bilang beban? Karena jujur aja, kalau di luar bulan Ramadhan, kaki ini serasa berat untuk beribadah. Padahal mungkin tempat wudhu atau tempat sholatnya cuma berjarak 3 langkah kaki semut atau curut. Sebuah borok yang kalau dibiarkan bisa membusuk dan mengeluarkan bau gak sedap. Kayak gembel di kereta jurusan Kota-Bogor yang punya borok segede kaki, jalannya ngesot dan luka itu udah mulai bernanah. Bau anyir menusuk ke idung setiap dia lewat.

Gue mengibaratkan borok gembel itu dengan kemalasan gue menjalankan ibadah. Borok itu pastilah kecil pada awalnya, tapi karena lama tidak diobati, penopang gue rusak dan hidup akan dijalani dengan seretan tertatih-tatih. Borok itu membesar dan merusak. Sama dengan menjalani hidup tanpa penopang, akan membuat sulit untuk bergerak.

Di bulan Ramadhan ini, ibadah terasa nikmat. Sesuai dengan apa yang udah diceritain, setan-setan pengganggu dikurung. Setan-setan yang sering ngebisikin gue dengan kata-kata, "Tanggung, acara TV-nya bagus", "Jauh tau tempatnya, panas nih udara," secara ajaib menghilang begitu aja. Yah, seharusnya gue yang mengendalikan mereka. Bukan sekedar dikurung. Susah juga kalo misalnya gue diganggu terus tapi gak ngelawan. Banci banget.

Perjalanan gue buka puasa bareng anak-anak ADM 2005 ke Panti Asuhan untuk anak-anak cacat juga membuka mata gue yang terlalu menyipit ini. Di tempat itu gue ngeliat banyak orang dengan berbagai keterbatasan fisik dan mental. Mereka sulit untuk beribadah. Bahkan untuk menyuap makanan ke mulut dengan sendok pun sulit. Tangannya mencong kanan mencong kiri, gak sempet sampe ke mulut. Sebuah renungan baik untuk pengingat keadaan gue yang termasuk beruntung ini.

Sebenarnya apa sih yang ngebuat gue males ngejalanin ibadah? Kalo dibilang gerakannya bikin capek, enggak juga. Durasi lama? Palingan cuma 5 menit aja. Pokoknya berbagai macam alasan keluar kalo mau ibadah. Dari yang umum kayak tadi, atau yang aneh kayak males muka berminyak karena basah dan males buka sepatu. Alesan-alesan bodoh yang dibuat-buat.

Seperti alesan yang pernah gue buat waktu mau cabut pas SMA dulu. Tepatnya pas kelas 2 SMA. Pada saat itu untuk cabut dari sekolah harus disertai alesan-alesan konkrit kayak rumahnya kebakaran, usus terburai, atau sekarat menjelang wafat. Selama nafas gue masih ada di dalem badan, belum sampe di kerongkongan, gue gak boleh keluar dari sana.

Untuk itu, gue ber-4 sama temen-temen pemalas gue berembuk nyari alesan. "Bilang aja kita mau ikut lomba band di luar," kata salah satu temen gue yang langsung ditanggepin, "Ah, kurang konkrit. Masak gak ada posternya". "Iya juga yah," kata dia. Ide-nya batal.

Sempet terjadi keheningan sesaat. Semua orang berpikir, mencari ide cemerlang. Sampai pada akhirnya ada salah satu makhluk yang dijuluki Tengil melontarkan sebuah ide, "Bilang aja kita mau bikin soundtrack Pemilu!". Setelah itu semua pandangan mengarah ke dia. Kita semua diem sebentar, memproses ide yang sebenarnya rasional untuk saat itu, tahun 2004, dimana sedang diadakan Pemilu. Mungkin dia banyak baca koran tetangga, hasil nyegat tukang koran pas pagi-pagi buta.

Tapi kalau emang gue yang ditunjuk untuk ngisi soundtrack Pemilu, tentu aja sekolah udah ngadain pesta besar-besaran 7 hari 7 malam, dangdut koplo semalam suntuk. Sadar kalau itu ide adalah ide yang jelek, tanpa menggubris ide itu lebih lanjut, kita semua kembali diskusi.

"Gini aja, kita bilang aja ikutan audisi band, gmana tuh? Kan gak perlu poster," sahut temen gue sambil getok meja kelas yang terbuat dari kayu dan (sedikit) berayap.

"Bener juga ya. Kemaren kan emang kita daftar audisi, yaudah coba aja!" kata gue membuat kesimpulan.

Saat istirahat kedua, jam 12 siang, gue menghadap Wakasek gue. Dia adalah guru yang terkenal atas kegalakannya. Konon galaknya dia ngelebihin macan kumbang yang puasa makan seminggu penuh. Dengan memasang muka yakin, percaya diri, dan memohon, kita dateng ke meja dia.

"Bu, mau izin keluar"

"Mau ada apa ya?" lirik dia sambil tetap berkonsentrasi dengan kertas-kertas yang lagi dibolak-balik. Entah kertas apa martabak.

"Begini bu, kami kemarin kan daftar audisi band. Nah, ternyata itu harus dateng sekarang, jadi kami mau izin dulu bu keluar.."

"Oh, SMA mana emang?"

Gue dan temen gue menyahut berbarengan, tapi kata-kata yang berbeda.

"Dua bu," kata gue dan, "Tiga bu" kata temen gue. Mampus.

Tatapan dia langsung fokus. Fokus untuk mendelik dan melotot, seakan-akan bola matanya mau keluar dari rongga mata yang berwarna hitam itu. Hitam seperti Lubang Buaya.

"Kalian mau ngebohongin saya!?" bentak dia dengan pelototan mata yang menusuk itu. Seperti laser-nya Cyclops di X-Men.

"Eh, bukan tau. Yang 3 mah masih entar-entaran. Sekarang itu 2," kata gue tanpa bisa menutupi kegugupan.

"Oohh iya, iya maksudnya itu bu... hehehe," kata 3 orang lainnya ikut-ikutan. Biar gak makin runyam rencana.

"Bener nih!?" tatap si Ibu guru untuk memastikan.

"Iya bu.." kita menjawab berbarengan. Mantap.

"Yaudah," dia pun tanda tangan di empat surat izin keluar sekolah itu. Senyum bajing tersungging di muka kita.

Setelah itu, semua berjalan mudah. Mulai dari ngelewatin guru piket sampai satpam di depan sekolah. Tanda tangan Wakasek udah di tangan, mau bilang apa mereka? Cuma iya-iya aja. Walhasil kita semua langsung meluncur ke rumah temen gue yang kebetulan udah cabut dari awalnya. Disana kita maen PS, nonton DVD, dan maen komputer. Berbahagia karena berhasil cabut.

***

Sore hari, jam setengah 3. Kita berencana kembali ke sekolah, pengen maen bola. Kita semua punya tradisi main bola abis kelar sekolah yang harus selalu dilestarikan sampai kapanpun juga.

Saking semangatnya, kita sampe ke sekolahnya kecepetan. Gerbangnya masih ditutup. Karena mental pada saat itu masih mental cabut, kita semua ngumpet dulu di balik mobil, ngintip-ngintip sambil berdiri. Bahasa kerennya itu mindik-mindik.

Dari kejauhan keliatan guru Sosiologi yang kita kenal, namanya Bu Marlina, dateng. Entah kenapa kita semua langsung panik ngeliat dia.

"Cuy cuy... Bu Marlina cuy..." kita langsung grasak-grusuk begitu ngeliat dia. Rusuh. Empat orang yang bergerak panik secara bersamaan tentu aja menarik perhatian. Apalagi keadaan kita masih pake baju seragam dan jam sekolah belum selesai.

"Ngumpet... Ngumpet... Keliatan begooo!!" saking rusuhnya kita, secara gak sadar kita melakukan perbuatan bodoh. Kita ber-4 ngumpet di balik pohon. Empat orang yang badannya gede-gede ngumpet di balik pohon, dengan posisi persis kayak anak kecil lagi main 'Ular Naga Panjang'. Tentu aja pohon yang gak terlalu lebar itu gak bisa nyembunyiin empat orang yang bertumpuk di baliknya.

"Ngapain kalian ber-4 disini!?"

"Abis audisi band bu..."

"Trus ngapain balik lagi!?"

"...." saking paniknya, kita bungkam seribu bahasa. Gak tau mau ngomong apa.

"Ikut Ibu ke kantor Wakasek!" kita semua langsung digiring ke kantor Wakasek.

Sesampainya disana, ternyata Ibu Wakasek yang ngijinin kita udah pulang dan kita dihadepin sama Wakasek cowok yang gak terima begitu aja alesan kita. Sampe-sampe dia minta nomer telepon sekolahnya. Kita mati total. Matot. Karena dia diem aja, beliau pengen manggil orangtua kita ke sekolah.

"Yasudah kalau begini, besok orangtua kalian dateng kesini"

Zeengg. Bulu kuduk langsung merinding begitu denger vonis itu. Alesan baru mulai dikeluarkan untuk menyelamatkan diri.

"Aduh pak, jangan dong Pak. Ini kan baru pertama kali kita kayak gini, lain kali enggak deh Pak... Jangan panggil orangtua dong Pak tolong..."

Dia berpikir sebentar sambil ngeliatin kita satu-satu, "Baik, tapi kalian janji jangan ngulangin ini. Kalau sampai Bapak tau, gak ada ampun lagi"

Baik sekali Bapak Wakasek ini. Di belakang kepala seakan-akan ada seberkas sinar terang, sinar pengharapan. Kita langsung nyalamin dia, cium tangan, "Wah terima kasih pak, terima kasih banyak Pak. Kami janji gak akan ngulangin lagi"

***

Yah, alesan cuma alasan. Perbuatan itu tentu saja kita ulang lagi, tapi dengan taktik yang lebih sempurna sehingga gak ketauan. Mungkin alesan seperti ini berlaku untuk mengelabui manusia, tapi gue yakin ini gak ada pengaruh apapun kepada-Nya. Jadi, berhenti membuat alasan dan mulai lah berbuat sesuai apa adanya.


mari kita lanjut...

Jumat, Agustus 20, 2010

Sakit

Bulan puasa dan pengangguran adalah kombinasi yang tidak enak. Gak ada kerjaan yang bisa dilakuin. Mentok-mentok cuma tiduran, menambah kadar lemak disekujur tubuh dan pipi. Nonton Tipi, banyak artis berpakaian seronok. Nonton DVD, lebih parah lagi. Hampir semua film bule ada adegan 'Adu Cupang' atau bahkan 'Gulat Bebas di Atas Kasur'. Bisa batal puasanya kalo ngeliat hal-hal kayak begitu. Pengen juga bikin video 'Keong Racun' ala Shinta-Jojo trus di-upload ke YouTube, tapi gue takut situsnya down dan gue ditangkap CIA.

Cara yang paling aman ya nulis. Dan bukan stensilan. Nulis apa aja yang ada di kepala. Seperti baru-baru ini saat gue ngelewatin rumah sakit bersejarah yang punya andil penting dalam hidup gue.

Rumah sakit kecil itu terletak di sebelah Musholla yang (konon) didirikan sama mantan Wakil Presiden RI, Hamzah Haz. Rumah Sakit itu tepat berada di pinggir rel kereta api. Rumah sakit itu, terlihat biasa saja. Catnya putih kusam, temboknya tidak terlihat kokoh lagi, dan diluarnya ada anak-anak sekitar lagi nongkrong, ngobrol ngalor-ngidul nungguin buka puasa. Di sore hari yang kusam, Rumah Sakit itu terlihat suram.

Puluhan tahun yang lalu, tepatnya saat gue masih TK, dimana gue pake seragam putih dengan rompi warna biru langit, kepala gede, dan rambut tipis yang kriting kayak badut SPAWN. Pada saat itu gue berbaring di atas tempat tidur Rumah Sakit dengan seprai putih yang berubah warna menjadi merah. Di ubun-ubun kepala ada dokter yang lagi menjait, di samping kiri gue ada Ibu Maryam (guru TK) yang sedang bingung karena gue diem aja.

Seperti ini lah kira-kira

Mari gue tarik kejadiannya ke belakang, sebelum kejadian mengerikan di Rumah sakit itu. Gue masih ada di TK, belajar sambil bermain. Gue dikasih gambar kuda, bantalan kecil, dan jarum. Kemudian gue disuruh nusuk-nusukkin jarum untuk ngebuat pola gambar kuda yang terdiri dari lubang-lubang kecil. Menyenangkan sekali. Andai ujian akhir kuliah seperti ini, bukan ngebuat skripik kayak sekarang.

Selesai nusuk-nusuk gambar, saatnya istirahat. Gue dikasih satu gelas susu coklat dan 3 potong biskuit. Cara favorit gue untuk menikmati hidangan ini adalah mencelupkan biskuit itu ke dalam susu coklat. Nikmat selagi hangat.

Selesai makan snack, gue dibolehin maen keluar. Ke halaman depan TK. Di situ ada berbagai macam mainan, ada perosotan, setir muter-muter (gue gak tau nama bagusnya apa), jungkat-jungkit, dan ayunan.

Karena pada saat itu semua mainan udah penuh terisi, gue mencoba berbuat kreatif. Gue menuju perosotan berwarna oranye yang sedang dipake sama anak lain. Bukan, gue bukan berniat ngedorong anak itu sampe nyungsep di lantai. Gue bukan anak setan kayak di film The Omen. Gue berniat gelantungan di puncak perosotan. Seperti anak simpanse ras keriting, gue gelantungan disana. Goyang ke depan ke belakang.


Saat gue lagi asik-asiknya gelantungan, tiba-tiba anak yang sedang bolak-balik naik perosotan itu nyenggol pegangan tangan gue. Walhasil pegangan gue jadi goyah dan terlepas. Pada akhirnya gue terjun bebas ke bawah menuju lantai. Sialnya, kepala bagian belakang gue mendarat tepat di sudut tembok yang menonjol membentuk sudut 900. "BRAK!!!" kepala gue sukses mendarat di sudut yang tajam dan lancip itu. Gue terkapar.

Gue langsung memegang kepala belakang begitu tersadar. Telapak tangan gue berwarna merah, dimana jadi pewarnanya. Walaupun seharusnya, untuk umur segitu, gue menangis, pada saat itu gue sama sekali gak berniat untuk nangis. Yang ada gue cuma bergumam, "Yah berdarah" sambil ngeliat teman-teman yang mulai berkerumun. Mereka berteriak memanggil guru. Mereka semua terlihat panik.

Gak beberapa lama, guru TK gue dateng. Beliau bernama Bu Maryam dan dia terlihat jauh lebih panik dibandingkan temen-temen gue. Ngeliat gue yang udah duduk bengong dengan darah bercucuran dari kepala, dengan sigap dia ngegotong badan gue ke belakang, menuju tempat wudhu yang berbentuk koridor memanjang dengan tembok keramik berwarna merah hati. Di tempat itu, kepala gue dicuci pake air bersih. Gue merasakan air mengalir di permukaan rambut dan kepala, tapi gak sedikit pun gue ngerasa sakit atau nangis walaupun cuma setetes.

Selesai ngebersihin luka, gue langsung dibawa ke Rumah Sakit naik becak. Baju Bu Maryam yang putih udah kotor bersimbah darah, sedangkan idung gue bersimbah ingus. Entah kenapa pada saat genting begini gue bukannya nangis malah ingusan. Jorok.

Sesampainya di rumah sakit, gue langsung ditangani dokter jaga disana. Di ruang UGD, kalo gak salah. Kalo salah mohon dimaafkan, mumpung bulan Ramadhan. Luka menganga di kepala gue langsung dijait. Gue gak tau apakah gue dibius apa enggak, tapi yang pasti gue bisa ngerasain bagaimana jarum jait nusuk kepala gue ke dalem dan keluar. Sedikit perih terasa, tapi sama sekali gak ada satu nada pun keluar dari mulut gue. Gue bungkam seribu bahasa ngeliatin muka dokter yang make masker putih dan Bu Maryam yang berkata sesuatu. Gue lupa dia bilang apa.

Kata Bu Maryam, ada 8 jaitan di kepala gue. Luka itu masih bisa diliat jelas di kepala gue sampai saat ini. Kalau model rambut gue lagi botak, bakal keliatan codetan memanjang di kepala belakang. Sayang gak berbentuk petir kayak Heri Puter. Codet gue lebih mirip cabe rawit. Jadi kalo diliat sekilas lebih mirip panu yang berbentuk memanjang. Beliau juga heran kenapa gue sama sekali gak nangis dari saat jatoh sampe kepalanya dijait. Well, dia heran, gue lebih heran lagi. Mungkin dari kecil gue udah cocok masuk Greenpeace, gak suka buang-buang air.

Kejadian itu bukan pertama kalinya. Ketidak nangisan gue itu ternyata bukan yang pertama kali. Dulu pas gue sunat juga begitu. Lebih parah malah. Abis sunat gue bungkam seminggu penuh. Mbak yang ngejagain gue sampe ikut-ikutan stress gak bisa makan, padahal disunat juga enggak.

Pergelangan tangan gue juga pernah melepuh kena setrikaan. Saat itu gue mikir, "Kok bisa yah baju jadi licin pas di tempelin setrika?". Maklum, calon ilmuwan, selalu penasaran dan melakukan percobaan. Maka dari itu gue nempelin permukaan setrika panas itu ke pergelangan tangan dan tangan itu sukses melepuh. Hebatnya, gue tetep gak nangis, padahal masih kecil.

Mungkin ini menandakan kalo gue bisa menahan rasa sakit, karena semakin gue beranjak dewasa, sakit yang menimpa gue semakin variatif. Bukan cuma sakit secara fisik, tapi juga mental dan perasaan. Sakit yang terakhir lah yang paling susah dilawan. Perlu cara pintar untuk mengobatinya.



mari kita lanjut...