Sabtu, Februari 20, 2010

Hospital Madness

Hari Jum'at yang tenang. Sebuah hari agamais dimana, khusus laki-laki, berkewajiban untuk sholat Jum'at di mesjid terdekat. Pada awalnya, gue cuma pengen di rumah aja, kecanduan serial Psych , sebuah serial detektif yang menyamar jadi cenayang yang pada awalnya gue pandang sebelah mata. Saat lagi asik nonton DVD tersebut sambil tiduran di tempat tidur empuk dengan sprei bergambar lambang Liverpool, pintu kamar gue terbuka tiba-tiba. Itu bukan polisi yang grebek kamar gue karena dicurigai menyimpan obat-obatan terlarang. Gue gak bakal nyimpen atau make barang laknat kayak gitu. Kalo boleh jujur, mungkin satu-satunya obat terlarang yang gue punya adalah kalpanax yang disamarkan jadi selai roti tawar.

"Dek, gak ada kerjaan kan?", ternyata yang buka pintu adalah nyokap.

"Gak ada sih"

"Anter Disa ke Rumah Sakit yok, udah 3 hari demam gak turun-turun"

Disa adalah sepupu baru gue. Baru dalam artian dia belum lama lahir ke planet yang bernama bumi ini. Bukan baru yang berarti saudara yang terpisah karena saat baru lahir dia gak sengaja masuk ke kotak parsel lebaran dan kekirim ke Ambon, kemudian setelah beberapa tahun secara ajaib muncul lagi. Dia lahir bulan September tahun lalu dan pada saat ini, dia sedang sakit.

Sebenarnya, gue sangat malas menggerakkan badan dari tempat tidur empuk itu. Udara terlalu sejuk dan bersahabat, gak cocok untuk dipake berkegiatan. Lebih cocok dipake untuk tidur-tiduran, malas-malasan, dan melancong ke alam mimpi. Namun, nolak permintaan nyokap akan membuat beliau mengeluarkan kata-kata bijak yang membuat gue skak mat. Perasaan yang mungkin dirasakan oleh seorang terdakwa saat hakim menjatuhkan vonis bersalah dan gue bakal jatuh di level pesakitan, seperti Baekuni.

Singkat kata, permintaan itu gue penuhi. Selesai sholat Jum'at kita berdua berangkat ke RS Harapan Bunda di daerah Pasar Rebo. Perjalanan kesana berlangsung penuh emosi mengingat angkot yang selalu aja mepet-mepet, ngerem mendadak, dan beragam hal bodoh lainnya. Ya begitulah sopir angkot, kalo mereka pintar, mungkin sudah jadi astronot. Berkat mereka, perjalanan pendek menjadi terasa panjang, bertabur makian dan umpatan. Terima kasih. Saya akan berikan penghargaan berupa lemparan sendal jepit buluk yang di dominasi bau jempol.

Sesampainya di lobby, banyak terlihat anak kecil lari-larian. Gue harus menjaga langkah biar gak keinjek. Kan gak etis kalo ada yang patah tulang karena gak sengaja gue injek. Mau bilang apa gue? "Maaf bu, kaki anak ibu gak sengaja keinjek. Tenang, cuma kebelah dua kok, nanti saya beliin Power Glue deh." Mau dibikin variasi bagaimanapun, cara itu pasti gak bakal berhasil . Yang akan gue dapat hanya tanda biru memutar di kedua mata gue.

Saat gue berjalan di lorong ramai itu, mata gue tertuju ke satu ruangan disana. Gue inget, dulu gue pernah ada disana. (Dengan suara ala chipmunks, disamarkan) Waktu itu, aku dibawa seorang suster dengan iming-iming sebuah permen. Sesampainya di ruangan, aku dipojokkan, pakaianku dipreteli, dan aku difoto-foto. Weh, jadi kayak pengakuan bocah berbau stensilan gini? Hehee. Alhamdulillah, kejadian yang gue bilang barusan itu hanya fiksi belaka.

***

Waktu itu gue masih make baju putih-merah ala anak SD. Baju kemeja putih, pake dasi, dan celana merah pendek dengan pinggang memakai karet. Gue ada disana bersama bokap, abang gue, dan beberapa sepupu gue. Gue mau imunisasi campak. Dokter yang nyuntik gue pada saat itu adalah kakek gue sendiri. Dengan modal pernyataan standar 'Seperti digigit semut', gue memberanikan diri pamer pantat untuk disuntik imunisasi. Prosesnya berlangsung cepat dan gak terasa, gue ngobrol-ngobrol tau-tau udah disuruh pake celana lagi. Gue kecewa gak bisa buka celana lebih lama. Gue pikir suntik itu amat sakit, bikin darah keluar gak bisa berhenti.Setelah dijalanin, ternyata enggak. Suntik itu gak sakit. Sebuah pendapat yang gue pegang sampe saat gue sakit DBD yang mengharuskan gue suntik ambil darah tiap hari di lengan, sampe biru.

"Bang, suntik juga", kata bokap ke abang gue yang lagi main-main sama sepupu gue.

Abang gue langsung syok. Ekspresi mukanya seperti orang ketauan nyontek di dalem kelas. "Abang udah disuntikkk...!!", kata abang gue membela diri. Kakek gue, yang berperan sebagai dokter, tentu aja gak percaya sama perkataan anak kecil yang gak ngerti sama sekali tentang imunisasi dan sebagainya. Dengan ekspresi dingin layaknya Hannibal sedang mengasah pisau untuk ngebelah kepala korbannya, dia nusukkin jarum suntik ke botol obat untuk ngambil cairan di dalamnya.

Abang gue mulai ketakutan. Saat si kakek mulai bergerak ke dia dengan jarum suntik terhunus, muka dia pucet parah. Kemudian seperti orang kerasukan setan, dia lari keliling ruangan. Muter-muter kayak gangsing. Kakek gue kelimpungan ngejar bocah hiperaktif kayak abang gue itu. Dia bener-bener terlihat kayak pembunuh berantai yang bernafsu mengejar mangsanya. Mangsanya sendiri semakin cepat larinya sambil tereak, "ABANG UDAH DISUNTIKKK!!! ABANG UDAH DISUNTIKKK!!! AAAAAA....!!".

Perburuan ala Cheetah dan Rusa di National Geographic terjadi di ruangan yang cukup besar dan didominasi warna putih itu. Dimana Cheetah diperankan oleh kakek gue dan Rusa diperankan oleh Abang gue. Sang Cheetah pun lambat laun mulai menjadi payah, gak kuat lagi ngejar sang rusa yang berlari terlalu cepat. Mungkin dia pusing juga karena ngejarnya muter-muter berbentuk lingkaran sempurna.

Bokap gue merasa terpanggil dan bertanggung jawab karena udah nyuruh abang gue untuk disuntik. Dia ikutan lari untuk ngejar abang gue, jadilah mereka bertiga lari-larian. Gue cuma bisa bengong ngeliatin kejadian itu. Gak beberapa lama, mungkin gara-gara denger tereakkan kenceng dari dalem, dateng 2 orang suster ke dalam ruangan. Dengan 4 orang yang mengejar, akhirnya abang gue berhasil ketangkep juga.

Ternyata abang gue mempunyai mental seorang Spartan, walaupun ketangkep dia masih bisa berontak dengan tereak, "UDAH DISUNTIKK.. UDAH DISUNTIKK!!!". Kalau di Spartan teriakannya adalah, "THIS IS SPARTAAAANNNN!!!". 4 orang pengejarnya tentu aja kelimpungan dengan mental perang dia itu. Akhirnya diambil tindakan pemasungan. Tangan abang gue dipegang bokap dan kaki-nya dipegang suster yang baru dateng itu. Keadaan dia saat itu tengkurep di tempat tidur dengan pantat menghadap langit. Masih terdengar teriakan tertahan, "ABANG UDAH DISUNTIIKKK.... ABANG UDAHHH....". Teriakan itu udah gak terdengar jelas karena mulutnya mentok ke tempat tidur. Dia terlihat seperti mau di-gangbang dengan celana yang sedikit dipelorotin itu. Kalau aja Kak Seto dateng, dia bakal marah-marah sambil nyuruh si Komo untuk nyerang mereka semua.

Secepat kilat, abang gue akhirnya berhasil disuntik. Proses yang sangat lama untuk nyuntik seorang anak bocah. Setelah selesai disuntik, pegangan pun dilepas.

"Tuh, gak sakit kan?", kata kakek gue nenangin dia yang lagi sesenggukan.

"Tapi kan harusnya udah", kata abang gue tetep dengan argumen awalnya.

Setelah kejadian itu, muka abang gue menekuk terus ke bawah. Ceritanya ngambek ke bokap. Gue sendiri cuma geli-geli sendiri ngeliat abang gue dikerjain sampe nangis kayak gitu. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, gak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut dia. Sesampenya di rumah, dia langsung ngadu ke nyokap.

"Bu, abang disuntik"

"Hah, suntik apaan?"

"Imunisasi campak", kata bokap gue.

"Hah!? Kan udah!! Dia ikut kan buat nemenin ade doank!!", nyokap gue menjelaskan.

Mata abang gue langsung melotot, "TUH KANNNN!!!!".

***

Hikmah dari kejadian ini, abang gue mungkin bakal punya kekebalan abadi atas penyakit campak, seperti Obelix yang mempunyai kekuatan abadi karena overdosis minum jamu yang dibuat oleh Panoramix (bener gak yah? Nama dukun Galia).

Yang pasti,kenangan itu sangat berharga dan masih teringat, untuk gue, tau deh kalo buat abang gue. Hehee.


mari kita lanjut...

Jumat, Februari 12, 2010

Halang Rintang Menuju Akhir

Februari kata orang bulan penuh cinta. Sekarang ini, gue sedang diberikan cinta oleh jurusan gue. Jurusan gue yang biasanya cuek bebek dengan keadaan selama di kampus, gak peduli kalo misalnya gue keabisan napas di kelas atau mencoba bunuh diri dengan cara nelen mouse laptop, tiba-tiba nelpon. Keadaan gue pada saat itu adalah sedang berada di tempat rental Playstation (PS), maen Pro Evolution Soccer. Anak kecil di sebelah gue maen Tony Hawk's Pro Skater, nabrak-nabrakin karakter yang dia kendalikan ke tembok. Seakan-akan karakter itu adalah Superman di atas skate yang bisa ngancurin tembok. Implikasi diangkatnya telpon tersebut, Liverpool yang gue kendalikan sukses kebobolan gol. Gue kesel. Seperti saat lagi asik boker sambil baca komik, tiba-tiba tanah terbelah dan jatoh di dalamnya. Kebakar di dalem larva.

"Halo, Mirzal? Ini dari jurusan! Lo lagi dimana!?"

"Di kober mbak", gue mau bilang lagi maen PS sebenarnya, tapi takut dibilang gak serius.

"Lo mau kapan lulus!?", pertanyaan ini seperti gue bisa mesen lulus skripsi kapanpun juga, seperti mesen taksi lewat telepon untuk dateng ke rumah.

"Besok bisa gak?"

"Ah, gila. Pokoknya hari senen nanti lo kumpul di gedung M jam 10 pagi, kasih tau yang lain!"

"Mau ngapain mbak?", tadinya gue optimis mau dikasih beasiswa, ternyata enggak.

"Ketemu para ketua jurusan"

"Siapa aja yang kesana?"

"Yang udah lama belum lulus!"

Mendengar kalimat terakhir, gue seperti divonis hamil diluar nikah. Tidak sadar kalo itu terjadi, tapi saat dibilangin langsung nuncep ke hati. Sehabis percakapan singkat itu, entah bagaimana caranya skor pertandingan berakhir 3-0 untuk kekalahan gue. Maklum, pikiran masih belum konsen karena mikirin apa yang akan terjadi di hari Senin nanti. Mungkin kita akan ditaro ke ruang tertutup tanpa ventilasi udara, hanya ada satu saluran gas yang menyuplai gas beracun ke dalam ruangan. Kita mati pelan-pelan dan presiden Indonesia diganti Hitler. Seenggaknya, gue punya alasan kuat atas kekalahan gue pada saat itu. Mikirin nasib.

Masih berhubungan dengan pertanyaan 'Kapan Lulus', kelulusan gue yang belum terwujud sampai saat ini adalah karena mandeg-nya pikiran gue untuk nulis skripsi. Hal ini terkait kuat dengan adanya Outline Syndrome yang menjangkiti hati sanubari gue untuk menulis skripsi. Selama sebulan penuh gue puasa gak mikirin itu skripsi. Kalo bulan Ramadhan gue gak makan dan minum selama 1 bulan, kali ini gue puasa mikir hal-hal yang bernafaskan akademis.

Terus terang, hal itu seharusnya menjadi pantangan keras saat nyusun skripsi. Karena begitu kembali menyentuh dan mencoba berteman lagi dengannya, gue seperti ketemu dengan orang asing menyeramkan. Takut dan gak ketebak hal apa yang akan dia lakukan ke gue. Coretan revisi yang gue dapet saat sidang outline dahulu menjadi lambang abstrak manusia purba. Butuh seorang arkeolog untuk mengartikan maknanya. Walhasil, gue harus beberapa hari semedi memecahkan nasihat tersirat di lembar revisi dosen.

Selain itu, godaan datang silih berganti. Di rumah, komputer seperti bisa berbicara.

"Zal, film itu keren loh!! BOX OFFICE!!", gue pun langsung download film Taking Of Pelham 123.

"Hey, nonton Transformers lagi yuk! Ada Megan Fox masih natural", gue pun langsung nonton Transformers pertama.

"Daripada puyeng mikirin teori, mendingan kita maen FM yuk kawan", gue langsung ngejalanin game Football Manager.

*PETT!!* Mati lampu, gue tereak.

Selain godaan dari komputer, televisi selalu aja bikin gue penasaran mengikuti berita tentang orang yang sama sekali bukan siapa-siapa untuk gue. Kenal juga enggak, tapi gue tau kapan dia kawin dan kapan dia cerai. Sidang kehormatan juga selalu menarik untuk ditonton, seperti sebuah komedi situasi namun nyata adanya. Saking seringnya gue nongkrongin televisi, sampai-sampai gue afal tarian khas ala suku Inbox dan Dahsyat. Tangan ke depan angkat ke atas, lempar kiri-kanan. Gerakin ke tengah, lempar kiri-kanan. Lanjut ke bawah, lempar kiri-kanan. Kalau lagunya slow, gerakan tersebut dilakukan mengalir layaknya air, dari atas ke bawah. Bergelombang, mirip dengan pose kalo bilang "Kasian deh loo...".

Godaan-godaan itu selalu aja datang dari segala arah. Kalo di kampus, ketemu temen seangkatan ujung-ujungnya malah ketawa ngakak dan bikin polemik berkepanjangan, contohnya nyebarin berita kosong tentang rencana pernikahan temen gue. Atau, seperti pada kejadian di awal paragraf, maen PS ngadu ilmu. Ditambah perpustakaan yang tutup selama bulan Januari, lengkaplah sudah kemalasan gue untuk nyentuh skripsi.

Namun pada akhirnya gue menyadari, untuk mencapai sesuatu yang baik akan banyak rintangan menghadang dan godaan datang silih berganti, tugas gue adalah belajar berkelit dan menghancurkan hal tersebut. Gue harus berubah dan bergerak.

Untuk itu, pada hari dimana gue membuat tulisan ini (Jum'at 12 Februari 2010), gue nongkrong di MBRC untuk kencan dengan si skripsi. Alhamdulillah ada kemajuan dan gue siap menyambung tali silaturahmi dengan pembimbing yang udah sebulan lebih gue cuekin. Bahkan dia nge- Like This status Facebook gue yang berisi curhat gue tentang malasnya ngurusin skripsi. Mungkin dia kesepian gue tinggal sebulan lebih. Kalo pembimbing adalah istri, gue udah digugat cerai.

Sambil nulis skripsi, tak lupa gue menyisihkan waktu untuk menyebarkan informasi mutakhir yang gue terima dari jurusan ke teman-teman seperjuangan gue. Dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, short message service (SMS) gue anggap udah bukan jamannya lagi. Itu sangat 2000-an awal, ini tahun 2010 bung. Oleh karena itu gue memutuskan untuk memakai media Facebook sebagai tempat penyebaran berita penting itu. Pesan yang gue tulis adalah :

Untuk para veteran yang masih di medan perang, ditunggu para Kepala Peleton hari Senin, 15 Februari 2010 di gedung M jam 10 pagi. Kita mau bagi raport bayangan, jangan lupa beri tahu orang tua masing-masing untuk hadir memakai safari dan naik sepeda ontel seperti di film Sang Pemimpi.


Semoga, tidak ada dosen yang nge-Like This status ini dan muncul kata kerja baru yang cocok untuk istilah 'Memberikan Like This di Facebook'.





mari kita lanjut...

Senin, Februari 01, 2010

Symphaty for The Devil

Hari Sabtu kemaren, 30 Januari 2010, gue pergi ke sebuah acara musik gratisan bernama New Days 2010. Acara yang pada awalnya gue gak percaya ada. Seperti utopia. Karena promosi cuma dilakukan lewat Facebook, gratis, sponsor cuma satu, tapi punya line-up artis yang keren-keren. Ada SORE, Efek Rumah Kaca, The Banery, Maliq & D' Essentials, RAN, The Upstairs, dan Pee Wee Gaskins. Dari sederetan artis yang ada, gue paling penasaran sama yang terakhir. Bukan karena gue suka musiknya, tapi gue penasaran sama isu yang beredar kalo penggemar-penggemar mereka yang disebut "Party Dorks" selalu berpenampilan lucu (dalam artian yang negatif).

Datanglah gue ke panggung Pee Wee Gaskins (PWG). Musik "Tuit-tuit" mereka gak terdengar jelas di kuping gue, gue lebih suka ngeliat panggung lain di depan panggung. Panggung itu berisi sekumpulan anak-anak bocah, kemungkinan masih SMP, yang pakaiannya full merah-putih dari atas ke bawah. Topi merah putih dengan tulisan "DORKS" (Apakah mereka tau kalo artinya adalah BODOH?) , jaket merah dengan tulisan PWG di punggungya, dan tak lupa celana putih. Kacamata besar yang lebih tepat disebut kacamuka kepasang di bawah jidat, seperti orang gila mereka loncat-loncatan tak jelas arah, mengangguk-angguk seperti resleting naik-turun.

Gue memandang mereka seakan berkaca di depan cermin besar. Gaya lucu mereka yang terlalu mengikuti jaman sama persis kayak gue dulu, tepatnya kelas 1 SMP. Gue baru aja ganti bet kemeja gue dari merah jadi kuning dengan tulisan "OSIS". Bangga. Celana gue berubah juga menjadi biru, berikut topi, dan gue mulai memakai dasi.

Pada saat itu gue baru mengenal musik dari temen gue yang bernama Tobing. Jika pas SD gue cuma tau Lingua, Project P, dan Stinky. Pokoknya musik-musik yang ada di Delta, yang video klipnya selalu disertai dengan lirik. Dengan racun yang dia cekokin ke gue, perlahan-lahan gue mulai bisa mengerti musik yang menjadi tren masa kini. Pada masa itu, musik yang menjadi tren adalah musik SKA.



Menganggap kalo suka hal-hal yang berbau ska adalah hal yang keren, gue mulai mengendus-endus segala hal yang berbau ska. Majalah gue berubah dari BOBO dengan Oki Nirmala -nya menjadi HAI dengan ulasan lengkap tentang ska. Dari situ gue belajar tentang gaya-gaya paling mutakhir ala ska. Pertama-tama gue belajar goyang Pogo, goyang ala ska, seperti terlihat pada gambar di atas. Gerakannya seperti gerak jalan seperti biasanya, namun dibuat jauh lebih hiperbolis. Untuk latihan, gue make musiknya Tipe-Ex yang berjudul "Genit"

Aa... entah sampai kapan
Aa... ku mampu bertahan
Hindari kenyataan
Entah sampai kapan
Aa... ku mampu bertahan
Hindari kenyataan
Mungkinkah terpikir lepas belenggu hitam

Pada bagian reff-nya, gue menari seperti orang gila, sendirian di kamar. Rusuh. Gue seperti menemukan musik yang pas untuk jadi identitas. Abis itu gue liat MTV (waktu itu masih gabung sama ANTV). Televisi terbukti menjadi guru yang efektif. Gue ngeliat video klip Tipe-Ex dengan anggotanya yang memakai topi pet ala Pak Tino Sidin dan kemeja hawaii bercorak pantai. Tak lupa pake celana kargo 3/4 sebagai pelengkap. Kalau kehidupan gue digambarkan jadi manga atau anime, tangan gue akan terkepal dan mata gue berbinar-binar memancar cahaya.

"Ini baru keren", batin gue dalam hati.

Mulai lah pencarian gue akan pernak-pernik ska. Tren pada saat itu belum difasilitasi seperti saat ini, contohnya melalui distro-distro yang tersebar di penjuru kota. Pencarian gue lakukan di daerah Tanah Abang, di sebuah pasar yang bernama "Sogo Jongkok". Untuk yang gak tau apa Sogo Jongkok, itu adalah sebuah pasar pagi yang cuma ada pas hari minggu. Barang-barang yang disana kualitasnya gak kalah dari yang dijual di Sogo, bahkan menurut klaim penjualnya barang-barang ini emang barang Sogo yang di-reject. Tempatnya di tengah jalan, di atas aspal, dan cuma beralas tikar. Untuk milih-milih barang yang disukain, kita harus jongkok. Pembeli jongkok, penjual juga jongkok, jadilah tempat itu dinamakan Sogo Jongkok.

Sogo Jongkok cukup memenuhi nafsu pengumpulan pernak-pernik ska gue. Disana ada kemeja hawaii. Gue beli yang warna biru dengan motif siluet pulau kelapa yang gagah berdiri di depan sunset. Keren. Selain kemeja, ada juga topi pet yang terbuat dari kulit. Gue gak tau itu kulit apa, entah sapi atau trenggiling. Sambil matut-matut di cermin kecil seadanya, gue merasa bangga telah mengikuti tren yang ada. Terakhir, gue beli celana kargo 3/4 berwarna krem. Oiya, demi menambah gaya gue berencana gak mau ngancingin kemeja hawaii gue. Gue pengennya kemeja hawaii itu terlihat seperti jubah yang melambai-lambai. Untuk itu gue beli baju bertulisan Billabong warna ijo yang bakal gue pake sebagai daleman. Kemudian saat gue ngeliat benda bagus yang bisa gue pake sebagai variasi, inovasi ala gue. Gue ngeliat ada dompet merah yang pake rantai untuk dikaitin ke celana. Entah buat apa itu rantai, dompet gue kebanyakan isinya duit cepe'an kertas, siapa juga yang mau nyopet?

Dengan setumpuk perlengkapan yang udah lengkap, gue berniat mempraktekkan kemampuan gue untuk ber-ska di pentas seni SMA 68 yang bernama Carasel. Beh. Gue udah berasa keren.

  • Pake topi pet, sadis.
  • Di bawah topi, gaya rambut gue modis masa kini. Belah tengah ala Bertrand Antolin di Clear Top 10. Dengan rambut gue yang keriting, rambut gue keliatan kayak dua perosotan didempetin.
  • Kemeja hawaii, ciamik!
  • Daleman ijo dengan tulisan Billabong, mencolok!
  • Celana kargo 3/4 warna krem, cadas!
  • Sepatu Converse warna abu-abu gelap, classy.
  • Tak lupa kaos kaki agak tinggi, sehingga terlihat nyambung dengan celana kargo. *speechless*
  • Rantai bernuansa perak menyembul di paha kanan, sangar!
Itu konser pertama yang gue datengin, tempatnya di Senayan, gue lupa dimana tepatnya, dan gue terlihat seperti badut kecil yang didandanin aneh. Tapi itu menurut gue yang sekarang, kalo menurut gue pada saat itu (Mirzal kecil jaman SMP), dandanan itu adalah dandanan paling keren sedunia. Dengan PD gue maju, sok-sok goyang pogo tapi gak ngarti apa yang dimaenin. Mungkin orang-orang ngeliat gue seperti gue ngeliat Dorks-nya PWG. Seorang anak kecil hiperaktif yang bahkan gak ngerti musik apa yang mereka maenin. Tapi tentu aja gue gak peduli, karena gue sedang melakukan hal yang menurut gue keren. Seenggaknya menurut temen gue dan gue berusaha untuk diterima di lingkungan sosial gue pada sat itu.

***

Terus terang, menurut gue fenomena pemuda-pemudi berpakaian aneh dan nabrak-nabrak yang pada saat ini sering disebut Alay (Anak Lebay) itu mempunyai sisi positif. Fanatisme berlebihan yang mereka anut ngebuat mereka alergi untuk beli barang bajakan, mereka bakal lebih merasa keren beli yang asli. Selain itu soal pakaian. Mayoritas pakaian mereka adalah buatan lokal . Udah gitu, mereka selalu mengikuti tren baru yang ada tanpa peduli pendapat orang lain. Implikasinya, barang-barang tersebut selalu laku dijual dan dengan banyaknya orang-orang seperti mereka, secara otomatis membantu dapur industri lokal tetep ngebul. Well, walaupun nabrak-nabrak dan terlihat norak, gue masih bisa menghargai mereka. Karena gue pernah menjadi seperti itu.


Dengan bangga gue mengakui :

Gue mantan Alay (Anak Lebay).





mari kita lanjut...