Jumat, Juli 23, 2010

Perubahan

5 tahun hidup gue di kampus tak akan lekang oleh apapun. Bab kehidupan ini akan resmi ketutup saat 26 Agustus nanti, saat gue pake toga tanpa pakaian di dalamnya. Nanti pas salaman sama Rektor sambil nunduk, bagian depan dan belakang gue akan sama-sama tersenyum. Mungkin kalau itu gue lakukan, video gue yang berjudul Wisuda Mesum akan menggeser popularitasnya Peterporn. Tapi enggak ah, pantat gue buluan. Malu.

Kampus yang gue datengin ini -FISIP UI DEPOK-, pada awalnya rindang dan banyak space untuk bernapas. Ada ruang besar bernama plaza di tengah kampus dengan pohon yang tak kalah besarnya. Pohon beringin, itu jenisnya. Kata anak-anak yang bisa ngeliat setan, pohon itu digelantungin oleh banyak makhluk halus. Tapi selama gue gak bisa ngeliat mereka dan meraka juga ogah diliatin gue, peduli amat. Gue dan kawan-kawan tetap senang duduk di sekitarnya.

Di plaza itu, terdapat 2 buah bangku yang terbuat dari kayu. Kita senang duduk disana sambil menunggu jam pertama dimulai. Bangku itu pada awalnya kokoh, namun terpaan hujan, angin, dan koloni rayap sukses mengubah bangku kokoh itu menjadi kopong dan lapuk. Pernah gue bermain kungfu dengan berlagak mematahkan kayu lapuk itu dengan teriakan ala Bruce Lee. Bangku itu patah sebagian dan gue merasa kuat. Dari dalam kayu itu muncul ratusan rayap bergerak panik, muter-muter tak jelas dan berhamburan keluar. Kalau saja gue bisa denger suara mereka, mungkin gue bisa denger mereka memaki, "Manusia bangsat! Udah keriting, gendut lagi! Gue sumpahin lulusnya lama!".

Oh, akhirnya gue tau kenapa gue lama di kampus.

Selain di plaza, kita juga punya tempat tongkrongan bernama Batang (Bawah Tangga). Batang itu terletak di lantai 1 MBRC, di sebelah warnet bernama M-WEB (dulunya). Warnet ini masih ada dan berfungsi saat gue masuk, dimana belum ada tren nyetrika celana pake leptop. Satu komputer dapet satu cubicle dan harga per jam nya 4.000 rupiah. Detik pertama diitung seribu, culas sekali, padahal kalo di warnet pada umumnya, detik pertama diitung 500 perak. Selain tarif internet yang kapitalis, M-WEB juga menerapkan tarif eksekutif untuk print. Print item-putih disitu harganya 1.000, kalo warna 2.500. Pasti prinsip hidup warnet itu Gold, Glory, dan Gospel.

Warnet itu ramai pada awalnya. Namun seiring adanya fasilitas hotspot dan semakin umumnya kepemilikan atas leptop, warnet itu ditutup.

Kembali ke Batang. Tempat ini biasa jadi tempat gue tidur siang dan berkumpul sama teman-teman. Lantai ubin itu bikin siang jadi sejuk walaupun banyak debu berterbangan dimana-mana. Di depan gue, banyak orang yang mau naik-turun tangga sliweran tak henti, tak peduli. Gue seperti kerikil, terlihat nyata dianggap tak ada.

Kalau Batang penuh sesak, biasanya gue ke Gazebo, tempat yang sekarang udah luluh lantak menjadi jalan setapak. Gazebo adalah sejenis rumah kecil yang didalamnya ada tukang somay, bakso, dan koperasi FISIP. Pada saat itu koperasi FISIP bentuknya seperti toko kelontong yang tak terurus. Barang-barang berserakan tak tertata dengan penjaga yang culas. Tapi menurut gue itu lebih baik ketimbang sekarang. Bentuk itu terasa lebih 'ngampus'. Kalo sekarang bentuknya kayak toko souvenir di Dufan. Tolong diluruskan lagi yah, ini kampus apa taman hiburan?

Perubahan-perubahan itu mengiringi kisah gue selama di kampus. Termasuk perubahan di kantin bernama Takor. Pada awalnya, kantin itu bertingkat dua. Jauh sebelum Skywalk di Plaza Semanggi, FISIP UI udah punya Skywalk sendiri. Walaupun gak tinggi-tinggi amat, yang penting tetep bisa jalan di langit. Atau mungkin lebih tepatnya Headwalk, karena gue bisa jalan di atas kepala orang yang lagi makan.

Pada saat ini, kantin atas itu udah berubah jadi ruang Sekber (Sekretariat Bersama). Semacam ruang rapat yang bisa dipake oleh siapa aja, organisasi apapun, dan bahkan jadi tempat buka puasa bersama oleh angkatan gue. Bilangnya sih kebersamaan, aslinya pengiritan. Kalau ada tempat gratis, kenapa musti bayar?

Ngomongin kantin, tentu saja gak bisa lepas dari es teh manis, minuman sejuta umat, dimana fluktuasi harganya juga gue ikuti. Saat gue masuk, harganya 1.000 perak. Masih murah. Abis itu naik jadi 1.500. Sekarang 2.000. Fenomena ini seharusnya dijadikan skripik yang berjudul : Fluktuasi Harga Es Teh Manis Ditinjau Dari Resesi Global Yang Dipicu Oleh Runtuhnya Ekonomi Amerika Serikat. Kalau ada yang mau ngambil judul ini, hubungin saya. Dengan senang hati saya akan jadi narasumber. Tapi perlu diingat, nama saya harus disamarkan dan muka saya dibikin mozaik. Terima kasih.

Bergerak ke depan gedung G. Tempat ini dulunya hanya lapangan kosong yang berisi pasir dan tanah keras. Persis seperti setting-an film koboy. Luasnya kira-kira sebesar lapangan futsal. Di pinggir-pinggirnya masih ada bangku tempat tongkrongan dan kantin kecil yang bernama Takoru. Kantin yang menyediakan minuman dengan rasa sabun yang kental. Motto kantin ini adalah : "Apapun minumannya, rasa sabun ada disana!".

Kantin sabun itu udah gak ada lagi sekarang, dirombak lebih bagus dengan tukang jualan yang lebih bermoral. Salah satunya diurus sama junior gue bernama U.N.I Coffe, kalau sempet cobain aja kesana, enak lho *sambil tagih upah promosi*. Kalau lapangannya udah jadi ruang dosen, koperasi, IT Center, toko souvenir, Bloc, dan Restoran korea. Dua nama yang gue sebutin terakhir adalah nama tempat makan di kampus yang harganya kantoran. Untuk Bloc, gue kesana kalo ada yang nraktir atau nebeng ngadem sama yang pesen makanan. Untuk restoran Korea, terus terang gue gak pernah makan disana. Lagian gue gak rela kalo disuruh makan Indomie rebus yang dihias pake kol dan sumpit dengan kuah dimerah-merahin, dipakein nama Korea, dan dihargain 25 rebu. Sungguh, gue sama sekali gak rela.

Agak masuk ke dalam kampus, ada selasar gedung E. Semacam tempat sakral untuk anak ADM dari tahun ke tahun. Disaat semua tempat tongkrongan udah diberangus, dibongkar paksa, dan digusur, tempat itu tetap berdiri kokoh tanpa ada yang mengganggu. Tempatnya luas dan asik, udah gitu adem, betah lama-lama disini.

Tempat ini serasa Catwalk di sore hari. Banyak mahasiswa dan mahasiswi bolak-balik dengan pakaian unik. Ada yang pake dress panjang macam baliho, ada yang pake bando pita segede bayi merah di kepala, dan bahkan ada cowok yang pake mini shirt, flat shoes, dan -mungkin- BH. Siapa namanya? Angkatan 05 pasti tau siapa yang gue maksud.

Oiya, gue lupa. Di belakang FISIP, dibalik pohon-pohon kurus, jalan setapak, dan rumput hijau, ada sebuah taman bernama taman Teletubbies. Itu nama umumnya. Kalo buat gue -dan angkatan gue-, tempatitu bernama Taman Penyiksaaan. Di tempat itu -pada awal masuk- kita sering dikumpulin untuk evaluasi buku angkatan -buku yang isinya tanda tangan senior-, latihan salam angkatan, mentoring, dan dimarahin kalo hasil evaluasinya jelek. Selain ada senior yang senang marah, tempat ini juga punya semut galak, dan matahari terik yang bisa melelehkan kulit. Percampuran tiga elemen itu lah yang membuat taman ini lebih tepat disebut Taman Penyiksaan. Sebuah tradisi yang gue turunkan ke angkatan ganjil di bawah gue. Hehee. Taman ini sampe sekarang masih ada, gak ada yang berubah, tetap menyiksa seperti biasa. Tapi gak afdol rasanya membahas tempat di FISIP tanpa membahas tempatyang satu ini.

Wah. Ternyata banyak juga yah yang berubah sejak gue masuk sampai sekarang. Dari FISIP yang lowong menjadi FISIP yang penuh sesak dengan orang. Seperti pasar. Gue curiga FISIP nerima murid baru setiap bulan, karena semakin hari semakin ramai saja kampus ini. Tapi gue yakin, saat gue melangkah nanti, tempat ini akan selalu ada di hati. Suasana ini gak bakal ada di lain tempat. Kenangan yang kuat memberi warna lekat di suatu tempat. Warna itulah yang akan selalu terngiang di kepala.




mari kita lanjut...

Sabtu, Juli 17, 2010

Garis Itu Bernama Tanda Tangan

Sidang skripik telah selesai. Dilanjutkan dengan masa hibernasi, dimana otak dijauhkan dari hal-hal terkutuk seperti persentase, Undang-Undang, Teori, Operasionalisasi Konsep, dan segala hal yang berhubungan dengan skripik.

Masa hibernasi itu gue sebut masa idah. Masa idah ini jaraknya sebulan dari tanggal sidang, itu kalau untuk sidang outline. Untuk sidang akhir, atau sidang skripik, atau sidang pembantaian, masa idah gak boleh lama-lama karena deadline pengumpulan skripik final adalah tanggal 9 Juli sedangkan gue sidang 28 Juni. Masa idah dalam sidang skripik gue patok 2 hari.

Oke. Gue bo'ong.

Patokan bukan berarti sama dengan kenyataan. Patokan adalah harapan, harapan adalah angan-angan, angan-angan adalah mimpi, mimpi biasanya jauh dari kenyataan. Sebenar-benarnya benar, masa idah gue adalah 5 hari. Selama 5 hari itu kerjaan gue cuma jalan-jalan, tidur di sofa, guling kiri-guling kanan, gelantungan di kusen buat olahraga, dan Poker Superstar II.

Pada hari ke-6 gue baru ngerjain revisi berdasarkan koreksi penguji saat sidang sebelumnya, bertempat di rumah, di atas sofa item, di temani Football Manager. Ternyata revisiannya gak ribet-ribet banget. Sehari langsung kelar. Tinggal nambahin satu atau dua kalimat, apus tulisan 'dalam' di awal paragraf, dan bikin matriks hasil penelitian. Kata' dalam' ternyata gak boleh ditaro di awal paragraf. Mungkin sesuai dengan arti kata-nya yaitu sesuatu yang ada di balik sesuatu. Seperti contohnya pada kalimat 'Dunia Dalam Berita' yang selalu motong keasyikan gue nonton Layar Emas di RCTI saat gue kecil dulu. Apalagi kalo ditambah Laporan Khusus, pengen rasanya gue demo Departemen Penerangan. Oke, ngaco.

Yang susah dalam revisi itu adalah nyocokin halaman. Terkadang penambahan 1 kalimat bisa merubah keseluruhan skripik. Membuat gue harus merombak ulang nomer halaman di dalam daftar isi dan di pojok kanan atas tiap halaman skripik. Belum lagi dengan persoalan teknis penulisan yang harus sesuai dengan SK Rektor. Puter puter diputer puter.

Setelah dipastikan benar skripiknya, baru gue print. Untuk kali ini gue gak perlu ngeluarin biaya gede, karena gue berhasil ngebajak printer yang diboyong abang gue ke kantornya. Kurang lebih seratus dua puluh-an halaman gue print. Sempet juga ngadat printer-nya. Entah kenapa. Mungkin dia ngambek, kerja banyak tapi gak dikasih makan. Sedikit ketukan lembut di badannya cukup untuk mengakhiri itu semua. Skripik final resmi dirilis.

Skripik final itu belum tentu final. Artinya, skripik itu masih mungkin di otak-atik lagi kalo misalnya tim penguji belum setuju sama isinya. Untuk itu dibuat yang namanya lembar pengesahan, sebagai bukti kalo skripik gue udah bener dan disetujui oleh mereka. Lembar itu harus ditandatangani oleh para penguji:
  1. Bapak Sanur, Ketua Sidang
  2. Bapak Awan, Sekretaris Sidang
  3. Bepe (Babe Pembimbing)
  4. Mbak Miss, Penguji Ahli
  5. Rektor UI*
  6. Presiden Indonesia*
Ket : * DUSTA

Pencarian tanda tangan ini mengenal sistem hirearki, dimana penguji ahli duluan, kemudian pembimbing, sekretaris, ditutup ketua sidang sebagai pentolannya. Hari Rabu, 7 Juli 2010, petualangan gue dimulai. Gue berangkat ke FISIP UI, tempat dimana Mbak Miss sering berada. Dari jam 12 siang gue udah sms dia, janjian mau ketemu minta tanda tangan. Ternyata dia lagi gak ada di kampus, baru ada jam 4 sore. Demi dia, gue nunggu sampe jam 4 sore.

Jam 4 sore, dia gak ada kabar. Baru ada kabar jam 5, katanya dia udah dijalan menuju kampus tapi masih kejebak macet. Jam 6, tepat abis adzan maghrib terdengar lantang, dia baru bisa ditemuin ke ruangannya.

"Mbak, ini revisinya..."

"Beneran udah dibenerin kan?"

"Pastinya mbak" kata gue. Yakin. Di mulut, bukan di hati.

Dia pun langsung tanda tangan di lembar pengesahan. Gue kasih dia 5 biji lembar pengesahan, buat jaga-jaga. Setelah tanda tangan baru dia liat skripik gue, bagian kata pengantar. Dicorat coret lagi. Dia mencoret tulisan 'sobat kentel macem kopi' dan 'J'taime!'.

"Ini apaan coba!?"

"Ucapan terima kasih mbak"

Ternyata dalam situ pun kata-katanya harus ilmiah. Untung gue gak jadi masukkin ucapan terima kasih ke Amerika Nakal, Raja Realitas, Apartemen Si Mike, atau Saya Mau Bercinta Dengan Emak-Emak.

Selesai minta tanda tangan Mbak Miss, selanjutnya, gue mau nyari Bepe.

Bepe gue orangnya sibuk, dia adalah praktisi perpajakan yang kerja di Kantor Akuntan Publik di daerah Kuningan. Nama perusahaannya bisa diliat di papan iklan pinggir lapangan kalo lagi maen PES. Untuk memastikan dia ada dimana, gue sms dia. Gue memilih kata-kata terbaik. Kata-kata sopan untuk ngajak ketemuan, istilah jaman sekarangnya Kopi Darat. Kopi darat kayak tren ababil jama sekarang sama temen Fesbuknya. Gue sms dia malah balik tilpun.

"Oi jal! Ketemu besok pagi aja ya di Pengadilan Pajak!"

"Jam brapa ya pak?"

"Yaa kira-kira jam 10 lahh. Gue ada sidang soalnya"

"Kalo sekarang bisa gak pak?"

"Waduh, kalo malem ini gue mau wara-wiri, susah ditemuin"

Ternyata dia mau wara wiri, kayak Komeng sama Adul. Gue cuma bisa pasrah, nurut. Gue curiganya sih dia mau nonton bareng, karena malemnya ada pertandingan Argentina-Jerman.

~o~

8 Juli 2010, H-1 deadline pengumpulan skripik.

Gue bangun jam 1.45, nonton Argentina-Jerman sambil nge-print skripik dengan format bolak balik. Hasil print skripik gue sebelumnya resmi tak terpakai. Menambah sampah kertas di dunia dan memberi kontribusi nyata ke global warming. Greenpeace bisa marah-marah kalo tau hal ini.

Ternyata repot juga ngeprint bolak-balik. Semua karena konsep UI sebagai Green Campus yang meminimalkan penggunaan kertas dengan format bolak-balik. Alih-alih hemat kertas, malah banyak kertas yang kebuang karena gue gak biasa nge print bolak balik. Ini sangat merepotkan, apalagi dengan konsentrasi yang terpecah antara nge-print, ngantuk, dan ngeliat gol Thomas Mueller. Seringkali hasil print-annya gagal, dibalik halaman 1 bukannya halaman 2 malah halaman 8. Jelas aja harus diulang. Mencintai lingkungan memang bagus untuk anak cucu . Tapi untuk kali ini, anak cucu gue sangat merepotkan.

Jam 5 subuh gue baru selesai nge-print skripik. Abis itu tidur sampe jam 8 pagi. Jam 8 bangun, tidur lagi. 8.05 bangun, tidur lagi. 8.10 bangun, tidur lagi. 8.15 bangun dan hape gue lempar. Fungsi snooze sangat menggoda untuk dipencet. Gue langsung loncat dari tempat tidur, menuruti lagu 'Bangun Tidur', kecuali pada bagian ngompol dan menolong Ibu.

Jam setengah 10 gue baru sampe di Kemenkeu, gedung Dhanapala, tempat dimana Pengadilan Pajak berada, diiringi oleh ujan deras yang mengguyur Jakarta. Derasnya luar biasa. Bumi seakan disemprot pake selang pemadam kebakaran. Yang nyemprot anak umur 2 tahun yang suka nyiram sarang semut pake selang aer. Selain ujan deras itu, angin juga bertiup sangat kencang. Payung gue yang tadinya berbentuk tutup panci berubah jadi corong minyak karena ketiup angin. Sampe-sampe ada nenek terbang... Naek pesawat tentunya, bukan karena ketiup angin.

Setelah masuk ke lobby gedung, gue langsung sms Bepe.

Pak, ada dimana ya? Saya udah di Pengadilan

Setelah beberapa lama menunggu, sms balesannya baru masuk.

After lunch ya, sekitar jam 2

Percuma gue bangun pagi, ternyata dia belum bisa ditemuin juga. Gue kebingungan di lobby gedung. Lama gue bengong disana, mikirin langkah selanjutnya. Akhirnya gue berinisiatif untuk nyari ketua sidang dulu, Bapak Sanur. Ternyata dia lagi ada di kampus Depok sampe jam 2. Tanpa pikir panjang, gue langsung meluncur kesana. Naik mobil Livina dengan temen satu bimbingan gue bernama Za. Ngebut. Menembus ujan yang derasnya membuat jarak pandang cuma sekitar 5 meter ke depan. Itu dilakukan untuk ngejar ketemu Bepe jam 2 nanti. Gue berubah jadi Jason Statham, minus badan sterek dan muka tampannya.

Parahnya, saat gue jadi Jason Statham, setelah keluar dari tol, tepatnya di daerah Lenteng Agung, tilpun gue berbunyi.

"Dimana kamu?" Ternyata cewek gue, Ode, nelpon.

"Aku lagi di Lenteng Agung, mau ke kampus"

"Hah? Aku dari tadi nungguin di Dunkin Tanjung Barat, kirain mau bareng ke kampus"

"Ya ampun, LUPA!"

Gila, demi mendapat garis-garis bernama tanda tangan gue sampe lupa pacar sendiri. Kemaren gue sempet bilang untuk barengan ke kampus begitu gue dari Kemenkeu. Tapi apa lacur, nasi udah menjadi bubur, dan bubur itu harus dimakan. Setelah minta maaf lewat sms, gue tetep meluncur ke kampus begitu aja. Dia pasti marah, tapi ya sudahlah, gak semua bubur rasanya enak.

Jam 11 gue berangkat dari Kemenkeu, 11.45 gue udah sampe kampus. Langsung ke ruangan Bapak Sanur. Sesampainya di depan ruangan Bapak Sanur, gue mendengar musik ala Frank Sinatra sedang diputer di dalam. Saat gue ngintip ke dalem, ternyata Bapak Sanur lagi santai-santai menjelang tidur. Kakinya dilurusin sambil dengerin musik dengan suara vokal yang berat itu. Mungkin saat-saat santai seperti itu adalah surga dunia bagi dia. Datanglah gue sebagai iblis mengetuk pintu. Merusak surga dunia. Untung aja dia gak kaget dan kejengkang dari tempat duduknya. Kalau itu terjadi memang sangat lucu sekali, tapi jadi tak enak hati.

"SIAPA ITU!?"

"Saya pak". Gue malah ngasih jawaban absurd. Goblok.

"SAYA SIAPA!?"

Pengen rasanya gue jawab "Saya adalah Jin dari Timur Tengah", tapi gue baru inget kalo masa tayang Jin dan Jun udah abis.

"Mau ngasih revisi pak"

"MASUK!"

Setelah disuruh masuk dan duduk di bangku yang telah disediakan, gue langsung ngasih skripiknya, tepat di lembar pengesahan, biar gak dibaca dulu. Licik memang.

"Saya jadi apa ini?"

"Ketua sidang pak"

"Mana bisa saya tanda tangan? Pembimbing aja belum. Saya kan yang terakhir. Gini aja, kamu kejar dulu pembimbing, saya masih disini sampe jam 3"

"Gitu ya pak? Makasih." Gue langsung keluar dari ruangannya. Kembali bingung. Jauh-jauh gue dari Kemenkeu di daerah Senen dan ngebut sampe ngelupain pacar sendiri hanya untuk ditolak.

Daripada usaha gue kebuang percuma, gue memutuskan untuk ngejar Bapak Awan dulu sebagai Sekretaris Sidang. Kebetulan dia lagi ada di kampus. Untungnya saat gue datengin ke ruangannya, tanpa banyak argumen dia langsung tanda tangan di lembar pengesahan gue. Selanjutnya, kembali ke Kemenkeu.

Jam 12.00 gue berangkat dari kampus, Depok-Senen gue tempuh untuk kedua kalinya. Pada kali ini, gue kejebak macet di jalan tol dan berkhayal kalo mobil gue bisa berubah jadi Transformer. Bakal gue injek-injekkin mobil yang lain sambil ketawa ngenyek. Yang bikin iri, arah sebaliknya lancar jaya makmur sentosa, pengen rasanya nabrak pager pembatas dan jalan ngelawan arah. Sayang, ini kehidupan nyata bukan GTA.

Jam 13.00 gue kembali sampe ke Kemenkeu, gedung Dhanapala, buat ketemu Bepe. Sesampainya di lobby, secara gak sengaja gue ketemu sama Bepe. Berpapasan. Dia lagi jalan menuju ruang sidang diiringin sama dua orang ajudannya yang nyeret-nyeret koper gede berisi dokumen pajak. Tanpa banyak cing cong dia langsung gue todong Bepe buat tanda tangan.

Dia sempet nanya-nanya apa aja revisi gue, tapi belum sempet gue jelasin dia udah bilang "Oke". Semua itu hanya berlangsung 5 menit. Oret-oret 5 halaman pengesahan. Bolak-balik Jakarta-Depok 2x hanya untuk itu, seharga 5 menit umur dan 10 liter bensin, mungkin.

Ah, sudahlah. Yang penting gue udah dapet tanda tangannya dan tinggal melengkapinya dengan kembali ke Depok untuk minta tanda tangan boss terakhir, Pak Sanur sebagai Ketua Sidang. Kalo dia gak mau tanda tangan juga, ruangannya gue konciin, lampu gue matiin, dan gue kasih bom kentut di ruangannya. Kalau gak ada yang jual bom kentut, dengan senang hati saya kasih sumbangan kentut berbau Lavender.

Jakarta-Depok kembali gue lalui untuk yang ketiga kalinya. Lalu lintas di depan mata seakan melaju lebih cepat dari mobil, gue seperti terhisap di dalamnya. Dengan mata gue yang udah pice' itu, gue ngelirik indikator bensin. Ternyata tinggal satu tingkat di atas E, udah sekarat dan beresiko mati di jalan.

Oleh karena itu sebelum masuk ke jalan tol gue meraba jalan untuk nyari pom bensin. Ternyata gak ketemu. Gue nekat. Jakarta-Depok yang kira-kira berjarak 30 Km gue babat dengan bensin sekarat. Musik gue matiin dan AC gue bunuh untuk menghemat bensin, tanpa musik dan AC gue menerabas jalan tol. Anehnya -dan sialnya- jalan yang tadinya terlihat sepi jadi rame begitu gue ada di dalemnya. Gue cuma bisa manyun sambil kepanasan.

Begitu turun di Tanjung Barat, gue langsung ke pom bensin. Sempet juga ngeliat keadaan mobil gue yang terlihat seperti abis berkubang sama babi. Bodo amat lah. Itu bisa dipikirin nanti. Yang gue pikirin pada saat itu cuma lengkapnya lembar pengesahan.

15.00, gue kembali sampe di Depok. Tangan dan kaki udah gemeter. Kepala tengleng kayak orang India. Jalan udah sempoyongan. Barang apapun yang gue pegang pasti jatoh-jatohan. Efek kecapekan, sakit,dan belum makan. Gue langsung hubungin Bapak Sanur. Lagi nguji, ternyata. Dengan setia gue nungguin dia kelar nguji di luar ruangan.

15.30, dia keluar dari ruangan sidang untuk kembali ke ruang kerjanya. Tanpa banyak tanya, dia langsung tanda tangan di lembar pengesahan. Alhamdulillah. Tuntas sudah. Lembar pengesahan yang udah lengkap ditanda tangan langsung gue gabung ke dalam skripik untuk kemudian dijilid hard cover. Abang-abang penjilidan bilang jadinya besok. Yaudah lah. Pas. Emang besok deadline-nya.

Nulis cerita ini aja bikin gue ngos-ngosan karena harus mengingat kembali semua kejadian itu. Ampun. Ngebayanginnya aja bikin capek. Abis naro skripik di abang fotokopian, gue kembali ke kampus. Jalan-jalan sebentar sama pacar, cuci mobil, dan tepar. Hari esok menunggu. Hari pengumpulan skripik dan berkas-berkasnya. Salah satu berkasnya adalah pembayaran ijazah sebesar 75ribu. Dengan pengetahuan gue tentang dunia percetakan, gue tau akan ada yang mendadak kaya.


mari kita lanjut...