Selasa, Maret 30, 2010

Mengarungi Jeram Deras

Berenang adalah kegiatan yang sangat menyenangkan, dimana gue bisa bermain-main air meng-kecipak kecipukkan diri seperti seorang model panas yang memiliki bulu ketek pada tahun 90'-an awal. Air, seperti yang kita ketahui, bisa membawa kesegaran. Dengan catatan air itu dingin atau sejuk. Kalau panas, bisa membawa kesengsaraan. Lagian iseng, air mendidih malah dipake mandi. Emang sih warna merah di kulit sangat unik, tapi kalo dipegang orang malah panik.

Pada hari Kamis (25/3/2010), bertempat di kost-an Windra yang sedang memiliki masalah hati, berkumpullah anak-anak ADM 2005 yang memiliki kegilaan maksimal. Awalnya, kita ngumpul tanpa tujuan apapun. Kerjaannya cuma duduk dan ngata-ngatain orang. Ngakak sampe rahang mau copot rasanya.

Semua itu berubah dengan kedatangan kawan kita, anak ADM 2005 juga, yang bernama AntoBojong. Semenjak dia dateng, pembicaraan berubah menjadi penyusunan rencana untuk rafting. Kebetulan dia berpengalaman dalam dunia rafting dan ngerti segala tetek-bengek nya. Pertanyaan yang dapat disimpulkan dari kalimat terakhir adalah : Emang tetek bisa bengek?

Pertemuan itu berhasil merumuskan suatu acara. Kita bakal rafting di daerah Cireuteun, Bogor pada hari Minggu, 28 April 2010. Mulai hari Jum'at-Sabtu, gue sebagai orang yang ikut merencanakan bertugas mencari massa dengan kuota yang telah ditentukan. 12 orang saja. Setelah melalui lika-liku pertanyaan dan jawaban, negosiasi dan reboisasi, tapi tidak sampai impotensi, ditentukanlah 13 orang pengarung jeram.

Mereka adalah : Gue, Aan, Windra, Isa, Blun, Gimbal, Miranti, Inggar, Heru, Ojan, Apank, dan satu temennya Heru bernama Andi, dan Duti.

Keberangkatan kali ini mencatatkan rekor fantastis untuk anak 2005. Biasanya rencana dan realisasi keberangkatan beda 2 jam, contoh : Rencana jam 6 pagi, baru berangkat jam 8. Untuk acara kali ini, waktu keberangkatan hanya bergeser setengah jam. Hebat! Perlu dicatat di dalam buku rekor buatan kita sendiri. Sayang, buku-nya sendiri tak pernah ada. Jadi, mungkin itu semua akan terlupa.

Janjian jam 7, jam setengah 8 kita udah berangkat. Namun, kita masih harus nunggu sekitar setangah jam di daerah Cibinong. Menjemput seorang anggota yang lama sekali datangnya. Setelah itu, ngambil perahu di daerah kota Bogor, kemudian kena macet karena salah jalan. Nyasar di depan kampus IPB yang sangat macet. Jalanan untuk 2 mobil secara ajaib berubah jadi 4 mobil. Sampe di tempatnya, kita belum bisa langsung ke sungai. Perahu yang udah kita ambil tentu harus ditiup dulu. Untungnya sih gak pake mulut, bisa-bisa kita menjadi Geng Bibir Jontor. Niup-nya pake alat yang mirip vacuum cleaner mini dan pompa kaki. Setelah ditiup, barulah berasa kalo kapal itu sangat berat.


cara mompa kapal (diperagakan oleh model)

Jam 12 kita baru turun sungai dalam arti sebenarnya. Jalanannya sangat menurun dan licin berkat jasa tanah yang basah. Berkali-kali kita hampir kepeleset dan kepelanting. Udah gitu, kita musti ngangkat kapal yang beratnya naudzubillah. Bener-bener sebuah latihan fisik sebelum mengarungi liarnya sungai. Teknik mengangkat kapal itu pun gak sembarangan. Teknik-nya adalah :
  • 4 orang berdiri sejajar
  • Taro kapal di atas kepala
  • Jangan lupa kedua tangan memegang badan kapal untuk menjaga keseimbangan
  • Tambahkan kebaya, maka kita akan terlihat seperti Mbok-mbok penjaja gado-gado
Sesampenya kita di sungai, nafas udah ngos-ngosan. Tapi begitu naik kapal dan ngeliat jeram yang ada di depan sana, semangat berkobar kembali. Namun, berhubung semangat belum tentu membuat kita semua selamat, kita semua harus latihan mendayung dulu. Pelatih di kapal yang gue naikin adalah si Bojong. Dia berada di bagian paling belakang kapal, bertugas mengarahkan kapal menuju arah yang benar. Nama kerennya Skipper. Sedangkan 6 orang di depannya, termasuk gue, dinamakan Diaper.

Namanya juga amatir, dayungan kita suka gak kompak antara yang kanan dengan kiri. Kapal sering muter-muter kayak gasing atau ngesot kemana-mana. Kalo aja kita langsung masuk ke jeram, kita cuma berharap pertolongan Allah SWT untuk selamat. Jadinya, kita bakalan ngaji di kapal, bukan mendayung.

Setelah dirasa siap, dengan semangat tak terhingga kita semua masuk ke dalam jeram pertama. Niat awal kita mau masuk dengan moncong kapal duluan, tapi berkat skill mendayung yang sangat hebat, masuknya malah miring dan kapal sukses nyangkut di batu. Dengan miringnya kapal itu, air mulai masuk ke kapal hingga memenuhi setengahnya. Kita pun pindah-pindah tempat untuk ngerubah condongnya berat kapal, kemudian njot-njotan biar kapalnya bisa lepas dari batu. Saat kita melakukan proses itu, terpaan air gak henti-hentinya menyerang, membuat kita panik diskotik.

Kapal pun akhirnya lepas dari batu, kembali ke derasnya arus jeram. Kkta harus secepat kilat balik ke pos yang udah diatur sebelumnya untuk mengatur kembali laju kapal. Kapal kita udah semakin gak jelas arahnya dihajar sama arus yang sangat deras. Celakanya lagi, ketenangan kita udah ilang, dayung pun asal-asalan. Apalagi pas liat ke belakang, Bojong udah ilang. Kemana kah dia? Setelah kita cari, ternyata dia jatoh ke sungai!

Serempak 6 orang tersisa di kapal bilang, "KITA NGAPAIN LAGI NIH JONG....!!!!!???"

Gimana gak makin panik. Skipper itu seharusnya ngasih tau ke kita apa yang harus dilakukan malah jatoh. Apakah kita harus ikutan terjun dan ngebiarin kapal hanyut sampe Tangerang? Terus mendayung? Atau buka Al-Qur'an untuk memohon keselamatan!? Yang bikin kita panik : GAK ADA YANG BAWA AL-QUR'AN!!! .

"DAYUNG TEROSS...!!" tereak Bojong dari permukaan air. Kita pun dayung dengan teknik panik. Sempet nabrak pinggiran sungai, sebelum pada akhirnya masuk ke arus tenang. Begitu Bojong balik ke kapal, kita ketawain. Sekarang udah bisa ketawa, tadi meregang nyawa.

Kita pun lanjut mengarungi sungai. Nemu ada gelondongan kayu berayap ngapung. Tapi kok bisa bergerak? Ternyata begitu diselidiki lebih teliti, ternyata itu bukan gelondongan kayu. Itu adalah Gimbal yang jatoh dari kapal yang satu lagi dan ditinggal. Sadis benar kapal itu.

Setelah gue tolongin, gue akhirnya mengerti alesan kenapa mereka meninggalkan dia. Udah capek-capek kita tolongin, dia malah langsung loncat ke sungai lagi. Sok-sokan mau berenang ngejar kapal tempat dia bernaung. Ditolongin malah arogan. Ujung-ujungnya malah dia gak bisa ngejar itu kapal dan dia resmi kita tinggal. Hanyut, hanyut dah. Salah sapa arogan? Untungnya orang-orang dari kapal dia masih memiliki rasa iba, dia pun kembali diangkut ke kapal tempat dia bernaung.

gelondongan kayu berayap


Pada saat di tengah-tengah sungai, Bojong bercerita.

"Nanti ada jeram yang sangat berbahaya, paling berbahaya di antara semua jeram yang ada. Kita tidak boleh melakukan kesalahan sama sekali. Bisa berbahaya. Nama jeram itu Jeram Naga"

Cerita itu membuat bulu kuduk gue merinding. Apalagi begitu Miranti mengeluarkan pertanyaan yang berpotensi membawa kesialan, "Maksud lo berbahaya, bisa bikin mati Jong?"

"Ya, bukan gitu sih. Tapi bisa celaka aja karena disana banyak batu. Jadi musti hati-hati", kata Bojong dengan raut muka yang sebenarnya mengatakan : Salah dikit, siap-siap nyuruh orang tua pesen batu nisan dengan nama lo tertulis di atasnya.

Kemudian kita semua diam. Hening. Sebelum Bojong memecah kesunyian itu.

"Eh, itu dia Jeram Naga di depan!!"

Serempak kita semua bengong. Seperti disuruh perang saat lagi sikat gigi di pagi hari, cuma pake kutang dan celana kolor bunga-bunga. Dimana gue harus menghadapi risiko mati tinggi dengan persiapan yang rendah. Sang Skipper pun langsung berteriak untuk mendayung. Kita semua mendayung sekuat-kuatnya, mengarungi ombak sungai yang tingginya melebihi kepala. Kapal kita serasa ditampar-tampar oleh kekuatan sungai yang maha dahsyat. Berkali-kali air bertamu ke kapal dan sesekali masuk ke mulut gue. Hoek. Air-nya warna coklat, entah isinya apa.

Seselesainya jeram itu, perjalanan berlangsung cukup tenang. Kalau pun ada jeram, tidak terlalu ramai dan berbahaya, walaupun tetap bisa membuat kapal terombang-ambing sampai kita menuju finish di sungai Cisadane.

Kita pun istirahat sejenak dan merencanakan kegiatan selanjutnya. Diputuskanlah kalau kita bakal mengarungi sungai itu dua kali. Yang membuat keputusan itu berat adalah : Kapal gak boleh dikempesin. Kapal besar yang pada awalnya dibawa pada jalan yang menurun, harus dibawa kembali ke atas dengan teknik yang sama. Atas = Jalan Menanjak = Gempor. Ini benar-benar olahraga ekstrim. Membuat nafas gue yang tinggal setengah menjadi seperempat saja.

Sesampainya di atas, kapal langsung kita jogrokkin di pinggir jalan dan gue lupa berada di negara mana gue sekarang berada. Mabok. Gue langsung duduk mengatur nafas yang ngos-ngosan itu. Kemudian setelah menunggu 1 jam untuk mencari angkot yang rela untuk ditaro dua kapal gede di atasnya, kita pun kembali ke tempat awal untuk kembali mengarungi sungai itu.

Pada perjalanan kedua ini, skipper kapal gue diganti sama anak Mapala bernama Duti. Entah karena skippernya lebih oke atau emang kita-nya yang semakin jago, perjalanan kedua ini terasa lebih mudah dan lurus. Lurus disini bukan berarti kita mengarungi sungai menuju mesjid. Lurus disini maksudnya adalah jalannya kapal. Pada perjalanan pertama, kapal sering muter-muter kayak komedi puter. Perjalanan kedua, arah kapal lebih jelas dan sangat penurut.

Perjalanan kedua itu terjadi sekitar jam setengah 5 sore. Sepanjang perjalanan itu, kita banyak menemukan orang mandi di pinggir sungai. Cowok. Memakai celana dalam pink. Membuat gue ingin muntah darah dan cuci muka 7 kali pake tanah. Ditambah lagi ada yang buka celana di pinggir sungai. Tadinya gue kira dia mau pipis dan gak sampe morotin celana. Ternyata enggak, dengan PD-nya dia morotin celana sampe keliatan cacing kremi di tengah rimbunan hutan hitam. Yang lebih menjijikkan, dia bukan berpose layaknya orang yang lagi pipis. Dia malah ngegoyangin itu cacing kremi ke kanan dan ke kiri ala Sinchan. Gue coba berpikiran positif disana, "Mungkin dia enggak gila, tapi emang mau mancing ikan piranha"

Pemandangan itu merupakan penutup pahit dari perjalanan gue yang manis ini. Bersama-sama teman mengarungi sungai, berpetualang bermain air. Satu-satunya efek samping dari arung jeram adalah ketagihan. Gue jadi pengen untuk melakukan hal ini beberapa kali lagi. Selain untuk olahraga, kegiatan ini menghilangkan stress melalui tereak-tereak saat diombang ambing arus liar. Seselesainya dari sungai, gue langsung ambil beberapa pelampung dan tas punggung, kemudian kabur.

Takut diminta ngangkat kapal, yang walaupun udah dikempesin, tetep aja berat.


*kabooeeeerrrrr*

Tim pengarung ADM 2005




mari kita lanjut...

Sabtu, Maret 20, 2010

Random Confession

DOREMILSA DOREMILSA: Pas un bisa niron g?
the Mirzals: apaan lagi tuh niron?
DOREMILSA DOREMILSA: Nyontek. Kicepkicep
the Mirzals: ooo
the Mirzals: kagak kepikiran
DOREMILSA DOREMILSA: Ga gaul bgt sih. Semua bhasa jawa aj ak bisa

Pada Sabtu siang yang panas tapi mendung, di saat baru bangun tidur. Terjadi dialog via YM dengan temen gue di Bandung bernama Milyar . Oiya, nama itu bukan nama samaran. Beneran ada. Saat pertama kali tau juga gue bingung dan menganggap itu adalah nama samaran. Ternyata itu nama beneran. Mungkin kakaknya bernama Trilyun dan adeknya bernama Juta. Gue curiga adeknya yang paling kecil namanya Recehan. Entahlah.

Dari penggalan percakapan di awal itu, ada dua kata kunci yang bisa dibahas panjang lebar. UN (Ujian Nasional) dan nyontek. Tahun ini gue ngerasa kalo UN dibikin sebagai makhluk menyeramkan yang gak pantas hadir di bumi ini. Facebook membuktikan hal itu. Coba deh cari gerakan 1.000.000 orang Facebooker menolak UN, niscaya akan muncul banyak group-group bermunculan. Kesimpulannya, gak bakal ada satu group pun yang bakal mencapai 1 juta orang. Lagian istilah dari mana sih Facebooker? Terdengar sepert sejenis sekte sesat. Apalagi kalo 'O'-nya dikurangin satu. Faceboker. Muka e'e.

Adanya banyak gerakan di Facebook itu, ditambah dengan banyaknya demo menolak UN sebelomnya, membuat gue berpikir. Apakah UN se-horor itu? Atau emang anak-anak jaman sekarang aja yang takut diuji? Setau gue, UN udah diadakan dari dulu dengan nama yang berbeda-beda. Mulai dari EBTANAS sampe UAN. Sedari dulu, setahu gue juga, belom ada yang protes tentang ujian itu. Gue jadi curiga, jangan-jangan yang protes itu gak mewakili aspirasi semua anak SMA. Itu cuma sebagian kecil anak SMA penakut yang gak berani untuk diuji dengan orangtua yang sama takutnya. Maybe. Mungkin juga enggak.

Pada saat UN dulu, gue sama sekali gak kepikiran untuk demo. Protes. Menggerutu gak akan menyelesaikan masalah. Yang ada di pikiran gue cuma belajar sampe muak. Kebetulan gue juga udah ikutan les di NF, tinggal dimanfaatkan secara maksimal. Gue sendiri udah les di NF sejak kelas 2 SMP, sejak NF-nya masih di Cempaka Putih. Mengingat NF, mengingat juga masa jahiliyah gue disana yang membuat gue merasa berdosa sampe sekarang.

Seringkali gue bolos pas NF. Sebagai anak sekolah, gue gak menghargai hasil jerih payah yang dikeluarkan orangtua gue untuk membuat gue menjadi lebih pintar. Alesan gue bolos sebenarnya simple, gue benci pelajaran IPA. Terutama Fisika. Pendalaman materi atas pelajaran itu cuma berhasil ngebuat kepala gue serasa kebelah dua, jatoh ke jalan, dan dilindes truk pengangkut beras. Kebencian itu sampe berimbas ke guru Fisika-nya.

Kebencian yang amat sangat mendalam itu, membuat guru Fisika terlihat sangat sangat menyebalkan. Wajahnya terlihat seperti sedang mengejek padahal dia sedang mengajar. Rambutnya yang keriting-klimis terlihat seperti tanduk kambing iblis Lucifer. Teguran dia karena gue berisik di kelas -walaupun gue tau itu salah gue- seperti pernyataan perang dari dia ke gue. Kejadian-kejadian itu menyimpukan bahwa : He's my enemy. Gue pun memasang ikat kepala imajiner warna merah ala Rambo.

Kebetulan juga, temen-temen gue disana ikut membenci dia. Padahal gue gak pernah menghasut. Mungkin karena otak kita setipe. Mulai lah kita berembuk berkonspirasi untuk melakukan kejahatan terencana, ngerjain itu guru Fisika. Organized Crime.

Rencana dimulai saat guru itu meninggalkan kelas untuk ke WC. Saat dia keluar kelas, gue dan temen-temen yang sekitar 4 orang ngikutin dia dari belakang. Ternyata dia gak mau ke WC, tapi ke sekretariat dulu yang ada di depan. Layaknya seorang tokoh spionase yang harus terus berada di balik bayangan, kita semua ngumpet di Musholla yang terletak tepat di depan WC. Sebuah keburukan dalam kebaikan. Tapi mau gimana lagi, musholla adalah tempat pengintaian terbaik untuk saat itu. Lampu musholla pun kita matikan untuk membuat keberadaan kita semakin samar.

Saat terdengar suara langkah mendekat dari luar,. Kemudian, di balik kegelapan Musholla, kita mengintip. Guru itu udah masuk ke dalem WC. Dalam hati gue tereak, "AHA!". Tau deh dalam hati yang lain. Seperti mafia yang mau berangkat berperang, kita semua bergerak ke depan WC. WC itu terletak di bawah tangga, tempatnya sempit dan tak ada ventilasi disana. Sumber penerangan satu-satunya cuma bohlam kuning kecil yang saklarnya terletak diluar. Garis bawahi dua kata terakhir. Terletak di luar.

Kalau aja kejadian ini direkam, muka kita akan terlihat licik, jahat, iseng, dan sedikit brengsek. Kita adalah para begundal nakal yang binal. Mata kita semua tertuju pada dua benda. Benda pertama adalah saklar lampu berwarna hitam. Kedua adalah grendel pintu yang juga terletak di luar. Secepat kilat kita geser grendel pintu menjadi terkunci dan saklar lampu diubah dari posisi ON menjadi OFF. Sebuah kejahatan sempurna. Apa lagi yang ditakutkan selain terkunci di tempat sempit yang sangat gelap, saat sedang buang aer? Semoga aja dia cuma lagi pipis. Kalo lagi boker, itu adalah sebuah kejahatan berganda.

Setelah itu. Kita lari ke atas. Menuju kelas.

"WOYYYY SAPA YANG MATIIN LAMPU DAN KONCI PINTUUU....!!!!", kata guru malang itu sambil gedor-gedor pintu. Gue dan teman-teman penjahat udah pada ke atas, sambil cekikikan ketawa-ketawa. Puas. Seperti menang perang atas musuh abadi. Akhirnya gue tau gimana rasanya jadi Presiden Amerika saat memenangi Perang Dunia Ke-II. Anak-anak yang lain pada bingung begitu kita masuk langsung berisik ketawa-ketawa heboh di belakang.

Belum sempet mereka nanya ada apa, pintu kelas langsung terbuka tiba-tiba. Guru Fisika itu muncul dengan muka merah terbakar amarah, pucat, rambut lecek, dan baju ikutan lecek. Berdua dengan orang sekretariat yang sepertinya menolong dia dari ruang kegelapan itu.

"Siapa yang ngunciin saya di kamar mandi!!??"

Terus terang, gue pengen ketawa ngakak guling-gulingan di lantai sampai lantainya jebol. Tapi pada saat ini gue gak boleh melakukan itu. Bisa-bisa gue diracun pake sampah serutan pensil, atau ditanduk dengan rambut-tanduk-domba nya itu.

Ditanya kayak gitu, tentu aja gak ada yang mau ngaku. Hey, kalo semua penjahat ngaku, penjara bisa penuh dan negara bangkrut. Gue dan teman-teman memilih diam. Guru Fisika itu pun terlalu baik, gak mau menuduh siapa-siapa. Mungkin karena lingkungan Islami di NF membuat dia dilarang untung Suhudzon dengan orang lain. Setelah bertanya, dia keluar sebentar, kemudian balik lagi dengan pakaian dan rambut yang sudah rapi.

Pada saat itu, secara sembunyi gue tos-tosan dengan teman gue. Tapi kalo dipikir-pikir lagi sekarang, perbuatan itu sangat keji untuk guru sebaik itu. Gimana enggak. Setelah dikerjain kayak gitu dia bukannya berhenti ngajar atau ngajar sambil marah-marah, dia malah keluar sejenak hanya untuk bersih-bersih dan kembali mengajar. Mengajar anak-anak yang kemungkinan udah ngerjain dia. Bukan kemungkinan lagi. Tapi emang ngerjain dia.

Saya mohon maaf pak. Itu masa labil.

Dosa terbesar lain juga adalah gue gagal masuk IPA. Pada saat itu gue digadang-gadang untuk masuk IPA sampe diikutin les sama orangtua gue. Tapi apa yang gue lakukan sangat jauh dari eskpektasi yang ada. Gue banyak cabut dan gak serius saat disana. Kalo gak ke warnet atau ngobrol, gue tidur di dalem kelas. Sesekali gue juga pergi maen bola, studio band, atau sekedar main ke rumah temen. Pada akhirnya gue masuk IPS dan penyesalan yang gue alami adalah karena gue udah ngebuang-buang hasil jerih payah orangtua gue bekerja sepanjang hari. Masuk IPS pun mungkin emang takdir gue. Dari situ juga lah gambaran impian gue saat SMA dulu menjadi suatu hal yang nyata. Gue bisa kuliah di Universitas Indonesia. Suatu impian yang pada saat ini menjadi mimpi buruk karena tak kunjung lulus.

Penyesalan memang selalu datang terlambat, tetapi jangan sampai lupa ambil hikmah di dalamnya.

Kembali ke UN, gue dengan bangga bilang kalo gue sama sekali gak berpikir buat nyontek. Ujian idup-mati kayak gitu, masak gue ngegantungin nyawa gue ke orang lain? Berpikir sendiri dan kerja keras kayaknya jawaban yang lebih tepat.

Tapi bukan berarti gue gak pernah nyontek. Untuk ujian-ujian yang sifatnya rutinitas, prinsip 'Posisi menentukan prestasi' sangat gue terapkan. Segala macem cara nyontek udah gue pelajarin, mungkin gue bisa menulis Kitab Suci Untuk Sang Pencontek. Tapi ujung-ujungnya, gue juga bisa menyimpulkan belajar lebih efektif ketimbang nyontek kok. Terbukti pada saat ini, saat gue kuliah tanpa teman-teman seangkatan lagi. Lagian kalo nyontek tanpa belajar, sama aja dongo kuadrat.

Gue juga mengakui kalo gue pernah nemenin temen gue keliling Jakarta untuk beli soal. Damn. Harganya sangat beragam, mulai dari 500 rebu sampe 5 juta. Pada akhirnya gue bilang ke temen gue, "Lo yakin itu bakal keluar?" Sebuah pertanyaan yang membuat dia mengurungkan niat membuang uang dengan risiko tertipu mentah-mentah. Toh, pada akhirnya kita semua lulus dengan hasil memuaskan.

Semangat untuk anak-anak yang mau UN! Be your best, not just anybody's best!


mari kita lanjut...

Selasa, Maret 16, 2010

Kisah Awal Masa

Hari sabtu, 13 Maret 2010 kemaren, gue pergi ke acara jurusan gue yang bertajuk MBJ ADM 2009 di Menara 165. Seumur-umur gue di ADM, baru sekali gue ngerasain MBJ diadain di sebuah gedung yang lebih cocok dipake untuk nikahan. Oiya, sebelumnya gue jelaskan dulu apa itu MBJ. MBJ merupakan singkatan dari Malam Balas Jasa, yaitu sebuah malam yang didedikasikan oleh anak-anak baru kepada para seniornya yang udah ngebimbing mereka di kampus. Well, lebih tepatnya ngerjain mereka. Kalau pada tahun ini, anak-anak baru hanya dikasih masa bimbingan selama 2 minggu saja. Berbeda sama gue waktu itu, 6 bulan.

Ikut di acara itu dan ngeliat ada name tag ditempel-tempel di tembok membuat gue inget tentang awal-awal gue masuk kampus. Gue sebagai anak SMA yang gak tau apa-apa di doktrin segala sesuatu tentang horor-nya senior. Saat itu gue make baju sma putih dengan celana putih, ditambah dengan jaket kuning, dan karton berbentuk persegi panjang berwarna oranye di kantong kanan yang berisi nama gue. Pada saat itu, gue dikasih tau kalo senior adalah sejenis makhluk buas berbahaya yang bisa menyerang tiba-tiba kalau gue gak pura-pura mati di depannya. Bahkan saat gue pulang dari acara orientasi yang diadain kampus, gue harus dikawal sampe ke stasiun.

"Takut nanti kalian ditarik senior sini", kata orang yang nganterin gue ke stasiun.

Seperti itu lah doktrin seniorisasi saat gue masuk kampus. Gimana gak bikin bulu kuduk gue merinding. Gue gak berani ngebayangin apa yang terjadi begitu gue ditarik senior. Mungkin badan gue bakal dicangkok rahim, terus dihamilin, dan dibuang di pinggir jalan. Apalagi begitu dateng senior jurusan gue, tepat setelah orientasi dari fakultas selesai.

Jadi ceritanya kalo di UI itu ada 3 masa orientasi. Yang pertama adalah orientasi Universitas yang kegiatannya itu disuruh jalan keliling kampus, ngangkat ketek, dan menyanyikan lagu perjuangan. Mungkin sejenis latihan demo dan baris berbaris. Di sini gue harus membawa seserahan aneh, tapi gue lupa barang apa aja yang diminta jadi sajen. Yang kedua itu orientasi fakultas, bentuk orientasi ini udah gue sebutin di awal tadi. Ketiga adalah orientasi jurusan, masa orientasi ini paling lama, yaitu 1 semester penuh alias 6 bulan.

Tugas-tugas yang diberikan mereka sungguh menyusahkan. Gue disuruh bikin name tag berwarna, tapi gak boleh menggunakan pewarna otomatis. Mmmm... Istilah 'Pewarna Otomatis' mungkin terdengar cukup aneh ya. Let's say, gak boleh dicetak! Nah, itu kosakata yang gampang. Name tag yang bentuknya berupa gabungan mahkota raja Inggris dengan kompas besar itu memiliki beberapa jenis warna yang berbeda dan gue diharuskan ngewarnain itu name tag pake crayon. Mengingat jumlah manusia di angkatan gue ada 146 dan gak semuanya mau kerja bikin name tag, jadi lah gue dan kawan-kawan lain ngewarnain 146 name tag sampe bego di kampus. Tepatnya di bawah pohon besar pada tempat yang dinamakan plaza. Efek dari ngewarnain banyak name tag itu, saat gue gak melakukan hal itu tangan gue berasa geter-geter sendiri kayak orang parkinson. Berasa masih ngewarnain pake crayon. Entah jadi kebiasaan atau trauma.

Selain itu ada yang namanya buku angkatan. Barang aneh ini lebih ribet lagi cara bikinnya. Halaman depannya pake kertas emas yang dibungkus semacam jaring putih. Di jaring putih itu harus ada jaitan yang membentuk bingkai foto, dimana di dalem bingkai itu ada foto gue seangkatan. Rame-rame. Kovernya aja udah ribet, apalagi dalemnya. Bukunya itu terdiri dari berlembar-lembar kertas dengan tabel yang harus diisi tanda tangan para senior. Mungkin kalo cuma tabel doank gampang. Tinggal cetak sebiji, abis itu fotokopi sampe seluruh kertas di bumi ini abis kebuang. Sayangnya ini tabel bukan sembarang tabel. Ini tabel bisa menyembuhkan penyakit kuning dan kelamin borokan *mental tukang obat*.

Garis tepi tabel itu harus terdiri dari 4 warna yang berbeda. Kuning, merah, biru, dan oranye kalo gue gak salah. Kalo salah maafkan saya. Dan seperti yang udah gue jelaskan sebelumnya, gak semua anak mau berkontribusi bersama. Imbasnya adalah, gue ngebawa berlembar-lembar kertas ukuran A5 ke rumah untuk di garis-garisin. Sejak gue pulang dari kampus, sekitar jam 6 sore, kerjaan gue di meja belajar. Ngegaris-garisin buku kayak anak TK lagi dihukum gurunya karena makan lilin prakarya pake kecap asin.

Pada awalnya, nyokap trenyuh ngeliat gue begitu serius di meja belajar, padahal hari udah menjelang malam. Mungkin dia terharu karena gue udah berubah menjadi mahasiswa kritis yang haus akan ilmu. Dalam imajinasi dia, gue lagi di meja belajar membaca berbagai literatur sebagai makanan untuk otak kiri. Mulai detik ini, pelan-pelan gue menjadi pemikir hebat seperti Aritoteles.

Sayang, itu semua imajinasi belaka. Hanya ada di kota yang bernama utopia. Begitu dia deketin dan ngeliat gue lagi ngegaris-garisin tabel dengan beberapa warna yang berbeda, dia langsung bilang, "Ya Allah! Lagi begini ternyata!!". Trus dia cabut.

Seselesainya ngerjain dua benda aneh itu, berada di kampus FISIP serasa di neraka dalam arti sebenarnya. Gimana enggak neraka, disaat cuaca panas terik, cuaca dimana kita bisa memasak telor mata sapi di atas aspal, gue diharuskan make jaket kuning yang lumayan tebel itu. Jaket kuning, name tag segede bagong, dan kepala gue yang masih botak secara otomatis memberikan cap "ANAK BARU IDIOT YANG SIAP UNTUK DIKERJAIN - BERDIRI SEJAK 2005".

name tag yang bikin tangan parkinson

Ke kantin FISIP, seperti masuk ke kandang macan. Sejak langkah pertama gue masuk itu kantin, sejak itu juga gue merasa diintai oleh orang-orang yang lagi duduk disana. Gue seperti sapi yang dimasukkin ke kandang raptor dalam film Jurrasic Park. Bedanya, gue gak punya tete yang menjuntai. Seringkali gue dipanggil ke meja para senior cuma untuk dikacangin, pernah juga disuruh nyanyi, dan disuruh pura-pura fitness di depan orang. Oleh karena itu, kantin FISIP merupakan Area 51 untuk gue.

Sebenarnya gue bisa menghindar dari itu semua. Berada di bawah tanah seperti tikus mondok dan hidup tanpa merasakan sinar matahari. Gue, lebih memilih gak melakukan itu. Bukan karena gue seneng dikerjain atau dipermalukan di depan umum. Tapi terus terang, tanpa itu semua hidup gue gak berasa apa-apa. Gak keren juga kalo misalnya nanti saat gue punya anak dan ditanya gimana rasanya pas masuk kuliah, gue menjawab, "Gak tau, bapak kabur".

Semua itu bakal menjadi cerita, mengisi lembar kehidupan gue, karena hal seperti ini gak bakal gue alamin dua kali. 10, 20, atau 30 tahun ke depan. Tergantung sampai dimana hidup gue. Kejadian seperti ini akan tetap menjadi kisah awal masa yang gak akan terlupa, dimanapun gue berada.



mari kita lanjut...