Rabu, Mei 05, 2010

Verbatim, Itu Namanya

Wah, ternyata udah sebulan gak update blog-nya. Lama sekali. Gak terasa. Ini bukan disebabkan karena gue lagi bulan madu ke bulan atau matahari, tapi lebih dikarenakan kebingungan gue dalam proses pengerjaan tugas akhir yang rambut gue keriting (Maksud gue, jauh lebih keriting).

Sebenarnya, gue udah dapet data dari Direktorat Jenderal Pajak, wawancara dengan informan disana. Untuk dapat menemui informan itu (sekitar 25 menit) gue harus melalui proses panjang yang dinamakan “Birokrasi” yang penuh dengan “Disposisi” selama kurang lebih 3 minggu. Sebuah jangka waktu yang sangat lama untuk meminta sesuatu yang begitu sebentar. Mungkin biar puas seharusnya gue ngajak itu informan minum kopi atau maen karambol.

"Pak, ada kerjaan lagi gak? Maen karambol yuk” terus gue keluar ngambil papan karambol yang udah gue tenteng dari rumah ke meja kerja dia, niscaya pertemuan itu akan menjadi sangat berharga. Tentu aja dengan resiko kepala gue gegar otak dikeprok papan karambol sama satpan.

Ketimbang cuma ngobrol 25 menit, wawancara mabok. Kenapa gue namain wawancara mabok? Karena saat gue wawancara itu, entah kenapa informan yang gue wawancara seperti ketarik ke belakang. Seolah-olah ada black hole di belakang tubuh dia. Informan gue semakin lama semakin terasa menjauh, membuat gue bingung untuk wawancara dan mencerna.

Well, itulah manipulasi pikiran yang dihasilkan oleh tidur jam 3 pagi.

Setelah wawancara rampung, tentu gue meng-konversi hasil wawancara yang berupa audio menjadi visual. Caranya adalah dengan menuangkan suara yang ada teresebut ke kertas kerja Microsoft Word, Notepad, atau apapun lah itu. Hasil pengetikan suara itu disebut verbatim.

Hambatan yang paling mendasar dalam membuat verbatim adalah congek. Apalagi kalo congek itu nempel di gendang telinga, membentuk membran baru. Suara informan mungkin beberapa saat terdengar jelas, tapi saat pikiran meleng sedikit, entah kenapa dia seperti bergumam. Mengoceh tak keruan. Solusi dari masalah ini adalah melambatkan tempo rekaman yang pada akhirnya akan membuat suara informan terdengar seperti pengakuan pedofil yang telah menggagahi 13 anak. Berat dan kayak ngomong dari balik air.

Untungnya, gue ngerjain sekripik baru-baru ini, jadi bisa pake Winamp, Aimp, atau pemutar file audio sejenis. Jadinya untuk rewind cukup dengan sekali klik saja, gue bisa mendengarkan suatu dialog sampe nempel di kepala gue seperti hipnotis. Gak kebayang kalo misalnya dulu saat blom ada perangkat lunak dan rekaman cuma bisa diputer di tape, dan direkam di kaset. Bisa keriting itu pita kaset. Rewind, fast forward, rewind, rewind, fast forward, KREKK...!! Pita kasetnya keluar-keluar. Itu berarti pita kasetnya udah matang, nikmati dengan keluarga terdekat anda. Hehee. Emangnya pita kaset Pop Corn, yang bleberan kalo udah mateng.

Ngomong-ngomong kaset dan tape, jadi inget kalo dulu gue pernah punya hobi ngerekamin lagu di radio. Jaman dulu kan gak kayak sekarang, dimana dengan adanya internet kita bisa nyari lagu apapun yang kita mau. Dulu kalo mau dengerin lagu yang kita suka semaunya tanpa membeli album penuh, harus mantengin radio dengan kaset di dalamnya. Udah gitu, kaset yang gue pake buat ngerekam itu bukan kaset kosong, tapi kaset LIA yang sampe sekarang gue gak pernah tau isinya apa. Gue inget banget waktu itu ngerekam lagu Boyzone - Baby Can I Hold You Tonight. Pas lagi enak-enak ngerekam itu lagu, radio dengan seenak udelnya motong itu lagu, diganti sama penunjuk waktu "Waktu menunjukkan pukul 6 sore, persembahan dari BB Harum Sari... Nempel dehh kayak perangkoo... ". Gue pun langsung mencak-mencak.

[Kembali ke masa sekarang]

Pada akhirnya verbatim itu jadi juga. Proses selanjutnya adalah konsultasi dengan dosen. Mangkuk perasaan gue penuh terisi dengan rasa percaya diri. Mungkin kalo jidat gue dikerok pake duit gocapan, bakal muncul tulisan "Percaya Diri Akut". Seperti tulisan dajjal di jidat dia. Tapi dalam kasus gue, tulisannya dalam artian positif.

"Mbak, ada waktu gak? Saya mau ketemu", kata gue begitu sampe ke ruangan dosen. Dosen yang gue maksud itu lagi ngetik, entah ngetik apa. Mungkin surat kelulusan gue, karena gue udah dapet verbatim (khayalan si bodoh).

"Ya ada apa?", kata mbak dosen begitu sampai ke mejanya.

"Ini mbak saya udah dapetin data dari hasil wawancara, valid gak?"

"Coba liat pedoman wawancaranya"

Gue langsung ngasih pedoman wawancara yang dimaksud. Seketika itu wajah dia berubah. Bukan berubah dalam artian : Berubah bentuk jadi muka Budi Anduk, raut mukanya yang berubah. Tadinya dia datar-datar aja saat ngomong sama gue. Begitu liat pedoman wawancara, alis dia naik turun dan jidatnya berkerut, dan jari telunjuk-jempolnya ngelus-ngelus dagu. Kalo muka dosen itu gue lambangkan jadi koran dan gue sedang membacanya, maka pada saat ini gue membaca berita yang sangat buruk. Berita Liverpool pindah ke Indonesian Super League, misalnya.

"Ini wawancara siapa?", tanya dia memastikan

"Orang DJP mbak"

"Siapanya?"

"Staff bagian Peraturan"

"Cuma staff? Gak valid dong, ulang lagi ya"

"Ulang mbak? Prosesnya aja 3 minggu", gue membela diri.

"Iya, ulang"

Jleb. Gue ngulangin proses itu lagi. Bolak-balik ke DJP kayak polisi nyariin Gayus. Vonis gak valid itu ditambah lagi dengan dicoretnya lembar pedoman wawancara gue. Seperti seorang samurai yang ngebunuh lawannya, dosen gue ngasih tanda silang "X" gede di lembar A4 skripsi gue, "Seharusnya enggak begini wawancaranya". Tinggal gue mangap, meratapi nasib, dan menerima kenyataan keji. Sinar di jidat gue udah ilang, jalan mendongak jadi menunduk.



mari kita lanjut...