Jumat, Juni 25, 2010

Cerita Seonggok Sekripik

Sekripik.

Sungguh sulit menyebut kata yang aslinya hanya terdiri dari 7 huruf tersebut dengan benar. Skrippp.... ik. Skkkk....ripik. Susah lah pokoknya. Nyebutnya aja susah, apalagi ngerjainnya. Selain harus nurut sama ketentuan yang berlaku, nulis skripik tidak bisa hanya mengandalkan imajinasi belaka. Gak mungkin gue nulis tentang pajak yang dipungut oleh manusia pohon yang berkepala durian. Kalo gak mau bayar pajak, disundul. Biar nuncep duriannya.

Nulis skripik membutuhkan data-data yang diperoleh melalui hasil wawancara, yang kemudian direduksi sebagai dasar analisis untuk menjelaskan fenomena yang menjadi masalah dalam penelitian. Damn. Sindrom skripik membuat tulisan gue (berupaya) ilmiah. Intinya, wawancara. Bikin daftar pertanyaan dan mendatangi orang bersangkutan, yang dirasa kompeten untuk dijadikan informan. Sempat juga diomelin sama informan sendiri, dibilang tidak valid dan sebagainya. Gue cuma bisa mengurut dada... dan kaki karena pegel ngejar informan.

Permasalahan dari wawancara selain congek adalah ilangnya rekaman wawancara. Seperti yang gue alami saat proses pengumpulan data. Saran saya, kalau anda mengalami kasus ini, panggillah teman anda yang bernama imajinasi. Bayangkan apa yang terjadi sebelumnya dan gambarkan imaji yang diciptakan oleh otak melalui 26 huruf yang ada. Kalo lupa, jadilah seorang novelis fantasi.

Kalau informan yang terkumpul dirasa cukup, saatnya bikin analisa. Maksud dari kata 'analisa' disini adalah : Mengarang bebas sampe otak berasa kaku, badan lemes, dan semangat hidup terkuras abis. Prosesi gue membuat analisa dimulai dari pagi hari. Jam 10 pagi gue udah nongkrong di perpustakaan FISIP, MBRC tercinta. Duduk di pojokkan tepat di bawah router wireless yang berkedip-kedip. Sahabat gue beranalisa pun berubah-ubah. Dari mahasiswi, mahasiswa, sampai bapak-bapak botak berkacamata. Entah itu bapak itu mahasiswa atau nungguin anaknya abis bagi rapport.

Kegiatan analisis data berlangsung sampai jam 11 malem, bertempat di pelataran gedung dekanat FISIP UI yang lampunya udah dimatiin. Pada saat itu, ngeliat tuts keyboard meningkatkan risiko bertambahnya minus mata sebesar 905% (nama bis jurusan Pulo Gadung yang jalannya miring 45 derajat). Keadaan gelap dan huruf-huruf terlihat samar. Pikiran udah mentok dan gue udah gak tau mau nulis apa lagi. Otak seperti disisir pake sikat kawat. Perih. Saat pulang ke rumah, jalan gue sempoyongan saking lemesnya. Ancur badan, ancur otak, kliyengan.

~o~

Tiba hari dimana gue ketemu bapak dosen pembimbing, berbekal skripik yang baru di print jam 9 pagi di daerah Kelapa Dua. Satu skripik harganya 27 rebu. Gue nyetak dua jadinya 54 rebu. Tekor. Dengan skripik yang masih anget itu, gue ketemu bapak pembimbing (Bepe). Ternyata dia lagi nyidangin anak orang. Sidang magang sepertinya. Karena satu-lawan-satu, bukan keroyokan kayak sidang skripsi.

"Ini pak, skripiknya"

Tangannya langsung ke halaman judul dan langsung tanda tangan, "Udah? Sidang aja langsung ya"

Draft pertama gue langsung disetujuin Bepe untuk disidang. Draft pertama yang dikerjain dengan metode Sangkuriang, sehari jadi. Draft pertama yang dikerjain sampe otak gue belah pinggir. Disidang. Entah
valid apa enggak itu analisis. Awalnya gue seneng udah disetujuin, lama kelamaan malah panik. Pikiran jelek menyeruak. Jangan-jangan nanti pas sidang langsung diusir karena skripiknya ngaco. Jangan-jangan gak ada dosen yang mau nyidangin gue, jadinya gue disidang sama OB gedung. Pikiran jelek kayak begitu muncul satu persatu dan status YM pun gue ubah :

"Padahal hatiku deg-degan kalo mikirin penguji, tapi, kenapa sih, mama, bilang, kalau sidang ini sidang monyet..."

~o~

28 Juni 2010
[Hari Penentuan]

Jadwal menetapkan kalo gue sidang jam 11.00. Kenyataannya waktu berjalan sangat cepat, berlari, sepertinya. Jam 10.00 gue udah disuruh masuk ke ruang sidang. Bertempat di H 102, gue duduk di depan 4 penguji yang siap menilai apakah skripsi gue layak lulus atau bladus. Leptop item gue, Shamira, gue buka dan gue setting, sinkronisasi dengan In Focus yang bertugas munculin
slide presentasi gue di tembok ruangan.

Sidang sekripik pun dimulai dengan membaca basmalah serta kalimat, "Selamat pagi kepada bapak dan ibu penguji...".

Sekitar 45 menit sidang berlangsung dengan aman, lancar, dan terkendali. Tidak terjadi pelemparan sepatu oleh penguji atau
hyportemia karena gue sidang di bawah AC yang suhunya amat sangat dingin. Jurus sapu jagad pun urung gue keluarkan. Apa itu Jurus sapu jagad? Jurus sapu jagad adalah jurus yang diciptakan oleh teman saya yang bernama Mo. Jurus ini sangat cocok bagi orang-orang yang gak tau mau jawab apa saat dicecer pertanyaan oleh penguji. Bagaimana cara untuk melakukan jurus ini dengan tepat? Berikut petunjuknya.

  1. Dengarkan pertanyaan penguji dengan seksama.
  2. Karena gak ngerti mau jawab apa, jangan memperlihatkan muka panik, langsung nunduk aja. Arahkan pandangan ke skripsi yang ada di depan anda.
  3. Bolak-balik halaman skripsi anda dari depan sampai ke belakang.
  4. Kalo halamannya udah mentok, ulang kembali nomer 4.
  5. Terus lakukan nomer 4
  6. Terus.
  7. Terus.
  8. Terus.
  9. Pertajam telinga anda untuk mendengarkan penguji berkata, " Udah?"
  10. Sudahi kegiatan nomer 4 dan pasang senyum termanis dan terindah di dunia. Kalaupun itu dosen gak terpesona, seenggaknya dia akan mual dan konsentrasinya akan buyar.
  11. Kalau gak bisa senyum manis, pasang muka melas kayak Puss In The Boots di film Shrek.
  12. Voila! Pertanyaan itu akan menguap begitu saja.
Alhamdulillah gue bisa menjawab setiap pertanyaan yang dilancarkan oleh penguji dengan argumentasi yang tepat. Entah tepat entah dia udah nyerah denger jawaban gue yang ngaco tapi dibungkus dengan muka serius dan bahasa yang (sok) ilmiah. Yang pasti jurus sapu jagad itu gak sempet gue pake. Diganti sama jurus ngasih-penguji-nasi-padang-Sederhana, dimana kalo misalnya gue gak dilulusin, nasi padang itu gak bakal gue kasih ke mereka. Biarin aja kelaperan *ketawa jahat ala Suneo saat gak ngajak Nobita liburan*.

Setelah gue sidang, gue disuruh keluar. Gue bergabung dengan 4 orang yang sidang sebelum gue. Mereka semua panik takut gak lulus. Gue santai. Karena gue punya nasi padang.

Sesi bertanya-tanya dan dag dig dug der Daia! berakhir. Salah satu penguji gue keluar dan memanggil kita ber-empat. Kita dijejerin satu-satu kayak lagi audisi Indonesia Idol. Bedanya di depan gue bukan Anang, Rossa, dan Erwin Gutawa. Di depan gue ada 4 penguji yang kompeten di bidang pajak, bukan nyanyi atau meluk-melukin Syahrini.

Ketua sidang mulai angkat bicara,"Menimbang dari presentasi yang telah kalian sajikan..."

[diem]

"Kami membuat keputusan berat..."

[diem]

"Dimana, banyak kekurangan yang masih harus diperbaiki dalam sekripik itu"

[diem]

"Untuk itu kami memutuskan..."

[diem]

Ini pengumuman lama bener jeda-jedanya. Sengaja didramatisir. Gue curiga jangan-jangan setelah ini dia bakal bilang,"SETELAH PESAN-PESAN BERIKUT INI!"

Ternyata enggak. Pada akhirnya beliau berkata,"Kalian ber-empat... dinyatakan LULUS!"

Gue girang bukan kepayang. Plong di ujung kepala. Seperti Kuntilanak yang ditarik pakunya. Dalam kasus gue, yang ditarik adalah otaknya. Otak gue yang tadinya beku, kaku, dan mungkin belah pinggir -udah bukan belah tengah saking puyengnya- serasa dibawa kabur entah kemana. Kepala terasa ringan. Spontan langsung gue salam-salamin itu tim penguji. Menghaturkan terima kasih dan memberikan nasi padang. Mereka berusaha sembunyi, tapi tetap terlihat girang dapet nasi padang.

Euforia lulus langsung menghinggapi gue, 5 tahun yang ada terbayar sudah. 1 tahun pengerjaan skripik sudah berakhir. Well, belom sih. Masih ada revisi yang harus dikerjain untuk melengkapi gelar sarjana. Selain resmi jadi sarjana, gue juga resmi masuk ke dalam data BPS pada bagian faktor penghambat pertumbuhan ekonomi. Pengangguran. Tapi,
the hell with that. Yang penting :

SAYA LULUS


mari kita lanjut...

Kamis, Juni 03, 2010

Di Sudut LIA Depok

LIA Depok, pukul 20:17.

Di depan gue ada dua anak perempuan lagi maen bola pake boneka Winnie The Pooh. Ada dua kemungkinan dari kejadian tersebut. Pertama, dua anak perempuan kecil yang memakai baju putih itu lagi terkena demam bola. Efek bakal dimulainya Piala Dunia. Kedua, mungkin mereka telah nonton serial kartun atau film Winnie The Pooh dan menyadari bahwa suara Winnie The Pooh kalo lagi ngomong terdengar mengejek dan dia sangat layak untuk ditendang-tendangin. I prefer the second one, I think.

Di sebelah kanan gue ada bapak-bapak berbaju polo shirt berwarna hijau dengan garis berrwarna putih-hitam memakai celana pendek berwarna biru dongker. Dia sedang main BB - Blackberry -, bapak-bapak gaul rupanya dia. Entah dia sedang maenin itu BB atau dia sedang bingung untuk menemukan cara untuk menelepon. Sepertinya alasan kedua yang lebih tepat. Karena saat dia ngeliatin BB itu, matanya sangat serius. Seperti seorang maniak Teka-Teki Silang (TTS) yang sedang pusing mencari kata apa yang pas untuk dimasukkan ke dalam kotak-kotak kosong yang ada. TTS yang biasanya ber-kover artis panas masa kini, memakai bikini, dan kadang berbulu ketek. Harganya 2.500, bisa ditawar. Biasa ditemukan di stasiun Manggarai.

Dengan dahi mengkerut itu, bapak berbaju hijau itu akhirnya nemu juga cara nelepon. Sekarang dia lagi asik nelepon sambil ongkang-ongkang kaki-nya. Ah sudahlah, kita tinggalkan saja dia. Ada pemandangan lebih seru lagi. Di sebelah gue, bangku sebelah gue mengetik blog ini, datang 3 orang cewek berbaju putih-abu abu. Dua orang berjilbab, satu lagi enggak. Yang gak jilbab-an make bando berwarna krem. Selain bando, dia juga memakai jaket abu-abu dengan cetakan berlebih di sekujur jaket. Kata orang sih namanya full print. Kata orang juga, cewek-cewek kayak begini dinamakan Ababil. ABG labil. Entah dari mana sebutan itu berasal. Kadang gue kagum dengan persepsi yang muncul tiba-tiba tanpa ada pencetusnya. Biasanya persepsi itu berkembang menjadi sangat detil dengan sendirinya. Seperti sebuah teori.

Dua orang ababil jilbab duduk dan si jaket fullprint berdiri sambil memagang tangan salah satu ababil jilbab. Jaket Fullprint curhat, "Tadi si Tono curhat gitu sama gue, dia bilang cariin gue cewek tapi deskripsinya itu gue banget. Rambut ikal-ikal gitu, kulit sawo mateng. Hihihihiii...".

Jaman memang sudah berubah. Jaman dahulu kala, curhat -curahan hati- biasanya dilakukan dalam konteks pembicaraan empat mata dengan nada suara pelan dan kecil. Hanya si pencurah hati dan si penadah hati yang bisa mendengarnya. Pada saat ini, curhat dilakukan di tempat umum, di depan semua orang, dan di ruangan terbuka dengan suara lantang bergema. Seantero Depok, mungkin sampai Nur Mahmudi sekalipun, bisa tau kalau Tono sedang flirting dengan si Jaket Fullprint dan dia tersipu malu akan hal tersebut.

Ada juga yang di dalem angkot sambil nelepon, seperti yang gue alamin kemaren. Secara kebetulan gue barengan sama seorang cewek golongan ababil yang lagi telponan dengan entah siapa. "Dia emang bangsat! Tega-teganya dia ngelakuin itu ke gue, padahal gue udah sayang banget sama dia". Si ababil awalnya marah-marah. Kemudian ada balesan panjang dari ujung teleponnya. Suaranya kecil dan tidak terdengar jelas. Suaranya terdengar seperti kicauan burung kutilang yang dicekek.

"Trus gue harus gimana dong?", kepala dia menghadap ke luar jendela, menatap jalan yang bergerak mengalir seperti air. Air comberan. Karena jalanannya item. Beh. Melankolis abis kan. Kalau aja dia disorot dari luar, soundtrack yang pas untuk ekspresi dia adalah lagu Mungkinkah yang dibawakan oleh Stinky.

"Iya sih, gue nya juga yang salah yak gara-gara jalan sama Wawan gak bilang-bilang", kata dia sambil garuk-garuk kaki. Terlihat lah kaos kaki yang dia pake. Kanan dan kirinya beda. Oke, mungkin itu adalah tren masa kini yang gak bisa gue pahami apa maksud dan tujuannya.

"Eh tunggu bentar ya, gue mau ganti angkot"

Hape dia pun digantung begitu aja. Ternyata hape GSM yang tarif nelpon per menitnya bernilai sama dengan satu buah Ipod di Zimbabwe. Haduh. Gue ketularan labil. Kalo kata orang, sindrom ini dinamakan lebay.

Sayangnya, gue bareng dia lagi dan angkotnya penuh. Saat angkot penuh dan untuk bernapas susah pun, dia tetap curhat dengan volume maksimal. Satu angkot sepertinya sepakat kalau perilaku ini masuk dalam kategori annoying dan orang ini layak dibasmi. Dikurung dalam Pandora Box bersama setan Yunani. Untungnya, dia turun duluan dan gue dikasih hadiah dari dia. Gue disuguhkan aksi akrobatik nelepon, berentiin angkot, dan bayar dalam satu waktu bersamaan. Jahatnya, gue berharap dia jatoh dan menghibur gue yang sedang penat pulang malem sambil puyeng karena sekripik. Ternyata enggak. Gue kecewa.

Well, that's all dah. Gue harus cabut karena sang pacar yang ditunggu LIA udah dateng. Saatnya jalan-jalan!! Let's go ahay ahay...

Cabut!


mari kita lanjut...