Senin, Agustus 30, 2010

Tukang Administrasi

Masa kuliah itu telah berakhir. Masa kuliahbyang dimulai dari tahun 2005 dengan rambut botak dan celana nomer 36, diakhiri dengan rambut sedikit banyak dan celana nomer 33. Kesimpulan : Saya masih tetap gendut.

Tahun 2005, gue masih jadi mahasiswa baru yang disuruh untuk jadi paduan suara acara wisuda. Gue duduk di tribun paling atas dalam gedung aula UI yang bernama Balairung. Memakai jaket kuning yang masih berbau pabrik, kemeja putih bekas SMA dengan tanda OSIS yang udah dilepas, dan celana putih ala John Travolta di film Grease.

Ngomong-ngomong tau gak kenapa lambang OSIS ditaro di dada?
Jawab :
Karena kepanjangan OSIS adalah Ojo Senggol Iki Susu
(sumber : Guru SMP yang perawakannya mirip Luigi dari Mario Bros).

Kembali ke topik awal, wisuda, pada saat itu, gue berada di bagian suara Tenor. Entah suara macam apa yang disebut tenor. Gue sendiri gak tau kenapa gue bisa masuk golongan tenor, padahal suara gue kayak knalpot motor.

Sebagai anak baru, gue mendapat tugas menyanyikan lagu Gaudeamus Igitur dan lagu-lagu lain untuk para wisudawan. Sebelumnya gue juga sempet latihan paksa selama 4 hari sama konduktor-nya. Disebut latihan paksa karena latihan tersebut diwajibkan. Diabsen. Katanya kalo gak ikut nilainya dikurangin. Sebuah ancaman kosong yang sukses mengelabui ribuan mahasiswa baru pada saat itu. Termasuk gue.

Latihan itu pada akhirnya terbuang percuma, karena pada saat nyanyi benerannya gue kebanyakan duduk-selonjor-tiduran, menikmati angin sepoi-sepoi yang menyusup melalui ventilasi Balairung. Buku kuning yang isinya teks sama notasi lagu sukses jadi kipas angin manual. Dan Keroncong Kemayoran pun jadi lagu pengantar tidur.


Kelakuan gue saat jadi paduan suara dulu itulah yang membuat gue gak bisa ngeliat keadaan di bawah. Gue jadi gak bisa ngeliat kalo lulus Cum Laude duduk di barisan paling depan dan mempunyai kesempatan untuk masuk DVD Wisuda lebih besar. Tau gitu, gue belajar. Hehee. Rendah amat yak.


***

Pada tahun 2010, saatnya gue yang memakai toga. Toga yang bahannya panas. Gue curiga toga itu dibikin dari bahan eks bioskop panas di Grand Senen. Mungkin kalo gue buka jaitannya, bakal ada gambar cewek setengah telanjang dengan tulisan "BERCINTA DENGAN MAUT".
Dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gue bukan termasuk kaum Cum Laude. Jadi gue gak mempunyai hak untuk duduk di bangku paling depan (kecuali gue bawa bangku sendiri dan tahan ditombak Rektor). Oleh karena itu, gue harus cari duduk sendiri. Dan sialnya, bangku yang kosong cuma ada di paling belakang. Sial. Padahal gue mau dadah-dadahin maba. Belagak ngetop, berharap ditimpukin logam lima ratusan, kayak anak-anak kecil di laut saat kita mau berangkat naik kapal Ferry dari Merak menuju Bakauheni.

Di tempat itu, para petinggi UI keliatan kayak kutu goyang dangdut. Item, kecil, goyang kiri, goyang kanan. Muka mereka cuma bisa keliatan jelas dari TV yang udah disediakan di depan barisan. Itupun bercampur dengan para Cum Lauder (sebutan untuk orang-orang Cum Laude) yang sesekali disorot dan tersipu malu. Persis kayak mbak-mbak yang digodain selepas taraweh.


Karena gak bisa liat apa-apa dan gak ngerti jalannya acara wisuda, kegiatan gue di bangku paling belakang itu cuma maen lempar komentar. Mulai dari pidato Om Gum yang pake Bahasa Inggris terbata, nyumpahin perwakilan maba kesandung dan nyusruk (untuk menambah tense acara wisuda), sampai ngomongin perwakilan wisudawan yang cakep. Ternyata wisuda cuma gini doang. Kerjaannya cuma nontonin orang tanpa bisa dengerin apa yang dia bilang, efek buruknya kualitas speaker dan akustik gedung. Lebih enak nonton cengdoleng-doleng (dangdut kampung), bisa goyang dan nyawer. Seenggaknya, apa yang disampaikan cendoleng-doleng jelas : AYO GOYANG DANGDUT.

Kalau menurut gue, saat wisuda udah dirasain sehari sebelumnya, dalam acara yang bernama Gladi Resik. Di acara itu gue bisa salaman dan difoto sama Rektor UI dan Dekan FISIP. Sayang gak ada sesi tanda tangan. Padahal gue pengen minta tanda tangan di toga. Hehee. Di acara Gladi Resik itu, kerjaan Pak Rektor cuma berdiri sambil nyalamin sekitar 2000 wisudawan/i. Gue jadi iba sama dia. Gue takut tangannya remuk kebanyakan disalamin.

Saat gue dapet giliran salaman, telapak tangannya udah keringetan. Entah udah ada berapa negara bakteri dengan trilyun penduduknya ada disana. Siapa tau ada wisudawan yang lupa cuci tangan abis pipis atau boker. Pengen rasanya gue suruh dia cuci tangan dulu, tapi gue takut ijazah gue disumbangin ke tukang nasi uduk untuk ngebungkus tempe mendoan.


Saat hari-H wisuda, beliau lebih banyak pidato dengan intonasi seperti presenter acara Uka-Uka atau narator Scary Job. Termasuk pidato penutup wisuda yang menandakan kalau gue udah resmi menjadi sarjana. Kalau si Doel "Tukang Insinyur", gue "Tukang Administrasi" karena gelar gue yang Sarjana Ilmu Administrasi. Saat keluar dari Balairung. Ingatan-ingatan gue tentang UI terproyeksi di kepala. Gedung Rektorat, Balairung, danau, mesjid UI, dan FISIP.

Tempat-tempat itu memegang peranan penting dalam hidup gue. Mengajarkan gue untuk tumbuh dan belajar berpikir secara dewasa. Mempersiapkan gue dengan ilmu-ilmu untuk terjun ke masyarakat. Berkontribusi kepada bangsa & negara, menjaga ketertiban dunia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai sama pembukaan UUD 45'.


tukang administrasi

Karena pembukaan UUD 45' udah dibaca, ayo kita upacara.



mari kita lanjut...

Minggu, Agustus 22, 2010

Alasan Sebagai Pengalih

Hari ini tanggal 22 Agustus 2010, entah udah puasa hari keberapa.

Ah, bulan puasa. Bulan dimana ibadah menjadi suatu kenikmatan, bukannya beban. Kenapa gue bisa bilang beban? Karena jujur aja, kalau di luar bulan Ramadhan, kaki ini serasa berat untuk beribadah. Padahal mungkin tempat wudhu atau tempat sholatnya cuma berjarak 3 langkah kaki semut atau curut. Sebuah borok yang kalau dibiarkan bisa membusuk dan mengeluarkan bau gak sedap. Kayak gembel di kereta jurusan Kota-Bogor yang punya borok segede kaki, jalannya ngesot dan luka itu udah mulai bernanah. Bau anyir menusuk ke idung setiap dia lewat.

Gue mengibaratkan borok gembel itu dengan kemalasan gue menjalankan ibadah. Borok itu pastilah kecil pada awalnya, tapi karena lama tidak diobati, penopang gue rusak dan hidup akan dijalani dengan seretan tertatih-tatih. Borok itu membesar dan merusak. Sama dengan menjalani hidup tanpa penopang, akan membuat sulit untuk bergerak.

Di bulan Ramadhan ini, ibadah terasa nikmat. Sesuai dengan apa yang udah diceritain, setan-setan pengganggu dikurung. Setan-setan yang sering ngebisikin gue dengan kata-kata, "Tanggung, acara TV-nya bagus", "Jauh tau tempatnya, panas nih udara," secara ajaib menghilang begitu aja. Yah, seharusnya gue yang mengendalikan mereka. Bukan sekedar dikurung. Susah juga kalo misalnya gue diganggu terus tapi gak ngelawan. Banci banget.

Perjalanan gue buka puasa bareng anak-anak ADM 2005 ke Panti Asuhan untuk anak-anak cacat juga membuka mata gue yang terlalu menyipit ini. Di tempat itu gue ngeliat banyak orang dengan berbagai keterbatasan fisik dan mental. Mereka sulit untuk beribadah. Bahkan untuk menyuap makanan ke mulut dengan sendok pun sulit. Tangannya mencong kanan mencong kiri, gak sempet sampe ke mulut. Sebuah renungan baik untuk pengingat keadaan gue yang termasuk beruntung ini.

Sebenarnya apa sih yang ngebuat gue males ngejalanin ibadah? Kalo dibilang gerakannya bikin capek, enggak juga. Durasi lama? Palingan cuma 5 menit aja. Pokoknya berbagai macam alasan keluar kalo mau ibadah. Dari yang umum kayak tadi, atau yang aneh kayak males muka berminyak karena basah dan males buka sepatu. Alesan-alesan bodoh yang dibuat-buat.

Seperti alesan yang pernah gue buat waktu mau cabut pas SMA dulu. Tepatnya pas kelas 2 SMA. Pada saat itu untuk cabut dari sekolah harus disertai alesan-alesan konkrit kayak rumahnya kebakaran, usus terburai, atau sekarat menjelang wafat. Selama nafas gue masih ada di dalem badan, belum sampe di kerongkongan, gue gak boleh keluar dari sana.

Untuk itu, gue ber-4 sama temen-temen pemalas gue berembuk nyari alesan. "Bilang aja kita mau ikut lomba band di luar," kata salah satu temen gue yang langsung ditanggepin, "Ah, kurang konkrit. Masak gak ada posternya". "Iya juga yah," kata dia. Ide-nya batal.

Sempet terjadi keheningan sesaat. Semua orang berpikir, mencari ide cemerlang. Sampai pada akhirnya ada salah satu makhluk yang dijuluki Tengil melontarkan sebuah ide, "Bilang aja kita mau bikin soundtrack Pemilu!". Setelah itu semua pandangan mengarah ke dia. Kita semua diem sebentar, memproses ide yang sebenarnya rasional untuk saat itu, tahun 2004, dimana sedang diadakan Pemilu. Mungkin dia banyak baca koran tetangga, hasil nyegat tukang koran pas pagi-pagi buta.

Tapi kalau emang gue yang ditunjuk untuk ngisi soundtrack Pemilu, tentu aja sekolah udah ngadain pesta besar-besaran 7 hari 7 malam, dangdut koplo semalam suntuk. Sadar kalau itu ide adalah ide yang jelek, tanpa menggubris ide itu lebih lanjut, kita semua kembali diskusi.

"Gini aja, kita bilang aja ikutan audisi band, gmana tuh? Kan gak perlu poster," sahut temen gue sambil getok meja kelas yang terbuat dari kayu dan (sedikit) berayap.

"Bener juga ya. Kemaren kan emang kita daftar audisi, yaudah coba aja!" kata gue membuat kesimpulan.

Saat istirahat kedua, jam 12 siang, gue menghadap Wakasek gue. Dia adalah guru yang terkenal atas kegalakannya. Konon galaknya dia ngelebihin macan kumbang yang puasa makan seminggu penuh. Dengan memasang muka yakin, percaya diri, dan memohon, kita dateng ke meja dia.

"Bu, mau izin keluar"

"Mau ada apa ya?" lirik dia sambil tetap berkonsentrasi dengan kertas-kertas yang lagi dibolak-balik. Entah kertas apa martabak.

"Begini bu, kami kemarin kan daftar audisi band. Nah, ternyata itu harus dateng sekarang, jadi kami mau izin dulu bu keluar.."

"Oh, SMA mana emang?"

Gue dan temen gue menyahut berbarengan, tapi kata-kata yang berbeda.

"Dua bu," kata gue dan, "Tiga bu" kata temen gue. Mampus.

Tatapan dia langsung fokus. Fokus untuk mendelik dan melotot, seakan-akan bola matanya mau keluar dari rongga mata yang berwarna hitam itu. Hitam seperti Lubang Buaya.

"Kalian mau ngebohongin saya!?" bentak dia dengan pelototan mata yang menusuk itu. Seperti laser-nya Cyclops di X-Men.

"Eh, bukan tau. Yang 3 mah masih entar-entaran. Sekarang itu 2," kata gue tanpa bisa menutupi kegugupan.

"Oohh iya, iya maksudnya itu bu... hehehe," kata 3 orang lainnya ikut-ikutan. Biar gak makin runyam rencana.

"Bener nih!?" tatap si Ibu guru untuk memastikan.

"Iya bu.." kita menjawab berbarengan. Mantap.

"Yaudah," dia pun tanda tangan di empat surat izin keluar sekolah itu. Senyum bajing tersungging di muka kita.

Setelah itu, semua berjalan mudah. Mulai dari ngelewatin guru piket sampai satpam di depan sekolah. Tanda tangan Wakasek udah di tangan, mau bilang apa mereka? Cuma iya-iya aja. Walhasil kita semua langsung meluncur ke rumah temen gue yang kebetulan udah cabut dari awalnya. Disana kita maen PS, nonton DVD, dan maen komputer. Berbahagia karena berhasil cabut.

***

Sore hari, jam setengah 3. Kita berencana kembali ke sekolah, pengen maen bola. Kita semua punya tradisi main bola abis kelar sekolah yang harus selalu dilestarikan sampai kapanpun juga.

Saking semangatnya, kita sampe ke sekolahnya kecepetan. Gerbangnya masih ditutup. Karena mental pada saat itu masih mental cabut, kita semua ngumpet dulu di balik mobil, ngintip-ngintip sambil berdiri. Bahasa kerennya itu mindik-mindik.

Dari kejauhan keliatan guru Sosiologi yang kita kenal, namanya Bu Marlina, dateng. Entah kenapa kita semua langsung panik ngeliat dia.

"Cuy cuy... Bu Marlina cuy..." kita langsung grasak-grusuk begitu ngeliat dia. Rusuh. Empat orang yang bergerak panik secara bersamaan tentu aja menarik perhatian. Apalagi keadaan kita masih pake baju seragam dan jam sekolah belum selesai.

"Ngumpet... Ngumpet... Keliatan begooo!!" saking rusuhnya kita, secara gak sadar kita melakukan perbuatan bodoh. Kita ber-4 ngumpet di balik pohon. Empat orang yang badannya gede-gede ngumpet di balik pohon, dengan posisi persis kayak anak kecil lagi main 'Ular Naga Panjang'. Tentu aja pohon yang gak terlalu lebar itu gak bisa nyembunyiin empat orang yang bertumpuk di baliknya.

"Ngapain kalian ber-4 disini!?"

"Abis audisi band bu..."

"Trus ngapain balik lagi!?"

"...." saking paniknya, kita bungkam seribu bahasa. Gak tau mau ngomong apa.

"Ikut Ibu ke kantor Wakasek!" kita semua langsung digiring ke kantor Wakasek.

Sesampainya disana, ternyata Ibu Wakasek yang ngijinin kita udah pulang dan kita dihadepin sama Wakasek cowok yang gak terima begitu aja alesan kita. Sampe-sampe dia minta nomer telepon sekolahnya. Kita mati total. Matot. Karena dia diem aja, beliau pengen manggil orangtua kita ke sekolah.

"Yasudah kalau begini, besok orangtua kalian dateng kesini"

Zeengg. Bulu kuduk langsung merinding begitu denger vonis itu. Alesan baru mulai dikeluarkan untuk menyelamatkan diri.

"Aduh pak, jangan dong Pak. Ini kan baru pertama kali kita kayak gini, lain kali enggak deh Pak... Jangan panggil orangtua dong Pak tolong..."

Dia berpikir sebentar sambil ngeliatin kita satu-satu, "Baik, tapi kalian janji jangan ngulangin ini. Kalau sampai Bapak tau, gak ada ampun lagi"

Baik sekali Bapak Wakasek ini. Di belakang kepala seakan-akan ada seberkas sinar terang, sinar pengharapan. Kita langsung nyalamin dia, cium tangan, "Wah terima kasih pak, terima kasih banyak Pak. Kami janji gak akan ngulangin lagi"

***

Yah, alesan cuma alasan. Perbuatan itu tentu saja kita ulang lagi, tapi dengan taktik yang lebih sempurna sehingga gak ketauan. Mungkin alesan seperti ini berlaku untuk mengelabui manusia, tapi gue yakin ini gak ada pengaruh apapun kepada-Nya. Jadi, berhenti membuat alasan dan mulai lah berbuat sesuai apa adanya.


mari kita lanjut...

Jumat, Agustus 20, 2010

Sakit

Bulan puasa dan pengangguran adalah kombinasi yang tidak enak. Gak ada kerjaan yang bisa dilakuin. Mentok-mentok cuma tiduran, menambah kadar lemak disekujur tubuh dan pipi. Nonton Tipi, banyak artis berpakaian seronok. Nonton DVD, lebih parah lagi. Hampir semua film bule ada adegan 'Adu Cupang' atau bahkan 'Gulat Bebas di Atas Kasur'. Bisa batal puasanya kalo ngeliat hal-hal kayak begitu. Pengen juga bikin video 'Keong Racun' ala Shinta-Jojo trus di-upload ke YouTube, tapi gue takut situsnya down dan gue ditangkap CIA.

Cara yang paling aman ya nulis. Dan bukan stensilan. Nulis apa aja yang ada di kepala. Seperti baru-baru ini saat gue ngelewatin rumah sakit bersejarah yang punya andil penting dalam hidup gue.

Rumah sakit kecil itu terletak di sebelah Musholla yang (konon) didirikan sama mantan Wakil Presiden RI, Hamzah Haz. Rumah Sakit itu tepat berada di pinggir rel kereta api. Rumah sakit itu, terlihat biasa saja. Catnya putih kusam, temboknya tidak terlihat kokoh lagi, dan diluarnya ada anak-anak sekitar lagi nongkrong, ngobrol ngalor-ngidul nungguin buka puasa. Di sore hari yang kusam, Rumah Sakit itu terlihat suram.

Puluhan tahun yang lalu, tepatnya saat gue masih TK, dimana gue pake seragam putih dengan rompi warna biru langit, kepala gede, dan rambut tipis yang kriting kayak badut SPAWN. Pada saat itu gue berbaring di atas tempat tidur Rumah Sakit dengan seprai putih yang berubah warna menjadi merah. Di ubun-ubun kepala ada dokter yang lagi menjait, di samping kiri gue ada Ibu Maryam (guru TK) yang sedang bingung karena gue diem aja.

Seperti ini lah kira-kira

Mari gue tarik kejadiannya ke belakang, sebelum kejadian mengerikan di Rumah sakit itu. Gue masih ada di TK, belajar sambil bermain. Gue dikasih gambar kuda, bantalan kecil, dan jarum. Kemudian gue disuruh nusuk-nusukkin jarum untuk ngebuat pola gambar kuda yang terdiri dari lubang-lubang kecil. Menyenangkan sekali. Andai ujian akhir kuliah seperti ini, bukan ngebuat skripik kayak sekarang.

Selesai nusuk-nusuk gambar, saatnya istirahat. Gue dikasih satu gelas susu coklat dan 3 potong biskuit. Cara favorit gue untuk menikmati hidangan ini adalah mencelupkan biskuit itu ke dalam susu coklat. Nikmat selagi hangat.

Selesai makan snack, gue dibolehin maen keluar. Ke halaman depan TK. Di situ ada berbagai macam mainan, ada perosotan, setir muter-muter (gue gak tau nama bagusnya apa), jungkat-jungkit, dan ayunan.

Karena pada saat itu semua mainan udah penuh terisi, gue mencoba berbuat kreatif. Gue menuju perosotan berwarna oranye yang sedang dipake sama anak lain. Bukan, gue bukan berniat ngedorong anak itu sampe nyungsep di lantai. Gue bukan anak setan kayak di film The Omen. Gue berniat gelantungan di puncak perosotan. Seperti anak simpanse ras keriting, gue gelantungan disana. Goyang ke depan ke belakang.


Saat gue lagi asik-asiknya gelantungan, tiba-tiba anak yang sedang bolak-balik naik perosotan itu nyenggol pegangan tangan gue. Walhasil pegangan gue jadi goyah dan terlepas. Pada akhirnya gue terjun bebas ke bawah menuju lantai. Sialnya, kepala bagian belakang gue mendarat tepat di sudut tembok yang menonjol membentuk sudut 900. "BRAK!!!" kepala gue sukses mendarat di sudut yang tajam dan lancip itu. Gue terkapar.

Gue langsung memegang kepala belakang begitu tersadar. Telapak tangan gue berwarna merah, dimana jadi pewarnanya. Walaupun seharusnya, untuk umur segitu, gue menangis, pada saat itu gue sama sekali gak berniat untuk nangis. Yang ada gue cuma bergumam, "Yah berdarah" sambil ngeliat teman-teman yang mulai berkerumun. Mereka berteriak memanggil guru. Mereka semua terlihat panik.

Gak beberapa lama, guru TK gue dateng. Beliau bernama Bu Maryam dan dia terlihat jauh lebih panik dibandingkan temen-temen gue. Ngeliat gue yang udah duduk bengong dengan darah bercucuran dari kepala, dengan sigap dia ngegotong badan gue ke belakang, menuju tempat wudhu yang berbentuk koridor memanjang dengan tembok keramik berwarna merah hati. Di tempat itu, kepala gue dicuci pake air bersih. Gue merasakan air mengalir di permukaan rambut dan kepala, tapi gak sedikit pun gue ngerasa sakit atau nangis walaupun cuma setetes.

Selesai ngebersihin luka, gue langsung dibawa ke Rumah Sakit naik becak. Baju Bu Maryam yang putih udah kotor bersimbah darah, sedangkan idung gue bersimbah ingus. Entah kenapa pada saat genting begini gue bukannya nangis malah ingusan. Jorok.

Sesampainya di rumah sakit, gue langsung ditangani dokter jaga disana. Di ruang UGD, kalo gak salah. Kalo salah mohon dimaafkan, mumpung bulan Ramadhan. Luka menganga di kepala gue langsung dijait. Gue gak tau apakah gue dibius apa enggak, tapi yang pasti gue bisa ngerasain bagaimana jarum jait nusuk kepala gue ke dalem dan keluar. Sedikit perih terasa, tapi sama sekali gak ada satu nada pun keluar dari mulut gue. Gue bungkam seribu bahasa ngeliatin muka dokter yang make masker putih dan Bu Maryam yang berkata sesuatu. Gue lupa dia bilang apa.

Kata Bu Maryam, ada 8 jaitan di kepala gue. Luka itu masih bisa diliat jelas di kepala gue sampai saat ini. Kalau model rambut gue lagi botak, bakal keliatan codetan memanjang di kepala belakang. Sayang gak berbentuk petir kayak Heri Puter. Codet gue lebih mirip cabe rawit. Jadi kalo diliat sekilas lebih mirip panu yang berbentuk memanjang. Beliau juga heran kenapa gue sama sekali gak nangis dari saat jatoh sampe kepalanya dijait. Well, dia heran, gue lebih heran lagi. Mungkin dari kecil gue udah cocok masuk Greenpeace, gak suka buang-buang air.

Kejadian itu bukan pertama kalinya. Ketidak nangisan gue itu ternyata bukan yang pertama kali. Dulu pas gue sunat juga begitu. Lebih parah malah. Abis sunat gue bungkam seminggu penuh. Mbak yang ngejagain gue sampe ikut-ikutan stress gak bisa makan, padahal disunat juga enggak.

Pergelangan tangan gue juga pernah melepuh kena setrikaan. Saat itu gue mikir, "Kok bisa yah baju jadi licin pas di tempelin setrika?". Maklum, calon ilmuwan, selalu penasaran dan melakukan percobaan. Maka dari itu gue nempelin permukaan setrika panas itu ke pergelangan tangan dan tangan itu sukses melepuh. Hebatnya, gue tetep gak nangis, padahal masih kecil.

Mungkin ini menandakan kalo gue bisa menahan rasa sakit, karena semakin gue beranjak dewasa, sakit yang menimpa gue semakin variatif. Bukan cuma sakit secara fisik, tapi juga mental dan perasaan. Sakit yang terakhir lah yang paling susah dilawan. Perlu cara pintar untuk mengobatinya.



mari kita lanjut...

Rabu, Agustus 11, 2010

Enggak Taraweh Malah Mati-Matiin TV, Kartu Parkir Ilang KTP Ditahan

Cerita ini masih ngebekas di otak. Proyeksinya masih kebayang nyata, karena terjadi beberapa jam sebelum gue memulai tarian jari di atas tuts keyboard untuk mengabadikannya di dunia maya. Cerita tentang KARMA.

*JENGG... JENGG... JENGG.... KOLL...!!*

Pada suatu hari di FISIP UI, tepatnya di kantinnya yang bernama Takor. Duduklah 4 orang pemuda yang sudah beranjak lulus. Windra, Mirzal, Aan, dan Mo. Eh, gak semuanya deng. Tebak aja siapa yang belom.

Mereka ber-4 merencanakan untuk mengambil seragam kebesaran saat seremonial kelulusan. Seragam itu bernama toga, yang pada kenyataannya benar-benar kebesaran, dengan bahan seperti poster film panas di bioskop Grand Theatre Senen. Sebelum berangkat ke gedung Rektorat (tempat dimana toga berada), ada berkas-berkas yang harus dipenuhi dahulu seperti bukti pembayaran dan print-an halaman pendaftaran wisuda sebagai syarat untuk memperoleh toga di gedung rektorat. Untuk itulah, mereka ber-4 tinggal beberapa saat di FISIP untuk melengkapinya.

Berkas telah selesai diurus, saatnya bergerak ke tempat dimana toga tersebut ditahan, Rektorat UI. Disana telah ada banyak calon sarjana mengantri untuk mengambil toga. Kalau menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karangan Hutomo MA, definisi antri adalah berdiri berderet-deret memanjang menunggu untuk mendapat giliran. Sedangkan dalam gedung rektorat, kata mengeroyok lebih tepat dipakai. Karena masing-masing loket diserbu oleh banyak orang tanpa suatu urutan yang jelas. Random dan asal serobot. Perlu peluh keringat untuk dapet seonggok toga dan seamplop undangan wisuda.

Selesai ngambil itu semua, mereka semua kembali ke FISIP UI. Muter-muter sebentar sampai akhirnya tidak ada ide lagi dikepala. Mereka ber-4 hanya duduk termenung di depan Koperasi Mahasiswa yang penjaganya bernama Mas Nanang.

"Bosen nih," kata Mirzal memulai pembicaraan.

"Iya ya, sepi banget kampus" sahut Aan diikuti Windra, "Kemana kek' jangan disini"

Mirzal yang rambutnya keriting tidak jelas seperti Indomie kusut itu mencetuskan sebuah ide.

"Detos (Depok Town Square) yok, iseng aja wisata komentar!"

Ide itu diterima dengan baik oleh Aan dan Windra, tapi tidak halnya oleh Mo'.

"Gue balik aja yah, mau taraweh"

Suatu sikap yang cocok masuk ke dalam komik majalah Aku Anak Soleh. Sikap soleh yang tidak diikuti oleh ketiga temannya yang lain, yang tetap saja menuju Detos dengan tujuan durjana seperti wisata komentar. Wisata yang mengedepankan komentar kreatif atas suatu orang, barang atau situasi tertentu.

Sesampainya di Detos, mereka bertiga langsung menuju lantai atas, tempat dimana keramaian berpusat, tepatnya di daerah food court. Tetapi, sebelum bergerak menuju tempat tersebut, Windra ingin membeli kaset PS 2. "Kaset game sniper-sniperan", kata dia.

Sembari menunggu Windra milih-milih kaset. Mirzal dan Aan tidak ada kerjaan. Oleh karena itu mereka berdua ikut-ikutan liat kaset PS 2. Saat liat-liat kaset PS 2, mereka ketawa cekikikan., setelah itu ngakak. Bukan, mereka berdua bukan mendadak gila permanen. Mereka ketawa ngakak ngeliat game Grand Theft Auto San Andreas, salah satu game terbaik di PS 2, sukses dimodifikasi oleh para pembajak yang canggihnya melampaui Bill Gates, Mark Zuckerberg, atau Mark Hoppus sekalipun.


Ada GTA versi Limbad sama Deddy Corbuzier



Yang ini lebih keren. Dimodif ada OVJ, Tawa Sutra,
sama (Bukan) Empat Mata. Gak kebayang
kalo gangster pake muka Tukul,
perang sama Azis Gagap.


Hey, kata siapa Indonesia negara terbelakang dalam bidang teknologi? Gue yakin di belahan dunia mana pun gak bakal ketemu GTA dengan tokoh utama seorang pelawak atau pesulap dengan make up berlebihan yang matanya terlihat seperti habis kena bogem mentah.

Setelah puas ngomentarin game aneh, kedua makhluk dengan kadar iseng berlebih itu mulai kehabisan kerjaan. Mirzal melirik ke konter sebelah. Ternyata selain jualan kaset PS 2, toko yang terletak di tengah-tengah lantai itu jualan DVD. Bajakan, tentu saja. Karena bajakan, tentu konsumen perlu diyakinkan atas kualitas gambar, suara, dan subtitle-nya. Untuk itu disediakan satu pemutar DVD dengan TV bermerk LG.

Pikiran iseng menyeruak muncul. Kalau digambarkan menjadi ilustrasi, muncul tanduk kambing dari balik rimbunan rambut keriting di kepala Mirzal.

"Psst... An, ada tipi... merk-nya LG lagi. Pas bener!"

"Hah, kenapa emangnya?"

"Ini nihh..." Mirzal menunjukkan jam canggihnya. Sebuah kombinasi antara jam digital dengan remote TV. Kombinasi pas untuk orang iseng seperti dia.

"Liat.."

Seperti penjahat, dia meletakkan tangannya di atas tumpukan kaset DVD yang berbaris rapi. Setelah mengarahkan jam ke televisi yang sedang dipakai tersebut, dia langsung memencet tombol berlambang ON/OFF, menyebabkan kematian seketika dan mendadak.

"KENAPA NIHH!!??" Mbak-mbak yang jagain toko panik.

TV dinyalain lagi. Mbak-nya makin bingung, Aan dan Mirzal makin puas dan makin menjadi. Kali ini channelnya diubah. Gambar Super Junior, DVD yang dicoba saat itu, diganti sama bintik-bintik laksana ribuan semut yang lari-larian, ngerubungin layar TV.

"Yah!! Ini kok berubah" Mbak-nya mulai utak atik kabel belakang TV.

Pet. TV-nya mati lagi. Pet. Idup lagi. Bintik-bintik.

"Haduh, gimana nih, mana gak ada remote lagi" si Mbak panik. Ternyata TV itu gak ada remotenya.

"Yah, kagak ada remotenya? Gue kagak bisa balikin ke AV lagi" bisik Mirzal menyadari kegoblokannya.

"Heh? Tolol. Kesian mbak-nya itu gak ada remote"

"Kabur An"

"Ayok, ndra udah kan?"

Mereka bertiga cabut ke lantai paling atas. Sempet juga papasan sama mbak-mbak tukang kaset DVD yang ke tempat temennya minjem remote. Kasihan sekali engkau mbak. Smoking area di food court. Settingnya seperti tempat judi di film-film Cina yang isinya preman-preman yang kerjaannya ngerokok. Kalo di film Cina isinya preman Cina, di Detos isinya preman Ambon.

Di tempat inilah, mereka bertiga ngobrol sampe jam 8 malam.

***

Jam 8 malam, waktunya pulang.

Bertiga mereka beranjak dari tempat itu, menuju parkiran mobil yang terletak di belakang Detos. Tepatnya di parkiran Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Sambil jalan sempet juga matiin TV abang-abang konter HP. Kebetulan, merk TV-nya LG juga.

"Arrgghh..!! Kok lo matiin!?" kata abang tukang hape yang lagi duduk.

Tukang hape yang lagi berdiri kebetulan megang remote "Dih, apaan!!?? Bukan gue yang gantii...!!"

Oknum yang matiin TV tentu aja udah ngeloyor turun lewat tangga berjalan. Gak peduli kalo bakal terjadi pertumpahan darah antara dua abang konter hape itu. Mungkin mereka akan tawuran, saling timpuk Blackberry sama iPhone.

Sesampainya di parkiran FKM, langsung masuk ke mobil dan meluncur menuju parkiran motor FISIP. Aan harus ngambil motor disana. Tinggalah Mirzal dan Windra di dalam mobil, dimana Windra nebeng sampe Kober sana. Mereka berdua tertawa puas lepas dan ceria, hasil kerja mati-matiin TV orang.

Di tengah jalan menuju Gerbatama, Mirzal teringat kartu parkirnya. Oleh karena itu dia meminta tolong Windra untuk mengambil kartu parkir tersebut di dalam tas. Pada tempat dimana kartu parkir biasa terkulai, tidak ada ditemukan tanda-tanda barang tersebut ada disana. Lenyap, hilang, seperti menguap di udara. Agar lebih teliti, mobil dipinggirkan terlebih dahulu.

Diobrak-abrik lah mobil itu. Karpetnya diangkat, tiap laci dikorek, dan tiap sudut disapu. Hasilnya tetep aja nihil.

"Haduh, gimana nih?," kata dia. Panik.

"Ya mau gak mau bayar denda 50.000"

"Kalo bo'ong bilang satu dompet ilang semua gimana?"

"Udah kagak taraweh, ngerjain orang, masak tambah lagi bo'ong"

"Iye juga sih, udah dah. Pasrah. Gocap gocap dah"

Mobil dinyalakan, kopling diinjak, gas ditancap. Dengan gagah berani Mirzal memacu mobilnya menuju Gerbatama. Tempat dimana 4 Bapak Satpam berkumpul. Kumisnya pada baplang semua lagi. Mungkin itu salah satu syarat untuk jadi satpam UI.

"Hee... Pak, kartunya ilang..." Mirzal memasang senyum manis nan melas.

"Pinggirin aja dulu mobilnya"

Mobil langsung melipir ke samping trotoar.

"Udah dicari bener-bener? Gak ketemu?" Bapak Satpam berdiri di depan spion kanan.

"Iya pak, udah dibongkar mobilnya..."

"Ada dua opsi, yang pertama bayar denda 50.000. Yang kedua ngasih jaminan KTP ke pos, kalo kartunya ketemu langsung balikin."

"....."


"Yaudah dipikir dulu baik-baik ya" sambil dia balik ke pos satpam.

Mirzal berpikir sebentar. Setelah itu raut wajahnya berubah optimis. Kalau saja saat itu dijadikan komik, akan muncul awan kecil bergambar bohlam pijar yang bersinar terang di atas kepalanya. Dia ingat kalau KTP yang dia pegang udah abis masa berlakunya per 7 Agustus 2010. Sudah jelas opsi apa yang akan dipilih.

"Ini pak, jaminan aja" sambil nyerahin KTP begitu sampe nyamperin pos satpam.

"Sebentar ya saya catat dulu"

"Maksimal ngambilnya kapan pak? Soalnya saya udah jarang ke kampus"

"Kalau memang kesini, coba tanya aja ke pos. Kalau tidak ada, berarti udah dioper ke gedung biru"

Senyumnya makin jumawa, kalau di gedung biru KTP itu pasti bakal dibuang entah kemana.

"Baik Pak"

"Ini tanda terimanya, dicari dulu ya dirumah. Siapa tau besok pagi pas udah terang nyarinya bisa lebih enak"

"Iya Pak, mungkin tadi lagi gelap aja. Oiya Pak besok puasa, mohon maaf lahir batin dulu, maaf ngerepotin" 4 orang satpam itu disalam-salamin kayak lagi halal bihalal anak SD pas baru masuk abis dari libur lebaran.

Setelah itu dia langsung cabut ke mobil, kemudian cabut cepet-cepet. Takut satpam itu nyadar kalo yang dikasih itu KTP yang kadaluarsa, udah gak guna.

Kejadian itulah yang dinamakan karma. Sebelumnya dia puas ngerjain orang, setelah itu bales dikerjain kartu parkir. Makanya, menjelang Ramadhan jangan berbuat nista, karma jadinya. Kelakuan memilih wisata komentar ketimbang sholat taraweh yang menyebabkan itu semua.

NB :
Judul diatas didedikasikan untuk film-film yang memakai jalan cerita sebagai judulnya. Namun pada kisah kali ini, judul itu gak ekstrim kayak. : Seorang Anak Durhaka Mati Mayatnya Belah Tiga Belas.


mari kita lanjut...

Selasa, Agustus 10, 2010

7 Agustus 2010

7 Agustus. 23 tahun yang lalu, pada hari Jum'at, gue lahir. Entah di rumah sakit mana dan jam berapa. Dengan berat sebesar 3 Kg, panjang tidak diketahui, 5 kali tanding, dan 9 kali KO. Gue gak tau apakah gue dilahirkan dengan rambut keriting, sungsang atau tidak, nangis atau ketawa. Pokoknya pada hari Jum'at, 7 Agustus, 23 tahun yang lalu, gue lahir ke dunia.

Dalam rentang setahun (7 Agustus 2009 - 7 Agustus 2010), hidup gue mengalami banyak perubahan. Dari banyak perubahan itu, ada tiga perubahan yang paling mencolok :
  • Nama gue udah bukan Mirzal Dharmaputra lagi, berubah jadi Abul Mutoyyib Jaenuddin Saprudin Mamat Somat Nekat. Em, salah. Yang bener itu, nama gue bukan berubah melainkan bertambah. Di belakang nama kedua, ditambahin tanda baca koma (,) diikuti tulisan S.I.A dibelakangnya. Kepanjangan dari Sarjana Ilmu Administrasi. Jadi, nama gue sekarang Mirzal Dharmaputra, S.I.A. Keren juga. Untuk aja gak ada kata 'Lanjutan' di belakangnya. Kalo aja ada, nama gue jadi Mirzal Dharmaputra, S.I.A.L. Untung juga gak ditambahin kata 'Pajak', bisa-bisa jadi Mirzal Dharmaputra, S.I.A.P. Gue juga jadi ngebayangin kalo aja anak administrasi Niaga atau Negara juga ditambahin huruf depan masing-masing jurusan. Nama Abdul Rozak K. bisa berubah jadi Abdul Rozak .K, S.I.A.N. Kesian dia.
  • Gue mencoba membangun suatu usaha bersama dua sobat gue, Wilman dan Aan, dengan dukungan pihak lain yang cukup berpengalaman. Gue bikin usaha dalam bidang advertising dan general trading dibawah bendera PT. Casa Pratama. Jadi, untuk yang butuh cetak mencetak, promosi dalam segala media, cari barang, menjual barang, dan supplier untuk alat-alat apapun. Kita menyediakan seluruh kebutuhan anda. Atau mungkin niat bisnis SPBU atau Hotel? Kita punya yang siap pakai. Tinggal datang, nego, bayar. Siap disantap selagi hangat. (Ini nulis blog apa Company Profile ya? Bodo ah. Sekalian).
Pencapaian selalu diikuti dengan harapan dan keinginan yang baru. Karena tanpa harapan dan keinginan, hidup akan jalan tanpa tujuan. Suatu hidup yang sia-sia. Contohnya kalau kita naik mobil, turun ke jalan, tapi gak ada tujuan. Seperti zombie, mobil yang kita kendarain cuma bisa jalan, belok kanan belok kiri, menghabiskan bensin dan tenaga. Sampai pada akhirnya mobil itu habis bensin dan mogok dijalan. Tak bisa bergerak, berat menunggu karat, lambat laun menjadi mayat.

Harapan dan keinginan gue pada tahun ini adalah :
  • Mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Bisa memberi ilmu dan pengalaman, sebagai bekal gue mengarungi hidup. Selama ini gue cuma mendalami teori dan menganak-tirikan praktik. Ibarat gedung bertingkat 20, kemampuan praktis gue berada di tingkat 2.
  • Memupuk usaha yang udah gue mulai bersama itu untuk menjadi lebih besar. Tumbuh kembang dari anak itik menjadi elang kekar dengan cakar yang kuat.
  • Harapan sederhana yang sangat sulit terwujud. Memperbaiki sikap malas gue beribadah. Umur gue memang terlihat bertambah, tapi pada kenyataannya, jatah umur gue berkurang. Kepergian om gue pada tanggal 31 Juli membuat gue lebih menyadari arti pentingnya ibadah sebagai tabungan nanti di akhirat. Dan gue akan menjadikan Ramadhan sebagai momentum perbaikan tersebut.
  • Semoga tiga keinginan besar ini terkabul, AMIN.
Cukup dengan pencapaian dan harapan. Untuk perayaan ulang tahun pada tahun ini, gue jalan-jalan sama Capar. Biar unik, kita berdua berencana untuk dateng ke festival Candy Expo 2010 yang bertempat di daerah Serpong. Daerah jauh di ujung tol JORR.



Semangat menggebu untuk kesana. Imajinasi terisi gambaran yang diberikan oleh tulisan pada media promosi. Di Candy Expo (kata poster) ada air terjun coklat setinggi 6 meter, rumah permen, dan all-you-can-eat permen dan coklat. Sangat imajinatif,seperti dunia dongeng,dan tentu saja... bikin penasaran.

Berbekal petunjuk dari Jihan yang dikirim lewat SMS pada hari sebelumnya, gue mengarungi kota Serpong, dimana mobil gue kompak sebelahan sama truk gandeng yang diameter rodanya sama dengan tinggi mobil gue. Selain horror karena sebelahan sama truk yang gedenya kayak 20 gajah maen kuda tomprok, kota Serpong juga menawarkan kemacetan hebat. Mungkin untuk warga sekitar, macet yang gue alami itu standar. Untuk gue, macet kayak gitu bisa bikin otak mekar. Apalagi ditambah dengan ramah tamah pengemudi lain yang membunyikan klakson mobilnya setiap saat. Bunyinya sangat treble kayak Komeng lagi tereak di corong minyak karatan.

Setelah lama menyetir, akhirnya gue nemuin juga mobil parkir berderet. "Ini pasti tempatnya. Wajar rame, kan hari ini hari Sabtu," kata gue dalem hati sambil mengarahkan mobil ke depan tenda raksasa berwarna putih. Di depannya lagi ada satpam ngatur parkiran.

"Pak, ini Candy Expo ya?"

"Tadi iya mas, tapi sekarang enggak," kata Pak Satpam dengan muka gak enak.

"Maksudnya apa pak?" gue heran, ini pameran apa lapak kaki lima, yang bubar kalo didatengin Satpol PP.

"Gini mas, tadi pagi tuh udah buka, seenggaknya ada beberapa stand udah nyala. Tapi sekarang udah tutup semua mas. Kena angin"

Jelas aja gue bingung, pameran apa coba yang batal karena kena angin. Bikin aja pameran di dalem toples raksasa yang bisa muat satu tenda kalo gak mau kena angin.

"Jadi gak ada yang buka sama sekali Pak?"

"Gak ada dek, kalo gak percaya mah liat aja ke dalem. Tuh pada pulang semua" Pak Satpam nunjuk mobil Innova item yang diisi 6 orang. Satu keluarga yang seharusnya senang-senang, berbahagia dengan lautan permen dan coklat, malah jadi kecewa karena pamerannya tutup seenaknya.

"Sama sekali?," kata gue dengan suara yang semakin mengecil. Ciri khas suara orang lagi putus asa. Seperti pasien panu yang dikasih tau dokternya kalo panu yang dia derita adalah panu permanen.

"Iya, tutup Mas"

Seperempat indikator bensin gue abis, uang tol bolak balik 26 ribu rupiah, tenaga, dan waktu. Empat hal itu gue buang percuma demi suatu acara yang bernama Candy Expo 2010. Terima kasih kepada segenap panitia acara. Lebih baik gue makan permen Kojek yang dijual abang-abang pinggir jalan atau makan coklat superman ketimbang dateng kesitu lagi.

Setelah itu, kita berdua shock. Mobil gue berhentiin dulu di pinggir dan menyusun rencana selanjutnya. Hari ini gue kecewa tapi tidak menyesal. Setiap kejadian yang terjadi di hidup, apalagi di hari ulang tahun, harus tetap diingat walaupun pahit. Karena kejadian seperti inilah yang kadang membuat hidup semakin menarik.

Happy birthday to me!


mari kita lanjut...