Jumat, Desember 24, 2010

Stock Opname

Opname, sebuah kata yang identik dengan seseorang yang sakit parah dan harus menginap di rumah sakit. Tangannya dituncep pake jarum infus dan (mungkin)memakai masker seperti Sub-Zero nya Mortal Kombat. Dia harus dirawat secara intensif dalam pengawasan dokter-suster selama 24 jam non-stop.

Ngomong-ngomong masker, sekarang banyak orang yang pake barang itu di jalanan dengan motif bermacam-macam. Ada yang Kerro Kerropi, Sponge Bob, atau bahkan berbentuk mulut atau gigi taring yang pada akhirnya membuat si pemakai terlihat menyeramkan. Jadi pengen beli masker deh. Tapi yang buat industri. Jadi gue bakal terlihat kayak monster bermulut tentakel di film Resident Evil : Afterlife.

Opname, ternyata bukan berlaku untuk manusia. Istilah itu juga bisa dipakai untuk barang-barang persediaan atau stok. Bukan, barang-barang itu bukan dipasangin infus atau ditaroin di tempat tidur sambil ditanyain dokter, "Ada keluhan apa wahai sapu ijuk?" Stok opname ditujukan untuk melihat secara fisik barang-barang persediaan atau harta. Mencatat dan menyamakannya dengan perhitungan sebelumnya.

Kemarin, gue diminta oleh seorang teman untuk melakukan stok opname, menggantikan dia yang lagi berhalangan. Lagi M katanya. Mudik ke Solo. Stok opname yang gue lakukan itu untuk keperluan Write-Off (WO), penghapusan, atau bahasa kerennya, PEMUSNAHAN. Barang-barang yang dapet giliran untuk dicatat adalah punya bagian IT dan Maintenance.

Pertama-tama, gue melancong ke bagian Maintenance. Di tempat itu, banyak kamera, walkie talkie, microphone, dan entah alat apa lainnya yang lagi di mutilasi untuk diperbaiki. Saat gue memasuki ruangan yang bentuknya seperti koridor itu, gue ketemu sama kuncen daerah situ yang bernama Kopral. Dia lah yang memberikan instruksi, memperlihatkan barang-barang mana saja yang ingin di WO. Untung dia gak jadi Kopral beneran. Bisa-bisa dia kayak Hitler, manggangin orang-orang yang dia anggap tidak berguna.

Setelah diberikan daftar barang-barangnya, gue dibawa ke ruangan paling ujung, gudangnya bagian Maintenance. Memasuki ruangan itu, rasa sumpek langsung menyelimuti gue karena banyaknya barang yang bertumpuk disana. Segala macem tas, kabel, amplifier, batere, pedal drum, dan alat asing lainnya. Permukaan lantai yang tersisa cuma cukup untuk ditempati dua kaki sebagai jalan setapak untuk menyisir ruangan yang bentuknya memanjang itu.

Barang-barang yang di akan di WO, terdapat di sebelah kiri pintu gudang. Berupa tas-tas kamera dan tripod yang sudah usang dan berdebu. Pengangannya udah sobek, resletingnya udah diganti tali rafia, dan bahkan ada yang berbentuk seperti kain perca. "Ini dulunya tas kamera mahal," jelas Kopral saat gue bertanya makhluk apa itu. Setelah mendengar aba-aba Kopral, gue langsung mencatat barang-barang apa saja yang ada disana.

Selesai mencatat di Maintenance, gue menuju bagian IT untuk mencatat barang-barang mereka yang mau di WO. Dan seperti sebelumnya, gue bermain dengan gudang dan peralatan usang.

Gudang IT, terletak di pojokan yang terpojok. Bahkan lebih pojok ketimbang pojok. Ruangannya kecil, sumpek, dan padet. Isinya penuh oleh monitor, CPU, dan peralatan komputer lainnya yang udah wafat. Begitu masuk kesana, kaki gue langsung gatel-gatel terkena debu dan (mungkin) kutu busuk.

Harddisk, router, monitor, dan CPU adalah beberapa barang yang akan di WO oleh bagian IT. Banyak banget barang-barangnya. Mungkin kalo dikumpul-kumpul bisa dibikin jadi robot Transformers atau Iron Man versi rongsokan. Yang kalo nge-gebukkin robot lain malah dia yang ancur sendiri.

Seperti main game Mystery Case, itu lah keadaan gue saat melakukan stok opname di gudang IT. Mata gue harus teliti mencari barang-barang mana yang ada di daftar WO. Gue sempet menunjuk sebuah komputer pose horizontal berwarna krem, "Ini bukan?"

"Bukan, komputer kayak gitu masih 'dianggap' bisa. Buat backup spare part yang dapet komputer kayak gitu. Orang-orang sial," gue langsung teringat komputer yang gue pakai di kantor. Komputer jaman purba yang dipake Pitecantropus untuk pabrik kapak perimbas. Ternyata, gue termasuk orang-orang sial.

Menjelang akhir proses stok opname, semua barang udah berhasil ditemukan. Kecuali 1 monitor bernomor urut 58 merk HP tipe 550. Yang susah dari pencarian itu adalah, ada puluhan monitor dengan merk dan tipe yang sama. Satu-satu nya cara membedakan antara satu monitor dengan lainnya adalah denga melihat nomer seri dan barcode yang terletak di bagian belakang monitor. Dengan keadaan tempat yang sumpek dan posisi monitor yang ada di atas rak, gue berkewajiban untuk manjat-manjat seperti Sylvester Stallone di film Cliffhanger.

Diubek-ubek selama setengah jam, monitor nomer 58 itu gak ketemu juga. Gue berkeliling gudang sekali lagi. Mata gue terarah ke rak yang terletak di pojok bagian bawah. Apapun barang yang ada di situ tertutup sama kardus Power Mac yang gedenya kayak tempayan nasi goreng kambing Kebon Sirih (super enak!). Gue berinisiatif ngebongkarin kardus itu, ngeliat barang apa kah yang ada di situ.

Voila! Barang itu ketemu! Gue dan kawan-kawan bersorak lega. Barang merepotkan itu akhirnya ketemu juga. Dengan ditemukannya barang itu, maka proses stok opname gue pada saat itu berakhir sudah. Sebuah pengalaman baru untuk gue yang selama ini cuma tau stok opname dari cerita dongeng seorang dosen.


mari kita lanjut...

Sabtu, Desember 18, 2010

Batu Pertama

Terhitung 20 tahun sudah sejak terakhir kali gue menulis. Rambut dan jenggot sudah beruban, kulit keriput jarang disetrika, dan tulang-tulang terancam osteoporosis. Teman-teman, itu lah yang dinamakan lebay. Bahasa gaul untuk kosakata 'Berlebihan'. Gue udah cukup lama gak nulis, tapi gak sampe 20 tahun. Ya kira-kira 12 1/4 lah.

Ketidak-pernahan gue menulis disebabkan oleh masuknya gue ke dunia baru. Dunia pekerjaan. Suatu tempat dimana seluruh pengetahuan akademis gue mendapatkan tantangan dari sisi praktis. Gue harus mengimplementasikan teori-teori yang udah gue pelajari ke dalam suatu tindakan konkrit, konkret, dan kroket.

"Selamat datang di dunia kerja," batin gue saat diterima kerja di sebuah stasiun TV swasta yang identik dengan seragam item-itemnya. Di tempat ini, gue dikasih kesempatan untuk belajar, mendapat lebih banyak ilmu, dan menjadi profesional. Dan di tempat ini juga, tidak ada internet. Oleh karena itu, gue sama sekali gak sempet nulis apapun.

Pada saat itu tanggal 29 November. Hari Senen, kalau gak salah, gue mulai masuk ke bilik yang bakal menjadi tempat gue ngejogrok sampai entah kapan. Gue dapet komputer jaman batu. Komputer bekas zaman Megalithikum yang dipake sama Pitechantropus Erectus. Disaat komputer sekarang didominasi warna hitam dengan pose vertikal tegak ke atas, komputer ini masih saja berwarna krem dengan pose horizontal. Ampun.

Mengikuti mayoritas orang tua jompo yang sudah pikun, komputer ini seperti tidak mau kalah dengan manusia. Seringkali saat dipake kerja dia mendadak diem di tempat. Entah ngambek atau lagi mikir. Malah kadang-kadang dia mati sendiri, restart ulang. Mungkin komputer ini bekas dipake pom bensin, yang harus memulai segala sesuatu dari nol. Kalau peristiwa itu terjadi, pose andalan gue adalah ngejambak rambut sendiri sambil tereak, "AAAAAAAAAAAAAAAAAAA..."

Selain kenalan dengan komputernya -sesepuh dari segala komputer di dunia-, tentu aja gue harus kenalan sama orang-orang yang ada di sekitar gue satu demi satu. Sambil ditemani seorang senior, gue keliling lantai 6, tempat dimana gue bekerja. Berbekal model muka cengar cengir ala kuda tetanus plus kata perkenalan standar, "Kenalin, Mirzal, anak Pajak baru..." gue nemuin semua orang yang ada disana.

Dan walaupun mulut gue sedikit berbusa gara-gara kenalan sama sekian puluh orang, tetep aja gue gak afal nama dan muka mereka. Gak apa-apa, yang penting gue gak lupa sikat gigi #gaknyambung.

Setelah selesai kenalan sama komputer dan orang-orang yang bakal bekerja sama dengan gue ke depannya, agenda gue selanjutnya adalah perkenalan dengan pekerjaan yang bakal gue hadapi entar. Ini adalah agenda yang paling penting.

Dengan menggunakan komputer keluaran pertama yang diciptakan oleh manusia nomaden dengan memakai kapak perimbas, gue dijelasin tentang detil pekerjaannya. Tugas gue adalah meng-handle seluruh pajak penghasilan. Terutama pajak penghasilan artis-artis ibukota yang bisa gue liat di layar kaca. Walhasil, gue jadi tau kalau nama asli Komeng adalah Alfiansyah dan Wildan Delta adalah nama Kiwil sebenarnya.

Proses pengajaran gue berlangsung +/- 4 jam. Kepala gue diisi semua pengetahuan, tata cara, dan proses yang diketahui oleh senior gue. Dan berhubung dia udah mau resign mau gak mau gue harus segera menguasai seluruh ilmu yang dia warisin. Otak gue yang lebarnya sejengkal dimasukki berbagai macam ilmu dalam tempo yang relatif singkat. Kalau aja isi kepala gue bisa di X-Ray, kontur otak gue bakal lempeng, gak kriting, dan belahannya udah bukan di tengah, tapi di pinggir kayak rambutnya Hitler.

Menjelang malam, saat gue udah bisa pulang, otak terasa beku. Segala pengetahuan yang didapet tadi harus segera dicairkan biar bisa meresap di otak. Capek, iya, tapi gue merasa tertantang. Ini adalah lembaran baru dalam hidup gue. Ibarat pembangunan gedung bertingkat, fase yang sedang gue alami ini adalah sebuah proses peletakan batu pertama. Apakah batu kecil itu bisa berkembang menjadi gedung yang tinggi dan menjulang?

Harapan tetap ada, ujung pelangi menunggu disana, saatnya bangun dan mengejarnya.


mari kita lanjut...