Rabu, Oktober 19, 2011

Medan Perang Itu Bernama Harmoni

Luar biasa. Sudah lama sekali blog ini tidak terurus. Jaring laba-laba bertebaran, debu, dan kotoran kucing ada dimana-mana.Terakhir post itu tanggal 7 Agustus, yang berarti udah 3 bulan tidak di update. Kalau aja blog ini diibaratkan sebagai istri, mungkin gue udah di talak 9 dan dia kembali ke rumah orang tua nya sembari mengurus proses perceraian di pengadilan agama setempat.

Membicarakan perceraian, baru-baru ini gue mengalami hal tersebut. Tapi bukan dalam hubungan perpacaran ataupun pernikahan, melainkan pekerjaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, gue pindah kerja. Bahasa India-nya : Resign. Sungguh berat, memang, untuk bisa keluar dari tempat kerja gue di Trans Tipi. Lingkungan-nya begitu nyaman dengan teman-teman luar biasa. Sebuah tempat kerja yang bisa masuk jam 10, kerja sambil baca koran BOLA pinjeman dari atasan, kalo bosen bisa nonton tipi, terkadang ketemu artis-artis cakep nan wangi, dan mengenal lika liku dunia alay.

Hambatan untuk resign semakin terasa saat gue diharuskan untuk minta 18 tanda tangan. Repotnya minta ampun. Seringkali orang yang dicari gak ada di tempat. Ditunggu jam 9 belom dateng, jam 11 juga belom, jam 1 belom balik makan siang, jam 3 meeting, jam 6 gue-nya yang pulang. Bahkan gue harus minta tanda tangan sama orang yang gak pernah gue temuin sekali pun selama kerja di Trans. Tapi itulah prosedur, tetap harus dijalankan walau bagaimana pun repotnya.

Sekarang gue pindah ke daerah Kebon Jeruk. Sangat jauh dari rumah gue yang ada di bilangan Senen. Bahkan dulu gue mengira daerah Tangerang dan sekitarnya itu ditempati alien dan makhluk asing lainnya, suatu hal yang gue buktikan di Bekasi, karena saking gak kebayang bagaimana bentuk daerahnya.

Busway masih gue manfaatkan sebagai transportasi pengangkut gue ke kantor. Disinilah perkenalan gue dengan shelter Harmoni (back sound : Musik seram -> Apapun lagu The Sisters yang dinyanyikan secara live). Rute gue tiap pagi, shelter Kramat-Harmoni-Kebon Jeruk. Setiap pagi selalu terlihat antrian mengular. Entah yang menuju Blok M, Kali Deres, Pulo Gadung, dll. Tapi yang namanya masih pagi, orang masih sabar dan mengantri dengan senyum yang lebarnya melebihi telinga.

Neraka ada saat jam 6 sore, saat pulang kantor. Harmoni semacam penjara bawah tanah Fatahillah. Terlalu banyak orang. Untungnya gak disuruh jongkok kayak di penjara itu. Apalagi antrian Kalideres, panjangnya ngelebihin antrian tiket film Power Rangers : The Movie (yang ngerti pasti umurnya >20). Blok M, terlihat lebih sepi. Pulo Gadung walaupun antriannya pendek, tapi ada tujuh lapis orang.

Setiap turun dari bus arah Lebak Bulus pas jam 6 sore, gue merasakan sensasi menjadi David Beckham. Semua mata memandang, melihat, dan memperhatikan setiap gerak gerik gue. Ingin rasanya melambai dan bilang, "I Love you" sambil sesekali mengeluarkan gesture peace, love, and gaul ke mereka. Namun sayangnya mereka bukan senang akan kedatangan gue, pandangan mata penuh kebencian karena gue jalannya lelet. Dan bener aja, sesaat setelah kaki kanan gue berpijak di lantai shelter yang dibikin dari seng itu, mereka semua langsung berlari masuk ke dalam bis yang gue tumpangi itu.

Tujuan selanjutnya adalah mencari bis arah PGC. Ini lah medan perang yang harus gue hadapi tiap hari, dimana para pengelola Transjakarta seperti gak rela kalo bis arah PGC gak ngantri panjang. Biasanya setelah menunggu diatas 20 menit, bus baru datang. Dan orang-orang selalu berebut, mendesak masuk. Entah kenapa setiap kali bus dateng, selalu terdengar jeritan cewek. Padahal pintu belom juga dibuka. Setelah gue liat ke depan, itu cewek gak mau naik. Dia lebih memilih untuk nahan badan di depan, didorong-dorong orang lain, sambil teriak teriak. Hipotesis gue : Ini cewek pengidap Sado Masochist.

Begitu masuk di bis, banyak penumpang bingung. Antara mau ke kanan atau ke kiri. Dan tentu saja, shelter Harmoni tidak mengenal belas kasihan. Shelter Harmoni adalah tempat dimana orang-orang baik bisa berubah menjadi seperti Ryan Jombang. Penumpang-penumpang kebingungan itu sukses didorong sampe nemplok di kaca atau bahkan nyusruk ke lantai.

Saat jalan, keberuntungan yang mengambil kuasa. Gue bisa aja dapet duduk dan pura-pura tidur, berdiri nyaman sambil berpegangan, atau kegempet di tengah dan di-bully orang-orang yang masuk dari shelter lainnya. Kalau lagi sangat sial, gue merasakan apa yang dialami oleh Siluman Kera Sakti. Kalau dia dihukum dijepit di gunung Lima Jari karena ngacak-ngacak Khayangan, gue dijepit oleh Ketek Lima Abang-Abang. Mereka datang dari semua arah mata angin. Dengan keadaan hari yang sudah semakin larut dan pola pikir konservatif mereka yang menolak memakai deodoran, perjalanan pulang gue ditemani bau yang bisa menyebabkan trauma berkepanjangan untuk orang-orang yang tidak tahan mentalnya.

Begitu sampai di halte Kramat, gue selalu menghela nafas panjang. Seakan terbebas dari penjara brutal semacam Alcatraz. Ohlala, ini lah hal yang gue jalani setiap hari. Menyusahkan, memang, tapi bisa dinikmati. Karena seburuk apapun suatu keadaan, selalu komedi yang bisa dijadikan alat pemicu senyum.


mari kita lanjut...

Minggu, Agustus 07, 2011

Still Counting

7 Agustus 2011

Hari ini gue berulang tahun. Sebuah hari bahagia dan penuh instropeksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sangat bersyukur atas apa yang telah gue dapat dan apa yang telah gue raih, sembari berusaha untuk mendapatkan sesuatu hal yang lebih besar dan lebih besar lagi.

Move forward and reach the sky, solving the riddle of life.

Semoga setiap detik yang udah dijalanin menjadikan gue manusia yang lebih bermanfaat.

Amin.


mari kita lanjut...

Senin, Juli 18, 2011

Mocca Last Show : Anabelle And The Music Box

Gramedia Matraman, sekitar tahun 2002. Seorang anak berambut botak (sisa) 1 cm sedang berdiri mematung di pojok toko kaset. Niat dia bukan mau nyolong, pastinya, karena anak itu dikenal suka mengaji, membaca buku tentang sejarah Islam, dan selalu membaca buku PPkn di saat malam. Tangannya menggenggam sebuah kaset dengan kover warna krem dan berisi gambar seorang gadis bergaya logo restoran cepat saji Wendys sedang menari dengan manusia berbulu domba.

Di pojok kanan atas ada dua tulisan bertumpuk : Mocca - My Diary. Album ini berisi satu tembang yang sangat populer (pada jamannya), Secret Admirer. Ah, gue ingat keadaan saat itu. Disaat galau, memendam perasaan ke salah satu teman sekelas gue. Melihat dan menikmati, namun hanya sebatas memandang.

Jaman SMP adalah sebuah masa dimana gue gak bisa melakukan apa-apa saat berhadapan dengan cewek yang gue suka. Jangankan bertatapan langsung, saat dia duduk di sebelah gue jantung serasa mau copot, jatoh ke pasir isap, masuk ke inti bumi. Keringat dingin bercucuran, membuat kulit terasa lengket seperti siput. Ujung-ujungnya gue memilih pindah ke tempat duduk yang lain. Kalah melawan rasa gugup.

Saat SMA, musik Mocca mempunyai andil besar dalam peristiwa yang sangat bersejarah dalam hidup. Pacaran pertama kali, setelah 17 tahun menjomblo dan bermuram durja. Pas lagi PDKT, gue dikasih CD album kedua Mocca yang berjudul Friends. Gue gak mau kalah, gue kasih dia CD Burning-an lagu-lagu yang dia suka (Baca : Gak modal). Lagu I Think I'm In Love selalu berputar di CD Player, membawa pikiran berandai-andai, badan guling-gulingan, jatoh dari kasur, benjol. Dan pada saat angan menjadi kenyataan (jadian), lagu My Only One menjadi soundtrack of my life.

Begitulah, gue mulai suka Mocca sejak SMP. Lagu-lagu mereka sempat menjadi melodi pengiring hidup. Menjadi dasar emosi dan peristiwa. Namun ironisnya, gue sama sekali belom pernah ngeliat mereka konser secara langsung. Entah mengapa. Setiap ada kesempatan untuk nonton mereka, selalu aja ada halangan. Sampai pada akhirnya gue menerima kabar kalo mereka akan menggelar konsernya yang terakhir.

Jelas gue heran. Gak ada angin gak ada kabar tiba-tiba mau bubar. Untungnya konser terakhir ini bakal diadakan di Jakarta, Balai Kartini. Sangat dekat dari rumah dan kantor. Lewat Twitter @moccaofficial gue dapet informasi kalo cuma 900 tiket saja yang bakal dijual untuk konser tersebut. Jadi lah gue mulai kegiatan berburu tiket. Pertama-tama di Bandung, tempatnya di Distro Lou Belle di daerah Setiabudi. Sampe disana, ternyata tiket belom dijual. Diundur. Berikutnya, berburu di Jakarta. Ticket Box ada di kantor Mlive Muzic di Wisma Alia Cikini. Udah dibela-belain telat kerja, tiket gak dapet juga. Setengah jam ngantri, tiket udah ludes. Harapan resmi terkubur.

Tapi ya, yang namanya kalo emang udah jodoh, gak bakal lari kemana. Harapan kembali muncul ke permukaan. Jumlah tiket ditambah dan venue konser dipindah ke tempat yang lebih besar, hall basket Senayan. Lewat perantara abang gue, yang bela-belain dateng ke JakCloth cuma buat beli tiket ini, akhirnya harapan gue resmi menjadi nyata. Mocca Last Concert, here I come!

***

15 Juli 2011, hari yang sudah dinanti-nantikan. Berangkat dari kantor jam 5 sore dengan menggunakan fasilitas Bus TransJakarta. Kebetulan pula jalanan belom macet. Gak sampe setengah jam gue udah nyampe di halte JHCC-Senayan. Setelah itu, demi mencanangkan gerakan jantung sehat (gak ada duit buat naik ojek), gue jalan kaki menuju venue acara.

Pada awalnya, gue niat barengan nonton sama Arin, sobat berantem gue dari SMA. Tapi entah kenapa, jodoh gue kalo nonton konser selalu Ian (@iansricahyono). Mulai dari Java Jazz, Jamiroquai, Franz Ferdinand, dll selalu barengan dia. Saat gue lagi celingak celinguk di depan pintu masuk, gue ketemu dia & pacarnya (Icus) tanpa ada janji terlebih dahulu. Pas bener. Yaudah lah daripada gue nunggu Arin yang tak kunjung datang dari kantornya, mendingan gue jadi lalet-nya mereka berdua.

Karena Ian lagi ngobrol-ngobrol sama temennya, gue sama Icus yang nuker tiket di loket. Loket yang bentuknya kayak penjara kecil yang dikasih lobang tikus untuk tempat menyorongkan makanan. Begitu dapet tiket kita kembali lagi ke pintu masuk.

Saat sampai di pintu masuk, antrian sudah sangat mengular. Anyep. Padahal belum ada tanda-tanda kalo pintu bakalan dibuka. Bahkan gue sampe gak ngeliat ujung antrian-nya dimana. Persis kayak emak-emak lagi berantem, gak keliatan ujungnya. Kita pun sepakat untuk gak ngikutin antrian tersebut. Karena Icus udah kebelet pipis, kita mau cari WC dulu.

Kita kelilingin gedung sampe ke satu pintu kaca gede berwarna hitam. Menurut intuisi kita, di dalem sini pasti ada WC. Setelah kita masukke dalem, nengok kiri nengok kanan. Gak ada tanda-tanda WC. Yang ada Ringgo Agus, Endah & Rhesa, Float, dan macam-macam performer pada hari itu. Ternyata kita masuk ke backstage. Segitu gampangnya masuk kemari. Coba kalo ini konser Justin Bieber, pasti pintu kaca itu udah dijaga sama bodyguard yang bodi-nya segede truk sampah. Sekali ditabok dia bakal langsung amnesia.

Icus dapet WC di dressing room peserta kabaret. Saat dia lagi menunaikan panggilan alam tersebut, Ian nelfon temennya yang tadi diajak diajak ngobrol di pintu masuk. Nama dia adalah Ruli dan pada saat itu dia sedang bertugas sebagai sound man White Shoes & The Couples Company (WSATCC). Gatekeeper kita untuk bisa tetap di backstage. Tempat yang sangat strategis, dimana kita bisa dapet tempat duduk tanpa harus main 'Uler Naga Panjang' di pintu depan. Gak lama setelah Ian nelfon, dia langsung dateng.

"Cuy, kita udah disini nih. Boleh stay aja gak sampe pintu dibuka? Begitu pintu dibuka kita bakal langsung ke tempat penonton," Ian bernegosiasi dengan Ruli.

"Yaudah gak apa-apa. Duduk aja bareng gue di situ. Lo punya tiket kan?" kata dia sambil menunjuk kursi panjang di lorong backstage.

"Ada nih," sahut gue sama Ian sambil nunjukin tiket dan menutupi raut wajah kegirangan. Jadilah kita nunggu pintu masuk dibuka sambil nongkrong bareng performer. Pasang muka meyakinkan, berasa jadi artis. Lalu saat pintu masuk udah dibuka, kita langsung ngacir ke belakang mixer. Karena spot terbaik untuk nonton konser apapun adalah daerah sekitar mixer, entah itu di depan atau belakangnya, dari tempat itu lah suara yang muncul tidak mono atau berat sebelah. Lebih tepatnya, tepat di garis tengah panggung. In case kalo mixernya ada di samping atau di belakang panggung.

Saat seluruh bangku sudah dipadati penonton, riuh ramai mengisi udara, dan para sound engineer mulai bersiap-siap, lampu venue mulai dimatikan. "Selamat datang di Mocca Last Show, Anabelle & The Music Box!" suara storyteller (merangkap MC) Soleh Solihun dan Ringgo bergema di dalam venue. Konser ini resmi dibuka.

sumber : deathrockstar.info

Konsep konser terakhir ini adalah kabaret, dimana setengah penampilan Mocca didampingi oleh kabaret tentang Anabelle yang terperangkap masuk ke dunia dalam Music Box (sebenarnya dia mau masuk ke Dunia Dalam Berita, tapi sayang acara itu udah gak ada). Anabelle jatuh cinta dengan pangeran pemimpin dunia itu, tapi entah mengapa Buddy Zeus tidak suka. Mungkin dia suka penyuka sesama jenis yang tidak rela kalau pangeran pujaannya itu diambil oleh Anabelle. Pada akhirnya, pangeran itu mati karena dipanah Buddy Zeus dan dia sendiri mati tercabik-cabik pedang yang diayunkan oleh Anabelle yang sedang kalut karena pacar barunya mati penasaran. Setelah itu, entah dengan rapal sakti apa pangeran bisa idup kembali dan membuat Anabelle menjadi Bang Toyib yang gak pernah pulang sampe-sampe Wali takut disamain sama dia. The end, happily ever after.

Sumber : Mlivemuzic.com

Yah, walaupun penampilan para adik-adik kecil dari SMA 7 tersebut tidak bisa dibilang jelek, tetap saja penampilan mereka hanya terlihat sebagai pelengkap. Ini juga terkait dengan beberapa kesalahan teknis yang membuat penonton tidak peduli dengan jalannya cerita. Point of interest pada acara ini tetap : Arina-Toma-Rico-Indra (MOCCA).

Konser terakhir ini dimulai dengan lagu Happy. I Think I'm In Love dan Secret Admirer seakan membuai ingatan gue akan masa-masa SMP dan SMA. Ade Paloh, ex personil SORE, naik ke panggung untuk membantu Arina membawakan This Conversation. Memberikan rasa baru atas lagu tersebut. Kemudian datang pasangan suami istri ajaib, Endah & Rhesa, membawakan lagu Me & My Boyfriend dengan apik dan luar biasa. Nyanyian mereka bukan hanya dari mulut, instrumen mereka pun ikut berbunyi. Sulit rasanya menahan diri untuk tetap duduk manis di kursi, apalagi setelah mendengar The Object Of My Affection yang semakin terdengar enerjik oleh Float.

Kejadian unik terjadi saat Mocca membawakan lagu Let Me Go dengan backdrop memutar video rintik-rintik hujan. Tiba-tiba saja hujan deras turun dengan hebatnya, seakan-akan sengaja dipakai sebagai efek untuk menambah syahdu suasana konser. Begitu lagu itu selesai dinyanyikan, hujan itu perlahan-laha berhenti. Sungguh aneh. "Sebagai informasi kepada para penonton, hujan tadi memang sengaja dipanggil sebagai konsep konser pada malam ini," begitu komentar Soleh Solihun yang terlihat kompak dengan Ringgo dalam membawakan acara dan mendiskusikan isu dan gosip-gosip kocak yang seringkali tidak berhubungan dengan konser itu sendiri.

Hyper-Ballad, lagu Bjork yang dibawakan ulang oleh Mocca, sukses membuat gue merinding. Tarikan vokal Arina yang tinggi meresap sampai ke tengkuk. Luar biasa. Sedangkan I Remember lagi-lagi memutar video kenangan di otak gue. Saat-saat dimana cerita-cerita kecil dalam hidup gue diisi oleh melodi-melodi yang diciptakan oleh Mocca.

Nona Sari dari WSATCC naik ke atas panggung untuk duet bersama Arina dalam lagu I Would Never, menggantikan Karolina Komstedt dari Club 8. Setelah itu Nona Sari membawakan single Mocca, What If. Tapi sayang seribu sayang, dia tidak afal liriknya, sehingga lagu tersebut terasa hampa karena dia masih terdengar seperti mengeja lirik. Setelah itu gantian Arina manggung bersama WSATCC membawakan lagu Senandung Maaf, menggantikan Sari sebagai vokalis.

Tanah Air, lagu nasional yang diciptakan oleh Ibu Soed dibawakan oleh Arina dengan haru. Perlu diketahui Mocca memilih untuk vakum saat Arina berencana untuk menikah di negeri Paman Sam, Amerika. Oleh karena itu mereka menamakan konser ini sebagai konser terakhir karena mereka sendiri belum tahu sampai berapa lama Mocca akan bersembunyi. Lagu tentang kecintaan akan Indonesia ini seakan-akan menjadi sarana komunikasi Arina untuk berkata, "Selamat tinggal Indonesia."

Sumber : muthia-noesjirwan.blogspot.com

Life Keeps On Turning dipilih sebagai lagu pamungkas pada malam itu. Seluruh performer yang mengisi konser naik ke atas panggung. Luar biasa memang suara Arina. 23 lagu dibawakan, tidak ada satu nada pun yang luput dari jangkauan pita suaranya. Standing applause for her.


sumber : whatzups.com

Kemudian setelah selesai membawakan lagu tersebut, pecah lah tangis Arina saat menyambut para Swinging Friends memberikan ucapan selamat tinggal berikut bunga ke dia. Rasa sedih dan haru terasa sampai ke tempat gue yang berjarak kurang lebih 20 M dari panggung. Indonesia akan kehilangan salah satu vokalis terbaiknya.

sumber : enadjuanda.blogspot.com

Puas. Itulah yang gue rasakan. Apalagi setelah tau kalo gue duduk di kelas Gold, yang berarti gue naik kelas dari kelas Silver, kelas yang tertera di tiket gue. Akhirnya gue bisa menyaksikan penampilan band favorit gue sedari dulu. Ini adalah pertama kalinya gue melihat penampilan Mocca secara langsung dan semoga ini bukan (benar-benar) yang terakhir.

sumber : whyopu.blogspot.com




mari kita lanjut...

Senin, Juni 06, 2011

Not Too Sweet Escape (Part 3)

....: Sabtu, 23 April 2011 :....

Salah satu ujung tombak dari Kiluan selain pantai-nya yang bening adalah wisata dolphin, ngeliatin lumba-lumba. Kita bisa melihat barisan lumba-lumba loncat-loncatan. Dan bahkan terkadang bisa berlayar diiringi mereka. Sebelum pergi gue juga sempet gugling soal kebenarannya. Dan gambar-gambar yang ada malah bikin makin ngiler dan penasaran. Meluapkan semangat untuk cepat sampai disana.

Pagi ini, kita berniat untuk pergi ke tengah laut, melihat Dolphin Show disana. Tarifnya 250 ribu. Sudah kita tanya dengan detil, mengingat kejadian yang telah terjadi sebelumnya. Bukan apa-apa, kita takutnya ditagih biaya bensin pas di tengah laut. Kan tengsin juga sama lumba-lumbanya kalo kita dijorokin ke laut. Ketauan gak punya ongkos pulang.

Sekitar pukul setengah 6 pagi kita berangkat ke sana. Tim kita terbagi dalam dua kapal yang berbeda. Yang barengan sama gue adalah Andin dan Deta, dan juga abang-abang yang ngendaliin kapal. Pengen juga sih nyetir sendiri, tapi takut gak ngerti kopling-nya. Ngeri melorot pas tanjakan. (Ini ngomongin kapal apa mobil sih?)

Perjalanan ke tengah laut menyuguhkan pemandangan-pemandangan cantik nan mengagumkan. Terlihat bukit-bukit pinggir pantai dengan laut yang berwarna biru dongker. Ada juga sebuah pulau tanpa pantai yang berdiri kokoh melawan ombak yang selalu menggempur nya. Pulau itu mengingatkan gue akan Saur Sepuh.

Gue membayangkan kalo ada pertapa di pulau itu. Bertapa sambil makan buah cherry untuk bertahan hidup dan melawan makhluk-makhluk aneh di dalamnya. Sampai suatu saat dia diserang oleh pertapa pulau lain dan kalah. Mayatnya dibuang ke jurang dan menjadi batu karang kokoh yang menjadi monumen untuk memperingati kematiannya. Cadas. Dan tentu saja saat mengucap dialog, mulut dan suara mereka tidak sinkron. Efek film dubbing khas sinetron legenda. Dan para pertapa memakai Power Balance di tangannya. Lupa dilepas.

Gue menikmati pemandangan ujung Horizon di depan. Bumi seakan luas tak berbatas. Gue angkat kaki gue ke samping kapal yang menyerupai kano tersebut, mencelupkan telapak kaki ke air laut yang hangat. Sebagai pelengkap, gue makan Astor sambil bersenandung. Ah, terasa lepas segala penat, terbebas dari rutinitas yang pekat. Angin laut, lagu, dan Astor. Sebuah kombinasi yang fantastis.

Sesampainya di tengah laut, kita semua bengong. Isinya aer doang gak ada lumba-lumba nya. Terpaksa kita muter-muter kesana kemari. Mencari lumba-lumba yang ada entah dimana, sedangkan matahari mulai membumbung tinggi, melemahkan niat kita untuk bertemu lumba-lumba.

Tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah sirip abu-abu gelap menyembul ke permukaan, "Itu bang!" kata kita bersemangat. Abang kapal langsung ngebut menuju sana. Sayangnya begitu sampai ke sana, mereka kembali sembunyi. Kita semua kembali kecewa. Nyari lumba-lumba ternyata kayak nyari koruptor. Suka kabur-kaburan.

Gak beberapa lama, muncul lah formasi lumba-lumba menyembul dari samping kapal kita. Sontak kita sorak sorai kegirangan. Mereka seakan menari, saling membentuk formasi, dan bersekongkol untuk menghibur para penumpang kapal. Saking semangatnya ngerekam mereka gue hampir jatoh dari kapal, kalo aja gak dipegang sama Andin. Semua itu terlihat sangat indah dan menyenangkan. Sampe-sampe gue lupa diri.

Semakin lama jumlah lumba-lumba yang ada semakin banyak dan semakin dekat. Terlihat jelas punggung mereka dari balik air laut yang bening. Mereka berputar-putar mengelilingi kapal, menggoda kita untuk bergabung bersama. Tapi mengingat kapal yang kita naiki hanya berupa kapal nelayan yang tidak terlalu kokoh, kita mengurungkan niat tersebut. Takutnya bisa turun, gak bisa naik. Atau kemungkinan terburuk : Kapalnya patah begitu kita tarik dan tenggelam seperti Titanic. Oh mai goat! Gue gak siap mati. Gue belom bikin lukisan telanjang Kate Winslet!

***

Entah jam 9 atau jam 10, kita kembali ke pulau. Turun kapal langsung nyemplung, kecipak kecipuk di aer kayak anak kodok. Rencana selanjutnya : Snorkling dan Foto-foto. Kita langsung ngeloyor ke pondok untuk ngambil kacamata dan sedotannya. Sempat terdengar sindiran Ibu penjaga, "Laper yaa?? Kesiann. Lagian gak makan dulu sih pas pagi!" sambil ketawa-ketiwi kunti. Saat itu juga kita bersumpah untuk tidak makan apapun selama di pulau ini, kecuali makanan yang telah kita bawa.

Rasa kecewa lagi-lagi muncul. Kita disuruh snorkling sendirian. Orang yang nyewain google bahkan gak tau tempat yang bagus untuk snorkling dimana. Walhasil kita hanya mengandalkan Ojan, yang paling berpengalaman dalam dunia selam-menyelam. Apa-apa Ojan. Kacamata kemasukan air, Ojan. Kebawa arus, Ojan. Nyari tempat snorkling, Ojan. Bahkan dia sampai dikasih panggilan kesayangan, "Ojyaaannn..." oleh 4 Ibu-ibu rempong (Deta-Andin-Jihan-Risma) yang pada gak bisa berenang itu. Serasa punya empat istri. Sayup-sayup terdengar suara, "UH.. UH.. UH..!!" dari pulau seberang. Suara orang utan. Istri kelima sudah mulai cemburu tampaknya.

Jam 12 kita baru selesai snorkling dan foto-foto di sekitar pulau, di saat orang-orang lain udah pada rapi jali, bersiap-siap mau pulang. Ketauan banget gak mau rugi. Imbasnya, air yang tersedia di gentong jadi tinggal sedikit. Dan karena WC sumur dipake sama cewek-cewek, gue dan Ojan jadi musti mandi disana untuk mempersingkat waktu. Jadilah gue ngais-ngais aer gentong sampe ke dasar. Sampe kotoran gentongnya ke serok, mampir di mulut. HOEK.

Jam setengah dua, kita udah naik ke kapal putih lagi. Berangkat kembali ke Pulau Sumatra dan bersiap kembali ke Lampung. Mobil yang kita pakai kali ini adalah mobil APV yang tidak ada supirnya. Entah kemana dia berada. Jadinya kita mesti bengong dulu di warung deket parkiran sambil nungguin itu supir yang gak tau keselip dimana. Semua terlihat lelah, kecuali Jihan. Dia terlihat ketakutan karena banyaknya ayam berkeliaran di sekitar bangku dan meja tempat kita menunggu. Sebuah phobia hasil kreatifitas dia waktu kecil : Iseng nyekek ayam jago yang biasa dipake buat aduan. Dipatok lah dia. Manusia aja bakal ngamuk kalo dicekek, apalagi ayam?

Satu jam kita menunggu, akhirnya Bapak Supir datang juga. Rambutnya acak-acakan, polo shirt kuning-nya tidak terkancing, mata merah, dan dengan wajah yang terlihat sangat marah. Sepertinya dia baru bangun. Atau lebih tepatnya dibangunin. Atau (kalo dilihat dari dandanan-nya) abis disiram aer pas lagi asik-asikan mimpi kencan bareng Kiki Fatmala.

"Perjanjiannya gak begini nih!" sahut dia sambil bukain pintu mobil.

Jelas kalo soal perjanjian udah bukan urusan dia. Itu urusan antara Pak Sopir dengan pengelola pulau. Makanya kita cuek ajah. Walaupun dalam hati kita dongkol juga. Ditambah lagi beliau marah-marah saat kita nurunin bangku tengah APV untuk masukkin tas.

"Kok yang itu dibuka juga!!? Kan udah saya buka yang satunya!!"

"Lah kan biar lebih gampang aja Pak," bales kita makin emosi. Udah siang-siang, panas, dan kejadian gak menyenangkan selama di pulau, sekarang nambah lagi omelan Si-Sopir-Bangun-Tidur ini.

"Tapi kan... Ah yaudah lah!" kata dia sambil ngeloyor ke warung.

Begitu barang-barang dan kita udah masuk semua ke dalem mobil, suasana menjadi hening. Males ngomong, terlanjur emosi. Ternyata dia yang mulai angkat bicara, "Ini seharusnya gak begini nih!" sambil menginjak pedal gas dalem-dalem. Lonjak-lonjak gak keruan, itu lah efek yang kami rasakan. Udah gila ini sopir. Dia yang ada masalah, kita yang dikorbanin. Pengen rasanya nge-bekep dia pake kolor bekas berenang gue. Biar semaput gara-gara basah dan bau kecut.

"Pak, kita yang ada disini gak tau apa-apa. Kalau bapak marah-marah sama kami, gak berguna apa-apa Pak. Kalau mau marah, ya sama pengelola pulau jangan sama kami Pak," kata Jihan bijak.

"...," Bapak Sopir diem aja.

Kemarahan-nya ternyata mereda setelah ditegor. Jalannya mobil juga semakin normal. Ternyata dia sopir yang cukup handal (kalau waras). Dia juga curhat sama Ojan, yang duduk di depan, tentang bayarannya yang kurang lah, tidak sesuai janji lah, jemuran belom diangkat, anak nangis mulu, piring di rumah pecah, sendal ilang di mesjid, dll. Gak tau lah apa aja yang diomongin si Bapak. Yang penting perjalanan kembali normal.

Suasana penuh emosi tadi menutup perjalanan kami dai Teluk Kiluan. Sesampainya di Lampung, kita keliling-keliling sebentar di Kota Lampung. Nyasar, lebih tepatnya. Terkait dengan petunjuk mengkol kanan-kiri dan minimnya penerangan jalan. Sebelum pulang, kita menyempatkan diri makan Mie Ayam Lampung dan membeli oleh-oleh keripik pisang. Setelah selesai, bablas langsung ke kapal, perjalanan non-stop menuju Jakarta.

Perjalanan kali ini, biarpun tidak terasa begitu manis, tetap berkesan untuk gue. Senyum dan tawa selalu mengembang setiap saat, mengenang apa yang terjadi disana. Segala pahit yang ada , walaupun terasa kecut di hati dan menumbuhkan emosi, tidak bisa menutup manisnya suguhan pemandangan alam eksotis yang terhampar di sekitar Teluk Kiluan. Sebuah liburan yang menyenangkan!


(^_^) ....Galeri Foto Narsis.... (^_^)


Tas Cantik, Bantal Lebah, dan Entah-Bawaan-Apa-Lagi



Sun Go Kong mencari Kitab Fisika Marthen Kanengan


Penginapan, dapur, dan air panas seharga 5.000


Nenek moyangku seorang pelautt.... punya senjata di bawah perutt

Pemerkosaan yang terjadi di pinggir pantai
Model : (sebut saja) Mawar

Abis diperkosa, langsung bertapa

Terlihat keren, tapi sebenarnya lagi dikerjain ombak... dan mereka rela

Cocok buat setting film legenda

Formasi apik kawanan lumba-lumba

Mengiringi jalannya kapal

Menggoda kita untuk bergabung dengannya



Kiluan Rocks!!!

Keindahan nyata... pemandangannya




(entah itu beneran Pak Bondan apa enggak)
Apakah kita terlihat menghitam?


...tamat

mari kita lanjut...

Rabu, Mei 11, 2011

Not Too Sweet Escape (Part 2)

....: Jum'at, 22 April 2011 :....

Kita mampir di pom bensin untuk meregangkan kaki sejenak. Melancarkan saluran-saluran darah yang kecetit, kegempet, dan kata apapun yang menggambarkan keadaan 'terhambat'. Sekalian juga mau sholat Subuh sambil jajan-jajan sedikit di Bright. Perjalanan ke Bandar Lampung masih lumayan jauh.

Mobil kembali dinyalakan, posisi kembali tertekan, dan kita lanjut jalan. Menyusuri Kilometer demi Kilometer, angkot demi angkot, mobil demi mobil. Akhirnya gue merasakan juga jalur Sumatra. Jalur yang terkenal akan mental pejuang para pengendaranya. Lampu merah artinya berani dan gak nyalip gak gaul. Semua mobil tanpa terkecuali. Bahkan yang plat merah sekalipun. Jalan yang seharusnya dua jalur dinista-kan jadi satu jalur. Kalau ada truk di arah sebaliknya, baru mereka panik. Langsung mepet orang-orang di jalan yang benar. Ampun lah.

Jalur GP Monako itu akhirnya kita lewati. Sampailah kita di kota Bandar lampung. Tugas selanjutnya adalah kopi darat sama Bapak Pemandu kita. Dia bilangnya ketemuan di RS Bumi Waras. Permasalahannya : Dimanakah itu gerangan? Kompas Bacot adalah solusi terbaik, karena kita sama sekali gak punya atlas dan peta lampung.

"Misi Pak, mau tanya, kalo RS Bumi Waras itu dimana ya?" tanya Andin yang duduk di depan ke Abang becak yang lagi asik ngaso di kendaraan mewahnya.

"Ohh.. Itu dari sini tinggal lurus, lampu merah pertama belok kanan. Sehabis itu ada pos Polisi, mengkol kanan. Lurus lagi, mengkol kiri. Ada tanjakan. Abis itu lurus aja, sampe Bumi Waras. Kalo ada apa-apa tanya lagi aja, kita orang Lampung baik-baik semuanya," jawab dia dengan logat Tegal yang kental sambil belok-belokkin tangan seperti break dance.

Kita langsung bergerak sesuai dengan arahan beliau. Belokan pertama masih sesuai. Yang ngaco di belokan yang kedua. Jalanan udah mentok, pertigaan. Sedangkan belokan ke kanan ada dua, yang satu belok kanan patah dan yang satu lagi belok kanan tapi nyerong. Bingung. Kita semua bingung. Akhirnya kita menganggap kalo mengkol kanan itu berarti serong kanan. Daripada gue digebukin gara-gara kelamaan bengong di lampu merah.

Jalan yang kita lewati ternyata udah mulai nanjak. Dan seinget kita, kalo udah nanjak-nanjak berarti dikit lagi sampe. Dengan percaya diri tingkat tinggi kita nerusin jalan. Tiba-tiba datang 2 mobil dan 1 motor dari arah yang berlawanan. Ampun. Udah gitu dia ngedim heboh. Ternyata jalan ini verbodeen, perboden, atau apalah itu gue gak tau cara penulisan yang tepat. Gue kira ini termasuk budaya nyetir daerah sini. Susah ngebedain mana yang lagi marah-marah dan nyetir normal.

Empat orang udah kita tanyain untuk bisa ketemu RS Bumi Waras dan entah berapa kali kita mengkol kiri-mengkol kanan, jungkir balik-terjun payung, dan ngelewatin pos Polisi, Polres, Polsek, dll. Dan ternyata kita cuma berada di sisi jalan yang salah. Anyep. Kita muter-muter gitu cuma karena banyak jalan yang satu arus, sehingga untuk sampai ke jalan yang dituju harus muter lebih jauh.

Singkat kata, berangkat lah kita ke Teluk Kiluan dengan menggunakan mobil Avanza-nya si bapak guide. Mobil Livina yang telah berjasa itu kita titip di rumah adik-nya bapak guide. Oiya, nama guide-nya ini Bapak Dirham. Beliau sendiri gak ikut bareng kita karena harus ngurusin tamu yang lainnya. Keberangkatan kita berbarengan dengan tamu lain yang make mobil APV. Jadinya kita iring-iringan dua mobil.

Mengingat kita bela-belain belom makan dari pagi dengan maksud untuk menghemat waktu agar sampe ke Teluk Kiluan nya gak kelamaan, tentu aja kita jadi emosi saat mobil APV tiba-tiba minggir untuk makan di warung pinggir jalan. Supir kita juga ikut-ikutan nepi dan menunggu, karena untuk jalur ke Kiluan dia masih awam bin gak tau. Ogah ikutan makan di warung, terpaksa kita beli gorengan di seberang. Gorengan yang isinya sayuran basi. Gengsi ternyata hanya seharga tahu goreng isi sayur basi.

Begitu mereka beriringan masuk mobil, kita udah ngegerutu gak jelas. Ngomel-ngomel karena waktu terbuang percuma. Omelan kita semakin nyata saat mobil APV tiba-tiba berhenti lagi. Kali ini mereka mau foto-foto di atas tebing. Kalo aja gak ada yang nahan, Andin bakal nge-jorokin mereka ke bawah pas lagi pasang foto imut marmut. Untungnya enggak, dan kita menyelamatkan 7 nyawa wanita.

Sekitar pukul 2 siang, kita sampe ke dermaga penyebrangan. Saatnya ngangkut-ngangkutin tas. Udara panas begitu menyengat, membuat muka dan badan kita lecek-apek seperti gelandangan yang telah berkarir di jalanan seumur hidup. Gue liat orang-orang di mobil APV, mereka pada bawa tas carrier 30-60 liter. Walaupun mereka semua cewek, mereka terlihat siap mengarungi alam. Pas gue liat tas Jihan, Andin, Risma, dan Deta, mereka terlihat seperti turis yang mau menginap di hotel berbintang 5. Pada bawa tas jinjing, bantal imut berbentuk lebah, dan plastik-plastik berisi makanan. Satu orang bawa dua tas jinjing, yang disangkutin di kanan-kiri bahu. Mereka terlihat siap untuk tersesat di hutan.

Setengah 3 siang kita udah naik perahu putih bertuliskan TNI-AL untuk nyebrang ke Teluk Kiluan. Nama nahkoda nya Chairil Anwar, seperti penyair. Gak sampe 15 menit kita udah sampe ke pulau-nya. Di pantai terdapat 5 tenda (kurang-lebih) dengan warna-warna yang berdeda. 4 orang pemuda lagi nyanyi-nyanyi sambil main gitar, mengelilingi api unggun yang mulai habis terbakat. Gue melihat ke bawah, air laut nya sangat bening, menimbulkan hasrat untuk berenang pada saat itu juga. Sayang, terhambat urusan tas dan penginapan.

Turun dari kapal, kaki gue merasakan empuknya pasir putih yang terhampar di sepanjang pantai. Air laut yang hangat serasa memijat-mijat kaki. Ah, ini namanya liburan. Gue langsung jadi kuli angkut, ngangkat tas dan plastik gede (segede karung) yang berisi segala macam makanan, sampai ke penginapan.

Film Rambo. Itu lah hal pertama yang terbersit di pikiran gue. Penginapan nya berbentuk rumah panggung. Mirip rumah di Vietnam yang biasa diledak-ledakkin Rambo, ditembakkin pake Bazooka. Serpihan pasir bertebaran di sekitar balkon penginapan, membuat kaki gak bisa bersih, penuh akan bulir-bulir pasir.

Pada awalnya, kita mesen satu kamar untuk ber enam. Cukup lah. Yang cowok di lantai, yang cewek di kasur. Kebetulan kita bawa karpet. Tapi ternyata bapak supir juga ikutan kita. Dengan kebaikan hati yang sangat tulus, kita jadinya mesen dua kamar. Yang satu buat gue-ojan-bapak supir, satu nya lagi buat cewek-cewek heboh itu. Dengan senang hati langsung gue tawarin kamar itu ke beliau, "Iya, iya.. Gampang lahhh.." respon dia saat itu.

Setelah selesai urusan tetek bengek penginapan dan loading barang, kita langsung keliling-keliling pantai sambil nunggu Ibu penginapan selesai bikin makanan. Pantai-nya keren banget. Pasirnya putih dan airnya bening. Pada bagian pantai yang berkarang, kita bisa melihat ikan dan kepiting berlarian menyusup dari balik karang yang empuk. Seperti biasa, kita langsung foto-foto sambil melepas lelah, sembari duduk di atas karang, bergaya pose andalan. Berpura-pura gak ngeliat kamera dengan mata memandang ke garis horizon dan awan-awan di atas langit, kayak TKW nyasar.

Perut udah menggelar Woodstock, tanda-tanda sangat lapar. Maklum, belom makan dari pagi. Satu-satunya isi cuma Tahu Goreng Sayur Basi. Kita semua langsung kembali ke penginapan. Saat gue konfirmasi ke Ibu-nya, ternyata dia lupa masak buat kita. Orang yang datang belakangan malah disuguhin duluan. Tentu aja kita protes.

Nego-nego, akhirnya makanan yang udah dihidang di balkon kamar orang lain itu langsung dipindahkan ke depan kamar kita. Menu yang dimasak adalah pindang Ikan Mohawk. Raut mukanya kayak Piranha, tapi dia punya bentuk jidat seperti model rambut ala suku Mohican. ENAKNYA SUPER. Entah spesies apa ikan ini, tapi dia memiliki daging yang manis. Ditambah kuah segar, makanan itu terasa pas sebagai makanan pembuka.

Perut kenyang, wajah riang gembirang, saatnya berenang!

***

Kita baru selesai berenang jam 5 sore. Hari udah mulai gelap. Di pulau itu cuma ada 4 kamar mandi. Tiga kamar mandi yang terletak di belakang penginapan berbentuk normal seperti biasa, sedangkan kamar mandi lain, yang terletak di depan penginapan, berupa sumur yang dikasih sekat disekitarnya. Tadinya gue pengen nyoba Sport Bathing kayak gitu, mandi sambil nimba aer. Tapi berhubung yang ngantri banyak, gue memutuskan untuk ngeloyor ke kamar mandi yang di belakang yang airnya udah disediakan di gentong besar berwarna biru.

Sebagai makan malam, kita mengisi perut dengan memakan bekal sekarung plastik itu. Ada bolu, Astor, Oreo, dll. Untuk minum, kita pengen ngopi-ngopi atau nyusu-nyusu, maka dari itu kita minta aer panas ke Ibu Penginapan. Sebuah awal dari rentetan kejadian gak enak.

"Permisi Bu, boleh minta air panas gak untuk bikin kopi dan teh?" izin Andin dan Deta kepada Ibu penginapan yang lagi ngaso di dapur.

Beliau langsung memandang mata Andin, ke badan, sampe ke kaki. Kemudian tangannya meraih termos besar berwarna pink, "Lima ribu!"

Seketika mereka shock. Di perjanjian awal, paket penginapan ini sudah termasuk dengan minum dan air panas. Tapi tiba-tiba muncul permintaan ini. Bukan masalah jumlah uang nya, tapi cara untuk meminta nya yang jadi masalah. Seakan-akan memusuhi kita karena gak pesan makan malam, yang berarti gak ada pemasukan dari masakan. Andin-Deta iya-iya aja sambil ngambil termos dan kembali ke balkon kamar. Kita semua sontak merasa tidak nyaman.

Perlu diketahui, sinyal hape gak ada yang bisa tembus di penginapan. Sinyal hape baru bisa muncul saat di pinggir pantai. Itu pun terlalu pinggir sampai-sampai bisa dibilang tepi laut. Tadi siang aja gue liat Bapak Dirham, guide kita, telpon-telponan sambil naik sampan di tengah laut. Listrik cuma sampe jam 11 malem dan balkon selalu penuh dengan semut api yang siap membuat badan gue bentol-bentol segede duku bangkok. Mau ngobrol di dalem kamar? Pengap dan panasnya seperti di dalem Tupperware panggang. Panas dan hampa udara. Itu semua membuat kita mati kebosanan. Sekitar pukul 10 kita udah tidur. Dan butuh 3 jam untuk benar-benar lelap.

....: Sabtu, 23 April 2011 :....

"Jeyhaann... Jeyhaannn... sini yookk," teriak gue memulai hari. Padahal doi lagi di WC belakang, lagi sikat gigi. Entah berapa orang yang terbangun dan menjadi gila karena lengkingan suara gue yang beringas itu. Gue sendiri lagi duduk bareng Deta, Andin, Risma, dan Ojan untuk membahas rencana ke depan.

Begitu dia dateng gue langsung menyampaikan ide, "Bete gak sih tadi malem kayak gitu? Kalo malem ini tetep nginep disini kita mau ngapain, dicubitin semut api mulu. Kita liat dolphin kan jam 6 sampe jampe jam 9 atau 10, abis itu snorkling paling sampe jam 12. Abis itu ngapain lagi coba?" Mereka semua ngangguk-ngangguk. "Mendingan kita cabut aja jam 2. Atau jam 3 lah paling telat. Biar sampe Bandar Lampung nya malem, trus kita cari penginapan."

"Daripada begitu, mendingan langsung pulang ke Jakarta aja. Palingan kalo berangkat dari Lampung malem, kita bisa sampe Jakarta pagi-pagi. Kita jadi bisa istirahat kan tuh hari Minggu nya di rumah masing-masing," balas Jihan. Dan semua orang menyetujuinya. Kami mau peradaban.

"Eh itu Bapak sopir kemana ya!?" kata Ojan. Dan gue juga baru sadar kalo Bapak sopir itu gak ikut ke kamar. Semalem cuma gue sama Ojan aja. Setelah diselidiki, ternyata dia merupakan pihak ketiga alias dari perusahaan rental mobil yang ikut-ikutan ke pulau Kiliuan. Ngapain juga kita ngelebihin satu kamar dan melebihi budget, disaat budget yang ada udah sangat mepet. Semuanya terbuang tercuma. Mubazir. Kita menyesal tidak bertanya.

bersambung...


mari kita lanjut...

Senin, April 25, 2011

Not Too Sweet Escape (Part 1)

Liburan panjang. Suatu momen yang sangat berharga. Lebih berharga dari emas. Karena gak bisa disimpan, dijual, atau dipermak jadi gigi palsu. Sayang banget kalo dilewatkan begitu aja.

Tanggal 22 April 2011 adalah hari libur nasional. Entah dalam rangka apa. Pokoknya libur dan gue gak harus masuk kantor. Dan secara kebetulan tanggal itu jatuh pada hari Jum'at, sehingga hari libur yang harusnya dua hari bertambah menjadi tiga hari. Saatnya melaksanakan kegiatan favorit gue, travelling. Tujuan perjalanan kali ini adalah Teluk Kiluan, Lampung.

Sebenarnya keikut sertaan gue dalam perjalanan ini lebih bersifat pemaksaan, karena tanpa diajak atau apa, gue menawarkan diri dengan murahannya di saat orang-orang lain harus berpikir keras untuk ikut kesana. Satu hal yang gue butuhin cuma berapa biaya yang diperlukan. Apabila sesuai budget, hal-hal lain bersifat tentatif. Dan untungnya, budget nya sesuai dengan sisa uang di dalam rekening gue yang telah mengalami kekeringan akut. Sindrom akhir bulan yang selalu menerpa orang-orang gajian.

......: Kamis 22 April 2011 :......

Sejak bangun tidur kuterus mandi dan tak lupa menggosok gigi, pikiran gue udah jalan-jalan sendiri. Kantor menjadi mimpi buruk yang menyebalkan, karena sekeras apapun gue mencubit pipi, mimpi buruk ini tidak akan berakhir. Setengah hati gue mengerjakan tugas yang menggelandang di permukaan meja, sembari sesekali gugling soal Kiluan, membayangkan keindahan disana.

Teng-Go. Sebuah istilah bagi para pekerja kantor yang ditujukan untuk orang-orang yang langsung pulang begitu jam kantor selesai. Suatu kata yang sangat menggambarkan keadaan gue sekarang. TENG : Begitu jam 5 gue langsung rapi-rapi in tas, siap-siap cabut ke Slipi Jaya, tempat kumpul kita sebelum berangkat. GO : Jam setengah 6 gue udah keluar kantor, menuju halte busway terdekat untuk berangkat ke tempat tujuan.

MACET. Itulah hambatan pertama gue dalam perjalanan menuju Kiluan, imbas liburan panjang pada tiga hari ke depan. Intensitas lewat dan berhentinya bus Transjakarta di halte menjadi berkuran. Kebanyakan masih ketahan di Pancoran atau MT Haryono. Kita-kita yang nunggu di Tegal Parang cuma bisa manyun dan sabar menunggu sembari menghasilkan keringat segede biji salak. Sambil menunggu, gue iseng ngacungin jempol untuk ngeberhentiin mobil-mobil yang masuk ke jalur busway. Ternyata gak ada yang mau berhenti. Tanggung jawab dong kalo masuk jalur. Itu kan jalur untuk bus, transportasi massal, jadi apapun yang lewat di situ harus rela ditumpangin banyak orang. Mungkin mereka gak ngerti esensi dibalik motto "TAKE THE BUS, NO IT'S WAY." Mmm. Gue juga enggak sih. Apalagi motto yang "Dilarang Masuk Jalur Busway Kecuali Busway!"

Setelah tersiksa oleh halte busway yang gerah dan keadaan di dalam bus yang sangat mepet bikin kegencet, gue akhirnya sampe di Slipi Jaya. Keadaan Mall cukup ramai, dimana penataan toko dan ruangannya mengingatkan gue akan ITC Mangga Dua atau Cempaka Mas. Lengkap dengan teriakan, "Boleh kaaak... bajunya kakk.. masuk aja, liat-liat dulu kakk... gak apa-apa kakk" yang menggema sampe ke bagian otak yang paling dalam.

Dunkin Donuts adalah tempat pertemuan kita sebelum berangkat ke Lampung. Anggota-nya ada 6 orang : Andien, Deta, Ojan, Jihan, Mirzal (gue), dan Risma. Sebelum berangkat, tentu aja kita foto-foto narsis dulu, untuk mengukur tingkat ke-lecek an kita antara sebelum dan sesudah berangkat. Dan karena gak ada yang mau dikorbanin sebagai tukang foto, kita minta tolong pegawai Dunkin-nya.

Mas-mas pegawai Dunkin itu langsung di training sebentar sama Jihan, biar tau kalo cara makenya cukup dipencet tombol shutter -nya, bukan ditimpuk atau kayak ngintip celana dalem. Sambil pasang pose terbaik dan senyum tiga jari, kita menunggu lampu blitz bersinar. 1 detik... 2 detik... 9 detik... dan hampir 20 detik kita menunggu, itu blitz gak muncul-muncul. Senyum udah kering, bibir pecah-pecah, dan kaki udah hampir varises menahan pose setengah jongkok.

Sang Trainer (Jihan) kembali menghampiri mas-mas Dunkin dan ngasih wejangan untuk lebih kuat memencet tombolnya. Kita pun kembali pose. Entah dia lekong apa gimana, dia mencet tombol shutter pake jari manis, imut sekali. Udah gitu jari-nya gemeteran, seperti takut dibunuh kalo gagal fotoin kita. Wajar sih, mengingat trainer nya dia adalah Jihan.

Kita spontan menyemangati mas itu, "Ayo mas, pencet lebih kenceng lagi! Ayo mas!" seperti saat Ibu-nya Forest menyemangati dia untuk berlari dalam film Forrest Gump, "Run... Forrest run!!" Bukannya bener, tangan mas Dunkin malah semakin bergetar hebat. Entah apa yang membuat dia sebegitu takutnya dengan kita. Kita langsung membuat keputusan sulit. Sayang seribu sayang, mas Dunkin itu resmi kami pecat sebagai tukang foto tanpa pesangon apapun. Digantikan oleh temannya yang dalam waktu 20 detik bisa ngambil 3 foto.

Selesai foto-foto, kita langsung ke mobil, masalah yang kedua. Mobil Livina milik Jihan yang seharusnya hanya muat untuk 5 orang, kita siksa sedemikian rupa sehingga muat 6 orang. Walhasil kita main 'Puzzle Manusia' di bangku belakang sebelum berangkat. Ojan agak maju ke depan, Deta nempel di jok, gue agak maju juga, dan Risma mojok di pinggir pintu.

Pekerjaan sia-sia. Karena walaupun udah diatur kayak gitu, tetep aja cuma 1/4 pantat yang bisa gue pakai sebagai poros duduk. Satu-satunya hal yang bisa bikin pantat gue tetep kering adalah Mami Poko Pants. Eh, salah ketik. Maksudnya karena kadang-kadang gue gerakkin ke kanan dan ke kiri, jadinya gak begitu keteken gituh. Masak udah gede pake popok. Malu dong *(Bergumam dalam hati : "Semoga gak ketauan...")

Dengan ditandai oleh masuknya mobil ke gerbang tol, kita memasuki masa liburan, yang berarti : Amnesia Yang Disengaja Tentang Pekerjaan. Motto kita adalah : "Less Work Topics, More Nyampah" Sebisa mungkin kita membahas dan bertengkar untuk hal-hal yang tidak penting, karena hal-hal tidak penting bisa berubah jadi penting saat dipakai untuk tertawa bersama.

Jalan demi jalan kita lewati, jalan penuh lubang dan kejutan. Tol menuju Merak ini memang terkenal akan kejelekan-nya. Udah gak heran lagi kalo tiba-tiba jalur tengah ditutup dan terdapat lubang gede menganga di tengahnya. Entahlah, apa ini memang program pemerintah nya atau bagaimana. Mungkin ini semacam pemerataan peniduran dimana terdapat persamaan antara penduduk di desa yang jalanan nya jelek dan penduduk yang melewati jalan besar / tol. Semuanya tetap tidur, tidak ada yang dibangun.

......: Jum'at 22 April 2011 :......

Sekitar jam 1 pagi, kita sampe di Pelabuhan Merak. Gue punya tips untuk orang-orang yang mau nyebrang disini. Usahakan yang nyetir adalah cewek, karena dia bisa merayu petugas pelabuhan untuk mendapatkan tempat yang lebih baik.

"Paaakk... Aku mau dermaga satu aahh... Kalo dermaga empat lama Pak. Kemaren aku naik itu sampe 7 jam," Jihan sebagai duta perayu mulai melancarkan serangannya.

"Waduh gimana yah dek," balas si Bapak sambil menggaruk kepala-nya.

"Aku puter balik aja ya Pak?" *wink wink* (kedip-kedip genit)

"Boleh deh neng," sambil memberhentikan kendaraan di belakang kita dan voila! Meluncur lah kita ke dermaga 1. Masuk ke dalam barisan mobil yang telah mengular disana. Bayangkan kalo gue yang merayu sambil berkedip-kedip genit. Mungkin gue bakal :
  1. Digampar
  2. Diperkosa di dalam sekoci kapal
Selama 45 menit kita menunggu di dermaga sebelum pada akhirnya kapal yang dinanti-nanti datang. Nama kapalnya adalah Musthika Kencana, sebuah kapal ukuran sedang yang punya beberapa kelas ruangan. Ada yang model bangsal dimana orang-orang cuma dikasih karpet doang untuk nge-gelepar, duduk manis seperti di kursi kayak dalem pesawat, dan ruang VIP. Ruang VIP ini berupa sebuah kamar seharga 100 ribu dengan dua tempat tidur dengan isi maks. 3 orang... teorinya.

Fakta membuktikan bahwa kamar itu cukup untuk 6 orang dengan 2 laki-laki nge geletak di lantai kayak korban tabrak lari. Apakah melanggar peraturan? Enggak lah, kan udah ngasih ceban sama satpam keliling. Hehee.

Sekitar jam 5 subuh kapal mulai merapat ke pelabuhan Bakauheni Lampung. Bau liburan dan badan mulai terasa, efek belom mandi dari kemaren pagi.

bersambung....


mari kita lanjut...

Selasa, Maret 22, 2011

Lamunan Di Atas Kakus

Setiap pagi, selalu ada suara sirine berkumandang di samping kuping gue. Meraung-raung dan memaksa gue terbangun. Bunyi yang sangat annoying tersebut berasal dari hape Nokia gue yang kerap dikritik seiring dengan menjamurnya penggunaan Blackberry dimana-mana.

"Susah ngubungin lo, gak ada BBM sih," kata temen-temen gue saat ngeliat gue masih aja pake hape merk Nokia. Tapi gue tetep keukeuh untuk setia memakai hape yang lama. Karena menurut gue, itu hanya pembenaran atas keadaan mereka yang gak punya pulsa. Ngapain susah-susah ngejebol celengan Semar gue untuk memudahkan mereka-mereka yang bahkan tidak mampu untuk membeli pulsa?

Hape Nokia tersebut terus saja berteriak dengan lantangnya, membuat gue seperti bencong lagi digrebek Kamtib. Karena gue takut bablas sampe siang karena mencet Stop, Snooze lah yang menjadi senjata gue untuk membungkam bebunyian mengganggu tersebut. Sampai pada akhirnya, waktu telah menunjukkan pukul 8 pagi. Seakan terbebas dari ancaman kemalasan, gue langsung terbangun.

***

Selesai berantem dengan hape sendiri, kegiatan sehari-hari gue dimulai dengan senam ngulet di tempat tidur dengan variasi gerakan seperti cacing disiram Wipol. Tangan diangkat ke atas seakan-akan ingin terlepas, mulut mengeluarkan teriakan menyayat beserta aroma bekas kuman berpesta, dan kaki menendang-nendang apapun yang bisa ditendang.

Setelah itu, gue melakukan senam ringan ajaran Ade Rai gendut berambut keriting (baca : Ngarang sendiri). Goyang kanan, goyang kiri, gak jelas tujuannya apa. Yang penting badan bisa bergerak. Walaupun gerakannya asal, yang penting bisa keringetan.

Puas melakukan olahraga kecil, gue meraih handuk dan majalah untuk kemudian bergerak ke kamar mandi. Hal ini merupakan salah satu ritual krusial di pagi hari. Nongkrong di WC sambil baca majalah dan melupakan waktu sejenak. Seperti berada di ruang waktu dalam komik Dragon Ball. Cuma ada gue, majalah, dan WC.

Majalah yang gue baca pada saat itu adalah National Geographic edisi tahun 2006, beberapa bulan sebelum diselenggarakannya Piala Dunia 2006 Jerman dengan Italia sebagai pemenangnya. Disitu ada beberapa tulisan tentang sepakbola dan kenapa permainan tersebut menjadi olahraga terpopuler di muka bumi.

Artikel tersebut membuat pikiran gue melancong ke masa lalu. Sepakbola. Sebuah olahraga sederhana yang membuat gue tergila-gila. Hanya terdiri dari 11 pemain, dua gawang, dan satu bola yang diperebutkan. Kemenangan ditentukan oleh siapa yang lebih banyak memasukkan bola ke gawang lawan. Kalau ternyata tidak ada yang bisa mencetak gol, pemenang bisa ditentukan melalui adu penalti atau bahkan lemparan koin.

Gue mulai jatuh hati dengan sepakbola pada saat SD. Tepatnya pada tahun 1994, Piala Dunia Amerika Serikat. Pada saat itu, gue cuma bisa ikut-ikutan tante dan almarhum nenek gue yang mendukung Brazil. Dan mulai saat itu, gue mencintai sepakbola dan menggilai permainannya. Diiringi dengan perayaan 'Goyang Tangan' ala Bebeto yang menandakan kelahiran anaknya, gue juga merayakan kesukaan gue akan sepakbola.

Pada bulan-bulan berikutnya, gue gak pernah absen dalam pertandingan bola di lapangan SD Trisula yang terbuat dari beton licin. Tas atau sepatu menjadi gawang. Untuk urusan bola-nya, kita beli di toko deket SD yang bernama Al-Alaq dengan duit hasil patungan cepek-cepek (100 rupiah). Saking asiknya gue main bola, sampe-sampe celana gue sering robek di pantat, sehingga membuat gue harus ke ruang guru untuk ngemis peniti. Kalau gak dapet dimana-mana, terpaksa gue pulang sambil megangin pantat. Terlihat seperti korban Robot Gedek.

Untuk klub bola kesukaan, gue menyukai AC Milan tanpa alasan yang jelas. Gue suka AC Milan cuma karena gue ngeliat poster yang dijual sama abang-abang mainan di depan SD. Poster itu bergambar anggota tim Milan. Ada Ruud Gullit, Franco Baresi, Frank Rijkaard, dan Van Basten. Batin gue seperti menemukan jodoh dan berkata, "This is it" jauh sebelum Farah Quinn mempopulerkan.

Ditambah lagi pada saat gue ngeliat-liat poster itu, abang-abang mainannya cabut dan hilang tak berbekas. Meninggalkan poster yang harganya 250 perak itu di tangan gue. Gratis tanpa harus membayar. Mungkin ini yang disebut takdir. Mungkin abang-abang mainan itu utusan Dewa Bola. Terima kasih wahai Maradona!

Kesukaan itu berlanjut sampai SMP, SMA, kuliah, dan sekarang. Walaupun gue akui bahwa skill bermain bola gue hanya setingkat lebih tinggi dibanding bayi merah, gue tetap berusaha ikut maen bola. Keseleo, borok, dan jempol cantengan adalah hasilnya.

Pada saat SMP, gue sering borok di lutut karena jatoh pas main bola. Sok-sok mau gocek, menggoyangkan kaki ke kanan dan kiri, jadi-jadinya malah lututnya nyeret di lapangan yang terbuat dari aspal tersebut. SMA, terutama kelas 3, gue selalu main bola setelah selesai semua pelajaran. Pertandingan yang akan selalu gue inget adalah pada saat mata kaki gue keseleo parah. Hampir sebulan bengkak segede apel bangkok.

Waktu itu gue berposisi sebagai bek kanan, berusaha keras untuk menjadi Marcos Cafu gue mengejar temen gue yang bernama Tengil yang sedang berlari membawa bola di sisi lapangan. Marking ketat gue lancarkan untuk menutupi pergerakan dia. Gue terlihat andal dan bermain apik. Namun, dengan sedikit sentuhan Tengil mendorong badan gue agar menjauh. Cara itu berhasil. Pijakan gue menjadi goyah dan sialnya, kaki gue mendarat miring dengan mata kaki terlipat. Dengan ditambah tarikan gravitasi atas berat gue yang terlampau besar, mata kaki gue yang terlipat itu terseret hingga beberapa meter. Membuat gue mengalami cedera mata kaki. Bahasa kerennya : cedera Ankle.

Rutinitas kuliah sempat membuat kegiatan bermain bola menjadi tidak teratur. Tapi itu tidak membuat kecintaan gue menyurut. Sebagai arena pelampiasan, gue memilih game simulasi bernama Championship Manager yang ke depannya berubah nama menjadi Football Manager. Sebuah game perusak jam tidur. Gue pernah 2 hari gak tidur cuma karena main game ini. Selain itu, gue juga melahap komik Shoot! karangan Tsukasa Oshima. Sebuah komik yang berusaha lebih realistis dibandingkan Kapten Tsubasa yang terlalu berandai-andai (masak kiper naek ke tiang gawang!? C'mon...). Komik itu sukses menambah daya imajinasi gue atas permainan yang disebut sepakbola.

Membicarakan sepakbola selalu menyangkut dalam proses atau tahapan untuk mencapai suatu tujuan, yaitu gawang lawan. Proses tersebut bisa bermacam-macam, tergantung pada strategi dan gaya permainan dari masing-masing klub. Keindahan dalam proses tersebut lah yang membuat banyak orang tergila-gila akan sepak bola. Ditambah dengan intrik sebagai kosmetik, sepakbola tidak akan membosankan dari tahun ke tahun.

"Apakah kamu suka sepakbola?" itulah pertanyaan dasar yang gue kutip dari Kubo Yoshiharu. Seorang karakter rekaan dari komik Shoot!.

Tanpa ragu gue akan menjawab, "YA!"



mari kita lanjut...

Rabu, Maret 16, 2011

Pagi!

Well, ini tulisan pertama gue setelah sebulan vakum. Bulan-bulan adaptasi, transisi antara nganggur, nyampah, dan online dengan batasan waktu tak terhingga dengan masuk kerja dari jam 10 pagi sampe jam 7 malem (kadang malah jam 12). Perubahan ritme kegiatan yang drastis itu memaksa gue untuk menata ulang prioritas kemana badan harus bergerak dan otak harus berpikir. Dari sekian banyak yang harus dikorbankan, salah satunya adalah kesenangan gue dalam menulis.

***

Hari ini hujan deras turun. Badai dan angin kuat yang terlihat seperti amukan brutal Dewa Angin menjadi penampil di panggung langit yang terlihat dari balik jendela kantor. Kontras dengan keadaan pada saat 2 jam sebelumnya, disaat terik masih menusuk seperti jarum dan panas seakan berusaha sekuat tenaga untuk membuat kulit ini meleleh.

Disini gue, di dalam bilik yang luasnya +/- 2x5 meter, duduk di depan komputer dengan koneksi internet yang aktif. Sebuah koneksi ilegal layaknya para penikmat listrik curian. Dari 4 komputer yang ada di ruangan, cuma komputer gue aja yang bisa dipakai untuk plesir ke dunia maya. Semua itu berkat taktik brilian gue, memanfaatkan kebaikan mas-mas bagian IT.

Setiap hari, gue masuk kantor jam 10 pagi. Setengah siang, lebih tepatnya. Dan bukan tanpa alasan gue memilih untuk masuk pas jam segitu. Pada jam 10, gue bisa dapet hiburan gratis dari parade "Penonton Lepas" atau "Penonton Bayaran" atau lebih sering disebut "Alay". Tapi sepertinya gue lebih suka menyebut mereka sebagai Penonton Bayaran. Karena mereka dibayar untuk menonton. Dan ya, fenomena itu telah menjadi profesi. Mencari uang dengan bergoyang.

Dandanan mereka unik-unik dan meriah. Seperti tadi pagi, disaat panas matahari membuat Jakarta jadi seperti di dalam Microwave raksasa, ada yang pake tebel bulu-bulu kayak di Siberia. Tinggal kasih harpoon gun, cocok jadi pemburu beruang putih.

Make-up tebel untuk laki-laki? Bukan lah suatu hal yang aneh. Entah kurang pede atau memang ingin memutihkan wajah. Ujung-ujungnya malah terlihat seperti dadu hitam dengan titik putih di tengah. Mukanya serem kayak Ving Rhames, kiblat dandanan tetep Dorce Gamalama.

Pada saat dimulainya acara, biasanya yang berdandan paling unik itu dipilih sebagai pemimpin. Berada di garis paling depan dan meng-koordinasi penonton lainnya untuk terus bergoyang dan meramaikan acara. Bisa juga disebut sebagai koordinator lapangan. Jika aja ada yang gak bersemangat atau goyangnya nanggung, mereka tidak akan segan untuk "memecat" mereka dari garis depan, tempat dimana muka mereka bisa disorot kamera. Mereka-mereka yang dipecat akan ditempatkan di daerah terpencil, di balik bayangan punggung orang-orang.

Untuk formasi, biasanya diatur oleh atasan dari atasan. Dalam hal ini induk semangnya. Koordinator penonton. Si koordinator penonton ini lah yang menentukan siapa-siapa aja di barisan depan, siapa yang di tengah, dan siapa yang di belakang. Dan pada saat sebelum acara, biasanya dia ngasih briefing untuk anak-anaknya.

Selain itu, ada juga sekuriti pribadi yang terdiri dari Ibu-Ibu para penonton. Orangtua yang mendukung karir anaknya sebagai penonton bayaran. Beliau ngejagain ratusan tas yang gak boleh dibawa saat mulai shooting. Setia dan sambil terkantuk-kantuk. Memastikan kalau tidak ada yang mendekati tas-tas tersebut kecuali pemiliknya masing-masing.

Mereka-mereka adalah para penonton bayaran. Dan kalo gue denger-denger, ada seleksi yang cukup ketat untuk menjadi koordinator lapangan. Gak bisa sembarangan orang. Ini membuktikan bahwa mereka telah menjelma menjadi suatu organisasi yang cukup rapih. Hal ini menjadi suatu bisnis dengan keuntungan yang lumayan besar. Supplier "Alay", sepertinya bisnis yang menggiurkan untuk dijalani.

*buru-buru ganti pakaian pake celana cucut warna merah dan baju kuning cerah
mari kita lanjut...

Jumat, Januari 21, 2011

Kisah Awal Tahun Baru

Lagi-lagi postingan telat tentang awal tahun 2011. Bulan Januari udah mau abis, gue baru sempet nulis. Ya mumpung lagi sempet lah, dimana para boss lagi pada berangkat ke Bandung untuk Raker, meninggalkan kita yang di kantor untuk resess. Sungguh keadaan yang sangat berbeda, dimana biasanya tidak bakal ada terjadi keriuhan di dalam kantor. Suasana kantor biasanya sepi, tenang, dan siap menjalankan instruksi. Tidak akan ada lagu The Cure-Letter To Elise atau The Smiths-How Soon Is Now? berteriak dengan lantangnya. Pada kali ini, disaat para boss pergi, kita berpesta pora. Setidaknya sampai hari ini, pukul 18:00. Pada akhir 2010, tepatnya 30 December 2010, gue sama sekali belom ada rencana untuk merayakan malam pergantian tahun. Niatan gue cuma mau di rumah, tidur-tiduran, nonton tipi, dan merayakan pergantian tahun di depan cermin lengkap dengan terompet dan topi kerucut sembari berkata, "Selamat tahun baru Mirzal... Wohoo..." dengan nada ironi. Saat gue lagi di kantor, berenang dalam lautan dokumen, hape gue berdering, tanda sms masuk. Ternyata Jihan yang ngirim sms :

Kan, tahun baru kmn? Kemana yuuk

Tahun-tahun sebelumnya, biasanya gue dan temen-temen rutin ngadain acara tahun baruan di rumah dia, tercatat pada pergantian tahun 2008-2009 dan 2009-2010 kita bikin acara disana. Rumahnya enak, ada ruang tengah yang cukup luas untuk menampung 10 orang. Udah gitu, orang tua dia biasanya lagi pergi ke luar sehingga kita bebas melakukan agresi militer ke rumah itu. Sayangnya pada tahun ini, dengan berat hati, acara tidak bisa dilangsungkan disana. Terkait dengan kehadiran ortu dia, yang bakal bikin kita canggung kalaupun dipaksain kesana. Tahun ini, dia ngasih ide untuk tahun baruan di jalan. Melalui riset via internet, dia nge-daftarin daerah mana aja yang ada acara. Monas dan Senayan, dua tempat kumpul paling umum di Jakarta itu bikin acara dzikir akbar. Kita langsung menarik kesimpulan untuk... tidak mendekati daerah sana. Macet. Kemang, jangan ditanya. Tahun masih berjalan aja disana udah gak jalan. Apalagi akhir tahun. Jalanan bisa dipake piknik kali saking gak geraknya. Setelah dipikir masak-masak, kita memutuskan untuk kumpul di Mekdi Sumantri, untuk kemudian jalan kaki menuju Epicentrum Walk. Karena menurut kabar burung yang beredar -entah burung siapa- di Epicentrum Walk bakal ada acara musik gratisan. Pada pukul 9 malem kita semua udah ngumpul disana. Pesertanya ada 10 orang, lumayan rame untuk seru-seruan.

Sekitar pukul 10, kita berangkat menuju Epicentrum Walk (EW) via jalan kaki. Dalam perjalanan menuju EW, kita sempet juga foto-foto di depan Bakrie Tower. Sebuah gedung perkantoran yang sangat tinggi dengan arsitektur nan ciamik. Dan karena prosesi foto-foto itu bikin macet, kita semua sukses diusir satpam. EW memiliki sebuah sungai -kalau tidak mau disebut kali- yang tidak bau seperti pada umumnya. Sungai ini adalah sungai bertingkat buatan, dimana di atas sungai asli dibangun penampungan air yang memanjang untuk menampung air hujan dan menipu mata para pengunjung yang mengira sungai yang ada disana udah dibersihin sama pengelola EW.

Di sepanjang sungai itu banyak orang duduk-duduk, baik yang kumpul keluarga ataupun yang lagi pacaran. Ada juga Starbucks keliling berupa abang-abang bersepeda penjual kopi yang siap ngesot kalo dipanggil. That's it. Udah itu aja. Gak ada panggung rakyat tempat musik gratis seperti yang gue bayangkan sebelumnya. Padahal gue berharap ada dangdut erotis ala cengdoleng-doleng Pantura.

Acara justru ada di Epicentrum Mall. Acara dugem ala kaum hedonis dengan tiket masuk seharga 75 ribu. Banyak gue liat wanita berpakaian minim dan lelaki berdandan necis menuju ke sana. Dan karena di dalem adanya DJ, bukan orkes dangdut melayu, kita gak jadi kesana. 75 ribu untuk jadi perokok pasif selama 6 jam terasa begitu berat untuk paru-paru dan lagi, disana gak jual wedang secang.

Mengingat suasana tempat yang sepi-sepi aja dalam konteks hiburan gratis. Kita semua cabut dari sana. Sembari balik ke parkiran, kita berdiskusi menentukan tempat apa yang ok untuk tahun baruan. Tepat di depan pohon palem, disamping anak ABG yang lagi foto pake pose ala Powerpuff Girls, kita menemukan ide. Kita berangkat ke taman Menteng.


Taman Menteng. Taman yang sempat menjadi sumber huru-hara, kontroversi, dan pro-kontra berkat patung Obama yang ditempatkan disana. Taman ini memiliki 3 lapangan futsal dan 1 lapangan basket, gedung parkiran, dan area bermain anak-anak. Taman ini biasanya dijadikan tempat berkumpul oleh anak-anak ABG sekitar, setelah taman Situlembang tidak menjadi primadona lagi.

Walaupun konsep dasar taman ini adalah taman untuk keluarga dan pusat rekreasi, banyak orang-orang (pasangan, lebih tepatnya) yang dengan keji mengubah tujuan mulia dari pembuatan Taman Menteng. Taman yang seharusnya diisi oleh anak-anak berjiwa muda dan kreatif malah diisi anak-anak berjiwa mesum yang pacaran di atas gedung parkir. Biasanya, mereka pacaran berjamaah. Sederetan orang terlihat terbagi dalam pasangan-pasangan yang berbeda dengan pose badan yang terlihat tidak jelas lagi. Nyaris terlihat bersenggama. Mereka seperti tidak tau malu, bahkan setelah ditereakkin, "Mama jahatt... Papa digoyang terus..." oleh abang-abang Starbucks keliling. Mungkin benar kata pepatah : "Kalau sudah cinta, dunia serasa milik berdua. Yang lain cuma numpang... Gak bayar lagi."

Pukul 11 malem, kita udah sampe di Taman Menteng. Keadaan Taman sangat ramai. Beragam macam orang ada disana. Anak-anak ABG, Ibu-ibu, Bapak-bapak, anak-anak, dll. Tidak lupa Starbucks keliling yang selalu setia mengawal keberadaan orang di Taman Menteng. Walaupun masih terlihat orang-orang berpacaran di atas gedung parkir, setidaknya kali ini mereka tidak terlihat vulgar.

Setelah berkeliling sebentar, kita membuka lapak di atas rumput. Keadaan ramai seperti ini lah yang kita cari, bukan keadaan sepi kayak di Epicentrum tadi. Kicauan suara orang yang antusias menyambut tahun baru menjadi teman kita menghabiskan detik-detik terakhir 2010.

--00 : 00--

Nyanyian kembang api menjadi yel pergantian tahun baru di Taman Menteng. Semua orang terlihat gembira. Kembang api menjadi lampu penerang langit. Kita semua menikmati kemeriahan malam tahun baru dengan senyum yang lebar. Sangat lebar. Karena kita tidak harus bayar untuk menikmati riuhnya bunyi dan indahnya warna kembang api. Kata pertama yang gue ucapkan pada tahun 2011 adalah, "Ngapain juga ya tahun-tahun sebelumnya beli kembang api? Disini banyak yang gratisan" dan kita pun berburu kembang api untuk dijadikan latar belakang foto.

"Di situu!!!," kita semua langsung susun formasi, pasang senyum, dan mengambil foto. Saat fotonya diliat, kembang apinya udah abis. Kita kecewa. "Yang rame di sono noh!!" kita semua memutar badan mencari kembang api yang baru aja diluncurkan. Tapi baru aja muterin badan, kembang api-nya udah abis. Kita kembali kecewa. "Yaelah pada miskin amat dah beli kembang api pada sedikit amat," omel gue yang tak sadar bahwa kalau diikutkan dalam lomba 'Paling Menyedihkan', gue bakal keluar sebagai pemenang karena merayakan tahun baru dengan kembang api gratisan dan ngomel karena kembang api yang ada cuma sedikit.

"Di Monas keren tuh," sahut Jihan dengan suaranya yang menggelegar itu -nyaris mengalahkan bunyi terompet-. Tanpa banyak cing-cong kita langsung berlari ke arah yang dituju Jihan, melewati daerah pepohonan rindang yang minim cahaya. Dan emang ye namanya orang pacaran, kesempatan sesempit apapun selalu dipake untuk berbuat mesum. Prinsip mereka adalah : Gelap adalah mesum, habis terang terbitlah birahi.

Gue sempet ngeliat salah satu pasangan yang lagi sibuk duduk ngerapiin baju dengan wajah canggung dan kaget. Mereka ada di balik semak-semak rindang, di atas rumput, di bawah bayangan. Mereka coba memasang wajah innocent, yang keluar malah wajah kentang (kena tanggung). Prediksi gue, setelah selesai memadu kasih di awal tahun, mereka bakal langsung menuju apotik 24 jam terdekat untuk membeli bedak Caladine.

Monas, yang terletak di ujung sana, menyuguhkan tarian kembang api yang sungguh fantastis. Kita sedikit menyesal gak dateng kesana. Daerah Monas terlihat begitu meriah. Mungkin pengumuman dzikir akbar ditujukan untuk menyaring anak-anak pemalas seperti gue untuk datang kesana. Lumayan kan tuh, Monas jadi gak penuh-penuh amat.

"Tahun depan, kita harus ke sana!" itu lah target pertama kita pada tahun 2011. Tidak muluk-muluk dan terlalu mengawang-awang.

Tahun baru di jalan ternyata lebih menyenangkan (dan lebih hemat) ketimbang di rumah sambil bakar daging, udang, sosis, jagung, dan rumah itu sendiri.
Selain itu, kemeriahan lebih terasa karena berkumpul bersama orang-orang asing dan bersuka ria bersama walaupun setelah itu kita kembali tak bertegur sapa. Bukan karena sombong, tapi lupa.



mari kita lanjut...

Selasa, Januari 11, 2011

Garuda Di Dadaku

First of all :

HAPPY NEW YEAR!!

Semoga tahun 2011 bakal jadi lebih baik dari tahun 2010. Baik dari dalam maupun luar, depan maupun belakang, kiri maupun kanan, lurusin, mentok, stop. Jangan lupa kasih duit dua ribu sama tukang parkir.

Sebenarnya cerita ini udah sangat telat gue tulis. Kejadiannya udah sejak 29 Desember 2010 yang lalu dan gue baru nulis sekarang, 11 Desember 2011. Udah beda setahun. Gak kerasa ya. Padahal baru kemaren gue bisa ngerangkak, jalan, dan main galaksin. Sekarang udah gede dan bisa pipis sambil telentang.

Pada saat itu, 30 Desember 2010, gue nonton final AFF langsung dari Senayan untuk mendukung tim Garuda Indonesia. Walaupun tahu kans menang mereka menipis, setipis kertas tisu yang dibelah dua, gue tetep keukeuh untuk nonton langsung ke Senayan. Membaur dengan ribuan suporter lain, mendukung garuda agar tetap mengangkasa.

Pukul 17:00, gue berangkat dari kantor. Naik motor Mo', dengan kostum nyaris seragam. Dia memakai kaos timnas warna merah, sedangkan gue pake jaket timnas warna merah. Berdua kita menembus jalan Jendral Gatot Subroto yang mulai ramai. Penuh dengan orang-orang berpakaian merah. Suasana stadion sudah mulai terasa, padahal gue masih berjarak +/- 8 km dari Senayan. Ini membuat gue senang. Nasionalisme ternyata masih ada. Nasionalisme belum mati.

Sesampainya di daerah Senayan. Keramaian berlipat ganda. Jalanan macet bukan kepayang. Pada awalnya, gue berencana parkir di Plaza Bapindo yang terletak tepat di pintu masuk komplek Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Tapi ngeliat ada 4 satpam yang ngusir-ngusirin orang yang mau numpang parkir, gue mengurungkan niat tersebut. Takut dinikahin. Siapa tahu satpamnya gay dan membuat penawaran, "Mas boleh masuk, asal mau menjadi yang halal untuk saya."

Sambil melipir ke kiri, kita nyari gedung yang rela untuk diparkirin. Setiap gedung selalu dijaga satpam di depannya. Semua siap sedia mengusir para suporter yang nekat untuk numpang parkir di gedung itu. Anyep. Untung gue ketemu satu gedung yang rela untuk dijadiin tempat parkir. Gedung itu adalah gedung Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Perusahaan Masuk Bursa. Udah gitu letaknya enak. Tepat sebelum jembatan penyebrangan. Yahud deh. Akhirnya gue merasakan timbal balik langsung atas pembayaran pajak. Biarpun gak sampe seperti Gayus, yang bisa beli wig pake duit pajak.

Turun dari motor, gue langsung mengganti sepatu pantofel ala orang kantoran gue dengan sepatu kets Converse robek-robek. Lebih enak buat dipake lari dan lebih ikhlas kalo suatu waktu ilang.

Begitu kelar markir motor, kita langsung bergerak ke SUGBK. Menyeberangi jalan via jembatan busway yang ramai dan macet karena orang-orang yang bertumpuk dan para pedagang yang membuat jembatan semakin penuh. Ampun.

Sesampainya di dalam komplek SUGBK menuju patung panahan, berbagai macam orang ada disana. Ada yang jualan, pacaran, dan kebingungan nyari temennya. Ada yang pake baju Indonesia warna merah atau putih dan ada juga suporter MU atau Liverpool nyasar. Asesoris yang dipakai juga beragam. Ada yang pake bando bertanduk, stiker merah-putih di pipi, dan topi pesulap bermotif merah-putih. Bahkan gue sempet ngeliat orang pake bulu mata palsu dengan kaos Indonesia yang sangat ketat. Rambut hitamnya pun berbando dengan potongan manis ala Farah Quinn. Aih, seksi nian gerangan. Mungkin ada urgensi lain dibalik nonton bola. Mungkin dia sedang mencari jodoh atau pelanggan. Dan sayang sekali saudara-saudara, dia bukan wanita.

***

Gate XII, gerbang yang tertulis di tiket gue. Sesampainya gue di tempat itu, ratusan bahkan ribuan orang udah lebih dulu ngantri disana. Yang bikin gue kecewa, hanya 1 pintu yang dibuka oleh panitia. Mereka seperti menutup mata pada antrian yang ada. Gimana mau jadi tuan rumah Piala Dunia coba kalo cuma buat pertandingan yang disaksikan oleh masyarakat sendiri aja belum becus ngurusnya. Walhasil antrian menjadi padat dan emosi orang semakin memuncak. Gue gak bakal heran kalo keesokan hari muncul berita 'PENONTON MAU NONTON BOLA, EH KEGEMPET-GEMPET KEABISAN NAPAS. MATI.'

Di dalem stadion, keadaan gak jauh berbeda. Penuh sesak tak bersisa. Meluber sampe ke pintu masuk tribun atas. Berbekal pengalaman gue naek kereta ekonomi Jakarta-Bogor, gue nyelip-nyelip untuk dapet tempat yang enak. Walaupun tidak nyaman, tidak masalah. Yang penting gue ngeliat pemain timnas lagi main bola di lapangan rumput. Bukan kutu lagi main bola di kepala orang. Bahkan ada satu orang nekat yang nonton di langit-langit stadion yang tingginya bisa bikin orang vertigo mati mendadak. Itu baru dedikasi.

Dikawal oleh nyanyian "Garuda Di Dadaku," timnas Indonesia memulai perjuangannya menaklukkan Malaysia. Untuk timnas Malaysia, sorakan, "Maling... Maling..." meneror kuping mereka.

Menit-menit awal pertandingan, Indonesia sangat mendominasi permainan. Pertahanan Malaysia terus ditekan sampai membuahkan satu kesalahan. Pemain Indonesia di-tackle di dalam kotak terlarang. Penalti. Stadion langsung bergemuruh saat melihat keputusan wasit menunjuk titik putih. Permukaan tanah bergetar hebat sampai terasa mau rubuh.

Firman Utina mengambil tanggung jawab sebagai penendang penalti. Walaupun dari jauh, gue bisa melihat dan merasakan ketegangan dalam raut wajahnya. Harapan 220 juta masyarakat Indonesia membebani pundaknya. Setelah menarik napas panjang. Dia mengambil ancang-ancang. Gemuruh stadion mendadak hilang. Semua ikut berkonsentrasi. Terpaku kepada satu bola dan satu orang, Firman Utina.

Firman Utina bergerak menendang bola dan ternyata bola meluncur pelan. Sangat pelan. Bahkan terlalu pelan. Terlihat seperti mengoper bola ke kiper, bukan menendang. Teriakkan kecewa suporter langsung membahana di seantero stadion. Di sebelah gue orang Medan yang jauh-jauh dateng untuk menonton bola. Dia memaki, "BERENGSEK ITU FIRMANNN...!!"

Rasa kecewa berkali-kali ditumpahkan ke Firman atas kegagalannya. Tapi itulah sepakbola. Pemain sekelas Roberto Baggio aja gak kuat menanggung beban sebagai penendang penalti saat Piala Dunia 1994. Dan pada akhirnya, penyesalan itu merubah permainan Indonesia secara keseluruhan. Sampai pada akhirnya mereka kebobolan lagi. Agregat 4-0 untuk Malaysia.

Akibat gol tersebut, serangan yang dibangun mulai asal-asalan. Kembali ke pola Kick & Rush & Do Nothing. Firman Utina yang bertugas sebagai jendral lapangan tengah mulai kehilangan ide. Operannya banyak salah dan terlihat gagap seperti Azis OVJ. Pada babak kedua dia diganti oleh Eka Ramdhani.

"Kalau saja itu Firman masukkin pinalti, akan lain ceritanya! Bodoh itu Firman! Kalau begini udah tak seru lagi!" orang Medan di sebelah gue berkali-kali ngomel. "Iya pak... Iya... Maaf," tanggap gue sampe bingung. Mungkin dia melihat muka gue mirip kayak Firman Utina, makanya dia ngomel ke gue terus. #NGOK

Seisi stadion udah mulai sunyi senyap tanpa harapan. Dari belakang terdengar yel-yel, "Yang diem nonton bokep" yang disuarakan oleh para The Jak. Berusaha memunculkan kembali semangat di awal. Percuma. Penonton udah terlanjur kecewa. Harapan telah pupus, hangus jadi abu.

GOL! Pada sekitar menit 70, Indonesia berhasil menyamakan kedudukan melalui kaki Muhammad Nasuha. Gemuruh kembali terasa. Muncul harapan baru. Seenggaknya mereka bisa menang melawan Malaysia di kandang sendiri, walaupun nggak jadi juara. Jangan sampai kita dipermalukan oleh peng-klaim Reog Ponorogo dan Rasa Sayange di kandang kita sendiri. Para penonton kembali bersorak sorai.

Menit 80-an, gol kedua kembali tercipta. Indonesia berhasil unggul atas Malaysia. M. Ridwan jadi pencetak gol terakhir pada laga final itu. Para penonton kembali bersorak. Kali ini mereka cukup puas walaupun tidak berhasil jadi juara. Perjuangan itu lah yang mereka apresiasi.

Saat peluit panjang berbunyi. Penonton bubar dengan tertib. Menurut data yang ada, 95.000 orang hadir disana untuk mendukung timnas Indonesia. Sebuah kebanggaan sendiri bisa hadir disana, mendukung langsung Indonesia, melihat perjuangan mereka dengan mata kepala sendiri. Merasakan bulu kuduk yang merinding oleh lagu "Indonesia Raya" yang dinyanyikan oleh 95.000 orang. Dan yang membuat gue semakin bangga, saat ada orang tak bertanggung jawab mengarahkan laser hijau ke kiper Malaysia, seantero stadion langsung berteriak, "Matiin lasernya... Matiin lasernya!!"

Ini membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang tidak suka bermain curang, dan menjunjung tinggi sportivitas. Maju terus Indonesia-ku.

Garuda di dadaku
Garuda Kebanggaanku
Kuyakin hari ini pasti menang
Kobarkan semangatmu
Tunjukkan SPORTIVITASMU
Kuyakin, hari ini pasti menang!!




mari kita lanjut...