Selasa, Maret 22, 2011

Lamunan Di Atas Kakus

Setiap pagi, selalu ada suara sirine berkumandang di samping kuping gue. Meraung-raung dan memaksa gue terbangun. Bunyi yang sangat annoying tersebut berasal dari hape Nokia gue yang kerap dikritik seiring dengan menjamurnya penggunaan Blackberry dimana-mana.

"Susah ngubungin lo, gak ada BBM sih," kata temen-temen gue saat ngeliat gue masih aja pake hape merk Nokia. Tapi gue tetep keukeuh untuk setia memakai hape yang lama. Karena menurut gue, itu hanya pembenaran atas keadaan mereka yang gak punya pulsa. Ngapain susah-susah ngejebol celengan Semar gue untuk memudahkan mereka-mereka yang bahkan tidak mampu untuk membeli pulsa?

Hape Nokia tersebut terus saja berteriak dengan lantangnya, membuat gue seperti bencong lagi digrebek Kamtib. Karena gue takut bablas sampe siang karena mencet Stop, Snooze lah yang menjadi senjata gue untuk membungkam bebunyian mengganggu tersebut. Sampai pada akhirnya, waktu telah menunjukkan pukul 8 pagi. Seakan terbebas dari ancaman kemalasan, gue langsung terbangun.

***

Selesai berantem dengan hape sendiri, kegiatan sehari-hari gue dimulai dengan senam ngulet di tempat tidur dengan variasi gerakan seperti cacing disiram Wipol. Tangan diangkat ke atas seakan-akan ingin terlepas, mulut mengeluarkan teriakan menyayat beserta aroma bekas kuman berpesta, dan kaki menendang-nendang apapun yang bisa ditendang.

Setelah itu, gue melakukan senam ringan ajaran Ade Rai gendut berambut keriting (baca : Ngarang sendiri). Goyang kanan, goyang kiri, gak jelas tujuannya apa. Yang penting badan bisa bergerak. Walaupun gerakannya asal, yang penting bisa keringetan.

Puas melakukan olahraga kecil, gue meraih handuk dan majalah untuk kemudian bergerak ke kamar mandi. Hal ini merupakan salah satu ritual krusial di pagi hari. Nongkrong di WC sambil baca majalah dan melupakan waktu sejenak. Seperti berada di ruang waktu dalam komik Dragon Ball. Cuma ada gue, majalah, dan WC.

Majalah yang gue baca pada saat itu adalah National Geographic edisi tahun 2006, beberapa bulan sebelum diselenggarakannya Piala Dunia 2006 Jerman dengan Italia sebagai pemenangnya. Disitu ada beberapa tulisan tentang sepakbola dan kenapa permainan tersebut menjadi olahraga terpopuler di muka bumi.

Artikel tersebut membuat pikiran gue melancong ke masa lalu. Sepakbola. Sebuah olahraga sederhana yang membuat gue tergila-gila. Hanya terdiri dari 11 pemain, dua gawang, dan satu bola yang diperebutkan. Kemenangan ditentukan oleh siapa yang lebih banyak memasukkan bola ke gawang lawan. Kalau ternyata tidak ada yang bisa mencetak gol, pemenang bisa ditentukan melalui adu penalti atau bahkan lemparan koin.

Gue mulai jatuh hati dengan sepakbola pada saat SD. Tepatnya pada tahun 1994, Piala Dunia Amerika Serikat. Pada saat itu, gue cuma bisa ikut-ikutan tante dan almarhum nenek gue yang mendukung Brazil. Dan mulai saat itu, gue mencintai sepakbola dan menggilai permainannya. Diiringi dengan perayaan 'Goyang Tangan' ala Bebeto yang menandakan kelahiran anaknya, gue juga merayakan kesukaan gue akan sepakbola.

Pada bulan-bulan berikutnya, gue gak pernah absen dalam pertandingan bola di lapangan SD Trisula yang terbuat dari beton licin. Tas atau sepatu menjadi gawang. Untuk urusan bola-nya, kita beli di toko deket SD yang bernama Al-Alaq dengan duit hasil patungan cepek-cepek (100 rupiah). Saking asiknya gue main bola, sampe-sampe celana gue sering robek di pantat, sehingga membuat gue harus ke ruang guru untuk ngemis peniti. Kalau gak dapet dimana-mana, terpaksa gue pulang sambil megangin pantat. Terlihat seperti korban Robot Gedek.

Untuk klub bola kesukaan, gue menyukai AC Milan tanpa alasan yang jelas. Gue suka AC Milan cuma karena gue ngeliat poster yang dijual sama abang-abang mainan di depan SD. Poster itu bergambar anggota tim Milan. Ada Ruud Gullit, Franco Baresi, Frank Rijkaard, dan Van Basten. Batin gue seperti menemukan jodoh dan berkata, "This is it" jauh sebelum Farah Quinn mempopulerkan.

Ditambah lagi pada saat gue ngeliat-liat poster itu, abang-abang mainannya cabut dan hilang tak berbekas. Meninggalkan poster yang harganya 250 perak itu di tangan gue. Gratis tanpa harus membayar. Mungkin ini yang disebut takdir. Mungkin abang-abang mainan itu utusan Dewa Bola. Terima kasih wahai Maradona!

Kesukaan itu berlanjut sampai SMP, SMA, kuliah, dan sekarang. Walaupun gue akui bahwa skill bermain bola gue hanya setingkat lebih tinggi dibanding bayi merah, gue tetap berusaha ikut maen bola. Keseleo, borok, dan jempol cantengan adalah hasilnya.

Pada saat SMP, gue sering borok di lutut karena jatoh pas main bola. Sok-sok mau gocek, menggoyangkan kaki ke kanan dan kiri, jadi-jadinya malah lututnya nyeret di lapangan yang terbuat dari aspal tersebut. SMA, terutama kelas 3, gue selalu main bola setelah selesai semua pelajaran. Pertandingan yang akan selalu gue inget adalah pada saat mata kaki gue keseleo parah. Hampir sebulan bengkak segede apel bangkok.

Waktu itu gue berposisi sebagai bek kanan, berusaha keras untuk menjadi Marcos Cafu gue mengejar temen gue yang bernama Tengil yang sedang berlari membawa bola di sisi lapangan. Marking ketat gue lancarkan untuk menutupi pergerakan dia. Gue terlihat andal dan bermain apik. Namun, dengan sedikit sentuhan Tengil mendorong badan gue agar menjauh. Cara itu berhasil. Pijakan gue menjadi goyah dan sialnya, kaki gue mendarat miring dengan mata kaki terlipat. Dengan ditambah tarikan gravitasi atas berat gue yang terlampau besar, mata kaki gue yang terlipat itu terseret hingga beberapa meter. Membuat gue mengalami cedera mata kaki. Bahasa kerennya : cedera Ankle.

Rutinitas kuliah sempat membuat kegiatan bermain bola menjadi tidak teratur. Tapi itu tidak membuat kecintaan gue menyurut. Sebagai arena pelampiasan, gue memilih game simulasi bernama Championship Manager yang ke depannya berubah nama menjadi Football Manager. Sebuah game perusak jam tidur. Gue pernah 2 hari gak tidur cuma karena main game ini. Selain itu, gue juga melahap komik Shoot! karangan Tsukasa Oshima. Sebuah komik yang berusaha lebih realistis dibandingkan Kapten Tsubasa yang terlalu berandai-andai (masak kiper naek ke tiang gawang!? C'mon...). Komik itu sukses menambah daya imajinasi gue atas permainan yang disebut sepakbola.

Membicarakan sepakbola selalu menyangkut dalam proses atau tahapan untuk mencapai suatu tujuan, yaitu gawang lawan. Proses tersebut bisa bermacam-macam, tergantung pada strategi dan gaya permainan dari masing-masing klub. Keindahan dalam proses tersebut lah yang membuat banyak orang tergila-gila akan sepak bola. Ditambah dengan intrik sebagai kosmetik, sepakbola tidak akan membosankan dari tahun ke tahun.

"Apakah kamu suka sepakbola?" itulah pertanyaan dasar yang gue kutip dari Kubo Yoshiharu. Seorang karakter rekaan dari komik Shoot!.

Tanpa ragu gue akan menjawab, "YA!"



mari kita lanjut...

Rabu, Maret 16, 2011

Pagi!

Well, ini tulisan pertama gue setelah sebulan vakum. Bulan-bulan adaptasi, transisi antara nganggur, nyampah, dan online dengan batasan waktu tak terhingga dengan masuk kerja dari jam 10 pagi sampe jam 7 malem (kadang malah jam 12). Perubahan ritme kegiatan yang drastis itu memaksa gue untuk menata ulang prioritas kemana badan harus bergerak dan otak harus berpikir. Dari sekian banyak yang harus dikorbankan, salah satunya adalah kesenangan gue dalam menulis.

***

Hari ini hujan deras turun. Badai dan angin kuat yang terlihat seperti amukan brutal Dewa Angin menjadi penampil di panggung langit yang terlihat dari balik jendela kantor. Kontras dengan keadaan pada saat 2 jam sebelumnya, disaat terik masih menusuk seperti jarum dan panas seakan berusaha sekuat tenaga untuk membuat kulit ini meleleh.

Disini gue, di dalam bilik yang luasnya +/- 2x5 meter, duduk di depan komputer dengan koneksi internet yang aktif. Sebuah koneksi ilegal layaknya para penikmat listrik curian. Dari 4 komputer yang ada di ruangan, cuma komputer gue aja yang bisa dipakai untuk plesir ke dunia maya. Semua itu berkat taktik brilian gue, memanfaatkan kebaikan mas-mas bagian IT.

Setiap hari, gue masuk kantor jam 10 pagi. Setengah siang, lebih tepatnya. Dan bukan tanpa alasan gue memilih untuk masuk pas jam segitu. Pada jam 10, gue bisa dapet hiburan gratis dari parade "Penonton Lepas" atau "Penonton Bayaran" atau lebih sering disebut "Alay". Tapi sepertinya gue lebih suka menyebut mereka sebagai Penonton Bayaran. Karena mereka dibayar untuk menonton. Dan ya, fenomena itu telah menjadi profesi. Mencari uang dengan bergoyang.

Dandanan mereka unik-unik dan meriah. Seperti tadi pagi, disaat panas matahari membuat Jakarta jadi seperti di dalam Microwave raksasa, ada yang pake tebel bulu-bulu kayak di Siberia. Tinggal kasih harpoon gun, cocok jadi pemburu beruang putih.

Make-up tebel untuk laki-laki? Bukan lah suatu hal yang aneh. Entah kurang pede atau memang ingin memutihkan wajah. Ujung-ujungnya malah terlihat seperti dadu hitam dengan titik putih di tengah. Mukanya serem kayak Ving Rhames, kiblat dandanan tetep Dorce Gamalama.

Pada saat dimulainya acara, biasanya yang berdandan paling unik itu dipilih sebagai pemimpin. Berada di garis paling depan dan meng-koordinasi penonton lainnya untuk terus bergoyang dan meramaikan acara. Bisa juga disebut sebagai koordinator lapangan. Jika aja ada yang gak bersemangat atau goyangnya nanggung, mereka tidak akan segan untuk "memecat" mereka dari garis depan, tempat dimana muka mereka bisa disorot kamera. Mereka-mereka yang dipecat akan ditempatkan di daerah terpencil, di balik bayangan punggung orang-orang.

Untuk formasi, biasanya diatur oleh atasan dari atasan. Dalam hal ini induk semangnya. Koordinator penonton. Si koordinator penonton ini lah yang menentukan siapa-siapa aja di barisan depan, siapa yang di tengah, dan siapa yang di belakang. Dan pada saat sebelum acara, biasanya dia ngasih briefing untuk anak-anaknya.

Selain itu, ada juga sekuriti pribadi yang terdiri dari Ibu-Ibu para penonton. Orangtua yang mendukung karir anaknya sebagai penonton bayaran. Beliau ngejagain ratusan tas yang gak boleh dibawa saat mulai shooting. Setia dan sambil terkantuk-kantuk. Memastikan kalau tidak ada yang mendekati tas-tas tersebut kecuali pemiliknya masing-masing.

Mereka-mereka adalah para penonton bayaran. Dan kalo gue denger-denger, ada seleksi yang cukup ketat untuk menjadi koordinator lapangan. Gak bisa sembarangan orang. Ini membuktikan bahwa mereka telah menjelma menjadi suatu organisasi yang cukup rapih. Hal ini menjadi suatu bisnis dengan keuntungan yang lumayan besar. Supplier "Alay", sepertinya bisnis yang menggiurkan untuk dijalani.

*buru-buru ganti pakaian pake celana cucut warna merah dan baju kuning cerah
mari kita lanjut...