Jumat, Januari 21, 2011

Kisah Awal Tahun Baru

Lagi-lagi postingan telat tentang awal tahun 2011. Bulan Januari udah mau abis, gue baru sempet nulis. Ya mumpung lagi sempet lah, dimana para boss lagi pada berangkat ke Bandung untuk Raker, meninggalkan kita yang di kantor untuk resess. Sungguh keadaan yang sangat berbeda, dimana biasanya tidak bakal ada terjadi keriuhan di dalam kantor. Suasana kantor biasanya sepi, tenang, dan siap menjalankan instruksi. Tidak akan ada lagu The Cure-Letter To Elise atau The Smiths-How Soon Is Now? berteriak dengan lantangnya. Pada kali ini, disaat para boss pergi, kita berpesta pora. Setidaknya sampai hari ini, pukul 18:00. Pada akhir 2010, tepatnya 30 December 2010, gue sama sekali belom ada rencana untuk merayakan malam pergantian tahun. Niatan gue cuma mau di rumah, tidur-tiduran, nonton tipi, dan merayakan pergantian tahun di depan cermin lengkap dengan terompet dan topi kerucut sembari berkata, "Selamat tahun baru Mirzal... Wohoo..." dengan nada ironi. Saat gue lagi di kantor, berenang dalam lautan dokumen, hape gue berdering, tanda sms masuk. Ternyata Jihan yang ngirim sms :

Kan, tahun baru kmn? Kemana yuuk

Tahun-tahun sebelumnya, biasanya gue dan temen-temen rutin ngadain acara tahun baruan di rumah dia, tercatat pada pergantian tahun 2008-2009 dan 2009-2010 kita bikin acara disana. Rumahnya enak, ada ruang tengah yang cukup luas untuk menampung 10 orang. Udah gitu, orang tua dia biasanya lagi pergi ke luar sehingga kita bebas melakukan agresi militer ke rumah itu. Sayangnya pada tahun ini, dengan berat hati, acara tidak bisa dilangsungkan disana. Terkait dengan kehadiran ortu dia, yang bakal bikin kita canggung kalaupun dipaksain kesana. Tahun ini, dia ngasih ide untuk tahun baruan di jalan. Melalui riset via internet, dia nge-daftarin daerah mana aja yang ada acara. Monas dan Senayan, dua tempat kumpul paling umum di Jakarta itu bikin acara dzikir akbar. Kita langsung menarik kesimpulan untuk... tidak mendekati daerah sana. Macet. Kemang, jangan ditanya. Tahun masih berjalan aja disana udah gak jalan. Apalagi akhir tahun. Jalanan bisa dipake piknik kali saking gak geraknya. Setelah dipikir masak-masak, kita memutuskan untuk kumpul di Mekdi Sumantri, untuk kemudian jalan kaki menuju Epicentrum Walk. Karena menurut kabar burung yang beredar -entah burung siapa- di Epicentrum Walk bakal ada acara musik gratisan. Pada pukul 9 malem kita semua udah ngumpul disana. Pesertanya ada 10 orang, lumayan rame untuk seru-seruan.

Sekitar pukul 10, kita berangkat menuju Epicentrum Walk (EW) via jalan kaki. Dalam perjalanan menuju EW, kita sempet juga foto-foto di depan Bakrie Tower. Sebuah gedung perkantoran yang sangat tinggi dengan arsitektur nan ciamik. Dan karena prosesi foto-foto itu bikin macet, kita semua sukses diusir satpam. EW memiliki sebuah sungai -kalau tidak mau disebut kali- yang tidak bau seperti pada umumnya. Sungai ini adalah sungai bertingkat buatan, dimana di atas sungai asli dibangun penampungan air yang memanjang untuk menampung air hujan dan menipu mata para pengunjung yang mengira sungai yang ada disana udah dibersihin sama pengelola EW.

Di sepanjang sungai itu banyak orang duduk-duduk, baik yang kumpul keluarga ataupun yang lagi pacaran. Ada juga Starbucks keliling berupa abang-abang bersepeda penjual kopi yang siap ngesot kalo dipanggil. That's it. Udah itu aja. Gak ada panggung rakyat tempat musik gratis seperti yang gue bayangkan sebelumnya. Padahal gue berharap ada dangdut erotis ala cengdoleng-doleng Pantura.

Acara justru ada di Epicentrum Mall. Acara dugem ala kaum hedonis dengan tiket masuk seharga 75 ribu. Banyak gue liat wanita berpakaian minim dan lelaki berdandan necis menuju ke sana. Dan karena di dalem adanya DJ, bukan orkes dangdut melayu, kita gak jadi kesana. 75 ribu untuk jadi perokok pasif selama 6 jam terasa begitu berat untuk paru-paru dan lagi, disana gak jual wedang secang.

Mengingat suasana tempat yang sepi-sepi aja dalam konteks hiburan gratis. Kita semua cabut dari sana. Sembari balik ke parkiran, kita berdiskusi menentukan tempat apa yang ok untuk tahun baruan. Tepat di depan pohon palem, disamping anak ABG yang lagi foto pake pose ala Powerpuff Girls, kita menemukan ide. Kita berangkat ke taman Menteng.


Taman Menteng. Taman yang sempat menjadi sumber huru-hara, kontroversi, dan pro-kontra berkat patung Obama yang ditempatkan disana. Taman ini memiliki 3 lapangan futsal dan 1 lapangan basket, gedung parkiran, dan area bermain anak-anak. Taman ini biasanya dijadikan tempat berkumpul oleh anak-anak ABG sekitar, setelah taman Situlembang tidak menjadi primadona lagi.

Walaupun konsep dasar taman ini adalah taman untuk keluarga dan pusat rekreasi, banyak orang-orang (pasangan, lebih tepatnya) yang dengan keji mengubah tujuan mulia dari pembuatan Taman Menteng. Taman yang seharusnya diisi oleh anak-anak berjiwa muda dan kreatif malah diisi anak-anak berjiwa mesum yang pacaran di atas gedung parkir. Biasanya, mereka pacaran berjamaah. Sederetan orang terlihat terbagi dalam pasangan-pasangan yang berbeda dengan pose badan yang terlihat tidak jelas lagi. Nyaris terlihat bersenggama. Mereka seperti tidak tau malu, bahkan setelah ditereakkin, "Mama jahatt... Papa digoyang terus..." oleh abang-abang Starbucks keliling. Mungkin benar kata pepatah : "Kalau sudah cinta, dunia serasa milik berdua. Yang lain cuma numpang... Gak bayar lagi."

Pukul 11 malem, kita udah sampe di Taman Menteng. Keadaan Taman sangat ramai. Beragam macam orang ada disana. Anak-anak ABG, Ibu-ibu, Bapak-bapak, anak-anak, dll. Tidak lupa Starbucks keliling yang selalu setia mengawal keberadaan orang di Taman Menteng. Walaupun masih terlihat orang-orang berpacaran di atas gedung parkir, setidaknya kali ini mereka tidak terlihat vulgar.

Setelah berkeliling sebentar, kita membuka lapak di atas rumput. Keadaan ramai seperti ini lah yang kita cari, bukan keadaan sepi kayak di Epicentrum tadi. Kicauan suara orang yang antusias menyambut tahun baru menjadi teman kita menghabiskan detik-detik terakhir 2010.

--00 : 00--

Nyanyian kembang api menjadi yel pergantian tahun baru di Taman Menteng. Semua orang terlihat gembira. Kembang api menjadi lampu penerang langit. Kita semua menikmati kemeriahan malam tahun baru dengan senyum yang lebar. Sangat lebar. Karena kita tidak harus bayar untuk menikmati riuhnya bunyi dan indahnya warna kembang api. Kata pertama yang gue ucapkan pada tahun 2011 adalah, "Ngapain juga ya tahun-tahun sebelumnya beli kembang api? Disini banyak yang gratisan" dan kita pun berburu kembang api untuk dijadikan latar belakang foto.

"Di situu!!!," kita semua langsung susun formasi, pasang senyum, dan mengambil foto. Saat fotonya diliat, kembang apinya udah abis. Kita kecewa. "Yang rame di sono noh!!" kita semua memutar badan mencari kembang api yang baru aja diluncurkan. Tapi baru aja muterin badan, kembang api-nya udah abis. Kita kembali kecewa. "Yaelah pada miskin amat dah beli kembang api pada sedikit amat," omel gue yang tak sadar bahwa kalau diikutkan dalam lomba 'Paling Menyedihkan', gue bakal keluar sebagai pemenang karena merayakan tahun baru dengan kembang api gratisan dan ngomel karena kembang api yang ada cuma sedikit.

"Di Monas keren tuh," sahut Jihan dengan suaranya yang menggelegar itu -nyaris mengalahkan bunyi terompet-. Tanpa banyak cing-cong kita langsung berlari ke arah yang dituju Jihan, melewati daerah pepohonan rindang yang minim cahaya. Dan emang ye namanya orang pacaran, kesempatan sesempit apapun selalu dipake untuk berbuat mesum. Prinsip mereka adalah : Gelap adalah mesum, habis terang terbitlah birahi.

Gue sempet ngeliat salah satu pasangan yang lagi sibuk duduk ngerapiin baju dengan wajah canggung dan kaget. Mereka ada di balik semak-semak rindang, di atas rumput, di bawah bayangan. Mereka coba memasang wajah innocent, yang keluar malah wajah kentang (kena tanggung). Prediksi gue, setelah selesai memadu kasih di awal tahun, mereka bakal langsung menuju apotik 24 jam terdekat untuk membeli bedak Caladine.

Monas, yang terletak di ujung sana, menyuguhkan tarian kembang api yang sungguh fantastis. Kita sedikit menyesal gak dateng kesana. Daerah Monas terlihat begitu meriah. Mungkin pengumuman dzikir akbar ditujukan untuk menyaring anak-anak pemalas seperti gue untuk datang kesana. Lumayan kan tuh, Monas jadi gak penuh-penuh amat.

"Tahun depan, kita harus ke sana!" itu lah target pertama kita pada tahun 2011. Tidak muluk-muluk dan terlalu mengawang-awang.

Tahun baru di jalan ternyata lebih menyenangkan (dan lebih hemat) ketimbang di rumah sambil bakar daging, udang, sosis, jagung, dan rumah itu sendiri.
Selain itu, kemeriahan lebih terasa karena berkumpul bersama orang-orang asing dan bersuka ria bersama walaupun setelah itu kita kembali tak bertegur sapa. Bukan karena sombong, tapi lupa.



mari kita lanjut...

Selasa, Januari 11, 2011

Garuda Di Dadaku

First of all :

HAPPY NEW YEAR!!

Semoga tahun 2011 bakal jadi lebih baik dari tahun 2010. Baik dari dalam maupun luar, depan maupun belakang, kiri maupun kanan, lurusin, mentok, stop. Jangan lupa kasih duit dua ribu sama tukang parkir.

Sebenarnya cerita ini udah sangat telat gue tulis. Kejadiannya udah sejak 29 Desember 2010 yang lalu dan gue baru nulis sekarang, 11 Desember 2011. Udah beda setahun. Gak kerasa ya. Padahal baru kemaren gue bisa ngerangkak, jalan, dan main galaksin. Sekarang udah gede dan bisa pipis sambil telentang.

Pada saat itu, 30 Desember 2010, gue nonton final AFF langsung dari Senayan untuk mendukung tim Garuda Indonesia. Walaupun tahu kans menang mereka menipis, setipis kertas tisu yang dibelah dua, gue tetep keukeuh untuk nonton langsung ke Senayan. Membaur dengan ribuan suporter lain, mendukung garuda agar tetap mengangkasa.

Pukul 17:00, gue berangkat dari kantor. Naik motor Mo', dengan kostum nyaris seragam. Dia memakai kaos timnas warna merah, sedangkan gue pake jaket timnas warna merah. Berdua kita menembus jalan Jendral Gatot Subroto yang mulai ramai. Penuh dengan orang-orang berpakaian merah. Suasana stadion sudah mulai terasa, padahal gue masih berjarak +/- 8 km dari Senayan. Ini membuat gue senang. Nasionalisme ternyata masih ada. Nasionalisme belum mati.

Sesampainya di daerah Senayan. Keramaian berlipat ganda. Jalanan macet bukan kepayang. Pada awalnya, gue berencana parkir di Plaza Bapindo yang terletak tepat di pintu masuk komplek Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Tapi ngeliat ada 4 satpam yang ngusir-ngusirin orang yang mau numpang parkir, gue mengurungkan niat tersebut. Takut dinikahin. Siapa tahu satpamnya gay dan membuat penawaran, "Mas boleh masuk, asal mau menjadi yang halal untuk saya."

Sambil melipir ke kiri, kita nyari gedung yang rela untuk diparkirin. Setiap gedung selalu dijaga satpam di depannya. Semua siap sedia mengusir para suporter yang nekat untuk numpang parkir di gedung itu. Anyep. Untung gue ketemu satu gedung yang rela untuk dijadiin tempat parkir. Gedung itu adalah gedung Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Perusahaan Masuk Bursa. Udah gitu letaknya enak. Tepat sebelum jembatan penyebrangan. Yahud deh. Akhirnya gue merasakan timbal balik langsung atas pembayaran pajak. Biarpun gak sampe seperti Gayus, yang bisa beli wig pake duit pajak.

Turun dari motor, gue langsung mengganti sepatu pantofel ala orang kantoran gue dengan sepatu kets Converse robek-robek. Lebih enak buat dipake lari dan lebih ikhlas kalo suatu waktu ilang.

Begitu kelar markir motor, kita langsung bergerak ke SUGBK. Menyeberangi jalan via jembatan busway yang ramai dan macet karena orang-orang yang bertumpuk dan para pedagang yang membuat jembatan semakin penuh. Ampun.

Sesampainya di dalam komplek SUGBK menuju patung panahan, berbagai macam orang ada disana. Ada yang jualan, pacaran, dan kebingungan nyari temennya. Ada yang pake baju Indonesia warna merah atau putih dan ada juga suporter MU atau Liverpool nyasar. Asesoris yang dipakai juga beragam. Ada yang pake bando bertanduk, stiker merah-putih di pipi, dan topi pesulap bermotif merah-putih. Bahkan gue sempet ngeliat orang pake bulu mata palsu dengan kaos Indonesia yang sangat ketat. Rambut hitamnya pun berbando dengan potongan manis ala Farah Quinn. Aih, seksi nian gerangan. Mungkin ada urgensi lain dibalik nonton bola. Mungkin dia sedang mencari jodoh atau pelanggan. Dan sayang sekali saudara-saudara, dia bukan wanita.

***

Gate XII, gerbang yang tertulis di tiket gue. Sesampainya gue di tempat itu, ratusan bahkan ribuan orang udah lebih dulu ngantri disana. Yang bikin gue kecewa, hanya 1 pintu yang dibuka oleh panitia. Mereka seperti menutup mata pada antrian yang ada. Gimana mau jadi tuan rumah Piala Dunia coba kalo cuma buat pertandingan yang disaksikan oleh masyarakat sendiri aja belum becus ngurusnya. Walhasil antrian menjadi padat dan emosi orang semakin memuncak. Gue gak bakal heran kalo keesokan hari muncul berita 'PENONTON MAU NONTON BOLA, EH KEGEMPET-GEMPET KEABISAN NAPAS. MATI.'

Di dalem stadion, keadaan gak jauh berbeda. Penuh sesak tak bersisa. Meluber sampe ke pintu masuk tribun atas. Berbekal pengalaman gue naek kereta ekonomi Jakarta-Bogor, gue nyelip-nyelip untuk dapet tempat yang enak. Walaupun tidak nyaman, tidak masalah. Yang penting gue ngeliat pemain timnas lagi main bola di lapangan rumput. Bukan kutu lagi main bola di kepala orang. Bahkan ada satu orang nekat yang nonton di langit-langit stadion yang tingginya bisa bikin orang vertigo mati mendadak. Itu baru dedikasi.

Dikawal oleh nyanyian "Garuda Di Dadaku," timnas Indonesia memulai perjuangannya menaklukkan Malaysia. Untuk timnas Malaysia, sorakan, "Maling... Maling..." meneror kuping mereka.

Menit-menit awal pertandingan, Indonesia sangat mendominasi permainan. Pertahanan Malaysia terus ditekan sampai membuahkan satu kesalahan. Pemain Indonesia di-tackle di dalam kotak terlarang. Penalti. Stadion langsung bergemuruh saat melihat keputusan wasit menunjuk titik putih. Permukaan tanah bergetar hebat sampai terasa mau rubuh.

Firman Utina mengambil tanggung jawab sebagai penendang penalti. Walaupun dari jauh, gue bisa melihat dan merasakan ketegangan dalam raut wajahnya. Harapan 220 juta masyarakat Indonesia membebani pundaknya. Setelah menarik napas panjang. Dia mengambil ancang-ancang. Gemuruh stadion mendadak hilang. Semua ikut berkonsentrasi. Terpaku kepada satu bola dan satu orang, Firman Utina.

Firman Utina bergerak menendang bola dan ternyata bola meluncur pelan. Sangat pelan. Bahkan terlalu pelan. Terlihat seperti mengoper bola ke kiper, bukan menendang. Teriakkan kecewa suporter langsung membahana di seantero stadion. Di sebelah gue orang Medan yang jauh-jauh dateng untuk menonton bola. Dia memaki, "BERENGSEK ITU FIRMANNN...!!"

Rasa kecewa berkali-kali ditumpahkan ke Firman atas kegagalannya. Tapi itulah sepakbola. Pemain sekelas Roberto Baggio aja gak kuat menanggung beban sebagai penendang penalti saat Piala Dunia 1994. Dan pada akhirnya, penyesalan itu merubah permainan Indonesia secara keseluruhan. Sampai pada akhirnya mereka kebobolan lagi. Agregat 4-0 untuk Malaysia.

Akibat gol tersebut, serangan yang dibangun mulai asal-asalan. Kembali ke pola Kick & Rush & Do Nothing. Firman Utina yang bertugas sebagai jendral lapangan tengah mulai kehilangan ide. Operannya banyak salah dan terlihat gagap seperti Azis OVJ. Pada babak kedua dia diganti oleh Eka Ramdhani.

"Kalau saja itu Firman masukkin pinalti, akan lain ceritanya! Bodoh itu Firman! Kalau begini udah tak seru lagi!" orang Medan di sebelah gue berkali-kali ngomel. "Iya pak... Iya... Maaf," tanggap gue sampe bingung. Mungkin dia melihat muka gue mirip kayak Firman Utina, makanya dia ngomel ke gue terus. #NGOK

Seisi stadion udah mulai sunyi senyap tanpa harapan. Dari belakang terdengar yel-yel, "Yang diem nonton bokep" yang disuarakan oleh para The Jak. Berusaha memunculkan kembali semangat di awal. Percuma. Penonton udah terlanjur kecewa. Harapan telah pupus, hangus jadi abu.

GOL! Pada sekitar menit 70, Indonesia berhasil menyamakan kedudukan melalui kaki Muhammad Nasuha. Gemuruh kembali terasa. Muncul harapan baru. Seenggaknya mereka bisa menang melawan Malaysia di kandang sendiri, walaupun nggak jadi juara. Jangan sampai kita dipermalukan oleh peng-klaim Reog Ponorogo dan Rasa Sayange di kandang kita sendiri. Para penonton kembali bersorak sorai.

Menit 80-an, gol kedua kembali tercipta. Indonesia berhasil unggul atas Malaysia. M. Ridwan jadi pencetak gol terakhir pada laga final itu. Para penonton kembali bersorak. Kali ini mereka cukup puas walaupun tidak berhasil jadi juara. Perjuangan itu lah yang mereka apresiasi.

Saat peluit panjang berbunyi. Penonton bubar dengan tertib. Menurut data yang ada, 95.000 orang hadir disana untuk mendukung timnas Indonesia. Sebuah kebanggaan sendiri bisa hadir disana, mendukung langsung Indonesia, melihat perjuangan mereka dengan mata kepala sendiri. Merasakan bulu kuduk yang merinding oleh lagu "Indonesia Raya" yang dinyanyikan oleh 95.000 orang. Dan yang membuat gue semakin bangga, saat ada orang tak bertanggung jawab mengarahkan laser hijau ke kiper Malaysia, seantero stadion langsung berteriak, "Matiin lasernya... Matiin lasernya!!"

Ini membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang tidak suka bermain curang, dan menjunjung tinggi sportivitas. Maju terus Indonesia-ku.

Garuda di dadaku
Garuda Kebanggaanku
Kuyakin hari ini pasti menang
Kobarkan semangatmu
Tunjukkan SPORTIVITASMU
Kuyakin, hari ini pasti menang!!




mari kita lanjut...