Senin, Juni 06, 2011

Not Too Sweet Escape (Part 3)

....: Sabtu, 23 April 2011 :....

Salah satu ujung tombak dari Kiluan selain pantai-nya yang bening adalah wisata dolphin, ngeliatin lumba-lumba. Kita bisa melihat barisan lumba-lumba loncat-loncatan. Dan bahkan terkadang bisa berlayar diiringi mereka. Sebelum pergi gue juga sempet gugling soal kebenarannya. Dan gambar-gambar yang ada malah bikin makin ngiler dan penasaran. Meluapkan semangat untuk cepat sampai disana.

Pagi ini, kita berniat untuk pergi ke tengah laut, melihat Dolphin Show disana. Tarifnya 250 ribu. Sudah kita tanya dengan detil, mengingat kejadian yang telah terjadi sebelumnya. Bukan apa-apa, kita takutnya ditagih biaya bensin pas di tengah laut. Kan tengsin juga sama lumba-lumbanya kalo kita dijorokin ke laut. Ketauan gak punya ongkos pulang.

Sekitar pukul setengah 6 pagi kita berangkat ke sana. Tim kita terbagi dalam dua kapal yang berbeda. Yang barengan sama gue adalah Andin dan Deta, dan juga abang-abang yang ngendaliin kapal. Pengen juga sih nyetir sendiri, tapi takut gak ngerti kopling-nya. Ngeri melorot pas tanjakan. (Ini ngomongin kapal apa mobil sih?)

Perjalanan ke tengah laut menyuguhkan pemandangan-pemandangan cantik nan mengagumkan. Terlihat bukit-bukit pinggir pantai dengan laut yang berwarna biru dongker. Ada juga sebuah pulau tanpa pantai yang berdiri kokoh melawan ombak yang selalu menggempur nya. Pulau itu mengingatkan gue akan Saur Sepuh.

Gue membayangkan kalo ada pertapa di pulau itu. Bertapa sambil makan buah cherry untuk bertahan hidup dan melawan makhluk-makhluk aneh di dalamnya. Sampai suatu saat dia diserang oleh pertapa pulau lain dan kalah. Mayatnya dibuang ke jurang dan menjadi batu karang kokoh yang menjadi monumen untuk memperingati kematiannya. Cadas. Dan tentu saja saat mengucap dialog, mulut dan suara mereka tidak sinkron. Efek film dubbing khas sinetron legenda. Dan para pertapa memakai Power Balance di tangannya. Lupa dilepas.

Gue menikmati pemandangan ujung Horizon di depan. Bumi seakan luas tak berbatas. Gue angkat kaki gue ke samping kapal yang menyerupai kano tersebut, mencelupkan telapak kaki ke air laut yang hangat. Sebagai pelengkap, gue makan Astor sambil bersenandung. Ah, terasa lepas segala penat, terbebas dari rutinitas yang pekat. Angin laut, lagu, dan Astor. Sebuah kombinasi yang fantastis.

Sesampainya di tengah laut, kita semua bengong. Isinya aer doang gak ada lumba-lumba nya. Terpaksa kita muter-muter kesana kemari. Mencari lumba-lumba yang ada entah dimana, sedangkan matahari mulai membumbung tinggi, melemahkan niat kita untuk bertemu lumba-lumba.

Tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah sirip abu-abu gelap menyembul ke permukaan, "Itu bang!" kata kita bersemangat. Abang kapal langsung ngebut menuju sana. Sayangnya begitu sampai ke sana, mereka kembali sembunyi. Kita semua kembali kecewa. Nyari lumba-lumba ternyata kayak nyari koruptor. Suka kabur-kaburan.

Gak beberapa lama, muncul lah formasi lumba-lumba menyembul dari samping kapal kita. Sontak kita sorak sorai kegirangan. Mereka seakan menari, saling membentuk formasi, dan bersekongkol untuk menghibur para penumpang kapal. Saking semangatnya ngerekam mereka gue hampir jatoh dari kapal, kalo aja gak dipegang sama Andin. Semua itu terlihat sangat indah dan menyenangkan. Sampe-sampe gue lupa diri.

Semakin lama jumlah lumba-lumba yang ada semakin banyak dan semakin dekat. Terlihat jelas punggung mereka dari balik air laut yang bening. Mereka berputar-putar mengelilingi kapal, menggoda kita untuk bergabung bersama. Tapi mengingat kapal yang kita naiki hanya berupa kapal nelayan yang tidak terlalu kokoh, kita mengurungkan niat tersebut. Takutnya bisa turun, gak bisa naik. Atau kemungkinan terburuk : Kapalnya patah begitu kita tarik dan tenggelam seperti Titanic. Oh mai goat! Gue gak siap mati. Gue belom bikin lukisan telanjang Kate Winslet!

***

Entah jam 9 atau jam 10, kita kembali ke pulau. Turun kapal langsung nyemplung, kecipak kecipuk di aer kayak anak kodok. Rencana selanjutnya : Snorkling dan Foto-foto. Kita langsung ngeloyor ke pondok untuk ngambil kacamata dan sedotannya. Sempat terdengar sindiran Ibu penjaga, "Laper yaa?? Kesiann. Lagian gak makan dulu sih pas pagi!" sambil ketawa-ketiwi kunti. Saat itu juga kita bersumpah untuk tidak makan apapun selama di pulau ini, kecuali makanan yang telah kita bawa.

Rasa kecewa lagi-lagi muncul. Kita disuruh snorkling sendirian. Orang yang nyewain google bahkan gak tau tempat yang bagus untuk snorkling dimana. Walhasil kita hanya mengandalkan Ojan, yang paling berpengalaman dalam dunia selam-menyelam. Apa-apa Ojan. Kacamata kemasukan air, Ojan. Kebawa arus, Ojan. Nyari tempat snorkling, Ojan. Bahkan dia sampai dikasih panggilan kesayangan, "Ojyaaannn..." oleh 4 Ibu-ibu rempong (Deta-Andin-Jihan-Risma) yang pada gak bisa berenang itu. Serasa punya empat istri. Sayup-sayup terdengar suara, "UH.. UH.. UH..!!" dari pulau seberang. Suara orang utan. Istri kelima sudah mulai cemburu tampaknya.

Jam 12 kita baru selesai snorkling dan foto-foto di sekitar pulau, di saat orang-orang lain udah pada rapi jali, bersiap-siap mau pulang. Ketauan banget gak mau rugi. Imbasnya, air yang tersedia di gentong jadi tinggal sedikit. Dan karena WC sumur dipake sama cewek-cewek, gue dan Ojan jadi musti mandi disana untuk mempersingkat waktu. Jadilah gue ngais-ngais aer gentong sampe ke dasar. Sampe kotoran gentongnya ke serok, mampir di mulut. HOEK.

Jam setengah dua, kita udah naik ke kapal putih lagi. Berangkat kembali ke Pulau Sumatra dan bersiap kembali ke Lampung. Mobil yang kita pakai kali ini adalah mobil APV yang tidak ada supirnya. Entah kemana dia berada. Jadinya kita mesti bengong dulu di warung deket parkiran sambil nungguin itu supir yang gak tau keselip dimana. Semua terlihat lelah, kecuali Jihan. Dia terlihat ketakutan karena banyaknya ayam berkeliaran di sekitar bangku dan meja tempat kita menunggu. Sebuah phobia hasil kreatifitas dia waktu kecil : Iseng nyekek ayam jago yang biasa dipake buat aduan. Dipatok lah dia. Manusia aja bakal ngamuk kalo dicekek, apalagi ayam?

Satu jam kita menunggu, akhirnya Bapak Supir datang juga. Rambutnya acak-acakan, polo shirt kuning-nya tidak terkancing, mata merah, dan dengan wajah yang terlihat sangat marah. Sepertinya dia baru bangun. Atau lebih tepatnya dibangunin. Atau (kalo dilihat dari dandanan-nya) abis disiram aer pas lagi asik-asikan mimpi kencan bareng Kiki Fatmala.

"Perjanjiannya gak begini nih!" sahut dia sambil bukain pintu mobil.

Jelas kalo soal perjanjian udah bukan urusan dia. Itu urusan antara Pak Sopir dengan pengelola pulau. Makanya kita cuek ajah. Walaupun dalam hati kita dongkol juga. Ditambah lagi beliau marah-marah saat kita nurunin bangku tengah APV untuk masukkin tas.

"Kok yang itu dibuka juga!!? Kan udah saya buka yang satunya!!"

"Lah kan biar lebih gampang aja Pak," bales kita makin emosi. Udah siang-siang, panas, dan kejadian gak menyenangkan selama di pulau, sekarang nambah lagi omelan Si-Sopir-Bangun-Tidur ini.

"Tapi kan... Ah yaudah lah!" kata dia sambil ngeloyor ke warung.

Begitu barang-barang dan kita udah masuk semua ke dalem mobil, suasana menjadi hening. Males ngomong, terlanjur emosi. Ternyata dia yang mulai angkat bicara, "Ini seharusnya gak begini nih!" sambil menginjak pedal gas dalem-dalem. Lonjak-lonjak gak keruan, itu lah efek yang kami rasakan. Udah gila ini sopir. Dia yang ada masalah, kita yang dikorbanin. Pengen rasanya nge-bekep dia pake kolor bekas berenang gue. Biar semaput gara-gara basah dan bau kecut.

"Pak, kita yang ada disini gak tau apa-apa. Kalau bapak marah-marah sama kami, gak berguna apa-apa Pak. Kalau mau marah, ya sama pengelola pulau jangan sama kami Pak," kata Jihan bijak.

"...," Bapak Sopir diem aja.

Kemarahan-nya ternyata mereda setelah ditegor. Jalannya mobil juga semakin normal. Ternyata dia sopir yang cukup handal (kalau waras). Dia juga curhat sama Ojan, yang duduk di depan, tentang bayarannya yang kurang lah, tidak sesuai janji lah, jemuran belom diangkat, anak nangis mulu, piring di rumah pecah, sendal ilang di mesjid, dll. Gak tau lah apa aja yang diomongin si Bapak. Yang penting perjalanan kembali normal.

Suasana penuh emosi tadi menutup perjalanan kami dai Teluk Kiluan. Sesampainya di Lampung, kita keliling-keliling sebentar di Kota Lampung. Nyasar, lebih tepatnya. Terkait dengan petunjuk mengkol kanan-kiri dan minimnya penerangan jalan. Sebelum pulang, kita menyempatkan diri makan Mie Ayam Lampung dan membeli oleh-oleh keripik pisang. Setelah selesai, bablas langsung ke kapal, perjalanan non-stop menuju Jakarta.

Perjalanan kali ini, biarpun tidak terasa begitu manis, tetap berkesan untuk gue. Senyum dan tawa selalu mengembang setiap saat, mengenang apa yang terjadi disana. Segala pahit yang ada , walaupun terasa kecut di hati dan menumbuhkan emosi, tidak bisa menutup manisnya suguhan pemandangan alam eksotis yang terhampar di sekitar Teluk Kiluan. Sebuah liburan yang menyenangkan!


(^_^) ....Galeri Foto Narsis.... (^_^)


Tas Cantik, Bantal Lebah, dan Entah-Bawaan-Apa-Lagi



Sun Go Kong mencari Kitab Fisika Marthen Kanengan


Penginapan, dapur, dan air panas seharga 5.000


Nenek moyangku seorang pelautt.... punya senjata di bawah perutt

Pemerkosaan yang terjadi di pinggir pantai
Model : (sebut saja) Mawar

Abis diperkosa, langsung bertapa

Terlihat keren, tapi sebenarnya lagi dikerjain ombak... dan mereka rela

Cocok buat setting film legenda

Formasi apik kawanan lumba-lumba

Mengiringi jalannya kapal

Menggoda kita untuk bergabung dengannya



Kiluan Rocks!!!

Keindahan nyata... pemandangannya




(entah itu beneran Pak Bondan apa enggak)
Apakah kita terlihat menghitam?


...tamat

mari kita lanjut...