Kamis, November 29, 2012

Hujan dan Pelangi

Pagi normal di hari yang normal. Selimut posesif, kasur empuk nan membuai, dan bantal yang seakan tidak rela melepaskan kepala dari dekapannya. Liukan angin AC menari cantik di atas badan, menahannya untuk tidak terbangun. Nikmat. Apalagi ditambah cuaca yang mendung-mendung mesum dengan sejumput sinar matahari yang  bersinar malu bak anak perawan  dilamar. Amboi rasanya. 

Suara handphone Blackberry tiba-tiba bersenandung. Dengan lantang dia membunyikan alarm, menyadarkan batas antara mimpi (Snooze) dan realita (Dismiss). Gue berhasil tersadar setelah enam kali Snooze. Itu pun karena inget kalau hari ini harus izin keluar kantor lebih awal karena mau ikut UTS di kampus. Singkat kata, sekitar jam 9 pagi gue udah duduk manis, lucu, dan menggemaskan di kantor. Padahal kalo lagi gak mau ijin, bisa jam 10 atau 11 sampenya.

Jadwal kerja gue hari ini adalah lapor pajak. Seperti biasa, tanggal 20 adalah hari sakral dalam proses pelaporan SPM PPh. Kalau saja lapornya lewat dari tanggal segitu, kantor akan dikirimi surat cinta dari Direktorat Jendral Pajak yang isinya kira-kira seperti ini :

Dear PT.X

Kamu udah lupa ya sama aku? Kamu kan janji untuk lapor kalau udah setor duit ke aku. Gimana cih!? Pokoknya kalau kayak gini caranya, aku sebel sama kamu!

Pokoknya kamu harus bayar denda Rp. 100.000,- biar aku mau maafin kamu. Kalau kamu gak bayar, aku bakal ambil semua barang-barang kamu!

Biarin, biar kamu tau rasa! Ih!

Ku yang selalu ada disampingmu,


KPP

Rencananya, setelah minta segala macem dokumen yang udah ditanda tangan oleh direktur perusahaan, gue langsung meluncur menuju kantor pajak untuk menyelesaikan proses lapor. Ada dua kantor pajak yang harus gue datengin, satu di Pancoran dan satu lagi di Tanah Abang. Tapi apa daya, maksud hati memeluk gunung tapi malah pipi merah digampar. Ternyata dari delapan dokumen yang diajukan, ada satu dokumen yang kelewatan belum ditanda tangan, sedangkan dia belum masuk ke kantor. Sial.

Ketimbang bengong di kantor nungguin si Bapak dateng tanpa menyelesaikan apapun, gue berinisiatif untuk nyelesain laporan pajak yang dokumennya sudah lengkap ditanda tangan. Kebetulan tempat melapornya deket, di Pancoran. Sehingga gue bisa menyelesaikan laporan tersebut dan langsung kembali ke kantor untuk mengambil dokumen yang tertinggal.

Menggunakan Metro Mini 640, gue berangkat ke Pancoran dari Gatot Subroto. Keadaan bis tidak lah terlalu ramai, masih ada beberapa bangku yang tersedia. Saat gue berjalan ke belakang dan memilih tempat duduk yang diinginkan, ada seorang Bapak-bapak gendut memperingati, "Jangan Mas, disini aja. Bangku itu basah" sambil mengarahkan gue untuk duduk di kursi paling belakang. Entah kenapa, gue nurut aja sama dia, padahal bangku yang gue pilih sebelumnya terlihat normal.

Tak beberapa lama setelah duduk, tiba-tiba ada Bapak-bapak berbaju coklat lusuh dengan paparan jenggot tidak terawat di wajah, berdiri dan mempromosikan pengobatan alternatifnya di daerah Cawang. Pertama-tama dia memijat kakek-kakek yang duduk di samping kiri gue, "Ini cuma tes Pak, gak bayar. Bener."

Setelah itu, dia beranjak ke gue. Sedari awal gue udah mencium gelagat buruk dari orang ini. Masalahnya gue dulu pernah ketemu orang yang sok-sok an ngambil duit recehannya sambil menggeser-geser kaki gue. Hasilnya, handphone Nokia 3310 gue hilang. Lenyap seperti asap. 

Saat dia memijat kaki dengan dalih percobaan, tangan gue ditepis saat mau menjaga handphone yang ada di dalam kantong celana. Kemudian dia menggoyang-goyangkan kaki dan meletakkan tangannya di betis dan paha gue.

"Gimana  Pak, enak kan?" kata dia sembari turun dari Metro Mini. Saat dia turun, secara reflek gue memegang kantong celana dan seperti yang sudah diduga, handphone gue lenyap. Sontak gue langsung lari keluar untuk mengejar dia. Pengen ngeluarin jurus John Cena dan mengawinkan bibirnya dengan aspal jalanan.

Saat gue lari, dari dalam Metro Mini terdengar teriakan, "Mas! Hape-nya ketinggalan!! Ada di bangku!!"

Mendengar teriakan itu, buru-buru gue balik ke Metro Mini. Sesampainya disana ternyata hape gue tergeletak tepat di samping kiri tempat tadi gue duduk. Kebingungan dengan kejadian tersebut, gue langsung ambil hape dan terduduk bengong di kursi. Di bagian paling depan, berdiri Bapak-bapak yang mengarahkan gue ke belakang. Memakai kemeja biru cerah dan peci putih, dia membagikan brosur pengobatan alternatif ke penumpang lainnya. Ternyata ada kampret lain di dalam bis.

"Jatoh kan Mas. Bukan dicopet," kata dia dari jauh sambil nyengir-nyengir pantat babon. Dia tidak berani mendekat ke arah gue. Modus mereka terbongkar. Kalau saja tadi gue gak sadar dan tetap duduk. Pasti si Bapak bertopeng peci itu bakal ke belakang untuk mengambil hasil usaha teman sebelumnya. Kampret. Mau lapor pajak malah hampir kecopetan. Karena males satu bis sama komplotan bajingan itu, gue langsung turun dan pindah ke bis lainnya.

Dua kejadian sial itu merupakan rentetan awal dari kejadian berikutnya.Sesampainya di kantor pajak antrian sudah menumpuk. Merupakan hal aneh bagi gue ngeliat kantor pajak yang ramenya mirip tempat pengungsian.

Sebelumnya, kantor pajak tempat gue melapor adalah kantor pajak Wajib Pajak Besar dan Perusahaan Masuk Bursa. Di dua kantor pajak tersebut, paling banyak gue nunggu 10 orang sebelum dapat giliran. Kali ini, gue musti nunggu lebih dari 100 orang. Nomor antrian yang sedang dilayani 186 sedangkan gue dapat nomor 369.

Sambil nunggu, setelah ambil nomor antrian gue langsung cabut ke Patra Jasa buat makan siang bareng temen kantor. Makan nasi goreng bebek yang porsinya selangit. Banyak bener. Cukup buat dibagi ke satu kelurahan, satu butir nasi per kepala keluarga. Kelar makan, rencananya gue kembali lagi ke kantor untuk beres-beres, lengkapin dokumen, berangkat ke kantor pajak, dan cus! Langsung ikutan UTS di kampus.

Sayangnya dokumen tersebut belum juga ditanda tangan karena si Bapak belum dateng juga. Selain itu, kertas nomor antriannya ilang. Kalau 1,5 jam yang lalu gue dapet nomor 369, apa kabar kalo gue ambil lagi sekarang?

Kepala mendadak pening seakan ingin meledak. Sial demi sial datang bertubi.

Sekitar jam 2, gue baru mulai dapet pencerahan. Untuk pelaporan pajak di kantor Pancoran gue bisa nitip ke kurir sedangkan untuk yang di Tanah Abang, dokumennya sudah ditandatangan. Berangkat lah gue ke Tanah Abang.

Seperti adegan film drama, India, atau Twilight, hujan mendramatisasi keadaan kalut yang sedang gue alami. Niatan untuk naik ojek pupus dan gue harus menunggu taksi selama 30 menit di bawah naungan rintik hujan. Untuk menambahkan bumbu cerita, gue dapat nomor antrian 392 di kantor pajak Tanah Abang. Yang dilayani? Deket kok. Nomor antrian 280.

Jam menunjukkan pukul 14.30, ada 100 orang lebih sebelum gue, dan pada pukul 17.30 gue harus ke kampus untuk mengikuti tujuan. Keadaan ini sungguh sempurna. Atau untuk menambah kesempurnaan, mungkin SBY harus datang dan berkata, "Saya prihatin..."

Tepat pukul 17.36 urusan di kantor pajak selesai. Langsung aja gue panggil ojek akamsi dan berangkat menuju kampus. Untungnya, kejadian sial itu tidak berlanjut lagi. Malah cenderung beruntung. Karena selepas ujian gue ditraktir makan sama temen kuliah dan saat naik Transjakarta bus-nya sepi. Kosong melompong. Walhasil gue bukan cuma bisa duduk di dalam bis. Mendirikan tenda atau  kota kecil pun bisa.

Hujan turun sebelum pelangi. So, nikmati hujan dan menarilah di atas pelangi. Kalau pelangi tak kunjung muncul? Menarilah di dalam hujan.



mari kita lanjut...

Kamis, September 27, 2012

Batin, Kasta, dan Jawaban

“Hi, boleh kenalan gak?” Sebuah tulisan terlihat di Facebook chat milik Tiwa, mengirimkan pesan kepada Sarah Veronica, Ayu Rahmawati, Selly Stevens, Dewi Setaman, dan VeEeChyYnkKCmuuHa.  Bagian bawah browser internet penuh sesak diisi jendela-jendela chat yang tak terjawab. Setiap menit tiap-tiap jendela chat itu diperiksa, namun jawaban tak kunjung ada. Akhirnya dia menutup seluruh jendela chat tersebut karena lelah menunggu.

“Hah... gagal lagi,” keluh Tiwa sambil menutup layar laptop. 25 tahun, itulah lama dia menjomblo. Teman-teman menjulukinya Jomblo Perak dan satu-satunya pacar yang pernah dia miliki adalah Tamagochi berkelamin betina. Kisah dia mencari pacar selalu saja mentok di PDKT. Entah sudah berapa kali dia mendengar jawaban klise seperti, “Gue belum mau pacaran dulu,” tapi beberapa hari setelahnya sang cewek pujaan hati jadian dengan orang lain. Mungkin seharusnya jawaban itu diperjelas menjadi, “Gue belum mau pacaran sama lo. Pih.”

Berbicara soal fisik, penampilan Tiwa terlihat biasa-biasa saja. Kalau saja terdapat batas antara jelek dan ganteng, pasti dia ada di batas itu, merapat tipis ke zona jelek. Kulit dia hitam, berkacamata, dengan wajah yang selalu terlihat seperti habis bergadang tiga hari berturut-turut.

Untuk urusan fashion, baju yang dipakai akhir-akhir ini dengan baju yang dipakai 3 tahun sebelumnya tetap sama. Tidak berubah. Pakaian favoritnya adalah polo shirt gombrong garis-garis dengan warna yang berbeda untuk masing-masing garis.  Menurutnya baju gombrong itu adem, penetrasi angin mudah, dan seperti gak pake baju. Sepatunya? Tetap sama dari tahun ke tahun, plus ornamen tambal karya tukang sepatu di dekat rumahnya.

Tiwa bekerja sebagai akuntan sebuah perusahaan sedot WC. Pekerjaan yang yang bisa dibilang sangat membosankan. Kerjaan yang tidak pernah berubah, di dalam perusahaan yang tidak bisa dibanggakan. Kalau ditanya teman atau keluarganya, Tiwa selalu mengaku bekerja di Waste Energy Management Company.

Beruntung perusahaan menyediakan internet tak terblokir di komputernya. Sehingga dia bisa mengusir kebosanan dan memantau Facebook. Berusaha mencari pasangan yang tak kunjung dia temukan. Begitu saja siklus kehidupan Tiwa : Bangun-kantor-Facebook-pulang-mandi-tidur.

Suatu saat setelah seharian bekerja di kantor, Tiwa tiba di rumah. Dia merasa lelah menembus lautan mobil dan motor yang berdesak seperti kapas di dalam bantal. Emosi, lelah, dan lesu menghinggapi badan kurus-nya. Terbayang nikmatnya masuk ke dalam rumah dan bermalas-malasan di atas kasur. Setelah memarkir motor, dia bergegas masuk ke dalam rumah. Namun apa yang dilihat Tiwa membuatnya terkesima.

Sesosok gadis yang tak pernah dia liat sebelumnya sedang menyapu ruang tengah. Rambutnya lurus dikuncir kuda, wajahnya manis manja, dan walaupun dia bercucur peluh, paras cantiknya tidak ikut luntur. Didalam imajinasi Tiwa, dia terlihat seperti bidadari yang sedang bermain harpa di atas awan, walaupun faktanya dia sedang menyapu kecoak mati di atas lantai. Tiwa terpana, tak bisa berkata-kata.

Melihat Tiwa masuk, gadis itu mendadak berhenti menyapu. “Misi Mas,” sahut gadis itu -membuyarkan seluruh lamunan Tiwa- sambil berjalan menunduk menuju dapur.

“Eh, iya…iya…” balas Tiwa sembari menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Sebuah sindrom panik dadakan yang selalu dialami Tiwa apabila bertemu dengan wanita yang dia suka.

Ketika gadis itu menghilang di balik pintu dapur, Ibu Tiwa keluar. “Tumben cepet pulangnya, biasanya nongkrong dulu di warteg depan, godain yang jaga warteg,” sambut Ibu Tiwa sembari ngeloyor ke arah kamar.

“Enak aja, ade kan kesana gara-gara Mama jarang masak,” kata Tiwa, “Ngomong-ngomong itu yang baru masuk dapur siapa Ma?”

“Itu Sunar, pembantu baru kita. Baru aja dateng tadi siang dibawain Tante kamu. Emang kenapa? Cantik ya?” Goda Ibu Tiwa sambil nyengir-nyengir tupai dan mencolek pinggang Tiwa.

“Dih. Cantik darimana. Udah deh jangan ngomong macem-macem, cuma nanya doang kok,” omel Tiwa. Tubuhnya reflek tersengat karena pinggang kurusnya dicolek oleh sang Ibu. Wajahnya memerah, jantung berdebar, dan keringat dingin sedikit keluar karena berbohong. Sebenarnya dia sangat menyukai Sunar, tapi setelah mengetahui kalau dia hanya seorang pembantu, Tiwa berusaha menghilangkan rasa suka itu. “25 tahun gue jomblo, masak sekalinya pacaran sama pembantu,” batin Tiwa di dalam hati.

“Lah, sewot. Hahaha,” kata Ibu Sunar sembari masuk ke kamarnya.

Dari dalam  dapur, Sunar mendengarkan pembicaraan itu. Dia telah menyukai Tiwa sejak pertemuan di ruang tengah. Ibunya di kampung pernah berkata, “Neng, jodoh itu teh orang yang bisa bikin kamu deg-degan.” Nasihat sederhana itu akhirnya dimengerti Sunar. Pada saat Sunar menatap mata Tiwa, jantung Sunar berdebar kencang. Persis seperti kata Ibunya.

Namun Sunar sadar kalau dia hanya seorang pembantu, tidak mungkin menjalin hubungan dengan majikannya. Pembicaraan antara Tiwa dan Ibu-nya semakin mempertegas bahwa perasaan itu harus dienap. Hubungan mereka terhalang oleh tembok status yang berdiri kokoh dan keras. Sedikit demi sedikit mata Sunar terasa panas dan air mata nya pun menetes.

“Udah selesai motong bawangnya?” Tiba-tiba Ibu Tiwa kembali ke dapur.

“Sudah Bu, tinggal saya tumis,” balas Sunar sembari mengelap mata-nya.

***

Lima bulan berlalu sejak pertemuan itu. Hari ini Tiwa tidak masuk kantor. Sudah sejak pulang kantor suhu badannya meninggi. Kepalanya pusing tidak keruan dan menjelang pagi penyakitnya bertambah parah karena batuk. Kasurnya basah karena keringat, kantung matanya menghitam seperti memakai eyeliner.

“Anjrit, bau banget badan gue. Mandi ah,” gumam Tiwa sambil beranjak dari tempat tidurnya. Karena keadaan dia sedang demam, Tiwa berniat memasak air untuk mandi.

Pandangan Tiwa seperti bergoyang-goyang karena pusing. Jalannya sempoyongan sehingga dia harus mencari pegangangan untuk ke dapur. Di mata Tiwa, rumahnya bergerak seperti kapal, terombang-ambing di tengah laut dan memabukkan. Sesampainya di dapur dia langsung memasak air dan terduduk di kursi dapur. Napas Tiwa tersengal-sengal.

Reff Thank God I Found You - Mariah Carey & 98 Degrees tiba-tiba terdengar. Ada telepon masuk di hape Tiwa. Caller ID ‘My Luvly’ tertera di layar hape. Yak, setelah sekian lama menjomblo, dia akhirnya punya pacar. Pacar Tiwa adalah teman satu kantor yang sebenarnya tidak begitu Tiwa suka. Apalagi ‘My Luvly’ selalu menghubunginya setiap hari selama sebulan penuh, membuat Tiwa jengah. Tapi karena tekanan sosial dan gengsi, dia terpaksa menjadikan ‘My Luvly’ sebagai pacar. Dengan mengucap, “Yaudah lah ya,” Tiwa menembak ‘My Luvly’.

“Ayang lagi atit yaa??” Sahut ‘My Luvly’.

“Iya,” jawab Tiwa lemas dan malas.

“Ayang jangan lupa minum obat… bla… bla… Kalo atit kan aku jadi khawa…  bla… bla… bla… ” lanjut si ‘My Luvly’ yang lebih terdengar seperti kicau burung gagak di telinga Tiwa.

“Ya… ya, udah ya aku mau tidur lagi,” balas Tiwa sambil menutup telepon.

“I lo…” Belum sempat kalimat itu selesai, telepon sudah diputus.

Tak beberapa lama, ada sms masuk ke hape Tiwa :

[From : ‘My Luvly’]
kOq qM tUtp TeLp dlAn!!??


Tiwa hanya sekilas melihat sms itu, kemudian langsung dihapus. Ternyata pacaran gak seenak yang dia kira. Pacaran malah bikin sering emosi gak jelas. Kebebasan Tiwa pun dibatasi oleh peraturan wajib lapor yang diciptakan oleh ‘My Luvly’. Kebanggaan punya pacar (yang selalu ingin dia raih) hanya ada di awal. Kebanggaan hanya sebatas sanjungan sementara. Kebanggaan semu.

Sejujurnya, Tiwa masih menaruh hati pada Sunar. Wajahnya yang manis selalu berhasil membuat Tiwa kabur apabila berpapasan dirumah. Saking gugupnya, Tiwa pernah jatuh tersandung ujung lemari karena ingin menghindari Sunar, walaupun sebenarnya dia ingin dekat dan mengenal Sunar. Ketakutan akan status, gengsi, dan omongan orang lain menghalangi niatan Tiwa tersebut.

“Ngomong-ngomong Sunar dimana ya?” Tiwa baru sadar kalau keadaan rumah sangat sepi. Ayah dan Ibu Tiwa sudah berangkat dari pagi sehingga biasanya cuma Sunar yang ada dirumah. Renungan Tiwa di kursi dapur membuat dia sadar kalau saat ini hanya ada mereka berdua dirumah.

Kepala Tiwa celingak celinguk mencari Sunar, namun dia tidak ada di sekitar dapur. Siulan teko mengakhiri pencarian Tiwa. Dia bergegas mematikan kompor dan menuangkan air panas ke dalam ember yang telah dia bawa sebelumnya.

Dalam keadaan normal, Tiwa dapat dengan mudah mengangkat ember tersebut. Bahkan kalau sehat dia bisa mengangkat ember yang terisi penuh dengan satu tangan sambil berjalan loncat satu kaki. Tapi berhubung kali ini dia sedang sakit, bahkan tenaga kedua tangannya tidak cukup kuat mengangkat ember yang hanya terisi setengah tersebut.

“Sini mas, biar saya saja yang bawa,” sebuah tangan muncul dan meraih ember yang dibawa Tiwa.

Tiwa spontan kaget, “Eh Mbak Sunar. Gak usah Mbak, saya aja.” Tiba-tiba otaknya seperti tertarik 20 meter ke udara dan pandangannya berkunang-kunang. Jalan Tiwa semakin sempoyongan dan hampir saja terjatuh apabila tidak ditahan Sunar.

“Tuh kan, jalan aja susah,” sahut Sunar tersenyum tipis. “Saya aja yang bawa. Kata Ibu, Mas Tiwa lagi sakit ya.”

Tersenyum malu, Tiwa akhirnya membiarkan Sunar mengangkat ember merah itu.

“Kamu dari mana Sunar?” Perkataan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut Tiwa. Keberanian tiba-tiba datang menyeruak, menampakkan diri dari ketiadaan.

“Dari ngepel kamar Ibu Mas,” kata Sunar sembari merapikan rambutnya yang terjuntai ke balik telinga. “Mas Tiwa baru bangun? Nanti habis mandi makan ya, saya siapkan dulu makanan buat Mas. Banyak makan Mas, biar cepat sembuh.”

Tiwa terhipnotis melihat wajah Sunar. Setelah 5 bulan, ini adalah percakapan terlama dengan Sunar. Ditambah perhatian yang diberikan Sunar terasa tulus dan hangat, menimbulkan rasa nyaman. Perasaan ini bahkan tidak dia temukan saat berpacaran dengan ‘My Luvly’. Perasaan ini yang dia cari.

Pembicaraan berakhir saat Tiwa menutup pintu kamar mandi. Sunar bergegas pergi ke dapur untuk mempersiapkan sarapan Tiwa. Pikiran mereka sedang bercanda riang gembira, bahagia, dan penuh suka cita. Bahagia tidak perlu diperoleh dari suatu kejadian kompleks dan keadaan mewah. Bahagia bahkan bisa muncul dari kegiatan sederhana, se-sederhana mengangkat ember ke kamar mandi.

Sudah terbayang hal-hal apa yang akan dibicarakan Tiwa dengan Sunar. Oleh karena itu, Tiwa mandi dengan kecepatan cahaya. Dia semakin tidak sabar untuk berbicara dengan Sunar tanpa ada batas apapun.

Selesai mandi, dia berlari ke kamar. Sakitnya seakan hilang dan seperti kencan pertama, Tiwa memilih baju terbaik yang ingin dia kenakan sambil bersiul-siul kegirangan, mematut-matut di cermin seolah gadis umur 17 tahun yang akan berangkat Prom Nite. Hari ini istimewa. Hanya ada dia, Sunar, dan perasaannya. Tidak ada campur tangan orang lain, status, ataupun gengsi.

Suara piring pecah menghentikan siulan Tiwa, mengusir keheningan. Tiwa sontak keluar, berlari menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan, Tiwa kaget melihat keadaan disana. Ruang makan kosong, tidak ada Sunar disana. Yang ada hanya serpihan piring dan makanan berserakan di lantai. Belum sempat Tiwa mencari Sunar, punggung-nya ditendang dari belakang. Tiwa tersungkur tepat di atas pecahan piring.

“MAS TIWA!!” Suara Sunar muncul dari dalam dapur. Teriakan yang tertahan dibalik telapak tangan seorang lelaki asing.

“Ssstt… Jangan berisik!! Lo mau dia mati!?” Kata lelaki yang menendang Tiwa sambil menginjak kepalanya yang terkulai di lantai. Kedua lelaki itu memakai topeng rajut hitam dan masing-masing membawa golok besar yang menjulang angkuh. Dari balik topeng terlihat mata mereka yang merah serta tercium bau nafas beraroma alkohol.

Darah bercucuran dari tangan Tiwa yang tergores serpihan beling. Beberapa serpih beling bahkan masih menempel di tangannya. Tiwa meringis kesakitan.

Perampok yang berbaju hitam tersebut berjongkok dan mendekatkan mulutnya ke kuping Tiwa, “Kalau mau lo berdua selamat, jangan keluarin suara sekecil apapun. Golok di tangan gue ini lagi haus, jangan sampai dia minum darah dari leher lo berdua.” Kemudian dia mengeluarkan tali dari celana jeans-nya yang buluk dan berbau apek. Lalu dia mengikat kencang tangan Tiwa di balik punggung dengan tali tambang berwarna biru tersebut.

Badan Tiwa bergetar hebat, ketakutan menguasai tubuh lemahnya. Setelah mengikat Tiwa, perampok berbaju hitam itu memeriksa rumah Tiwa untuk mencari barang-barang berharga, meninggalkan Tiwa di lantai ruang makan.

Tiba-tiba terdengar pekik tertahan dari arah dapur. Perampok yang menyandera Sunar tidak bisa menahan nafsu-nya. Dengan menghunus golok ke leher Sunar, dia berusaha untuk memperkosanya. Sunar pun meronta-ronta hebat dan menangis. Tanpa ampun, perampok itu menampar keras wajah Sunar dengan telapak tangannya yang besar dan kasar.

Tiwa tersentak saat mendengar pekik dan tangis Sunar. Keberanian dia serta merta muncul. Tiwa sadar kalau ada orang yang harus dia lindungi, Sunar. Lalu dia membalik badannya sambil meringis menahan sakit, mengambil salah satu serpihan kaca di lantai dan memotong tali yang mengikatnya. Serpih-serpih beling semakin menancap saat dia berusaha untuk meraih beling dan memotong tali.

Semangat melindungi memunculkan kekuatan tersembunyi Tiwa sehingga tak beberapa lama tali itu putus dan tangan Tiwa akhirnya terbebas. Dia melihat sekeliling ruang makan untuk mencari alat perlindungan diri. Tiwa melihat patung Asmat yang dibawakan Om-nya dari Papua. Patung berbentuk tiga orang yang sedang duduk bertumpuk dan terbuat dari kayu yang keras.

Tiwa meraih patung tersebut dan memegangnya seperti tongkat bisbol. Dengan mengendap-endap dia bergerak ke dapur. Perampok itu  sedang membelakangi pintu dan terlihat sedang membuka celananya. Tanpa ampun Tiwa menggunakan patung Asmat tersebut untuk memukul kepalanya. “ARGH!!” Teriak perampok itu sembari terhuyung menjauhi Sunar yang sedang menangis terisak.

Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, perampok itu meraih golok dan menerjang Tiwa. Sambil memegang patung Asmat, Tiwa bersiap untuk mempertahankan diri, mata-nya terpejam ketakutan.

Langkah perampok itu tiba-tiba tertahan. Sunar mendekap kaki perampok itu dan menghambat usahanya untuk menyerang Tiwa. “LARI MAS! MINTA BANTUAN!! TOLOOONG!” teriak Sunar.

Perampok itu panik mendengar teriakan Sunar. Dia memutar badan dan langsung mengayunkan goloknya ke punggung Sunar. Ayunan golok itu menembus punggung Sunar dan menghilangkan suara teriakannya. Sunar terbujur di atas lantai.

Melihat keadaan Sunar, Tiwa mengamuk seperti orang gila. Sambil menangis meraung dia memukul perampok itu membabi buta. ”BANGSAT LO!! ANJING!!” Teriak Tiwa kesetanan. Perampok itu sempat tersungkur terkena pukulan Tiwa. Namun dengan secepat kilat dia kembali membalik badan, mendorong Tiwa, dan menendang perutnya. Tiwa terhempas dan menjatuhkan senjatanya.

Kemudian secara reflek perampok itu mengayunkan goloknya ke dada Tiwa. “UGH,” pekik Tiwa sambil memegang dada-nya yang berlumuran darah. “Darah,” batinnya. Seketika Tiwa jatuh telungkup di lantai dapur. Setelah melihat Tiwa terbaring di lantai, perampok itu tertegun dan menjatuhkan goloknya. Dia seakan baru bangun dari mimpi buruknya. Nafasnya berderu kencang seperti kereta api.

Perampok lain datang ke dapur dengan tas penuh barang jarahan. Apa yang dilihat mengejutkannya, “Goblok! Lo ngebunuh dua orang ini!? Pasti gara-gara nafsu lo yang kayak anjing!” Perampok berbaju hitam itu lantas mencengkram baju dan menampar rekannya, “Lo tau gak apa konsekuensi perbuatan lo, tai!? ARGH!”

“Maafin Bang. Bocah sial ini nge-gebuk kepala gue dan cewek ini teriak-teriak manggil warga,” bela perampok itu dengan suara bergetar ketakutan.

“Tapi lo kan gak harus bunuh mereka! Tolol!” sahut perampok berbaju hitam sambil melepaskan cengkraman dan menenangkan napasnya . “Sekarang, kita kabur. Semoga aja gak ada yang denger keributan yang lo bikin tadi!”

Kedua perampok itu kemudian meninggalkan rumah, meninggalkan Sunar dan Tiwa tersungkur di lantai. Seiring hilangnya langkah kaki dua perampok itu, kesadaran Tiwa muncul perlahan. Tiwa melihat Sunar berlumuran darah di lantai dapur. Wajahnya terbenam dan tangannya terjulur ke arah Tiwa. Seakan-akan ingin memanggil dan meraihnya.

Tiwa menyeret badannya mendekati Sunar, meninggalkan jejak merah di lantai dapur yang berwarna biru. Tiwa ingin mengatakan satu hal terakhir kepada Sunar. Kata-kata yang tidak pernah dia katakan. Kata-kata yang mewakili diri dan perasaannya. Kata-kata yang tidak sempat dia katakan.

Saat Tiwa berusaha mendekati Sunar, tiba-tiba dia bergerak dan menghadapkan wajahnya ke arah Tiwa. Sunar tersenyum. Senyuman terakhir sebelum dia menutup mata dan kembali tenggelam di lantai dapur. Tiwa ingin memanggil Sunar tetapi suaranya tidak kunjung keluar. Pandangan matanya semakin memburam dan berganti gelap.

Gelap. Hitam seluas pandang dan tidak ada suara yang terdengar. Sebuah keheningan sempurna. Imaji Tiwa tentang Sunar seketika muncul dan menimbulkan rasa hangat. Senyuman terakhirnya mengisi batin dan menyamankan gelap.  Seketika tubuh Tiwa terasa melayang dan semua akhirnya bisa terlihat jelas. Pandangan matanya menatap tubuhnya dan Sunar, terbujur kaku di lantai dapur. Tangannya tak pernah mampu menggapai Sunar. Perasaan itu terkubur mati di balik tanah, membusuk dan tak pernah terungkap.

source : kazegamas.com

Story Inspired by :
Oh I Never Know - Sarasvati




mari kita lanjut...

Selasa, Agustus 07, 2012

1/4 Abad

25 tahun, 300 bulan, 9.000 hari, 216.000 jam, 12.960.000 menit, dan 777.600.000 detik.

I'm getting older than before.

Tak terasa, sudah 25 tahun keberadaan gue di planet bernama bumi ini. Usia dimana keberadaan mimpi seperti berada di atas kertas tissue basah. Tipis, rapuh, dan di bawahnya menunggu jurang realita yang berperan sebagai pasir hisap, mengubur mimpi sampai ke titik nadir,  melapisi-nya dengan logika dan nalar.

Menggali mimpi seperti mengambil minyak bumi. Butuh modal mahal, perhitungan tepat, dan keberanian. Sebagian orang berkata kalau mimpi itu hanya imajinasi berlebih, suatu sikap kekanak-kanakan. Ya, sebagian orang. Sebagian orang yang belum berani mengambil resiko untuk menggali potensi lebih di dalam dirinya. Menurut gue, seseorang akan mati saat mereka berhenti bermimpi. Hidup terkekang rutinitas, menjalani ala kadarnya, dan menanti mati di ujung jalan.

Harapan di tahun ini tidak muluk-muluk. Gue berharap bisa menjalani langkah demi langkah untuk dapat mewujudkan mimpi menjadi nyata. Menikmati proses-proses yang harus dijalani, walaupun hanya sebesar langkah kaki bayi.

... untuk menjadi kuat dan bermanfaat


You may say 
I'm a dreamer, but I'm not the only one
(John Lennon - Imagine)






mari kita lanjut...

Rabu, Agustus 01, 2012

Review Batman : The Dark Knight Rises

Hari Sabtu kemarin akhirnya gue kesampean juga nonton The Dark Knight Rises (TDKR) di Setiabudi One. Sebuah film yang sangat ditunggu-tunggu, mengingat sukses film sebelumnya, The Dark Knight (TDK), yang mengusung Joker sebagai musuh Batman. Karakter Joker bahkan bisa dibilang lebih kuat dibandingkan Batman itu sendiri. Prinsip, pemikiran, dan kegilaan dia dijelaskan dengan detil, sampai-sampai terjadi tragedi penembakan pada pemutaran perdana TDKR di Colorado yang pelakunya diduga dipengaruhi oleh karakter Joker dan berusaha menampilkan tokoh tersebut di dunia nyata.

Tentu saja dengan kualitas film pendahulu dan fakta bahwa sekuel tetap digawangi Christoper Nolan, ekspektasi gue akan TDKR sangat tinggi. Apalagi kalau dilihat dari trailer maupun teaser yang keluar, sepertinya film TDKR dapat menjadi sebuah penutup yang kolosal untuk franchise Batman versi Nolan.

Sebagai penikmat film, gue mau mencoba menulis review seadanya tentang TDKR. Dipandang dari seberapa terbiusnya gue saat menonton film tersebut tanpa muncul pertanyaan-pertanyaan dan pikiran yang mengganggu saat menonton film. Untuk kualitas, sudut pengambilan, atau hal-hal sinematografi lainnya, gue serahkan pada ahli-ahli dunia perfilman untuk mengkritisi hal tersebut.

README:

Disclaimer :
Review ini sarat spoiler. Jadi untuk yang belum nonton film ini diharapkan jangan dulu membaca agar uang yang dikeluarkan untuk nonton di bioskop, bandwith yang dipakai untuk download, atau duit yang dipakai untuk beli DVD bajakan, tidak terbuang sia-sia.


TDKR mengusung Bane sebagai musuhnya, karakter yang pertama kali muncul pada komik Batman : Vengeance Of Bane #1 yang dirilis pada Januari 1993. Sebelum di TDKR, Bane juga pernah muncul pada Batman & Robin (1997) sebagai anak buah Mr. Freeze. Bane pada film tersebut digambarkan hanya berfungsi sebagai senjata tidak berotak dengan mengandalkan fisik yang besar (segede gunung Merbabu) dan kekuatan yang melebihi kuli belerang Kawah Ijen.

Pada film TDKR, Bane berperan sebagai otak kejahatan yang berusaha menghancurkan Gotham dari bawah tanah, memanfaatkan hilangnya Batman yang telah menjadi musuh publik #1 karena dituduh sebagai pembunuh Harvey Dent (lihat TDK). Rencana dimulai saat Dagget, yang dimanfaatkan Bane sebagai sumber dana, memerintahkan Catwoman yang sexy, cakep, semlohei, bohai, suit suitt wohooo.... ups, maafkan saya karena hilang kontrol, untuk mengambil sidik jari Bruce Wayne.


Puasa dilarang masuk:

sedikit intermezzo


Pergerakan Bane dimulai setelah sidik jari tersebut didapat. Dia mengacak-acak Wall Street, melakukan transaksi-entah-apalah-itu yang pada intinya membuat Bruce Wayne bangkrut dengan memanfaatkan sidik jari yang telah didapat sebelumnya. Pada saat mau kabur, tiba-tiba Batman mendadak muncul dari sarangnya, menggunakan motor canggih yang menjadi trendsetter penggunaan ban besar pada motor bebek di Indonesia.

Singkat kata karena Batman muncul, polisi-nya jadi galau. Yang tadinya ngejar Bane malah jadinya ngejar Batman. Padahal udah jelas Bane sedang berusaha kabur setelah ngacak-acak Wall Street. Tampaknya pemikiran Polisi Gotham begitu bodoh sehingga semua polisi dipakai untuk mengejar Batman tanpa mempedulikan suatu kejahatan yang sedang berlansung. Bane akhirnya bisa melenggang cantik, kabur menuju tempat persembunyiannya.

Skip, skip, skip, Batman berhasil dijebak Bane dan digebukin sampai topengnya hancur berantakan. Setelah itu, cara eksekusi Bane untuk Batman terlihat sangat aneh. Ketimbang langsung membunuh Batman, dia lebih memilih mengasingkan Batman di penjara tempat dia dulu dengan sel yang tidak dikunci, rute kabur yang jelas, dan seorang dokter ahli tulang. Motif Bane menempatkan Batman disini tidak jelas, apakah mau mengasingkan atau justru melatih Batman.

Saat Batman / Bruce Wayne diasingkan di penjara-entah-dimana itu, Bane sukses mengobrak-abrik kota Gotham. Yang pasti, sebelum mengobrak-abrik dia sempat narsis dulu mejeng di stadion Football sama di depan penjara. Ngebacot mau mengembalikan pemerintahan di tangan rakyat. Well, sebuah orasi yang tidak sesuai karena pada akhirnya Bane juga yang berkuasa, bukan rakyat. Semua polisi dijebak di dalam gorong-gorong. Yang gue maksud semua itu... SEMUA polisi satu kota ada di dalam gorong-gorong. Jenius. Adalagi pengadilan rakyat yang dipimpin Scarecrow. Hmm. Intinya Bane ini mau bikin Gotham tanpa hukum atau menciptakan hukum sendiri? Entahlah.

Selain membuat kacau Gotham, Bane juga merebut senjata-senjata Batman. Batmobile versi tank yang ada di Batman Begins sampai TDK direbut dan dipakai sebagai mobil patroli kota. Yang mengejutkan, penduduk Gotham tidak sadar juga kalau Bruce Wayne adalah Batman, padahal itu mobil jelas-jelas yang dipakai dia saat ngelawan Joker ataupun Scarecrow. Bahkan komisaris Gordon yang ikut bertempur bareng Batman tidak sadar. Yah, ini menggambarkan tingkat intelegensi polisi Gotham yang semuanya terjebak di dalam gorong-gorong. Komisaris nya aja begitu, apalagi anak buahnya.

Apa kabar si Batman? Ternyata dia semakin kuat di penjara, baik secara fisik maupun mental. Tentu saja begitu sudah siap, dia langsung ngacir keluar dari penjara. Cara keluarnya juga udah dikasih tau sama Bane, tinggal manjat dinding yang bentuknya melingkar seperti sumur. Hap hap hap, Bruce Wayne pun keluar. Dan hap hap hap, sudah sampai Gotham. Naik apa? Mungkin dia bertemu Doraemon dan meminjam Pintu Kemana Saja. Mungkin juga dia ketemu Superman dan minta dianterin. Mungkin juga... Ah, terlalu banyak kemungkinan itu. Namanya juga orang kaya.

Begitu sampai Gotham, Batman mulai beraksi. Tentu saja sebelum meringkus Bane, dia harus mengumumkan keadatangannya. Itu lebih seru dibanding dateng diam-diam dan langsung menjinakkan bom yang diaktifkan Bane untuk menghancurkan seisi kota Gotham. Logika menarik untuk seseorang yang (biasanya) beraksi di kegelapan. Canggihnya lagi, setelah memanjat dinding penjara dan berangkat ke kota Gotham, Batman sempet-sempetnya ngolesin bensin, minyak tanah, atau apapun cairan yang mudah terbakar ke sebuah gedung. Membentuk lambang Batman dari api, segede Nunung Srimulat.

Puas pamer lambang, Batman lanjut ke kota dan berantem ala anak STM dengan Bane. Disinilah semuanya terkuak. Ternyata Bane cuma alat. Semua rencana-rencana itu bukan dia yang bikin. Itu dibikin oleh anak cewek nya Ras Al Ghul dan Bane rela melakukan itu semua karena dia cinta sama dia. Bah! Ibarat dijebak nonton Twilight.

Dari semua kelebihan dan kekurangan, figur penjahat itu lah yang terlihat paling mengganggu. Seorang pria yang digambarkan kuat, tangguh, dan kejam ternyata seseorang yang lemah lembut yang rela melakukan apa saja untuk pujaan hati-nya. Atau mungkin juga dia kurang beruntung karena hadir setelah Joker, yang berbuat kejahatan hanya karena dia senang keadaan chaos, tanpa dipengaruhi ideologi apapun dan dikendalikan oleh siapapun. Joker juga tidak berniat membunuh Batman karena, "Too much fun to die."

Yah, mungkin salah gue juga menetapkan standar lebih untuk film Nolan yang satu ini. Seharusnya sebelum nonton gue cukup menetapkan standar film action Jason Statham dan berkata, "Why so serious?"


mari kita lanjut...

Kamis, April 12, 2012

Belalang

Ilmu itu seperti lautan. Sebanyak apapun gue mengambilnya, ilmu tidak akan pernah ada habisnya. Di usia muda, saat daya tangkap gue masih tokcer dan waktu masih cukup banyak tersedia, gue memutuskan untuk menambah kompetensi, melanjutkan kuliah ke strata 2.

Proses pencarian universitas yang kredibel dan bisa (bayar) kredit dimulai. Ada universitas yang dibilang nomer satu di Indonesia, tapi biaya kuliahnya selangit. Gak kuat. Ada juga universitas yang memperlakukan kuliah seperti kursus jahit menjahit, 6 bulan bisa dapet gelar, lewat dari waktunya-uang kembali. Usut punya usut, dengar mendengar, dan maaaf memaafkan, pilihan gue jatuh ke Universitas Trisakti (UT). Dari segi biaya tidak terlalu menguras kantong, syarat-syarat yang tidak ribet, dan jadwal kuliah fleksibel.

Untuk bisa masuk ke UT, gue harus menjalani beberapa macam tes terlebih dahulu. Mulai dari tes tertulis Bahasa Inggris, Ekonomi, Matematika, Statistika, dll. sampai dengan tes wawancara dengan dosen. Sialnya, gue gak lulus tes Matematika sehingga diwajibkan untuk ikut kelas matrikulasi, semacam kelas pendalaman untuk orang-orang yang nilai-nya masih kurang.

Sebenernya tes-nya gak begitu susah, statistika aja gue bisa lolos dengan sukses. Padahal pas ngambil kuliah statistika dulu, pengetahuan gue cuma mean, median, modus, dan melirik jawaban teman. Khusus matematika, ada satu soal yang menimbulkan rasa greget di hati sanubari birahi. Soal-nya seperti :

Saat istirahat sekolah, Amir mendorong tembok. Apa yang dirasakan Amir?

Tentu saja pertanyaan ini menggelitik rasa kemanusiaan gue. Normalnya, seorang anak yang istirahat sekolah itu biasanya jajan ke kantin, maen gerobak sodor, atau bercengkrama dengan teman-temannya yang lain. Tapi lihat apa yang dilakukan Amir? Dia mendorong tembok. Sendirian.

"Tembok, cuma kamu yang mau dengerin aku..."


Analisis gue, Amir adalah seorang anak yang selalu di bully di sekolahnya. Celananya dipelorotin, duitnya dipalakin, dan disuruh ngangkatin tas. Tidak ada satu orang pun yang berani berteman dengannya, karena takut menjadi sasaran bullying anak-anak lain. Dia hanya bersosialisasi dengan benda mati dan menganggap tembok sebagai teman baiknya. Menurut gue perasaan Amir : Tercabik-cabik. Lihat betapa sedihnya wajah si Amir. Dia adalah anak yang butuh pertolongan, bukan dibikinin soal.

Soal tes masuk UT mirip-mirip dengan pemaparan di atas, bentuknya kurang lebih seperti ini :

Ada 5 orang : Rudi-Andi-Susi-Jaelani-Nisa

Mereka ingin memarkirkan mobil mereka, dengan syarat :
* Susi tidak mau di sebelah Nisa
* Jaelani hanya mau parkir di urutan ke-3
* Andi hanya mau parkir di sebelah Susi
* Rudi mau dimana saja, asal bukan di akhir
* Nisa hanya mau di urutan pertama dan tidak mau di sebelah Andi atau Susi

Ini menggambarkan sebuah hubungan persahabatan yang sangat tidak harmonis. Terjadi keretakan dan friksi di antara mereka. Andi dulu pernah pacaran dengan Nisa tetapi selingkuh dengan Susi. Jaelani seorang paranoid, selalu mau terlindungi oleh orang lain. Rudi merupakan orang ambisius yang tidak ingin menjadi yang terakhir dalam kondisi apapun, dimanapun, kapanpun.

Kemudian saat susunan parkir tertata rapi dan sesuai dengan keinginan masing-masing, tiba-tiba Nisa mau deket-deket sama Rudi, Susi selingkuh sama Jaelani dan mereka berdua gak mau deket-deket Andi, sedangkan Rudi pusing dengan cekcok yang terjadi sehingga dia cuma mau di paling akhir. Pelik sekali permasalahan mereka.

Kalau saja gue jadi tukang parkir yang disuruh menghadapi keadaan seperti itu, gue bakal berangkat ke Korea Utara, beli bom nuklir, naikin ke pesawat B2 Stealth Bomber, dan menjatuhkan bom tersebut tepat di muka mereka tepat setelah gue berteriak, “LO MAMAM INI BOM!” Niscaya dunia akan kembali aman, tentram, dan damai.

Dan dunia pun kembali tersenyum

Saat imajinasi gue mengutuk kelima orang tersebut, waktu semakin habis dan kandas. Masih banyak soal-soal lain yang belum terjawab dengan baik. Pada akhirnya gue bisa mengandalkan jurus rahasia yang telah lama tak terpakai. Jurus yang sangat efektif bila dipakai saat menghadapi soal-soal pilihan berganda. Jurus yang mengantarkan saya masuk SMA 68 dan Administrasi Fiskal. Mantra dari jurus tersebut adalah :

Cap cip cup gerabang kuncup
Kuda lari di atas genteng
Mak lampir pake baju rombeng
Cap cip cup

Hasilnya, gue harus ikut kelas matrikulasi Matematika. Jelas. Karena hampir 80% jawaban soal didapat dari jurus rahasia yang telah diwariskan secara turun temurun oleh penduduk sekitar Gunung Nancep tersebut. Imbasnya, gue harus merogoh kocek sedikit lebih banyak dan harus berkorban waktu 1 bulan untuk mengikuti kelas matrikulasi.

***
Gue dateng telat saat hari pertama kelas matrikulasi. Sialnya, saat baru sampai di kelas sehabis lari-larian naik busway dan masih dalam tahap mengatur napas, dosen pengajar sudah nanya, “(a-b)(a-b)(a-b) berapa?”

Respon maksimal yang bisa diberikan saat keadaan itu hanyalah,”Eeehhh...”

Tanpa rasa iba, tenggang rasa, dan gotong royong, dosen mencecar pertanyaan selanjutnya, “SMP kemana aja? Kalau segitiga Pascal tau?”

Otak gue sudah berteriak-teriak, “Mantan bek Arsenal!” Tapi tentu saja bukan itu jawaban yang diinginkan dosen. Pertama, ini bukan kelas Penjaskes. Kedua, setau gue Pascal Cygan enggak pernah nerbitin buku matematika apapun, walaupun kepalanya botak. Ketiga, pandangan dosen yang intimidatif membuat gue kembali bersuara, “Eeehhhh...”

“Makanya kamu ikut matrikulasi,” kata Bapak dosen sambil ngeloyor pergi. Buyar sudah niat gue menjadi seseorang yang berwibawa di tempat yang baru. Kalau begini caranya, sama padang sama belalang namanya. Tidak apa-apa, penampilan boleh sama tapi tidak dengan kemampuan. Semoga bisa menjadi belalang yang dapat meloncat lebih tinggi dari belalang-belalang lainnya.

Semoga keputusan yang diambil ini akan jadi fondasi yang kokoh untuk kehidupan di masa mendatang.



mari kita lanjut...

Selasa, Januari 10, 2012

Yellow New Year

Hutan rimba jalan Pantura tengah telah dilewati. Kita semua sepakat untuk berhenti di pom bensin untuk ngeregangin kaki dan buang muatan. Jam menunjukkan pukul 03.40, berarti udah hampir 8 jam gue nyetir. Mata udah kriyep-kriyep, tangan gemeteran, terpaksa terjadi pergantian supir, daripada nantinya gue khilaf nabrak kaki genderuwo. Pengalaman gue yang sekarang belum cukup untuk jadi supir AKAP. Oleh karena itu kendali mobil diserahkan kepada Heru, sang tuan rumah.

“30 menit lagi nyampe ini. Kita lewat jalan pintas,” kata dia sambil membelokkan mobil ke arah kanan, di suatu persimpangan jalan. Kita melewati sawah-sawah dan jalanan ½ kali lebih sempit, hanya muat untuk dua mobil saja. Berliku-liku kita menyusuri jalan itu. Keadaan gelap total dan di setiap tikungan gue berharap-harap cemas bakal ada tuyul ngagetin kayak di film Jelangkung yang pertama. Udah gitu di keadaan seperti ini Tatak, yang semobil dengan gue, tiba-tiba nafsu pengen cerita setan yang pernah ngikutin Gimbal dari Mekdi Salemba. Sialan. Ditambah lagi karena keadaan menjelang Subuh, terkadang ada Ibu-ibu yang mau sholat ke Musholla setempat, berjalan memakai mukenah. Untung aja kita gak bawa satpam. Kalau bawa, itu ibu-ibu udah ditendang pake sepatu boots.

“Nah, sampe!” sahut Heru begitu sampai di pemandian Air Panas Sankanurip, tempat persinggahan pertama kita. Tak terasa sudah 1 ½ jam sejak Heru bilang kalo perjalanan tinggal 30 menit lagi. Ternyata estimasi waktu dan jarak orang Sunda dan Jawa gak jauh berbeda. Dulu pas liburan ke Jogja gue pernah nanya arah museum Ullen Sentalu, “Oh, deket itu. Tinggal jalan lurus, 15 menit lagi” sembari nunjuk pake jempol. Begitu gue ikutin, hampir sejam jalan, itu museum gak ketemu-ketemu. Besokannya begitu kita balik kesana, dari titik tempat gue nanya ke museum itu ternyata emang cuma 15 menit. Bapak itu tidak salah. Hanya saja dia lupa menambahkan, “… kalo naik mobil.”

Pemandian air panas Sankanurip memiliki dua jenis kolam. Kolam pertama bebas dipakai publik, siapa saja boleh masuk asal membayar uang masuk sebesar 8.000. Kolam kedua adalah Kolam Executive, berupa ruangan tertutup yang hanya memuat 4-5 orang per kamar. Kita jelas memilih kolam umum. Untuk apa bayar 30 ribu cuma buat nikmatin air panas? Lagian kalo denger cerita tentang penggunaan ruangan itu, gue ngeri kepeleset karena lantainya licin terkena lendir.

Kolam umum ini terdiri dari tiga kolam. Kolam air dingin yang besar dan ada perosotannya, kolam air panas yang kecil, dan kolam air panas yang besar. Di kolam kecil, gue bisa menikmati nyamannya merendam kaki yang pegel-pegel karena nyetir di air panas. Asli, segernya luar biasa. Segala macam pegel seperti dihisap keluar. Nyaman sekali rasanya. Puas berendem di kolam kecil, gue menuju ke kolam besar yang baru selesai dikuras. Karena air belum terisi penuh, gue bisa memanfaatkan titik-titik pancuran untuk mijet punggung dan kepala. Benar-benar relaksasi yang menyenangkan.

yang item dipojok kanan atas itu sama sekali bukan penampakan

Selesai rendam merendam, kita sowan dulu ke rumah Heru untuk sarapan. Kita semua langsung kalap. 8 jam lebih di perjalanan membuat rasa lapar sangat memuncak. Kemudian seselesainya makan, kita turun ke kota Kuningan, kita turun ke rumah Heru lainnya (rumah Heru dimana-mana), tempat dimana kita menginap. Setelah itu molor. Perut kenyang, badan pun rileks.


Sekitar jam 2 siang kita balik ke rumah Heru yang pertama, mau ketemu nyokapnya. Basa basi ngalor ngidul sebentar, jam 4-an kita cabut ke gunung Ciremai. Di gunung Ciremai ini, sudah banyak orang yang berkemah. Sepertinya mereka ingin merayakan tahun baru di tengah hutan. Mau ikutan mereka, kita gak ada persiapan. Masak bangun tenda pake plastik Indomaret? Gak mungkin. Tujuan kita kemari bukan untuk ikut-ikutan kemah, tapi mau ke curug.
Di jalan menuju Curug, gue menemukan tenda yang mencurigakan. Dari dalam terdengar suara mendesah. Untung aja Ibu gue selalu mengajarkan untuk berpikir positif. Kalau enggak, tenda itu bakal gue tebalikin dan bikin 3GP berjudul ‘Birahi Ciremai’. Tapi tentu saja gue gak boleh suhudzon, mungkin aja mereka lagi pesta Maicih atau lagi nge-jus cabe rawit.


sudah jelas 'DILARANG MESUM', kenapa harus suhudzon?

Ternyata di Curug pun udah ada dua pasangan lagi foto-foto genit macam pre wed. Cowoknya meluk dari belakang, pala ceweknya mencong ke belakang sambil megang rambut. Berasa Anang - Ashanti, KD - Raul Lemos, Raffi - Yuni, atau bahkan Sarah Azhari - Pelatih Filipina. Yang satu duduk di pinggiran, saling menyender. Begitu ceweknya keilangan keseimbangan, cowoknya panik dan memegang tangan si cewek. Setelah itu mereka cekikikan. Dunia serasa milik ber empat, yang lain cuma numpang naik diatas atep.

Pada saat itu keadaan cuaca sedang mendung dan sisa-sisa rintik hujan masih cukup deras turun ke bumi. Udara disitu aja udah dingin, apalagi air curug. Pada awalnya kita semua gak mau masuk ke dalam air. Takut hypothermia. Setelah sampai disana, entah kenapa kita begitu tergoda melihat jernihnya air. Dimulai dari Aan, satu persatu dari kita masuk ke kolam dan mendekati air terjun. Persetan dengan hypothermia. Begitu masuk ke dalem air, kaki serasa membeku. Masuk setengah badan, dinginnya makin gak keruan. Apalagi saat mendekati air terjun, badan serasa ditusuk-tusuk jarum. Menggigil kedinginan.



Lama kelamaan, badan mulai menyesuaikan diri dengan suhu air. Gue bisa pelan-pelan keliling kolam walaupun hanya setengah badan. Dari pinggiran kolam, datang serombongan alay sekitar, dengan rambut seperti Neymar salah cat, yang pengen ikutan nyemplung. Ngeliat kita yang jalan di kolam seperti biasa saja, mereka sok-sokan loncat indah ke dalem kolam dengan hanya memakai celana pendek. Seperti kucing ditendang ke comberan, mereka langsung panik begitu ngerasain dinginnya air. Walhasil mereka jongkok di pinggiran sambil menggigil kedinginan. Selepas berenang, kita kembali ke Kota untuk istirahat sebentar, nyimpen tenaga untuk begadang nanti malem.


***

Pukul 20:00 kita cabut lagi dari rumah. Mau makan malem di RM Ulah Lali. Menu malam itu adalah : Sate kambing, tunjang sapi, gulai, dan sop kambing. Tinggal tambah duren, panadol, dan bir bintang, niscaya kepala kita akan meledak. Malam itu bener-bener pesta kolesterol. Sekitar 60 sate kambing dan 20 sate ayam ludes termakan. Sate-nya empuk dan gurih. Apalagi ditambah kuah gulai dan sop, makan malam itu terasa begitu sedap di lidah. Perut sudah kenyang, saatnya tahun baruan!

Pada awalnya Heru ngajakin kita ke lapangan Mas’ud karena ada panggung disana. Harapan gue, panggung dangdut cengdoleng-doleng. Ada penyanyi semok dengan bapak-bapak mabok yang jogetnya kayak gak punya tulang. Taunya yang ada disana Semut Band yang bawain lagu Metallica. Bah. Giliran ngarepin lagu metal, munculnya dangdut. Giliran ngarep dangdut, munculnya metal. Yang mengherankan, begitu lagu berubah menjadi Wali, penonton malah lebih gencar ber-moshing, sampai-sampai harus disemprotin air melalui mobil pemadam kebakaran.

KRONOLOGIS PER LIRIK :

[Ibu bapak punya anak] Mereka loncat-loncatan
[Siapa yang punya anak] Penonton merangsek ke bibir panggung
[Bilang aku aku yang telah malu] Mulai moshing dan banyak alay digendong sambil joget-joget
[Sama teman-temanku] Blangwir mulai nyemprotin muatannya
[Karena cuma diriku yang tak laku laku] Mereka terlihat semakin senang. Mungkin karena emang jarang mandi.

Susasana sangat ramai sekali. Motor dimana-mana. Di jalanan, trotoar, pot kembang, dan lapangan. Cuma di langit aja yang steril dari motor. Semoga aja gak ada varian motor terbang dalam waktu dekat ini. Dandanan mereka pun bermacam-macam. Ada yang pake kaos yang sobek-sobek punggungnya, celana hot pants yang nyaris seperti kolor pants, dan dempul yang tebalnya bisa menutupi lubang idung. Kita sendiri merasa gak nyaman di tempat itu. Terlalu ramai. Oleh karena itu kita cabut ke alun-alun yang letaknya sangat dekat dari rumah Heru. Jauh-jauh ke Mas’ud, nyampenya di deket rumah juga. Mending sih, daripada masuk angin disemprot blangwir.

Alun-alun juga ramai dikunjungi masyarakat sekitar. Di pinggir jalan terlihat abang martabak yang sedang diintimidasi oleh pembelinya, saking bingungnya dia menghadapi pembeli yang begitu banyaknya. Di ujung alun-alun terdapat satu tempat yang bentuknya seperti Colloseum Roma. Di pinggirnya ada semacam ruangan berlampu pijar warna kuning dengan meja di dalamnya. Gue kira itu DJ, soalnya abang-abang di balik meja itu make topi dan kacamata item dengan tangan yang terlihat sibuk melakukan sesuatu di meja dengan kepala agak miring ke samping. Eh, taunya cuma tukang kopi dan ‘Naget’ yang lagi nyeduh Wedang Jahe.

Sebenarnya tidak ada acara apapun di tempat ini. Cuma ada orang-orang yang duduk berkeliling sambil ngobrol, pacaran, nyanyi-nyanyi, dan sesekali nyalain kembang api. Dan bagi orang-orang yang nyalain petasan, mereka bisa jadi selebritis selama 3 menit atau lebih, tergantung kembang api tersebut. Begitu petasan dinyalain, masyarakat sekitar langsung heboh teriak-teriak dan begitu habis, mereka sontak tepuk tangan. Seperti nonton Cirque du Soleil saja.

artis 3 menit


Kita sendiri nyanyi-nyanyi sambil main gitar Karolina kesayangan gue. Dari lagu Rock sampe lagu galau pungkas kita bawakan. Sesekali bartender yang berbentuk mas-mas bertopi hitam lewat mengantarkan Kopi Luwak, campuran biji kopi sama boker luwak. Yang pacaran terlihat asik berpelukan menatap langit, sambil sesekali cekikikan asik sendiri. Gue gak ngerti mereka liat apa. Ada juga yang cuma duduk bengong sendirian sambil lempar-lemparin petasan korek. Mungkin petasan korek itu dia analogikan sebagai masalah dia di tahun 2011, "Utang belom lunas, cewek selingkuh, jemuran diembat maling, pantat panuan, meledak lo semua!!"



Heboh. Itulah yang gue rasakan saat merayakan tahun baru di daerah yang sangat jauh dari rumah, dibawah mandian hujan mesiu, dikelilingi teman-teman, dan berada ditengah lingkungan yang benar-benar baru. Perjalanan kali ini menawarkan suatu hal yang baru dalam hidup gue. Akhirnya gue bisa merasakan jalur pantura dan perjalanan kali ini adalah yang terpanjang selama gue bisa bawa mobil.

Tahun baru, pengalaman baru, dan semoga segala macam hal baru lainnya akan muncul di tahun 2012 ini.


NB:
Berkaca dari film 2012. John Cusack menginspirasi gue untuk belajar nerbangin pesawat tahun ini. Let’s play Flight Simulator.



HAPPY NEW YEAR!
mari kita lanjut...

Kamis, Januari 05, 2012

Pantura Tengah

Jalan gelap yang berliku-liku, tak tampak apapun di samping kiri dan kanan jalan. Satu-satunya sumber penerangan jalan hanyalah lampu depan mobil yang terangnya tak seberapa. Sesekali gue menyalakan lampu jauh dan terkejut karena tiba-tiba jalanan membelok tajam, jembatan, komplek kuburan, atau motor bernyawa tujuh belas yang tidak memakai lampu di daerah yang sangat gelap seperti itu. Jalan yang disebut jalan tengah Pantura.

Kira-kira selama 3 tahun ke belakang, gue selalu menghabiskan malam tahun baru bersama teman-teman kuliah. Dua kali di rumah Jihan dan satu kali di Taman Menteng. Untuk tahun ini, kita mengalami kebingungan untuk pergi kemana. Rencana tahun kemarin sih, kita berniat mau ke Monas atau Ancol. Namun membayangkan kerumunan orang yang bergumul disana membuat kami malas. Apalagi setelah ngeliat berita bahwa diperkirakan bakal ada 300.000 orang menuju dua tempat itu. Apa enaknya ngerayain tahun baru sambil rebutan tempat dan napas kayak begitu? Sudah cukup lah sehari-hari di busway.

Seminggu sebelum tahun baru, seorang pria arab bernama Ojan melontarkan wacana untuk tahun baruan di Kuningan, kampung halamannya Heru. Ternyata usul itu disambut baik oleh warga ADM 2005 dan setelah dikumpul-kumpul, ada 16 orang yang berminat ikut dengan 3 mobil yang ada.

Manusia berencana, Tuhan yang memutuskan. Dari 3 mobil itu, 2 mobil mendadak labil. Livina item kebanggaan gue bonyok kena tabrak batu oleh abang gue dan asuransinya belum diperpanjang. Mobil Baleno punya Heru mesinnya bermasalah. Untuk anggotanya, satu persatu bertumbangan. Ada yang kecapekan, ada yang kompak nemenin pacarnya yang kecapekan, ada yang ikut pelantikan pencinta alam, dan berbagai macam alasan lainnya.

Setelah dilakukan rekapitulasi ulang pada H-1 sebelum keberangkatan, akhirnya terbentuklah satu rombongan yang terdiri dari 10 orang dengan memakai mobil gue dan Gimbal. Ternyata bonyok yang dialami mobil gue gak seberapa parah dan perpanjangan asuransi-nya sudah dalam proses, sehingga saat gue berada di perjalanan asuransi udah meng-kover semua kejadian yang (jangan sampai) terjadi. Kuningan, kami datang!

Seperti biasa, janjian udah dibikin secepat mungkin di Mekdi Salemba, 19:00 WIB. Tetep aja makenya WITA. Walhasil, jam 9 malem baru berangkat. Itu pun kita masih berhenti di rest area tol Cikampek untuk nunggu rombongan mobil Gimbal yang ngejemput Heru di Bekasi. Ditambah ngobrol-ngobrol dan nonton Transformers di Torabika Café, jam setengah 11 kita baru bener-bener berangkat ke Kuningan.

Sesampainya di gerbang tol Cikampek, keadaan udah sangat macet. Bahkan 3 dari 4 jalur yang ada dipakai untuk kendaraan yang menuju gerbang tol Cikampek. Udah gitu masih ada aja orang yang nekat make jalur ke-4. Edun. Karena orang-orang sableng macam itulah kemacetan terjadi, masing-masing orang sibuk rebutan jalur. Jarak yang seharusnya dapat ditempuh dalam waktu 5 menit bertambah menjadi 30 menit, imbas dari kemacetan panjang.

Pada perjalanan ke Kuningan sebelumnya, begitu keluar dari gerbang tol Cikampek gue belok ke kiri, lewat jalur Pantura yang terkenal akan karaoke Nur Hasanah 1, 2, dan 3. Sebuah tempat karaoke dengan nama pesantren. Kali ini gue diarahkan Heru ke kanan, “Lewat jalur tengah Pantura kan, hutan. Pantura pasti macet panjang. Gue pernah 8 jam nyampe Kuningan pas keadaan kayak gini” sahut Haru dengan logat Sunda-Kuningan kental yang memakai qolqolah untuk huruf ‘H’ dan ‘K’. Begitu belok kanan, hanyalah gelap yang terlihat. Gelap, gelap, dan gelap. Seperti kata Efek Rumah Kaca : Gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang (ERK-Sebelah Mata).

Jalan tengah Pantura semakin lama semakin absurd. Ditambah dengan banyaknya bis yang sliweran dari arah sebaliknya, jalanan ini jadi semakin menantang dan berbahaya. Dari yang tadinya gue ngantuk di jalan tol, mendadak jadi seger begitu masuk jalan ini. Konsentrasi penuh agar tidak nyemplung ke pinggir jalan. Jalannya naik turun. Begitu turun dan nyalain lampu jauh, tiba-tiba jalanan mendadak belok 90 derajat. Bikin gue kelimpungan nyetir.

Karena jalan sudah semakin gelap dan sunyi. Gue memutuskan untuk nyari siaran radio. Siaran apapun lah yang masih bisa ditangkap, berhubung tempat CD gue hilang entah kemana. Muter-muter channel, radio malah ngangkep satu siaran yang isinya orang ngomel-ngomel pake bahasa Sunda dengan intonasi seperti lagi merapal mantra pemanggil setan. Kampret. Adalagi macam radio lawak dengan bahasa Sunda. Kayaknya sih kocak, penontonnya terdengar kayak lagi ketawa sampe usus dua belas jarinya keluar lewat idung. Tapi tetep aja, gak ngarti.

Muter-muter lagi, berhenti di 94.1 FM, siaran lagu dangdut. Cocok. Apalah artinya lewat Pantura tanpa denger radio dangdut. Nama radionya Lazuardi FM Karawang. Saat itu lagi ada acara Café Dangdut. Siarannya itu sangat asal-asalan. DJ-nya entah satu atau dua orang. Yang satu suaranya normal, satu lagi terdengar seperti Doraemon dan kerjaannya cuma nyeletuk gak penting make bahasa Sunda. Yang lebih ngeselin pada saat lagu dimulai tiba-tiba seenaknya aja dia motong, “HE HE HEE.. AU URANG BLA BLA BLA BLA” dengan nada bicara kayak orang mabok. Abis itu dia diem. Kemudian muncul satu intro yang berbeda dengan lagu sebelumnya. Kalau lagu sebelumnya dimulai dengan dentuman murahan, kali ini lagu dimulai dengan suara piano gothic yang terkesan kolosal. Cocok buat soundtrack Tutur Tinular Versi 2011.

Gue berharap akan muncul geraman kasar ala vokalis band Metalcore yang nyanyinya kayak orang buang tahak, menyanyikan lirik semacam, ”Munafik dusta ingkar arogan sombong angkuh takabur riya bakhil kikir iri dengki sirik curang hasad hasud fitnah khianat keparat !!!”. Kenyataannya muncul vokal wanita yang terdengar seperti diambang bunuh diri, “Sayaaaangg… Aku gak bisa booboo…Mata ini tak bisa kupejamkan.”

Sungguh keren. Seakan-akan mengucapkan, “Selamat datang di Karawang.”



mari kita lanjut...