Kamis, November 29, 2012

Hujan dan Pelangi

Pagi normal di hari yang normal. Selimut posesif, kasur empuk nan membuai, dan bantal yang seakan tidak rela melepaskan kepala dari dekapannya. Liukan angin AC menari cantik di atas badan, menahannya untuk tidak terbangun. Nikmat. Apalagi ditambah cuaca yang mendung-mendung mesum dengan sejumput sinar matahari yang  bersinar malu bak anak perawan  dilamar. Amboi rasanya. 

Suara handphone Blackberry tiba-tiba bersenandung. Dengan lantang dia membunyikan alarm, menyadarkan batas antara mimpi (Snooze) dan realita (Dismiss). Gue berhasil tersadar setelah enam kali Snooze. Itu pun karena inget kalau hari ini harus izin keluar kantor lebih awal karena mau ikut UTS di kampus. Singkat kata, sekitar jam 9 pagi gue udah duduk manis, lucu, dan menggemaskan di kantor. Padahal kalo lagi gak mau ijin, bisa jam 10 atau 11 sampenya.

Jadwal kerja gue hari ini adalah lapor pajak. Seperti biasa, tanggal 20 adalah hari sakral dalam proses pelaporan SPM PPh. Kalau saja lapornya lewat dari tanggal segitu, kantor akan dikirimi surat cinta dari Direktorat Jendral Pajak yang isinya kira-kira seperti ini :

Dear PT.X

Kamu udah lupa ya sama aku? Kamu kan janji untuk lapor kalau udah setor duit ke aku. Gimana cih!? Pokoknya kalau kayak gini caranya, aku sebel sama kamu!

Pokoknya kamu harus bayar denda Rp. 100.000,- biar aku mau maafin kamu. Kalau kamu gak bayar, aku bakal ambil semua barang-barang kamu!

Biarin, biar kamu tau rasa! Ih!

Ku yang selalu ada disampingmu,


KPP

Rencananya, setelah minta segala macem dokumen yang udah ditanda tangan oleh direktur perusahaan, gue langsung meluncur menuju kantor pajak untuk menyelesaikan proses lapor. Ada dua kantor pajak yang harus gue datengin, satu di Pancoran dan satu lagi di Tanah Abang. Tapi apa daya, maksud hati memeluk gunung tapi malah pipi merah digampar. Ternyata dari delapan dokumen yang diajukan, ada satu dokumen yang kelewatan belum ditanda tangan, sedangkan dia belum masuk ke kantor. Sial.

Ketimbang bengong di kantor nungguin si Bapak dateng tanpa menyelesaikan apapun, gue berinisiatif untuk nyelesain laporan pajak yang dokumennya sudah lengkap ditanda tangan. Kebetulan tempat melapornya deket, di Pancoran. Sehingga gue bisa menyelesaikan laporan tersebut dan langsung kembali ke kantor untuk mengambil dokumen yang tertinggal.

Menggunakan Metro Mini 640, gue berangkat ke Pancoran dari Gatot Subroto. Keadaan bis tidak lah terlalu ramai, masih ada beberapa bangku yang tersedia. Saat gue berjalan ke belakang dan memilih tempat duduk yang diinginkan, ada seorang Bapak-bapak gendut memperingati, "Jangan Mas, disini aja. Bangku itu basah" sambil mengarahkan gue untuk duduk di kursi paling belakang. Entah kenapa, gue nurut aja sama dia, padahal bangku yang gue pilih sebelumnya terlihat normal.

Tak beberapa lama setelah duduk, tiba-tiba ada Bapak-bapak berbaju coklat lusuh dengan paparan jenggot tidak terawat di wajah, berdiri dan mempromosikan pengobatan alternatifnya di daerah Cawang. Pertama-tama dia memijat kakek-kakek yang duduk di samping kiri gue, "Ini cuma tes Pak, gak bayar. Bener."

Setelah itu, dia beranjak ke gue. Sedari awal gue udah mencium gelagat buruk dari orang ini. Masalahnya gue dulu pernah ketemu orang yang sok-sok an ngambil duit recehannya sambil menggeser-geser kaki gue. Hasilnya, handphone Nokia 3310 gue hilang. Lenyap seperti asap. 

Saat dia memijat kaki dengan dalih percobaan, tangan gue ditepis saat mau menjaga handphone yang ada di dalam kantong celana. Kemudian dia menggoyang-goyangkan kaki dan meletakkan tangannya di betis dan paha gue.

"Gimana  Pak, enak kan?" kata dia sembari turun dari Metro Mini. Saat dia turun, secara reflek gue memegang kantong celana dan seperti yang sudah diduga, handphone gue lenyap. Sontak gue langsung lari keluar untuk mengejar dia. Pengen ngeluarin jurus John Cena dan mengawinkan bibirnya dengan aspal jalanan.

Saat gue lari, dari dalam Metro Mini terdengar teriakan, "Mas! Hape-nya ketinggalan!! Ada di bangku!!"

Mendengar teriakan itu, buru-buru gue balik ke Metro Mini. Sesampainya disana ternyata hape gue tergeletak tepat di samping kiri tempat tadi gue duduk. Kebingungan dengan kejadian tersebut, gue langsung ambil hape dan terduduk bengong di kursi. Di bagian paling depan, berdiri Bapak-bapak yang mengarahkan gue ke belakang. Memakai kemeja biru cerah dan peci putih, dia membagikan brosur pengobatan alternatif ke penumpang lainnya. Ternyata ada kampret lain di dalam bis.

"Jatoh kan Mas. Bukan dicopet," kata dia dari jauh sambil nyengir-nyengir pantat babon. Dia tidak berani mendekat ke arah gue. Modus mereka terbongkar. Kalau saja tadi gue gak sadar dan tetap duduk. Pasti si Bapak bertopeng peci itu bakal ke belakang untuk mengambil hasil usaha teman sebelumnya. Kampret. Mau lapor pajak malah hampir kecopetan. Karena males satu bis sama komplotan bajingan itu, gue langsung turun dan pindah ke bis lainnya.

Dua kejadian sial itu merupakan rentetan awal dari kejadian berikutnya.Sesampainya di kantor pajak antrian sudah menumpuk. Merupakan hal aneh bagi gue ngeliat kantor pajak yang ramenya mirip tempat pengungsian.

Sebelumnya, kantor pajak tempat gue melapor adalah kantor pajak Wajib Pajak Besar dan Perusahaan Masuk Bursa. Di dua kantor pajak tersebut, paling banyak gue nunggu 10 orang sebelum dapat giliran. Kali ini, gue musti nunggu lebih dari 100 orang. Nomor antrian yang sedang dilayani 186 sedangkan gue dapat nomor 369.

Sambil nunggu, setelah ambil nomor antrian gue langsung cabut ke Patra Jasa buat makan siang bareng temen kantor. Makan nasi goreng bebek yang porsinya selangit. Banyak bener. Cukup buat dibagi ke satu kelurahan, satu butir nasi per kepala keluarga. Kelar makan, rencananya gue kembali lagi ke kantor untuk beres-beres, lengkapin dokumen, berangkat ke kantor pajak, dan cus! Langsung ikutan UTS di kampus.

Sayangnya dokumen tersebut belum juga ditanda tangan karena si Bapak belum dateng juga. Selain itu, kertas nomor antriannya ilang. Kalau 1,5 jam yang lalu gue dapet nomor 369, apa kabar kalo gue ambil lagi sekarang?

Kepala mendadak pening seakan ingin meledak. Sial demi sial datang bertubi.

Sekitar jam 2, gue baru mulai dapet pencerahan. Untuk pelaporan pajak di kantor Pancoran gue bisa nitip ke kurir sedangkan untuk yang di Tanah Abang, dokumennya sudah ditandatangan. Berangkat lah gue ke Tanah Abang.

Seperti adegan film drama, India, atau Twilight, hujan mendramatisasi keadaan kalut yang sedang gue alami. Niatan untuk naik ojek pupus dan gue harus menunggu taksi selama 30 menit di bawah naungan rintik hujan. Untuk menambahkan bumbu cerita, gue dapat nomor antrian 392 di kantor pajak Tanah Abang. Yang dilayani? Deket kok. Nomor antrian 280.

Jam menunjukkan pukul 14.30, ada 100 orang lebih sebelum gue, dan pada pukul 17.30 gue harus ke kampus untuk mengikuti tujuan. Keadaan ini sungguh sempurna. Atau untuk menambah kesempurnaan, mungkin SBY harus datang dan berkata, "Saya prihatin..."

Tepat pukul 17.36 urusan di kantor pajak selesai. Langsung aja gue panggil ojek akamsi dan berangkat menuju kampus. Untungnya, kejadian sial itu tidak berlanjut lagi. Malah cenderung beruntung. Karena selepas ujian gue ditraktir makan sama temen kuliah dan saat naik Transjakarta bus-nya sepi. Kosong melompong. Walhasil gue bukan cuma bisa duduk di dalam bis. Mendirikan tenda atau  kota kecil pun bisa.

Hujan turun sebelum pelangi. So, nikmati hujan dan menarilah di atas pelangi. Kalau pelangi tak kunjung muncul? Menarilah di dalam hujan.



mari kita lanjut...