Jumat, Juni 28, 2013

Petarung Jalanan

Mayoritas orang Jakarta memiliki dua kepribadian yang berbeda. Gak percaya? Coba liat perbedaan sifat orang Jakarta pada saat melakukan kegiatan sehari-hari, bersosialisasi, dengan sifatnya saat sedang berkendara di jalan. Lumrah rasanya ngeliat orang yang sehari-harinya berututur kata lembut, santun, ramah tamah, gotong royong, tenggang rasa, dan mengadopsi nilai-nilai Pancasila seperti yang diajarkan pelajaran PPkn dalam kurikulum yang berbasis kompetensi menjadi beringas dan suka memaki apabila turun ke jalan.

Jalanan Jakarta seperti hutan belantara. Hukum rimba berlaku disana. Bis-bis sialan berbadan besar bisa dengan seenaknya belok kiri-kanan tanpa peduli keadaan sekitar. Apalagi kalau dia ketemu saingannya. Mereka bisa kebut-kebutan dan bahkan ada kejadian dimana tetangga gue meninggal karena jatuh dari Metromini karena dia langsung tancap gas sebelum almarhum menjejakkan kaki dengan sempurna.

Walaupun berbadan besar, sesungguhnya raja jalanan di Jakarta bukanlah bis. Raja jalanan sesungguhnya adalah kendaraan beroda dua dengan kemampuan mengemudi seadanya. Berkendara di jalan raya Jakarta menuntut kita untuk memiliki kemampuan mentalist untuk membaca pikiran masing-masing orang yang ada di depan, kanan, kiri, belakang, atas, dan bawah.

Pengendara motor di Jakarta, khususnya, dan Indonesia, umumnya, terdiri dari orang-orang yang bisa nyalain mesinnya, jalanin motornya, tapi gak ngerti rambu lalu lintas nya. Contohnya pengendara-pengendara yang belum cukup umur. Bocah-bocah baru lahir yang bahkan belum kering luka bekas sunatnya. Heran. Sebegitu berlebihnya kah penduduk Indonesia sehingga banyak orangtua rela melepas anaknya yang masih curut turun ke jalan. Entah ini teknik aborsi diluar kandungan atau gimana, saya tidak mengerti.

Yang namanya anak ABG, atau bahkan ABK (Anak Baru Kecil; Kategori baru untuk anak-anak yang baru bisa moved on dari empeng ), emosinya masih labil. Bawaanya pengen ngebut, ngeliuk sana ngeliuk sini. Apalagi kalau hari sebelumnya abis nonton Moto GP, imajinasi mereka pasti berharap teknik nyetirnya mirip Valentino Rossi. Walaupun pada akhirnya lebih mirip topeng monyet naik sepeda kayu. Pake topeng bayi, Topeng bayi nya dikasih iketan plastik. Jadinya bentuk mohawk.

Perilaku kebut-kebutan itu biasanya berlaku untuk anak-anak cowok. Kalo cewek, biasanya teknik nyetir mereka mengadopsi dari iklan Kijang jaman dulu. Beberapa orang bersatu padu di satu motor yang sama. Dandanan mereka biasanya homogen : Pake kaos, rambut pirang terjemur matahari, dan celana pendek yang lebih cocok masuk kategori kolor. Imbas dari banyaknya orang yang naik dan celana hot pants yang membuat kaki terjuntai, apalagi ditambah kulit mereka yang hitam eksotis, mereka terlihat seperti kecoak naik motor. Item, larinya kenceng, kakinya banyak.

Bukan bermaksud diskriminasi, tapi ada satu style mengemudi alami cewek (baik ABG, dewasa, atau emak-emak sekalipun). Mereka nyetir dengan menggunakan perasaan. Seperti pendapat yang beredar di khalayak ramai, pria adalah mahluk logika dan perempuan adalah makhluk perasa. Sifat dasar ini dibawa terus ke jalan sehingga mereka bisa saja nyetir di kiri tapi secara bertahap mencong ke kanan karena dia galau. Abis diputusin pacarnya yang selingkuh dengan pembantunya sendiri. Kalau misalnya dia nabrak, pasti dia bakal bilang, "Lo tuh gak ngerti perasaan gue!!!" sambil nangis jejeritan. Tak terasa dia lari ke tengah jalan dan tertabrak mobil. Akhirnya dia amnesia dan lupa kalo pacarnya selingkuh dengan pembantunya. Pacarnya senyum-senyum licik sambil kameranya di zoom in sampe 2,52 cm menjelang pori-pori muka. Oh, sinetron.

Pria, yang biasanya didominasi tukang ojek, jauh lebih logika saat turun ke jalan. Logika mereka adalah : Setiap jalan kosong bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Gak kosong pun bisa dimanfaatkan dengan alasan yang kuat yaitu : Puterannya jauh. Logika ini menyebabkan banyaknya contra flow di jalan raya Jakarta. Setiap jalan kosong, ada motor. Melawan arus? Sudah biasa. Beberapa ada yang suka menantang maut dengan melawan arus malam-malam tanpa menyalakan lampu. Mungkin dia terlalu menuruti kata-kata Mario Teguh untuk tidak melawan arus. Out of the box!

Iring-iringan motor juga memperkeruh suasana jalan yang memang terlanjur riuh. Bermodalkan spanduk vinyl dan tongkat lampu kerlap kerlip ala Giring Nidji mereka menguasai 3/4 jalanan. Berjalan lambat tanpa memperdulikan kemacetan di belakangnya. Aneh. BBM naik mereka ngomel. Gak naek malah diabisin buat keliling-keliling.

Motor-motor tersebut seakan imun hukum. Polisi lebih suka menangkap mobil mewah tanpa alasan yang jelas. Motor mau ngebut, ngelawan arus, jumpalitan, nyetir satu kaki, dan lain sebagainya dibiarkan saja. Mobil, selalu jadi anak tiri. Gue pernah kena cegat polisi karena masuk jalur 3 in 1 pada saat jam 'Blackberry' menunjukkan waktu 18:58. 2 menit yang menentukan rupanya. Sesungguhnya ada dua golongan orang yang imun hukum di jalan raya. Pertama golongan si kaya yang berjalan sombong dengan diiringi pasukan voreeder yang sibuk menghalau orang-orang dengan cara seakan-akan mau menabrak mereka. Kedua golongan si miskin yang berdalih mencari makan tanpa peduli hukum yang ada. Siapa yang jadi korban? Kaum menengah yang hanya manyun terpana.

Karena alasan itu lah warga Jakarta memiliki kepribadian ganda di jalan raya, hukum rimba berlaku disana, memangsa atau dimangsa. Sebuah hukum yang seharusnya tidak perlu berlaku apabila masing-masing orang sadar dan mau saling mengalah. Namun sayang, beberapa orang merasa waktunya lebih berharga ketimbang waktu orang lain. Atau waktunya di masa yang akan datang pantas untuk dipertaruhkan demi menghemat 60 detik di lampu merah. Menerjang gagah berani, seakan berani mati. Tetapi apabila kalah taruhan, tidak ada yang repot selain keluarga. Mereka lah yang tertegun berbalut duka.

Think.


mari kita lanjut...