Jumat, Desember 19, 2014

Bertamu ke Merbabu

2014 merupakan tahunnya travelling. Di penghujung tahun, tepatnya di bulan November 2014, catatan perjalanan gue bertambah lagi. Dimulai dari bulan Mei ke Gede, Agustus Papandayan & Dieng, September balik lagi ke Gede via Selabintana, Oktober Burangrang, dan November ke Cikuray. Capek, lelah, namun bermakna.

Pada tanggal 28 & 29 November 2014, gue melakukan perjalanan ke Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Sebuah perjalanan yang tidak direncanakan. Awalnya gue mau berangkat tanggal 25 Desember 2015 dengan menggunakan jasa travel. Namun apa ayal, tiket kereta untuk tanggal tersebut sudah ludes terjual. Bahkan sang travel pun nyerah, tiket kereta tidak bisa mereka dapat dan gue pun urung berangkat.

Angin ternyata tetap membawa gue ke Merbabu. Di satu pembicaraan santai saat jam kantor, tercetus ide dari temen gue untuk berangkat kesana. Susun menyusun rencana, Chuntel dan Wekas menjadi jalur pilihan kita untuk sampai ke Khenteng Songo, puncak tertinggi Merbabu (3.145 mdpl). Cari mencari tiket, akhirnya kita sepakat berangkat pada hari Kamis, 27 November 2014 dan pulang hari Sabtu, 29 November 2014 dengan menggunakan kereta kelas ekonomi. Murah meriah, gampang disiksa.

***

Hari-H keberangkatan, keraguan timbul dan peserta berkurang satu. Rencana awal kita mau berangkat ber-4, namun apa lacur, ada 1 orang yang mendadak punya urusan pribadi. Terlebih lagi, hanya dia lah yang paham cara mengarungi gunung Merbabu via jalur Chuntel. 

Rencana perjalanan langsung kita ubah. Mengingat jalur Chuntel cukup panjang dan berliku, sedangkan waktu perjalanan yang tersedia cukup sempit. Kemudian kita sepakat bahwa perjalanan kali kita hanya melaju melalui jalur Wekas saja. Jalur yang paling singkat diantara kedua jalur lainnya, Selo dan Chuntel. Jumlah pesertanya pun berkurang dari 4 menjadi 3.

Tepat pukul 2159 kereta Bogowonto yang kita tumpangi berangkat. Tas carrier sudah rapi ditaruh di kompartmen atas. Di depan gue ada serombongan laki-laki yang bercanda ribut, heboh, dan memusatkan olok-olok ke seseorang di depan gue. Seorang lelaki gemuk berkacamata yang memegang 3 gadget. Satu di tangan kanan, satu di tangan kiri, dan satu lagi diparkir di atas perutnya yang angkuh membusung. Kupingnya tersumpal rapat oleh earphone putih yang seakan menempel permanen di sana. Untuk dia, dunia seakan hanya sebesar 4 inch saja. Matanya tak pernah lepas dari layar plastik itu, terhipnotis oleh cahaya dan warna yang menyalak riang.

"Oi gendut!" teriak teman-temannya. Namun dia tetap bergeming.

Tak sabar, salah seorang temannya datang dan mencopot salah satu earphone di kupingnya.

"Yaelah! Di kereta masih aja nonton bokep lo!" teriak dia ke mas gemuk itu.

Edan. Lama perjalanan kereta dari Pasar Senen - Lempuyangan kurang lebih 8 jam. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di perjalanan sehingga dunia dan akhirat hanya dipisahkan oleh tangan terampil masinis. Pada saat seperti ini, seharusnya mas gemuk bermunajat ke Allah SWT dan memohon keselamatan perjalanan. Eh, malah nge-bokep. Mau memohon keselamatan ke Miyabi?

Seberkas benda hijau tiba-tiba bergerak dari atas kepala mas gemuk. Secepat peluru, benda tersebut bergerak mengikuti gravitasi. Benda itu, tak lain dan tak bukan, adalah carrier gue. Sebelum naik, sebenarnya gue sudah  mengikat carrier tersebut di besi-besi kompartmen agar tidak jatuh ke bawah. Namun apa yang terjadi sungguh diluar dugaan.

Carrier memang tidak jatuh kebawah akibat ikatan tersebut, namun dia malah berayun. Lebih tepatnya berayun ke kepala mas gemuk yang sedang nonton bokep. Bunyi benturan keras menyeruak ke koridor kereta, hasil gesekan antara tas carrier dan pipi mas gemuk. Tas carrier yang isinya 2 matras, 1 sleeping bag, 1 kamera, 1 gelas besi, 1 botol spirtus, 1 kompor, 2 panci, 3 baju, 1 scarf, 1 jaket, Astor, Sari Madu, dan Coki Coki dengan mesra menimpa pipi mas gemuk. Sunguh, kejadian ini sungguh pantas masuk headline majalah Hidayah : Kepala Seorang Pemuda Ditampar Tas Carrier 38L Karena Nonton Bokep di Kereta.


***

Hari Jumat, 28 November 2014 pukul 0615 kita sampai di Lempuyangan. Sekitar 0700 kita sudah bergerak dari stasiun dengan menggunakan mobil charteran, langsung menuju basecamp Wekas di Magelang.

Pukul 0900 kita sampai di basecamp Wekas. Namun tepat setelah kita selesai packing ulang barang-barang, hujan turun sederas-derasnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 1000 dan seharusnya pendakian sudah dimulai. 


Menu sebelum mendaki


Keadaan udara sangat dingin dan air hujan terlihat seperti bisa menembus pori-pori kulit. Terpaksa pendakian kita tunda sampai hujan mereda.

Ada sebuah kejadian unik pada saat kita menunggu hujan. Pukul 1145, muadzin mengumandangkan Adzan Dzuhur melalui TOA mesjid yang terletak tepat di depan basecamp. Hujan secara ajaib berhenti saat Adzan berkumandang dan langit berangsur cerah. Mengingat ada kewajiban untuk Sholat Jum'at, kita tetap tidak melanjutkan pendakian, walaupun langit terlihat sangat cerah dan menggoda.

Setelah sholat Jum'at, saat kita sudah selesai pakai sepatu dan memanggul tas masing-masing, hujan deras kembali turun. Walhasil pendakian kembali tertunda. Ternyata alam sekedar mengingatkan kita agar tidak melalaikan sholat Jum'at. Sebuah ajakan halus.

Pukul 1300, hujan deras berangsur menjadi rintik. Setelah memastikan sejenak, akhirnya kita memutuskan untuk memulai pendakian saat rintik hujan semakin halus.

Plang : Puncak 5 Km (JANGAN PERCAYA!) menjadi gapura selamat datang kami ke puncak Merbabu. Jalur awal pendakian adalah jalan desa yang sudah dilapis con blok dengan kemiringan yang cukup signifikan. Seketika gue langsung ngos-ngosan, tanda badan ngomel dan protes. Mereka seakan berkata, "Untuk apa capek-capek mendaki saat dirumah tersedia springbed empuk dan segelas coklat hangat?"

Bodo amat.

Perjalanan sempat terhenti di sebuah bedeng tempat penampungan jerami. Hujan deras kembali turun. Kita kembali berhenti dan mengeluarkan jas hujan masing-masing.  Kita sepakat melanjutkan perjalanan dengan menembus hujan.

Sekitar 15 menit jalan, kita sampai di pintu masuk jalur pendakian Merbabu. Ditandai oleh sebuah bangunan makam bercat kuning.

Jalur pendakian berubah kontur dari con blok menjadi tanah dengan tingkat kemiringan yang cenderung lebih landai ketimbang sebelumnya. Vegetasi jalur berupa pepohonan tinggi dan rerumputan hijau yang terlihat segar. Dikarenakan banyak nya jalur air, kita harus berhati-hati saat memilih jalan yang tepat. Kalau salah belok, kita bisa nyasar atau dipaksa menghadapi tanjakan curam yang jarang dilalui manusia.

Setelah berjalan sekitar 1 jam, kita sampai di pos 1. Sebuah pelataran kecil yang berisi beberapa batang pohon yang melintang dan dapat dipakai sebagai tempat duduk bagi para pendaki yang ingin beristirahat sejenak. Disini kita berhenti sejenak untuk melemaskan kaki yang cukup tegang dan kaku. Tak lupa kita menyantap Coki-Coki untuk mengisi tenaga.

Perjalanan kita lanjutkan menuju pos 2, kontur jalan berupa tanah lempung yang cukup licin saat dipijak. Di tengah perjalanan, kita bertemu dengan pendaki lain yang berasal dari Tangerang. Tim mereka terdiri dari 3 orang, namun pada saat itu kita hanya bertemu dengan 2 diantaranya. Satu lagi udah ngacir ke pos 2 untuk mendirikan tenda. Mulai saat itu, tim kita bergabung. Teman pendakian kita bertambah 3 orang.


Sekitar 2 jam perjalanan, kita sampai di pos 2. Pos ini sering dipakai camp oleh para pendaki karena terdapat mata air yang melimpah ruah. Selain itu, kontur pos yang datar beralaskan rumput memudahkan para pendaki untuk mendirikan tenda. Di sekeliling pos kita bisa melihat bukit-bukit Merbabu yang terlihat seperti kampung halaman Hobbit dan Teletubbies. Biasanya para pendaki bermalam disini dan melanjutkan perjalanan menuju puncak saat pagi-pagi buta. Jarak tempuh antara pos 2 dan puncak adalah sekitar 3 jam perjalanan.


Setelah berdiskusi sejenak, kita memutuskan untuk tidak camp di pos 2. Waktu masih menunjukkan pukul 1600 dan kita merasa tanggung untuk menghentikan perjalanan. Dalam hemat kita, lebih baik mendekati puncak dan sampai agak malam agar keesokan harinya tidak harus bangun terlalu pagi. Bahkan diatas gunung pun kita malas bangun pagi. Ha!

Pukul 1630 kita berangkat dari pos 2, melanjutkan perjalanan ke puncak Menara, salah satu puncak gunung Merbabu. Rencananya kita akan camp disana.

Jalur demi jalur dan tanjakan demi tanjakan kita lalui, hingga pada sekitar pukul 1830 kita sampai di sebuah persimpangan. Keadaan perut sudah lapar keroncongan dan kedua kaki terasa lelah untuk melangkah. Di jalur sebelah kanan terdapat plang Puncak, namun terdapat tanda silang di ujungnya. Di jalur sebelah kiri, terdapat jalur tanah mendatar dan ada jejak sampah di atasnya. Tanda bahwa jalur tersebut sering dilewati. Gelap menyelimuti jarak pandang dan menyulitkan kita memilih jalur yang benar.

Pada awal pendakian, kita sempat diberikan wejangan oleh penjaga base camp agar menyusuri jalur kiri untuk mencapai puncak Merbabu. Berdasarkan wejangan tersebut, akhirnya kita memilih jalur kiri.

Jalur tersebut terlihat indah di awal namun menyesakkan di akhir. Jalan mendatar itu hanyalah PHP. Karena setelahnya kita dipertemukan dengan tebing bebatuan dengan sudut kemiringan 90 derajat. Disini kita dipaksa panjat dengan kaki gemetar, perut lapar, dan berselimut kegelapan malam. Sedikit tertatih, akhirnya kita sampai di suatu pelataran kecil yang muat untuk 2 tenda.

Di pelataran itu terdapat sebuah tugu yang bentuknya mirip batang korek api berwarna putih. Di sekitar tugu terdapat sebaran bebatuan yang teronggok kaku menyambut kita. Tentu saja kita bingung, karena tujuan kita adalah puncak Menara dan tidak terlihat tanda-tanda adanya menara di tempat ini.

Otak sudah terlalu lelah untuk berpikir dan kaki sudah terlalu getir untuk melangkah. Tidak ada seberkas niat untuk lanjut menapak. Perjalanan resmi dihentikan dan kita sepakat untuk mendirikan camp di pelataran kecil tersebut.

Tingginya posisi daerah (sekitar 2.500 mdpl) membuat kita seakan bertamu ke kerajaan angin. Prosesi mendirikan camp terasa seperti pertempuran dengan angin. Dinginnya udara yang bergerak kencang membekukan telapak tangan, menggetarkan tangan yang sedang memantapkan pancang tenda. Kalang kabut, tenda berkali-kali salah berdiri karena strukturnya tertiup angin. Bahkan angin tetap mengganggu pada saat tenda sudah berdiri dan kita ada di dalamnya.

Pada pukul 2330, disaat perut kita sudah terisi makanan dan mulai tertidur lelap, tenda bergoyang hebat seakan mau diterbangkan ke langit. Dimensi tenda serasa menyempit akibat frame yang berbelok diterpa angin. Bunyi kepakan tenda mencipta harmoni mengerikan, menambah syahdu suasana. Mata gue pejamkan erat dan untungnya berhasil tertidur.

Pukul 0130, gue kembali terbangun. Udara dingin yang menusuk tidak membiarkan gue beristirahat dengan tenang. Terpaan angin sebelumnya sudah hilang, berganti heningnya dingin yang menusuk-nusuk kulit. Tangan gue gerakkan ke pinggir tenda, meraih speaker portable dan memutar lagu Sigur Ros. Membuai.


***

Waktu telah menunjukkan pukul 0230 dan mata gue tidak bisa terpejam lagi. Alunan suara Jonsi tidak bisa menjadi kendaraan menuju mimpi. Sesuai jadwal, gue langsung membangunkan semua anggota tim untuk bersiap-siap Summit Attack menuju Khenteng Songo, puncak tertinggi Merbabu. Gue langsung bergerak keluar tenda untuk meregangkan badan.

Udara diluar tenda cukup dingin walau tidak sadis seperti semalam. Angin seakan masih tidur dan bersembunyi entah kemana. Di atas kepala, terlihat langit kelam yang bertabur bintang, berpadu mesra dengan cahaya lampu kota yang mengintip genit di tepian gelap.

Sebelum memulai perjalanan, kita ber-6 kumpul sejenak dan berdoa memohon keselamatan di perjalanan.

Batu-batu yang berserak mengawali perjalanan kita dan udara terasa tipis saat berjalan. Sesaat kita langsung tersengal-sengal, beradaptasi dengan alam. Cahaya bulan bersinar lantang menerangi jalur menuju puncak, menemani kita di tengah kepungan gelap. 

Tak beberapa lama berjalan, kita sampai di sebuah pelataran luas yang terlihat lebih nyaman untuk camp. Namun berhubung kemarin malam otak dan badan sudah tidak kompak diajak bereaksi, maka kita tidak mampu mengeksplorasi tempat lebih lanjut. Di pelataran ini terdapat tugu peringatan untuk pendaki yang (sepertinya) tidak beruntung dan harus menghentikan perjalanan hidupnya di tempat itu.

Pelataran ini mengarah pada dua jalur. Jalur kanan terlihat meyakinkan, curam, dan terlihat lebih singkat namun sepertinya jarang dilewati, terlihat dari rapatnya tumbuh-tumbuhan yang menutupi jalur.

Akhirnya kita memilih jalur sebelah kiri yang menurun dan terlihat tidak meyakinkan, namun merupakan jalur yang benar. Ditandai oleh penunjuk jalan bertuliskan Puncak Helipad, salah satu puncak Merbabu, berbentuk pelataran luas yang terbuka tanpa tertutup pepohonan. Dari bibir puncak kita bisa melihat kota dan Puncak Menara. Di bawah Puncak Menara, terlihat dua tenda kita yang terlihat seperti kutu kuning. Ternyata tempat kita camp tepat berada di bawah puncak Menara.

Perjalanan kembali kita lanjutkan dan mulai terjadi beberapa drama. Mulai dari ada yang kebelet dan butuh melipir sebentar, sampai ada salah satu anggota yang muntah karena tidak kuat jalan. Memang perjalanan ini terbilang cukup berat. Untuk menuju puncak Merbabu, kita harus naik-turun beberapa puncak dan terkadang harus merayap di batu-batu untuk memanjat. Hal ini sangat menguras fisik. Apalagi salah satu teman pendakian kita baru pertama kali hiking. Pantas lah dia megap-megap dan terlihat frustrasi.

Terpaksa gue mengeluarkan jurus, "Ayo, deket lagi! Itu puncak nya udah keliatan!" padahal secara de facto gue juga frustrasi karena dibalik puncak itu masih ada puncak lain dan Kentheng Songo masih terlihat jauh disana.

Pukul 0500, setelah naik-turun melewati Puncak Geger Sapi dan menyusuri jalan setapak kecil dengan jurang di kanan kiri-nya, akhirnya kita sampai di pertigaan Syarief. Sebuah pertigaan yang tepat dibawah Puncak Syarief. Dari pertigaan ini, puncak Khenteng Songo semakin terlihat jelas. Dengan semangat kita melanjutkan melangkah.



Menuju Khenteng Songo, kita kembali diminta memilih. Di depan kita ada jalur menanjak menyusuri puncak Ondorante (credit to : belantaraindonesia.org), Di sisi kiri, ada sebuah jalur yang menyusuri punggungan puncak, melipir di pinggir jurang. Teman-teman gue berjalan terlebih dahulu, meninggalkan gue yang sedang asyik menangkap momen melalui jepretan kamera. Saat gue menyusul, tiba-tiba mereka sudah berbalik arah. Menurut mereka jalur itu terputus.


Oleh karena itu kita semua putar balik dan mengambil jalan satunya. Kembali menaiki satu puncak yang terlihat seperti raja terakhir.

Pada awalnya jalur puncak Ondorante ini terlihat biasa saja, tanjakannya curam namun luas dan permukaannya empuk. Kita bisa mendakinya dengan santai. Tapi, sesampainya di ujung jalur, gue menemukan sebuah pemandangan yang indah nan mengerikan. Sebuah kontradiksi.

Ujung puncak Ondorante adalah sebuah tebing dengan sudut kemiringan 90 derajat. Ya, kita kembali dipaksa panjat tebing. Sebelum menuju tebing, kita dipaksa untuk melewati jalan setapak yang lebarnya hanya cukup untuk satu orang. Jarak jalan setapak itu sekitar 10 Meter, namun itu adalah 10 Meter paling menyeramkan di sepanjang hidup gue. Sampai saati ini.

Di kanan-kiri jalan, jurang siap menyambut tubuh kita apabila lengah. Posisi puncak Ondorante mungkin berada di +/- 3.000 mdpl dan dari kejauhan gue bisa melihat awan putih melayang sejajar. Badan gue serasa ikut melayang, kaki lemas, dan pada akhirnya gue berjalan setengah merangkak.


Ternyata jalan setapak itu hanyalah awal dari kengerian sebenarnya. Sesampainya di tebing, gue dihadapkan pada fakta dimana gue harus melakukan panjat tebing di ketinggian 3.000 mdpl. Kaki tentu saja semakin lemas tak berdaya. Saat melongok ke bawah, langsung muncul imajinasi gue jatuh dan terguling. Dijamin badan gue bakal terpecah ke lima arah mata angin apabila imajinasi itu menjadi nyata.



Walau kaki lemas dan pikiran meragu, perjalanan harus tetap lanjut. Pantang pulang sebelum puncak. Setelah menghela nafas dan membuang jauh-jauh pikiran negatif, gue mulai menuruni tebing secara perlahan lahan. Tangan gue bergerak meraba bebatuan untuk mencari cengkraman yang kuat. Setelah kedua tangan kokoh mencengkram, kaki kiri gue turunkan untuk mencari pijakan. Setelah menendang-nendang batu dan memastikan bahwa itu kuat, gue pijakkan kaki kiri ke batu tersebut.

Kedua tangan sudah mencengkram dan kaki kiri sudah mantap memijak, perlahan gue gerakkan kaki kanan ke bawah. Sayangnya, gue tidak bisa menemukan batu pijakan untuk si kaki kanan. Panik. Sejenak gue terdiam. Bergantung di ketinggian 3.000 mdpl membuat gue melankolis. Gue langsung membayangkan sedihnya nyokap apabila perjalanan gue terhenti disini. Seketika gue inget kesalahan-kesalah yang gue perbuat di dunia. Gue juga inget jemuran di rumah belum diangkat, gimana kalo ujan? Oh, alam bisa membuat orang sebegitu religius.  Bergelantungan di ketinggian 3.000 mdpl membuat nyawa serasa ada di ujung rambut.

Akhirnya gue menekuk kaki kanan dan memarkir dengkul di salah satu batu. Kemudian gue menghela nafas dan melihat kebawah, mencari pijakan. Kepala gue kliyengan saat menyadari seberapa tingginya gue sekarang. Namun gue mencoba tetap tenang dan mulai menentukan jalur yang tepat. Perlahan gue bisa menentukan jalur turun, walaupun harus nyerosot. Sebodo amat celana dan tangan kotor, yang penting nyawa selamat.

Sesampainya di bawah, setelah melalui tebing yang mengerikan itu, kita berpapasan dengan rombongan pendaki lainnya. Mereka berjalan santai sambil bernyanyi-nyanyi sumbang dari arah jalan yang sebelumnya dibilang terputus.

"Berani amat Mas lewat situ, jalur ini lebih gampang," kata salah satu anggota rombongan sambil menunjuk jalan tersebut.

Seketika kita bengong. Damn.

Perjalanan kembali kita lanjutkan setelah berhasil mengatasi bengong karena sadar bahwa tadi kita mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang sia-sia.

Puncak Kentheng Songo sudah ada di depan mata. Kita hanya tinggal melewati tanjakan terakhir dengan pemandangan padang rumput kekuningan yang bersinar cerah tertimpa lembutnya sinar matahari pagi. Pukul 0530 kita sampai di puncak tertinggi Merbabu, Kentheng Songo.



Puncak Kentheng Songo ditandai oleh jejeran 4 buah batu berlubang (Watu Kenteng). Cerita yang beredar, katanya ada 9 buah batu di pelatarang Kentheng Songo. Namun 5 batu lainnya secara kasat mata menghilang dan hanya dapat dilihat secara gaib. Entahlah.



Yang terpenting dari puncak Kentheng Songo adalah : kita berada di negeri atas awan. Kita seakan-akan diberi hadiah oleh Sang Pencipta akibat Sholat Jum'at dulu sebelum mendaki. Cuaca sangat cerah dan kita bisa melihat pemandangan sekitar puncak secara jelas tanpa cela. Padahal hujan terus mengguyur pada saat awal perjalanan, tak mengizinkan kita untuk sekedar merasakan hangatnya matahari.

Di satu sisi, ada Gunung Merapi berdiri tegap dan angkuh.  Merapi terlihat kekar dengan permukaan gunung yang terlihat seperti urat-urat kuli pekerja bangunan. Dia hanya berdiri sendiri tanpa ada yang menemani.



Di sisi lain terlihat jejeran Gunung Sindoro-Sumbing yang berdempet mesra, berhadapan antara satu dengan lainnya. Selain kedua gunung itu, ada juga beberapa gunung lain yang tidak gue ketahui namanya. Maklum, dulu suka bolos pas pelajaran Geografi.




Di puncak Kentheng Songo ini, segala lelah dan susah terbayar oleh suatu hal yang indah. Hangatnya sinar matahari perlahan merayap ke permukaan kulit, meredakan rasa dingin yang menyelimuti kita semenjak jam tiga tadi. Kita semua langsung sibuk masing-masing, mencari-cari spot foto dan beberapa pendaki menuliskan pesan-pesan di kertas selembar. Tak lupa gue memberikan penghormatan untuk seorang pendaki yang namanya diabadikan di sebuah tugu peringatan.




Pukul 0700 kita berbenah dan kembali ke camp. Sepanjang perjalanan turun, mata dimanjakan oleh pemandangan indah bukit Hobbit yang sebelumnya bersembunyi di balik gelap. Sebentar-sebentar gue berhenti dan mengabadikannya di dalam kamera. Tak jarang gue berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas  sambil memejamkan mata, menikmati keramahan alam.








Pukul 0800 gue udah sampai ke camp. Ternyata daerah camp kita dinamakan Kawah Mati, karena berada tepat di atas kawah yang sudah tidak aktif. Pantas saja sepanjang malam tercium samar bau belerang.

Pukul 0930 kita bergerak turun, kembali ke basecamp Wekas untuk mengejar kereta pukul 1700. Berhubung hujan kembali turun dan memang sebelumnya hujan terus menerus, kita beberapa kali terpeleset akibat tanah lempung yang licin. Pada saat naik, paha kita diuji. Namun pada saat turun, kekuatan lutut yang memegang kendali.

Tepat pukul 1200 kita sampai ke basecamp Wekas. Rombongan kembali berjumlah 3 orang, karena 3 orang lainnya tertinggal jauh dibelakang. Apa mau dikata, kita bertiga tidak mau ketinggalan kereta. Di basecamp, hanya gue yang berani mandi dan bersih-bersih. Mandi yang terasa seperti ice swimming challenge. Udah bukan disiram lagi. Dinginnya terasa sampai ke dalam kalbu.

Lebay.

Akhir kata, kita sampai ke stasiun Lempuyangan pukul 1600 dan perjalanan kita ke Merbabu berakhir saat kaki melangkah ke Senja Utama Malam. Perjalanan kita ditutup oleh bocornya AC di kereta. Padahal seperti telah kita ketahui bersama, gue udah mandi.

Mari keluar dan kagumi Indonesia yang indah ini


Showcase Foto Narsis :)











mari kita lanjut...

Minggu, November 23, 2014

Gede Jalur Selabintana

Pada pendakian pertama ke Gede, gue sempat bersumpah serapah untuk tidak kembali kesana. Bahkan tidak mau mendaki lagi. Capek. Lebih enak di rumah nonton soft copy film bajakan sambil minum susu coklat hangat dan berlindung di balik hangatnya bed cover yang menjaga kulit dari dinginnya AC kamar. Tidak adak logika yang tepat apabila harus menjawab pertanyaan, "Kok lo mau hiking? Kan capek."

Namun Indonesia terlalu cantik untuk sekedar dinikmati melalui layar televisi, terutama melalui Indonesia Bagus, program andalan NET. yang baru saja menang KPI Awards 2014 untuk kategori Program Televisi Best Feature Budaya. Promosi dikit.

Tidak. Cara untuk menikmati Indonesia adalah dengan keluar rumah dan merasakannya. Selagi bisa dan selagi mampu. Oleh karena itu, gue menerima ajakan teman untuk kembali ke Gunung Gede. Walaupun gunung itu pernah bikin gue terlentang diatas batu dengan kaki beset sana-sini. 

Pada perjalanan sebelumnya, gue mendaki Gede melalui jalur Putri dan turun di Cibodas. Kali ini gue diajak untuk naik melalui jalur Selabintana dan turun di jalur Putri. Mendaki di Sukabumi dan turun di Bogor dalam jangka waktu satu hari tanpa camp seperti sebelumnya. Lebih capek, jelas. Namun alam selalu menggoda untuk dihampiri.

***

18 September 2014 Pukul 2100, perjalanan dimulai. Memanfaatkan jasa busway, gue berangkat ke Cawang-UKI untuk naik omprengan ke Ciawi dengan tarif 15.000. Pukul 0000 gue sampai di Ciawi dan lanjut naik L300 yang bertarif 20.000. Tidak pakai menunggu lama, karena sudah banyak yang mengantri dan konsumen nya pun banyak. Sehingga mobil tidak butuh waktu lama untuk penuh. Walaupun tetap ada drama, "Masih muat satu orang!" padahal sisa tempat cuma cukup untuk satu curut.

L300 mungkin satu-satunya angkot menuju Sukabumi yang ada sampai larut malam. Supir-supirnya adalah jebolan pengendara F1 yang tidak lulus psikotes karena tidak mampu memahami fungsi pedal rem pada mobil. Style mengemudinya ugal-ugalan cenderung nekat. Jalur Ciawi-Sukabumi pada larut malam mayoritas dilewati truk-truk pengangkut material yang berjalan lambat. Apabila jalan L300 terhalang, maka supir akan mencari jalan apapun untuk bisa melewatinya. Garis bawahi kata apapun.

Di malam gelap yang sunyi tersebut, terlihat seberkas kecil cahaya merah di ufuk gelap. Sambil memicingkan mata, supir L300 menganalisa jalan dua arah yang hanya muat untuk dua mobil tersebut. Sebelah kiri got dan dari arah berlawanan muncul cahaya putih yang terlihat semakin mendekat. Sepertinya ada truk. Melalui kalkulasi yang bisa membuat seorang Albert Einstein tercengang kaget, supir memutuskan untuk memacu gas ke arah berlawanan.

Berbekal mesin mobil yang (mungkin) pada siang harinya dipakai sebagai mesin parutan kelapa, percepatan L300 untuk mendahului truk sangat payah. Namun insting supir mengalahkan logika, injakan di pedal gas malah  ditambah. Deru mesin semakin berteriak kencang dan seakan mau meledak ke 7 arah mata angin. Truk di arah berlawanan pun sudah semakin mendekat, mengedipkan lampu dan membunyikan klakson. Sambil memekik tertahan, gue menyaksikan flashback kehidupan dan berpikir kenapa gue mempercayakan sisa nyawa ke supir yang nyalip truk dengan tangan kiri memegang stir dan tangan kanan bersandar di jendela menopang pipi.

Mobil akhirnya berhasil menyalip truk dengan selisih jarak yang sangat tipis dengan truk di arah sebaliknya. Lampu truk dari arah yang berlawanan sampai bisa menerangi seluruh kabin mobil dan memperlihatkan para penumpang yang rata-rata sedang memejamkan mata. Entah tertidur atau berpura-pura tidur. Oke. Gue coba cara mereka dan mulai merunduk sambil memejamkan mata.

Posisi tempat duduk gue yang berada di sisi kiri mobil tepat di samping jendela membuat kepala dan badan gue terantuk-antuk saat mobil bermanuver menantang maut. Tanpa melihat pun badan gue bisa merasakan kalau mobil berjalan miring kiri saat menyalip kendaraan lain lewat kiri jalan yang off-road dan berbeda ketinggian dengan jalan aspal.

Karena mata susah terpejam, sesekali gue mengangkat kepala untuk mengecek keadaan jalan, namun apa yang gue saksikan sangatlah membuka tabir jiwa. Mendekatkan gue ke Yang Maha Kuasa. Gue melihat batang kayu. Yak, tumpukan batangan kayu yang mungkin hanya berjarak 30cm dari jendela L300. Shocking. Ternyata dia lagi nyalip truk bermuatan kayu batang dan dari arah berlawanan ada motor. Jadilah L300 dempet-dempet mesra dengan truk, memaksa motor untuk akrobat di ujung aspal.

Pukul 00.45 kita sudah sampai di kota Sukabumi. Jarak +/- 50km yang lazimnya ditempuh dalam waktu 1,5 jam hanya ditempuh dalam jangka waktu 45 menit. Hebat. Bahkan mungkin seorang Fernando Alonso pun tidak bisa melakukan hal tersebut. Oleh L300 kita diturunkan di sebuah mesjid besar yang ada di tengah kota Sukabumi. Sambil menunggu dua orang anggota tim yang masih dalam perjalanan ke Sukabumi. Gue dan 2 orang teman keliling untuk cari carteran angkot ke Pondok Halimun dan makanan untuk makan  siang. 

Sekitar pukul 0200 2 orang temen gue dateng dan lengkaplah tim pendakian kami yang terdiri dari 5 orang. Dengan tarif 20.000 /orang, berangkatlah kita menuju Pondok Halimun menggunakan jasa angkot carteran. 

Pukul 0300, kita sampai di Pondok Halimun. Jalur dari Sukabumi - Pondok Halimun bisa dibilang sangat hancur dan membingungkan.Kita sempat nyasar dan berkali-kali kolong angkot terbanting ke lubang-lubang yang tersebar di sepanjang jalan. Pekatnya malam yang  bersekongkol dengan liukan pohon bambu membentuk bayangan yang terlihat seperti lambaian tangan. Seperti film Nightmare Before Christmas. Atau Malam 1 Suro. Untungnya di sepanjang jalan gak ada tukang sate.

Sesekali gue khawatir angkotnya rontok karena menghujam lubang yang tak kunjung ada habisnya. Namun tentu saja itu tidak terjadi. Segala kalkulasi dan hitungan fisika tidak berlaku untuk angkot-angkot di Indonesia. 

Di Pondok Halimun kita mampir ke salah satu warung, sarapan, packing ulang, dan persiapan pendakian (baca : buang muatan). Pukul 0400, kita mulai mendaki Gunung Gede via Selabintana.




***

Pintu masuk jalur Selabintana kecil dan sering membingungkan pendaki yang terjebak mengikuti jalan besar menuju air terjun. Vegetasinya rapat dan langsung menanjak. Seketika nafas gue tersengal-sengal. Suatu kondisi yang wajar karena biasanya 1 jam di awal pendakian badan gue beradaptasi, ber-resisten, dan berpikir ulang kenapa mau-maunya gue capek mendaki. Biasa lah, lamunan si bodoh.

Gelap demi gelap kita tembus dan dari kejauhan terdengar suara adzan subuh berkumandang. Kita memutuskan berhenti sejenak untuk sholat. Walaupun tidak terlalu suci, menurut gue sholat di jalur pendakian atau di puncak gunung terasa lebih khidmat dan syahdu. Cuma ada kita, Allah SWT, dan alam.

Selepas sholat, perjalanan kita lanjutkan. Pada saat matahari mulai terbangun dan cahaya mulai menyusup menyinari hutan, pada saat itu lah kami bertemu dengan para penghuni jalur Selabintana. Mereka dinamakan pacet, sebuah makhluk yang berbentuk seperti cacing dengan ukuran sebesar dua ruas jari kelingking dan bergerak menggunakan mulut. Begitu melihat ke bawah, ternyata perjalanan gue ditemani oleh 3 ekor pacet yang nangkring di celana dan baju.

Jikalau pacet itu sempat menyentuh kulit, maka darah kita akan dihisap olehnya. Mereka akan melepaskan gigitannya apabila badan mereka sudah bengkak dan penuh. Manusia perlu belajar dari pacet, mereka aja tahu kapan harus berhenti, tidak tamak dan kemaruk. 

Apabila ditarik paksa, kulit kita akan ikut ketarik dan terluka. Oleh karena itu kita siap sedia bawa minyak sereh supaya gigitan pacet akan terlepas sendiri saat diolesi minyak. Mungkin mereka males dengan bau minyak sereh yang sengit atau mungkin mereka sedih karena bau minyak sereh seperti bau nenek-nenek. Mungkin mereka ingat nenek mereka masing-masing di kampungnya.

Untungnya pacet yang nempel di baju dan celana gak sempat menyusup ke permukaan kulit. Belum perlu minyak sereh, hanya butuh daun kering untuk mencabut gigitan pacet tersebut. Sebelum mencabut, gue melihat cara mereka bergerak. Mereka memakai gigitan itu sebagai penampang untuk kemudian salto dan merambat pelan-pelan sampai menemukan kulit-kulit lezat yang siap dihisap. Mereka terlihat seperti cacing tanah psikopat.

Pukul 0700 kita sampai di pos pertama. Sambil duduk dan merenggangkan kaki, kita menikmati sajian Coki-Coki, biskuit gandum, dan madu sachet. Setengah perjalanan sudah kita lalui, di pos ini terdapat papan penunjuk jalan bertulisan : Surya Kencana 6,5KM. Lumayan, jalur Selabintana yang (konon) berjarak 11KM sudah kita lalui hampir setengahnya.

Perjalanan dilanjutkan melalui hutan-hutan yang masih rapat dan ditemani suara-suara binatang. Burung-burung berkicau riang di pagi hari yang hangat itu dan dari puncak pepohonan terdengar suara monyet-monyet yang sedang meloncat kesana kemari. Selain itu perjalanan kita juga ditemani seekor lebah (atau tawon?)  yang setia mengikuti kita di sepanjang perjalanan menuju Surya Kencana.

Sekitar 0930 kita sampe di pos Cileutik yang sering disebut sebagai pos air terjun oleh para pendaki. Namun kenyataan tak sesuai dengan namanya, air terjunnya sudah tidak ada dan mata airnya tidak melimpah. Entah apa yang terjadi dengan Gunung Gede, ada beberapa air terjun yang sudah tidak berfungsi lagi. Di pos ini, ada papan penunjuk jalan : Surya Kencana 2,5KM.

Mengingat pada pagi hari kita bisa menempuh jarak 4,5KM dalam tempo 3 jam, tentu jarak segitu bisa ditempuh lebih cepat. Perkiraan kita 1 jam udah bisa sampe di Surya Kencana. Tapi bohong. Nol besar.






Jalur 2,5KM terakhir menuju alun-alun Surya Kencana memiliki kontur sempit, menanjak curam, dan licin. Tanahnya lempung dan berliku-liku. Vegetasi nya juga sulit ditebak dan cenderung PHP. Biasanya tanda-tanda akhir jalur adalah vegetasi mulai renggang dan pohon-pohon semakin pendek. Namun ternyata kita malah dibelokin ke arah lainnya, mengitari berkas cahaya yang seakan memanggil di ujung pendakian.  Pola jalur di 2,5KM akhir adalah : Tanjakan curam, kemudian datar sedikit, mentok, belok, dan nanjak lagi. Begitu terus sampe pukul 1200.





Setelah melalui tanjakan yang cukup membuat frustrasi, akhirnya kita sampai di Surya Kencana. Pintu masuknya kecil menurun dan melalui semak-semak rapat. Setelah melalui semak-semak, kita disambut puncak gunung Gede yang berdiri kokoh dan angkuh menantang langit. Hamparan padang edelweiss tersebar indah, memanjakan mata dan menghapus lelah. Kaki gue seperti menerima injeksi adrenalin, dari lemas jadi semangat. Semangat untuk foto-foto. Ingat, jangan tinggalkan apapun selain jejak dan jangan ambil apapun selain foto.











Puas foto-foto dan berteriak-teriak, kita bergerak mendekati jalur ke puncak Gunung Gede. Setelah dapat lapak, kita langsung menggelar flysheet dan buka bekal makan siang. Istirahat dan santai-santai sejenak.

Baru juga mau bersantai, angin tiba-tiba bertiup kencang dan hampir menerbangkan flysheet. Bentuk Surya Kencana yang seperti lorong menambah kencangnya tiupan angin. Tak beberapa lama, hujan deras turun, padahal seluruh tas dan alat-alat masih diluar. Jadi lah kita kelimpungan masang dome di bawah terpaan hujan dan angin. Sambil menunggu dome berdiri, gue membelah jas ujan dan membungkus seluruh tas. Di sisi lain, temen gue menyalakan kompor untuk bikin kopi. Kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan walau badai sekalipun.

Kopi panas pun tidak terasa di kulit. Koalisi hujan, angin, dan suhu rendah membuat badan menggigil, seperti mati rasa. Namun saat air kopi mengalir di tenggorokan menuju perut, badan serasa hangat. Nyaman sekali rasanya. Selalu ada sisi positif disaat terburuk sekalipun, hanya perlu mengalihkan pandangan ke arah lain.

Pukul 1500 kita bergerak dari Surya Kencana untuk turun lewat jalur Putri. Kondisi cuaca yang mendung dan berangin membuat kita memutuskan untuk tidak ke puncak Gede. Selain tidak ada yang bisa dilihat karena berkabut, kita juga gak bisa foto-foto disana karena hujan.




Turun dari jalur Putri, gue seakan napak tilas pendakian pertama. Bahkan gue masih inget batu tempat gue tepar. Kondisi jalur pada saat itu cukup ramai, mengingat kita turun pada hari Sabtu, 19 September 2014. Beberapa kali orang menyapa dan bertanya, "Masih jauh gak mas?".

Jawaban gue selalu sama, "Dikit lagi, palim cuma 30 menit." Dimanapun. Kapanpun. Boongin anak orang.

Jalur Putri sebenarnya cukup singkat (untuk turun), tapi yang menyebalkan adalah kontur akhir jalur yang entah mengapa disemen. Sehingga sangat licin apabila setelah hujan. Hal ini cukup berbahaya dan bisa membuat orang terpeleset. Padahal kontur asli jalur putri berupa tanah gembur yang sangat nyaman untuk dipijak.




Pukul 1815 akhirnya kita sampe di posko Green Ranger. Perjalanan ke Gunung Gede via Selabintana resmi berakhir. Sempet juga terjadi drama karena pihak Green Ranger ngotot kalau surat izin seharusnya dikasih ke tim Panthera yang jaga di pintu masuk jalur Selabintana. Padahal waktu kita lewat, mereka masih sibuk mendaki gunung di alam mimpi. Heran, di gunung masih ada saja birokrasi rumit. Gak mungkin juga dong kita balik ke Pondok Halimun lagi untuk sekedar kasih kertas-kertas izin itu?

Pendakian one-day-trip ini merupakan pengalaman baru untuk gue. Ragu di awal nikmat di akhir. Ternyata segala kesusahan dan keraguan itu akan terasa indah di akhir, apabila kita yakin akan kemampuan diri sendiri dan sabar saat menjalaninyai. Akhir kata, mari keluar dan nikmati Indonesia.






mari kita lanjut...

Minggu, November 16, 2014

Rejeki Anak Soleh

Musik adalah aktualisasi diri. Marah? Bisa dilampiaskan dengan Marilyn Manson - Beautiful People. Butuh semangat?  Slipknot - Wait and Bleed bisa jadi pelecutnya. Saat sendiri dan butuh diskusi dengan pikiran? Cobalah mendengar Sigur Ros - Fjögur píanó. Sedih? Silahkan akrab dengan lagu-lagu Adele yang konon memiliki notasi orang patah hati. 

Setiap orang memiliki lagu favorit sesuai dengan keadaannya masing-masing. Layaknya film, setiap orang memiliki soundtrack yang berbeda-beda dalam hidupnya.

Setiap tahun gue selalu menyempatkan diri untuk nonton minimal satu konser. Tapi karena kesibukan yang cukup menyita waktu, akhir-akhir ini gue bahkan tidak sempat untuk sekedar melihat-lihat jadwal konser yang ada. Sampai suatu hari ada ajakan dari temen gue, Ise, untuk nonton Soundsfair di JCC Senayan hari Jum'at, 24 Oktober 2014.

Tanpa ragu, gue meng-iya kan.

Tentu saja untuk bisa nonton Soundsfair, gue butuh benda yang namanya 'Tiket'. Namun karena jadwal konser tepat di ujung nafas gaji bulanan, gue harus bijak memilih antara beli tiket konser tapi makan siang pakai "Krupuk Putih Siram Kecap Manis" atau gak beli tiket konser tapi makan siang pake Burger King.

Keadaan kritis membuat otak berpikir lebih kreatif. Tidak punya budget untuk membayar harga tiket yang cukup mahal (+/- 300rb), gue mencoba mencari peruntungan di Google.

Kata kunci : "Kuis Tiket Soundsfair Gratis".

Voila. Google menuntun gue ke forum Okezone. Mereka sedang mengadakan kuis untuk acara hari Jum'at. Pertanyaannya gampang, "Apa artis yang ingin kamu tonton pada hari Jum'at?"

Aliran ska merupakan musik tumbuh kembang gue. Pada saat SMP dahulu, musik -musik Noin Bullet, Jun Fan Gang Foo, Reel Big Fish, Goldfinger, Save Ferris, etc. telah kusut gue putar di Stereotape Sony. Sampai-sampai butuh bantuan pensil Staedler untuk meluruskan pita kaset-nya. 

Tanpa pikir panjang lebar, gue langsung menulis keinginan gue nonton Tokyo Ska Paradise Orchestra. Sebuah band beraliran ska asal Jepang dengan musik yang enerjik, brutal, namun tidak meninggalkan kesan elegan di dalamnya.

Hari demi hari berlalu.

Tepat pada hari Rabu, 22 Oktober 2014 gue dapet konfirmasi dari admin forum Okezone. Gue menang! Saking senangnya menang, gue sampai berteriak dan mengangkat tangan di meja kantor. Jadilah semua orang menatap ke arah gue. Awkward. Usut punya usut, ternyata peserta kuisnya cuma ada 4 dan gue adalah salah satu dari 3 orang pemenang. Rejeki anak soleh. Nemu kuis yang partisipannya lebih sepi dari kuburan.

Satu tiket sudah ditangan dan gue bisa bernapas lega karena tinggal beli tiket Magic! on the spot. Walaupun sebenarnya gue tidak begitu suka dengan band itu dan sudah cukup muak dengar, "Saturday moorning jumped out of bed..." Tapi ya, cuma butuh 50rb untuk menyaksikan band yang lagi hit ini. Apa mau dikata, sikat saja. Selagi hangat.

Mendengar gue dapet tiket gratis hasil kuis, temen gue panik. Tentu saja dia gak mau kalah, walaupun pada kenyataannya sudah terlambat. Sudah H-1 menuju konser dan semua kuis sudah ditutup. Apa mau dikata, pada akhirnya dia pasrah dan berniat untuk beli tiket di calo yang biasanya menjamur di sekeliling venue konser. Berharap tiket-tiket dijual murah apabila kita datang terlambat.

Namun siapa sangka, rejeki datang disaat yang sangat tidak terduga. Saat gue iseng nanyain temen gue nonton Soundsfair atau enggak, dia malah nawarin gue tiket gratis. Bukan cuma 1, tapi 2. Olala. Sebuah keberuntungan beruntun. Benar-benar rejeki anak soleh. Kalau saja diperbolehkan, gue bakal loncat-loncat kegirangan layaknya Chunli menang berantem. Namun tentu saja lingkungan kantor menghalangi saya untuk berbuat itu. Daripada diusir satpam?

***

Pada hari H, beberapa jam menjelang konser, lapisan kulit gue melakukan kegiatan sekresi . Mengeluarkan keringat dingin. Gue dapet kerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Sambil dag-dig-dug gue menyelesaikan pekerjaan tersebut secepat mungkin dan pada akhirnya rampung pada pukul 8 malam.

Semacam telah menjadi kesepakatan umum, Jum'at merupakan hari macet sedunia. Rutinitas para commuter memaksa jalan raya menanggung beban sebegitu banyaknya. Yang biasanya naik angkot dari kos menuju kantor, berbondong-bondong mengeluarkan mobil atau kendaraan lainnya untuk pulang ke rumah-rumah kota satelit. Di kota Jakarta, rutinitas mudik berlangsung setiap pekannya.

Tapi entah mengapa, pada hari Jumat 24 Oktober 2014 pukul 20.00, jalanan kosong melompong tanpa hambatan. Perjalanan dari Gatot Subroto - Senayan hanya ditempuh dalam 10 menit saja. Selain itu, sesampainya di Senayan, petugas parkir langsung mengarahkan gue ke jalan di balik lapangan ABC yang mengarah ke lapangan D, dimana spot parkir masih tersedia luas dan lapang. Lagi-lagi saya dapet rejeki anak soleh. Hanya butuh 15 menit untuk sampai ke Senayan plus parkir dan gue masih sempat makan. Jam menunjukkan pukul 20.30 dan Tokyo Ska Paradise main pukul 21.30, masih ada waktu untuk mengisi tenaga. Bekal riang berdansa pogo. Walaupun tetap saja gue gak dapet nonton salah satu band favorit gue, SORE.

Tepat pukul 21.20 gue mulai masuk venue, langsung menuju panggung Garuda, tempat dimana Tokyo Ska Paradise Orchestra (TSPO) manggung.

Panggung masih gelap dan hanya terlihat beberapa crew band yang sliweran di sekitar panggung. Di seberang panggung para sound engineer bertindak seakan-akan tukang parkir, selalu menggerakkan tangan dan berteriak-teriak. Tapi walaupun mereka orang Jepang, ilmu ninja mereka kalah dengan tukang parkir Indonesia. Tukang parkir Indonesia selalu muncul disaat yang tidak terduga. Sirna saat tiba, nyata saat pergi.

Tak beberapa lama satu persatu anggota TSPO muncul dan mereka langsung menggebrak dengan lagu theme song Godfather. Tentu saja versi ska. Para penonton langsung tersentak dan mulai bergoyang pogo tanpa harus dikomando. Seru!

Musik adalah bahasa universal. Pada beberapa lagu yang berbahasa Jepang, gue sama sekali gak ngerti dia nyanyi apa. Bahkan bisa jadi dia ngata-ngatain penonton atau bahkan lagi baca dialog film bokep Jepang. Tapi itu tidak masalah, musik bagus tetaplah pantas untuk diajak bergoyang. Apapun liriknya.

Beberapa kali personil TSPO bergonta-ganti posisi. Para brass section bergantian menyanyi, begitupun para perkusi. Walaupun secara kasat mata mereka terlihat tua, penampilan mereka amat sangat enerjik dan hiperaktif. Tiupan saxophone dan trombone begitu lantang menghempas telinga. Lagu-lagu seperti Pride Of Lion, Natty Parade, dan Lovers' Walk sukses membius para penonton yang tampak memakai bretle dan topi pet. Seragam wajib para penggemar ska.

Ambience sempat turun saat TSPO mengundang bintang tamu dari Indonesia... Fade 2 Black. Oke, mungkin mereka adalah artis hip hop yang baik, tapi musik mereka seakan-akan menutupi irama ska yang sudah terjalin rapih sebelumnya. Seperti pada saat kita sedang asik ngobrol dengan teman-teman dan tiba-tiba ada satu orang menyebalkan nimbrung dan sok asik, "Lagi ngomongin apa nih? Gue ikutan dong." Bubar semua.

Konser TSPO ditutup oleh Down Beat Stomp dan Ska Me Crazy, dua lagu wajib band yang terbentuk dari tahun 1988 ini. Kakek-kakek enerjik pun semakin menggila di dua lagu terakhir ini, begitu juga dengan penonton. Badan mereka seakan-akan memiliki mode otomatis goyang pogo. Seluruh orang bergoyang tanpa diganggu tangan-tangan yang memegang tempayan bersinar. Indah sekali. Terima kasih TSPO yang telah menyadarkan bahwa saya masihlah anak ska dan goyang pogo masih menjadi ekstasi sempurna. Luar biasa.




Setelah nonton TSPO, gue dan Ise bergerak ke venue utama untuk nonton Magic! . Berbekal tiket tribun, gue akhirnya bisa duduk manis dan melihat band yang akrab disebut 'Wahyu' ini.

Kesan pertama yang gue tangkap dari penampilan Magic! adalah : Biasa aja. Mungkin ini disebabkan oleh habisnya hormon endorphin gue di TSPO, sehingga  melihat penampilan Magic yang beraliran reggae-pop ini terasa membosankan. Ditambah dengan penonton yang lebih senang melihat Magic! melalui layar ajaib buatan manusia ketimbang menyaksikan langsung secara HD melalui bola mata sendiri. Penonton monoton, bahkan sekedar bergoyang pun mereka emoh. Untung gue cuma harus bayar gocap untuk melihat mereka. Bahkan sekedar mengambil foto pun gue enggan.

Penampilan lebih seru justru ditampilkan oleh Asian Dub Foundation, dengan kualitas sound yang jauh lebih megah dan penampilan vokalis yang ikonik. Bahkan kalo gue ketemu di pinggir jalan, gue bakal ngira dia dukun pengusir hujan. Wajahnya seram, rambutnya dreadlock, kulitnya sehitam malam, dan wajahnya dipenuhi rambut. Seakan-akan rambutnya berpindah ke depan wajah. Saat tidak bernyanyi, dia seperti sedang melakukan ritual dengan memutar tangannya di kepala. Bahkan terkadang dia terlihat sedang bermunajat dan berlutut di atas panggung. Saya tidak mengerti, itu vokalis apa tukang santet.




Asian Dub Foundation tidak gue saksikan sampai habis, karena takut macet apabila keluarnya bareng acara selesai. Sesampainya di pos parkir dan menyerahkan karcis, ternyata gue gak diminta bayar parkir. Cuma bayar lima ribu untuk 1 jam pertama di awal, sedangkan untuk jam-jam selanjutnya tidak dihitung. Entah mengapa di karcis gue ada tulisan 'voucher' dan akibat tulisan sakti tersebut sisa uang parkir tidak ditagih. Rejeki anak soleh.

Pada hari minggu, kuturut ayah ke kota, naik delman istimewa ku duduk di muka.

Oke. Saya salah ketik.

Maksudnya pada hari Minggu, 2 hari setelah acara Soundsfair, gue iseng buka twitter. Ada sebuah twitpic dari @dissidents_ :



Lagi-lagi rejeki anak soleh. Ketidakpuasan gue yang gak sempet nonton SORE pada hari Jum'at bakal terbayar oleh acara Seperlima ini. Apalagi dengan tambahan Dialog Dini Hari dan Tika yang luar biasa. Tanpa sempat mencari teman nonton, gue berangkat sendiri ke Taman Menteng.

Temaram lampu Taman Menteng terasa hangat menyentuh kulit. Tiupan lembut angin malam seakan membuai kuping yang disuguhi musik Dialog Dini Hari dan Tika. Sembari duduk diatas rumput yang sedikit basah dan ditemani langit hitam yang bersembunyi malu dibalik awan kelabu, pikiran gue berkelana menyusuri ruang-ruang masa lalu. Memandangi kisah-kisah yang seakan berputar di kepala, menyusuri sudut-sudut etalase otak. Konser Seperlima seakan jadi ruang renung akan perubahan yang terjadi, kembali menjadi penyendiri.




SORE menutup hari dengan lantunan lagu yang tak lekang dilindas jaman. Mata Berdebu, Etalase, dan Aku mengembalikan imaji ke masa-masa gue aktif menjadi Kampiuns. Sebuah istilah bagi para penggemar SORE. Bahkan gue sempat tergabung dalam panitia acara Las Familias, yaitu sebuah konser tunggal SORE yang berkolaborasi dengan para musisi-musisi lain seperti The Adams dan White Shoes & The Couples Company.



Ssssst...!! Pada akhirnya menutup penampilan SORE dan acara Seperlima. Seluruh kejadian yang terjadi pada gue akhir-akhir ini memang gila. Segala senang, bahagia, murung, sedih, dan menyebalkan bercampur aduk dalam satu rentang waktu yang cukup singkat. Yah, seperti saat mendaki, trek akan semakin susah dan variatif saat mendekati puncak. Namun percayalah, keindahan selalu berkuasa di puncak.


mari kita lanjut...

Jumat, Oktober 10, 2014

Suka Duka Kencan Pertama

"Ada yang mau ikut ke gunung Gede?" kata temen gue, Windra, via group Whatsapp yang isinya kumpulan cowok-cowok seperkuliahan dengan topik kebanyakan membahas olahraga, gunjingan, dan pornografi. Sebuah ajakan yang menggelitik jiwa petualang gue. Kegiatan mendaki gunung dan terjun ke alam menimbulkan rasa penasaran gue untuk mencoba sensasi hiking.

Selama ini sebenarnya gue iri melihat orang-orang yang memajang foto di gunung. Pemandangan indah di belakang mereka seakan memanggil dan menggoda gue untuk kesana. Namun apa daya, karena fisik gue yang cuma kuat untuk lari sejauh 5 meter, gue merasa bakal menjadi beban apabila tiba-tiba gue kolaps di gunung karena sakaw mau makan Whopper Burger King.

"Tenang aja, nanti sama temen-temen gue juga. Senior pas di pencinta alam SMA. Lagian kita semua pada santai-santai kok. Maklum faktor umur," sambung Windra. Seakan-akan bisa membaca keraguan yang ada di pikiran gue.

Setelah pikir-pikir sejenak, akhirnya gue menetapkan untuk ikutan trip ke Gede. Yah setidaknya kalo gue kolaps minta Whopper, bisa minta tolong temen-temennya Windra lari ke bawah. Ninggalin gue. Untuk makan bekicot dan ulet daun. Atau mengais-ngais tanah untuk sekedar menemukan kulit pisang. 

Bodo amat.

Gunung Gede, saya datang.


***

Sabtu, 10 Mei 2014.

Perjalanan gue mendaki Gunung Gede dimulai di warung entah-Ibu-siapa-namanya. Warung tersebut terletak di awal jalur Gn. Putri. Sebuah jalur yang kita pilih di antara 3 jalur yang ada : Selabintana, Cibodas, dan Gn. Putri. Rencananya kita mendaki via Gn. Putri dan turun lewat Cibodas. Estimasi waktu naik adalah 7 jam  Jalan kaki. Dimana pada saat itu satu-satunya olahraga yang gue lakukan adalah mengisi ulang botol air minum dari meja kerja ke pantry.

Terus terang, persiapan yang gue  lakukan sebelum ke Gede lebih bersifat material. Ketimbang jogging minimal 3x seminggu, gue lebih memilih untuk keliling toko Consina dan Adventurer di Rawamangun. Segala macem gue beli, mulai dari celana, jaket, dan senter sampai ke kaus kaki tebal dan sleeping. Senter aja sampe gue beli dua, headlamp dan batangan. Pokoknya persiapan maksimal.

Selain beli, gue juga minjem tas carrier dari temen gue.  Untuk alas kaki, gue dapet rejeki nomplok, seakan-akan alam seperti merestui gue untuk naik Gunung Gede. Om gue yang kerja di kilang minyak offshore punya lebihan sepatu safety merk Timberland. Sepatu berwarna coklat itu terlihat sangat kokoh. Jangankan buat naik gunung, sepatu itu gue yakin bakal masih kuat walaupun tiap hari dipake buat ngulek bumbu gado-gado.

Sepatu Timberland yang seperti tank kecil itu memiliki steel toe, "Liat nih! Gak bakal lecet kalo jalan!" pamer gue ke Tatak, teman seperjalanan gue yang didenda 15.000 karena gak pakai sepatu untuk naik, sambil nendang-nendang tembok warung. Sepanjang menunggu naik gue selalu ngeliat sepatu dan mengagumi kekokohannya. Selain ada steel toe, sepatu itu juga punya fitur anti-fatigue. Batin gue, sepatu ini gak bakal bikin gue capek karena anti = tidak, fatigue = capek. Ini sepatu gak bakal bikin capek! Udah gitu ada fitur waterproof, oil resistant & anti-slip , walaupun ujan badai menerjang sepatu ini akan terus nempel di tanah macam permen karet! Adalagi heat resistant, yang berfungsi untuk melindungi jempol kaki gue apabila daun-daun terbakar karena saking cepatnya gue berlari saat mendaki (seperti Sonic The Hedgehog). Dan walaupun di gunung gak ada listrik, sepatu ini bebas electrical hazard. Jika ada yang jatohin batere bocor ke kaki, niscaya jempol gue tidak bakal terkejut. Gila, sepatu ini punya segalanya!

"Liat dong kayak Mas ini, pake sepatu," kata petugas Green Ranger (pasukan pengaman Gunung Gede) saat mengurus berkas temen-temen gue yang didenda karena gak pake sepatu. Tentu saja gue semakin... jumawa. Juara makan dan ketawa. 

Sekitar 1100 kita memulai pendakian, dengan mantap gue meniti langkah melalui kebun-kebun yang ada di sebelah kiri jalur. Outfit gue di awal perjalanan adalah : Baju kaos, celana panjang Consina, dan tentu saja sepatu Timberland.


Terlihat gagah (awalnya)


10 menit melangkah, mulai terasa perih di tumit belakang. Kondisi sepatu gue yang sedikit kegedean membuat sepatu bergerak naik-turun saat berjalan. Lecet lah itu kulit.

20 menit, kulit mulai terkelupas. Gue minta rombongan untuk berhenti. Napas sudah mulai ngos-ngosan dan gue menempelkan plester diatas luka yang baru menganga tersebut.

30 menit, jalan mulai menanjak. Plester yang gue tempelin udah bergeser dan menambah ketidaknyamanan di dalam sepatu. Nempel-copot terus menerus. Sekujur kaki mulai terasa gerah, nafas semakin memburu, dan keringat mulai terjun bebas dari jidat ke tanah. Untuk kedua kalinya, gue minta berhenti.

Kali ini sepatu Timberland yang maha dahsyat nan penuh puja puji itu gue copot dan gue lempar ke tanah.  Kaki gue bahkan tidak lagi mampu mengangkat sepatu itu, apalagi dipakai jalan. Tanah pun berdebam saat menerima berat sepatu yang mencapai 2.1 pounds (hampir 1kg). Karir mendaki sepatu tersebut hanya 30 menit saja, diakhiri oleh bunyi berdebam saat sepatu terbanting ke tanah.

Agar bisa melanjutkan perjalanan, gue membuka resleting di tengah celana yang berfungsi mengalihfungsikan celana dari panjang ke pendek. Sebagai ganti sepatu, gue pake sendal Boogie item andalan sepanjang masa.

Segala macem slip dan anti apapun itu tidak berfungsi di perjalanan ini. Sepatu itu terlalu berat dan nyusahin untuk naik gunung. Bahkan saat ditaro di carrier sekalipun, sepatu itu tetap berat dan nyusahin. Asem.

***


Selepas dari tragedi sepatu laknat itu, gue melanjutkan perjalanan menuju Alun-alun Surya Kencana. 


sepatu lepas, celana pendek, 
dan sepatu laknat di dalam carrier
(mulai frustrasi)


Dikarenakan stamina gue udah terkuras karena ngangkat sepatu yang seberat batu kali, perjalanan gue ke Surya Kencana jadi tersendat-sendat. Apalagi ditambah dengan kondisi badan gue yang jarang bergerak dan malas berolahraga, walhasil perjalanan gue persis kayak Son Goku naik menara Karin. Lidah keluar, nafas ngos-ngosan, dan seakan tidak berujung. Namun tidak ada Kacang Ajaib.



kemudian terkapar...


Semakin menuju Surya Kencana, pemandangan semakin membuat frustrasi. Sepanjang mata memandang, hanya ada batang-batang pohon yang terlihat seperti kaki raksasa. Jalur pun semakin menanjak dan tidak ada seberkas pun tanda-tanda akan berakhir. Di kanan jalur terdapat sebuah pelataran, di pelataran itu ada beberapa cewek berjilbab yang sedang terkapar kecapekan.

"Tinggalin aja, aku gak apa-apa. Kamu duluan aja," rintih dia ke teman-temannya.

"Jangan! Kamu harus kuat! Sedikit lagi sampai," balas temannya. Mungkin dia khawatir kena hipothermia.

Di sisi lain, ada cewek berjilbab lainnya nunduk sambil komat-kamit dengan nafas tersengal-sengal. Keadaan ini seperti suatu adegan di sinetron Hidayah.

Menurut penelitian, lingkungan memiliki pengaruh paling besar dalam perkembangan anak dan barangsiapa yang bergaul dengan penjual parfum maka ia akan terkena bau harum. Semua pemandangan itu, menularkan rasa frustrasi dan putus asa ke gue. Jangan-jangan emang ini jalan tidak berujung, jangan-jangan gue kena setan keder, atau jangan-jangan gue salah naik gunung. Jangan-jangan di atas itu Gunung Agung. Kalau iya, mungkin gue akan menyempatkan diri beli bulpen Rotring atau kamus Karce disana.

"Ayo Kan! Sedikit lagi sampe! Liat diujung tuh, pohon-pohon udah mulai memendek," teriak Ojan, temen pendakian gue, sambil menunjuk ujung langit. Benar saja, vegetasi mulai jarang dan gue bisa melihat langit. Pohon juga semakin pendek, yang berarti perjalanan ini akan segera berakhir. Segala macam pikiran aneh gue kubur jauh-jauh dan gue mulai memaksakan diri untuk terus jalan dan berpacu diatas tanjakan. Sampai-sampai telapak kaki gue kapalan dan lecet.

Peduli amat. Gue harus menuju puncak.

***

Setelah sekitar 7 jam mendaki, akhirnya jalan mulai datar dan berlapis batu. Setengah berlari gue menyusuri lorong yang terbentuk dari ranting-ranting pepohonan, bergerak ke arah cahaya dan mulai mendengar keriuhan.

Selepas lorong, dalam keadaan lelah dan frustrasi yang memuncak, gue sampai di Surya Kencana. Sebuah pelataran luas yang berada tepat dibawah puncak Gunung Gede. Hamparan padang rumput nan indah menguapkan lelah, barisan bukit yang terhampar di kana-kiri Surya Kencana memupuk semangat gue untuk pecicilan foto-foto, dan udara dingin membuat... gigi gue beradu membentuk harmoni. Bentuk Surya Kencana yang seperti lorong membuatnya sering dilewati angin kencang bersuhu dingin. Dengan kondisi baju yang basah kuyup, udara dingin menusuk sampai ke sumsum tulang belakang. Langsung saja gue pake jaket dan topi ala-ala Jonsi Sigur Ros.

Dari pintu masuk Surya Kencana, gue berjalan sekitar 15 menit lagi untuk menuju camping ground yang letaknya dekat pintu masuk puncak Gunung Gede. Sesampainya disana, gue tertidur diluar tenda. Tepar. Gak beberapa lama tertidur, gue disuruh pindah ke dalam tenda yang suhu-nya lebih hangat. Lagi-lagi untuk menghindari ancaman hipothermia. Bahaya kan kalo hippopotamus diserang hipothermia.

Gue terbangun sekitar jam 9 malam dan perut bermusik Keroncong Kemayoran.

Karena gak bisa tidur lagi dan emang belum makan malam, gue beranjak keluar tenda. Niatnya bikin makanan (kayak ngerti aja).

Beruntung gue punya teman seperjalanan yang baik. Gue ternyata ditinggalin satu porsi spaghetti dan mereka pun sudah makan duluan. Tanpa ampun, gue lahap spaghetti itu dengan sukses. 

Sambil makan, gue mengarahkan pandangan ke langit. Satu hal yang gue sukai saat bermalam di gunung adalah hamparan indah bintang-bintang yang bersinar terang tanpa terhalang, berjajar rapi dalam satu sinergi keindahan alami. Di saat inilah alam bertukar pikiran dengan manusia. Makanan pun terasa lebih nikmat dibuatnya.




***


Sebuah tendangan keras membangunkan gue di saat suasana tenda masih gelap, "Bangun woy! Mau liat sunrise gak!?"

"Haahh... Hemmm.. Hahhh..." balas gue malas. Keadaan fisik yang capek  dan udara yang dingin membuat gue malas bergerak ke puncak Gunung Gede untuk menikmati sunrise. Logikanya dimana-mana yang namanya matahari terbit itu bentuknya sama. Kuning, naik pelan-pelan, dan bikin backlight kalo difoto. Sehingga gue lebih memilih bobo cantik di atas matras dengan badan berlapis jaket polar dan kaki terselimuti kaus kaki tebal.

0700 gue baru bangun dan terbius dengan hamparan padang rumput Surya Kencana yang seakan tak ada habisnya. Semak-semak Edelweiss mempercantik padu padan alam yang disusun cantik oleh Sang Pencipta. Diluar tenda temen-temen ternyata udah duduk jongkok mengelilingi kompor untuk masak nasi dan sup.



"Baru bangun bro?" sambut mereka saat gue sedang meninju langit.

"Iya nih, dingin banget ya," balas gue yang sebenarnya merasa bersalah karena tidak bantu apa-apa. Namun karena memang pengalaman kemping gue masih nol besar, lebih baik gue diam dan melihat cara kerja mereka. Karena apabila gue membantu, takutnya seluruh tenda kebakaran karena gue nyemprot kompor parafin yang lagi nyala dengan gas. Duar.




1100, saat matahari sudah bangkit seutuhnya, rombongan berangkat menuju puncak Gunung Gede.

sebelum muncak

Perjalanan ke puncak lumayan terjal dan menguras napas walaupun secara jarak dan waktu relatif lebih singkat (+/- 45 menit). Hal ini dikarenakan tipisnya udara di sepanjang perjalanan, sehingga saat menghirup gue cuma bisa dapet udara setengahnya.

Seperti biasa, dengan cara ngos-ngosan gue sampai ke puncak.

Puncak Gede. Finally.

Bersikap dramatis, gue langsung bergerak ke pinggir jurang dan membentangkan kedua tangan. Udara segar puncak gunung langsung gue hirup semaksimal mungkin dan dalam hati gue teriak, "GILA, SAMPE JUGA!"



Di satu sisi gue merasa sangat kecil di alam raya ini. Keberadaan gue di puncak gunung seakan menjelaskan bahwa manusia hanyalah satu titik kecil di dalam alam yang tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan dan pertolongan-Nya. Alam mengajarkan gue untuk rendah diri dan sadar bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari alam. Pendakian pertama ini lebih bersifat filosofis, hangat, dan menyentuh.

Keadaan puncak Gede pada saat itu cukup ramai dan beberapa rombongan juga baru sampai disana. Bahkan kita harus antri dengan pendaki lainnya untuk sekedar foto di tulisan Puncak Gede 2958 MDPL.





Yang patut disayangkan, pada saat itu keadaan puncak Gede sedang berkabut sehingga gue gak bisa menikmati pemandangan dengan jelas. Pemandangan dibawah puncak cuma bisa gue intip di sela-sela kabut yang tersingkap. Namun gue tetap bisa menikmati puncak dengan menikmati udara sejuk dan lelahnya jalur pendakian.




Tidak lupa makan Astor

***

Sekitar 1230 gue bergerak turun melalui jalur Cibodas. Jalur ini terletak di ujung puncak Gede dan dimulai dengan jalur bebatuan yang cukup tajam nan menyiksa kaki (apabila memakai sendal ; seperti saya ; saya punya sepatu ; tapi nyusahin; ah sudahlah).

Setelah jalur bebatuan, kontur jalan mulai berupa tanah dengan tingkat kemiringan yang cukup tajam. Agar tidak nyusruk, gue memanfaatkan ranting-ranting sebagai pegangan. Kemudian setelah sekitar 3 jam perjalanan, gue sampai di pos Kandang Badak untuk istirahat, sholat, dan makan siang.

Pos Kandang Badak merupakan tempat camp di Gunung Gede selain Surya Kencana. Karena terletak di areal yang strategis (diantara puncak Gede & Pangrango), Kandang Badak sering dipakai oleh para pendaki yang mengincar pendakian langsung 2 puncak gunung. Selain itu, mata air di camp ini cukup mudah dan berlimpah ruah. Tinggal tampung, siap minum.

Pukul 1530 kita melanjutkan perjalanan turun dan pulang ke Jakarta.

Kelebihan dari jalur Cibodas adalah banyaknya spot-spot unik yang memanjakan mata, tidak seperti jalur Putri yang hanya pohon-pohon dan badan-badan pendaki yang tepar. Jalur Cibodas memiliki beberapa curug dan satu mata air panas yang pada awalnya hangat namun semakin panas di tengah... dan hanya berjarak 50cm dari jurang. Kacamata sudah tidak berfungsi di jalur air panas karena akan tertutup uap, walhasil gue melepas kacamata dan berharap tidak celaka karena mata yang siwer.



Selain itu, jalur Cibodas mempunyai kelebihan... jarak (8 Km). Perjalanan yang dimulai dari Kandang Badak pada 1500 belum selesai juga sampai 1900. Hari sudah mulai gelap dan setiap tikungan terlihat mirip satu sama lain. Saat berhenti di dekat Curug Cibereum, telapak kaki gue terasa sangat perih karena dihujam oleh ratusan batu yang menjadi alas jalur Cibodas. Keadaan bahu gue sangat pegal karena mengangkut carrier yang seakan bertambah berat seiring dengan berjalannya waktu.

"Kita nyampenya kapan sih?" tanya gue ke Windra. Putus asa dengan perjalanan yang tak kunjung habis.

"Bentar lagi, dari sini palingan tinggal 30 menit udah sampe pos. Yuk berangkat lagi biar gak kemaleman," balas dia sambil melanjutkan perjalanan. Menembus kegelapan malam.

... 2 jam kemudian.

Jalur tidak menunjukkan tanda-tanda selesai, tikungan demi tikungan yang terlihat identik sudah kita lalui. Perjalanan ini pada akhirnya mengajarkan gue untuk tidak mempercayai anak gunung. Standar waktu mereka berbeda.

Saking menyebalkannya perjalanan, gue sampai bertitah tidak akan mau ikut apabila diajak naik gunung lagi. Seenggaknya gue akan berpikir dua, tiga, atau bahkan ratusan kali sebelum mengiyakan ajakan untuk naik gunung.

Perjalanan berakhir di sebuah pertigaan. Setelah pertigaan tersebut, akhirnya kita bisa melihat secercah cahaya dan mendengar suara riuh rendah para pendaki yang lebih dulu sampai. Bale-bale warung menjadi tempat dan saksi teparnya gue setelah mengakhiri pendakian pertama gue. Pendakian resmi berakhir pada pukul 2130. 

Pendakian ke Gunung Gede mungkin akan dianggap cemen oleh para expert pendakian dan tulisan ini mungkin akan ditertawakan. Gunung Gede mungkin bagi mereka hanyalah tempat rekreasi Sabtu-Minggu yang bahkan dapat didaki dalam jangka waktu 2,5 jam oleh para penggiat trail running. Namun bagi gue, Gunung Gede seperti kencan pertama yang melelahkan. Di satu sisi gue capek menghadapinya. Di sisi lain, gue jatuh cinta dengan keindahan lukisan alam, kesejukan udara segar, dan hamparan bintang indah yang berbaris rapi di langit.






Saya... jatuh cinta dengan alam.



mari kita lanjut...