Jumat, Oktober 10, 2014

Suka Duka Kencan Pertama

"Ada yang mau ikut ke gunung Gede?" kata temen gue, Windra, via group Whatsapp yang isinya kumpulan cowok-cowok seperkuliahan dengan topik kebanyakan membahas olahraga, gunjingan, dan pornografi. Sebuah ajakan yang menggelitik jiwa petualang gue. Kegiatan mendaki gunung dan terjun ke alam menimbulkan rasa penasaran gue untuk mencoba sensasi hiking.

Selama ini sebenarnya gue iri melihat orang-orang yang memajang foto di gunung. Pemandangan indah di belakang mereka seakan memanggil dan menggoda gue untuk kesana. Namun apa daya, karena fisik gue yang cuma kuat untuk lari sejauh 5 meter, gue merasa bakal menjadi beban apabila tiba-tiba gue kolaps di gunung karena sakaw mau makan Whopper Burger King.

"Tenang aja, nanti sama temen-temen gue juga. Senior pas di pencinta alam SMA. Lagian kita semua pada santai-santai kok. Maklum faktor umur," sambung Windra. Seakan-akan bisa membaca keraguan yang ada di pikiran gue.

Setelah pikir-pikir sejenak, akhirnya gue menetapkan untuk ikutan trip ke Gede. Yah setidaknya kalo gue kolaps minta Whopper, bisa minta tolong temen-temennya Windra lari ke bawah. Ninggalin gue. Untuk makan bekicot dan ulet daun. Atau mengais-ngais tanah untuk sekedar menemukan kulit pisang. 

Bodo amat.

Gunung Gede, saya datang.


***

Sabtu, 10 Mei 2014.

Perjalanan gue mendaki Gunung Gede dimulai di warung entah-Ibu-siapa-namanya. Warung tersebut terletak di awal jalur Gn. Putri. Sebuah jalur yang kita pilih di antara 3 jalur yang ada : Selabintana, Cibodas, dan Gn. Putri. Rencananya kita mendaki via Gn. Putri dan turun lewat Cibodas. Estimasi waktu naik adalah 7 jam  Jalan kaki. Dimana pada saat itu satu-satunya olahraga yang gue lakukan adalah mengisi ulang botol air minum dari meja kerja ke pantry.

Terus terang, persiapan yang gue  lakukan sebelum ke Gede lebih bersifat material. Ketimbang jogging minimal 3x seminggu, gue lebih memilih untuk keliling toko Consina dan Adventurer di Rawamangun. Segala macem gue beli, mulai dari celana, jaket, dan senter sampai ke kaus kaki tebal dan sleeping. Senter aja sampe gue beli dua, headlamp dan batangan. Pokoknya persiapan maksimal.

Selain beli, gue juga minjem tas carrier dari temen gue.  Untuk alas kaki, gue dapet rejeki nomplok, seakan-akan alam seperti merestui gue untuk naik Gunung Gede. Om gue yang kerja di kilang minyak offshore punya lebihan sepatu safety merk Timberland. Sepatu berwarna coklat itu terlihat sangat kokoh. Jangankan buat naik gunung, sepatu itu gue yakin bakal masih kuat walaupun tiap hari dipake buat ngulek bumbu gado-gado.

Sepatu Timberland yang seperti tank kecil itu memiliki steel toe, "Liat nih! Gak bakal lecet kalo jalan!" pamer gue ke Tatak, teman seperjalanan gue yang didenda 15.000 karena gak pakai sepatu untuk naik, sambil nendang-nendang tembok warung. Sepanjang menunggu naik gue selalu ngeliat sepatu dan mengagumi kekokohannya. Selain ada steel toe, sepatu itu juga punya fitur anti-fatigue. Batin gue, sepatu ini gak bakal bikin gue capek karena anti = tidak, fatigue = capek. Ini sepatu gak bakal bikin capek! Udah gitu ada fitur waterproof, oil resistant & anti-slip , walaupun ujan badai menerjang sepatu ini akan terus nempel di tanah macam permen karet! Adalagi heat resistant, yang berfungsi untuk melindungi jempol kaki gue apabila daun-daun terbakar karena saking cepatnya gue berlari saat mendaki (seperti Sonic The Hedgehog). Dan walaupun di gunung gak ada listrik, sepatu ini bebas electrical hazard. Jika ada yang jatohin batere bocor ke kaki, niscaya jempol gue tidak bakal terkejut. Gila, sepatu ini punya segalanya!

"Liat dong kayak Mas ini, pake sepatu," kata petugas Green Ranger (pasukan pengaman Gunung Gede) saat mengurus berkas temen-temen gue yang didenda karena gak pake sepatu. Tentu saja gue semakin... jumawa. Juara makan dan ketawa. 

Sekitar 1100 kita memulai pendakian, dengan mantap gue meniti langkah melalui kebun-kebun yang ada di sebelah kiri jalur. Outfit gue di awal perjalanan adalah : Baju kaos, celana panjang Consina, dan tentu saja sepatu Timberland.


Terlihat gagah (awalnya)


10 menit melangkah, mulai terasa perih di tumit belakang. Kondisi sepatu gue yang sedikit kegedean membuat sepatu bergerak naik-turun saat berjalan. Lecet lah itu kulit.

20 menit, kulit mulai terkelupas. Gue minta rombongan untuk berhenti. Napas sudah mulai ngos-ngosan dan gue menempelkan plester diatas luka yang baru menganga tersebut.

30 menit, jalan mulai menanjak. Plester yang gue tempelin udah bergeser dan menambah ketidaknyamanan di dalam sepatu. Nempel-copot terus menerus. Sekujur kaki mulai terasa gerah, nafas semakin memburu, dan keringat mulai terjun bebas dari jidat ke tanah. Untuk kedua kalinya, gue minta berhenti.

Kali ini sepatu Timberland yang maha dahsyat nan penuh puja puji itu gue copot dan gue lempar ke tanah.  Kaki gue bahkan tidak lagi mampu mengangkat sepatu itu, apalagi dipakai jalan. Tanah pun berdebam saat menerima berat sepatu yang mencapai 2.1 pounds (hampir 1kg). Karir mendaki sepatu tersebut hanya 30 menit saja, diakhiri oleh bunyi berdebam saat sepatu terbanting ke tanah.

Agar bisa melanjutkan perjalanan, gue membuka resleting di tengah celana yang berfungsi mengalihfungsikan celana dari panjang ke pendek. Sebagai ganti sepatu, gue pake sendal Boogie item andalan sepanjang masa.

Segala macem slip dan anti apapun itu tidak berfungsi di perjalanan ini. Sepatu itu terlalu berat dan nyusahin untuk naik gunung. Bahkan saat ditaro di carrier sekalipun, sepatu itu tetap berat dan nyusahin. Asem.

***


Selepas dari tragedi sepatu laknat itu, gue melanjutkan perjalanan menuju Alun-alun Surya Kencana. 


sepatu lepas, celana pendek, 
dan sepatu laknat di dalam carrier
(mulai frustrasi)


Dikarenakan stamina gue udah terkuras karena ngangkat sepatu yang seberat batu kali, perjalanan gue ke Surya Kencana jadi tersendat-sendat. Apalagi ditambah dengan kondisi badan gue yang jarang bergerak dan malas berolahraga, walhasil perjalanan gue persis kayak Son Goku naik menara Karin. Lidah keluar, nafas ngos-ngosan, dan seakan tidak berujung. Namun tidak ada Kacang Ajaib.



kemudian terkapar...


Semakin menuju Surya Kencana, pemandangan semakin membuat frustrasi. Sepanjang mata memandang, hanya ada batang-batang pohon yang terlihat seperti kaki raksasa. Jalur pun semakin menanjak dan tidak ada seberkas pun tanda-tanda akan berakhir. Di kanan jalur terdapat sebuah pelataran, di pelataran itu ada beberapa cewek berjilbab yang sedang terkapar kecapekan.

"Tinggalin aja, aku gak apa-apa. Kamu duluan aja," rintih dia ke teman-temannya.

"Jangan! Kamu harus kuat! Sedikit lagi sampai," balas temannya. Mungkin dia khawatir kena hipothermia.

Di sisi lain, ada cewek berjilbab lainnya nunduk sambil komat-kamit dengan nafas tersengal-sengal. Keadaan ini seperti suatu adegan di sinetron Hidayah.

Menurut penelitian, lingkungan memiliki pengaruh paling besar dalam perkembangan anak dan barangsiapa yang bergaul dengan penjual parfum maka ia akan terkena bau harum. Semua pemandangan itu, menularkan rasa frustrasi dan putus asa ke gue. Jangan-jangan emang ini jalan tidak berujung, jangan-jangan gue kena setan keder, atau jangan-jangan gue salah naik gunung. Jangan-jangan di atas itu Gunung Agung. Kalau iya, mungkin gue akan menyempatkan diri beli bulpen Rotring atau kamus Karce disana.

"Ayo Kan! Sedikit lagi sampe! Liat diujung tuh, pohon-pohon udah mulai memendek," teriak Ojan, temen pendakian gue, sambil menunjuk ujung langit. Benar saja, vegetasi mulai jarang dan gue bisa melihat langit. Pohon juga semakin pendek, yang berarti perjalanan ini akan segera berakhir. Segala macam pikiran aneh gue kubur jauh-jauh dan gue mulai memaksakan diri untuk terus jalan dan berpacu diatas tanjakan. Sampai-sampai telapak kaki gue kapalan dan lecet.

Peduli amat. Gue harus menuju puncak.

***

Setelah sekitar 7 jam mendaki, akhirnya jalan mulai datar dan berlapis batu. Setengah berlari gue menyusuri lorong yang terbentuk dari ranting-ranting pepohonan, bergerak ke arah cahaya dan mulai mendengar keriuhan.

Selepas lorong, dalam keadaan lelah dan frustrasi yang memuncak, gue sampai di Surya Kencana. Sebuah pelataran luas yang berada tepat dibawah puncak Gunung Gede. Hamparan padang rumput nan indah menguapkan lelah, barisan bukit yang terhampar di kana-kiri Surya Kencana memupuk semangat gue untuk pecicilan foto-foto, dan udara dingin membuat... gigi gue beradu membentuk harmoni. Bentuk Surya Kencana yang seperti lorong membuatnya sering dilewati angin kencang bersuhu dingin. Dengan kondisi baju yang basah kuyup, udara dingin menusuk sampai ke sumsum tulang belakang. Langsung saja gue pake jaket dan topi ala-ala Jonsi Sigur Ros.

Dari pintu masuk Surya Kencana, gue berjalan sekitar 15 menit lagi untuk menuju camping ground yang letaknya dekat pintu masuk puncak Gunung Gede. Sesampainya disana, gue tertidur diluar tenda. Tepar. Gak beberapa lama tertidur, gue disuruh pindah ke dalam tenda yang suhu-nya lebih hangat. Lagi-lagi untuk menghindari ancaman hipothermia. Bahaya kan kalo hippopotamus diserang hipothermia.

Gue terbangun sekitar jam 9 malam dan perut bermusik Keroncong Kemayoran.

Karena gak bisa tidur lagi dan emang belum makan malam, gue beranjak keluar tenda. Niatnya bikin makanan (kayak ngerti aja).

Beruntung gue punya teman seperjalanan yang baik. Gue ternyata ditinggalin satu porsi spaghetti dan mereka pun sudah makan duluan. Tanpa ampun, gue lahap spaghetti itu dengan sukses. 

Sambil makan, gue mengarahkan pandangan ke langit. Satu hal yang gue sukai saat bermalam di gunung adalah hamparan indah bintang-bintang yang bersinar terang tanpa terhalang, berjajar rapi dalam satu sinergi keindahan alami. Di saat inilah alam bertukar pikiran dengan manusia. Makanan pun terasa lebih nikmat dibuatnya.




***


Sebuah tendangan keras membangunkan gue di saat suasana tenda masih gelap, "Bangun woy! Mau liat sunrise gak!?"

"Haahh... Hemmm.. Hahhh..." balas gue malas. Keadaan fisik yang capek  dan udara yang dingin membuat gue malas bergerak ke puncak Gunung Gede untuk menikmati sunrise. Logikanya dimana-mana yang namanya matahari terbit itu bentuknya sama. Kuning, naik pelan-pelan, dan bikin backlight kalo difoto. Sehingga gue lebih memilih bobo cantik di atas matras dengan badan berlapis jaket polar dan kaki terselimuti kaus kaki tebal.

0700 gue baru bangun dan terbius dengan hamparan padang rumput Surya Kencana yang seakan tak ada habisnya. Semak-semak Edelweiss mempercantik padu padan alam yang disusun cantik oleh Sang Pencipta. Diluar tenda temen-temen ternyata udah duduk jongkok mengelilingi kompor untuk masak nasi dan sup.



"Baru bangun bro?" sambut mereka saat gue sedang meninju langit.

"Iya nih, dingin banget ya," balas gue yang sebenarnya merasa bersalah karena tidak bantu apa-apa. Namun karena memang pengalaman kemping gue masih nol besar, lebih baik gue diam dan melihat cara kerja mereka. Karena apabila gue membantu, takutnya seluruh tenda kebakaran karena gue nyemprot kompor parafin yang lagi nyala dengan gas. Duar.




1100, saat matahari sudah bangkit seutuhnya, rombongan berangkat menuju puncak Gunung Gede.

sebelum muncak

Perjalanan ke puncak lumayan terjal dan menguras napas walaupun secara jarak dan waktu relatif lebih singkat (+/- 45 menit). Hal ini dikarenakan tipisnya udara di sepanjang perjalanan, sehingga saat menghirup gue cuma bisa dapet udara setengahnya.

Seperti biasa, dengan cara ngos-ngosan gue sampai ke puncak.

Puncak Gede. Finally.

Bersikap dramatis, gue langsung bergerak ke pinggir jurang dan membentangkan kedua tangan. Udara segar puncak gunung langsung gue hirup semaksimal mungkin dan dalam hati gue teriak, "GILA, SAMPE JUGA!"



Di satu sisi gue merasa sangat kecil di alam raya ini. Keberadaan gue di puncak gunung seakan menjelaskan bahwa manusia hanyalah satu titik kecil di dalam alam yang tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan dan pertolongan-Nya. Alam mengajarkan gue untuk rendah diri dan sadar bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari alam. Pendakian pertama ini lebih bersifat filosofis, hangat, dan menyentuh.

Keadaan puncak Gede pada saat itu cukup ramai dan beberapa rombongan juga baru sampai disana. Bahkan kita harus antri dengan pendaki lainnya untuk sekedar foto di tulisan Puncak Gede 2958 MDPL.





Yang patut disayangkan, pada saat itu keadaan puncak Gede sedang berkabut sehingga gue gak bisa menikmati pemandangan dengan jelas. Pemandangan dibawah puncak cuma bisa gue intip di sela-sela kabut yang tersingkap. Namun gue tetap bisa menikmati puncak dengan menikmati udara sejuk dan lelahnya jalur pendakian.




Tidak lupa makan Astor

***

Sekitar 1230 gue bergerak turun melalui jalur Cibodas. Jalur ini terletak di ujung puncak Gede dan dimulai dengan jalur bebatuan yang cukup tajam nan menyiksa kaki (apabila memakai sendal ; seperti saya ; saya punya sepatu ; tapi nyusahin; ah sudahlah).

Setelah jalur bebatuan, kontur jalan mulai berupa tanah dengan tingkat kemiringan yang cukup tajam. Agar tidak nyusruk, gue memanfaatkan ranting-ranting sebagai pegangan. Kemudian setelah sekitar 3 jam perjalanan, gue sampai di pos Kandang Badak untuk istirahat, sholat, dan makan siang.

Pos Kandang Badak merupakan tempat camp di Gunung Gede selain Surya Kencana. Karena terletak di areal yang strategis (diantara puncak Gede & Pangrango), Kandang Badak sering dipakai oleh para pendaki yang mengincar pendakian langsung 2 puncak gunung. Selain itu, mata air di camp ini cukup mudah dan berlimpah ruah. Tinggal tampung, siap minum.

Pukul 1530 kita melanjutkan perjalanan turun dan pulang ke Jakarta.

Kelebihan dari jalur Cibodas adalah banyaknya spot-spot unik yang memanjakan mata, tidak seperti jalur Putri yang hanya pohon-pohon dan badan-badan pendaki yang tepar. Jalur Cibodas memiliki beberapa curug dan satu mata air panas yang pada awalnya hangat namun semakin panas di tengah... dan hanya berjarak 50cm dari jurang. Kacamata sudah tidak berfungsi di jalur air panas karena akan tertutup uap, walhasil gue melepas kacamata dan berharap tidak celaka karena mata yang siwer.



Selain itu, jalur Cibodas mempunyai kelebihan... jarak (8 Km). Perjalanan yang dimulai dari Kandang Badak pada 1500 belum selesai juga sampai 1900. Hari sudah mulai gelap dan setiap tikungan terlihat mirip satu sama lain. Saat berhenti di dekat Curug Cibereum, telapak kaki gue terasa sangat perih karena dihujam oleh ratusan batu yang menjadi alas jalur Cibodas. Keadaan bahu gue sangat pegal karena mengangkut carrier yang seakan bertambah berat seiring dengan berjalannya waktu.

"Kita nyampenya kapan sih?" tanya gue ke Windra. Putus asa dengan perjalanan yang tak kunjung habis.

"Bentar lagi, dari sini palingan tinggal 30 menit udah sampe pos. Yuk berangkat lagi biar gak kemaleman," balas dia sambil melanjutkan perjalanan. Menembus kegelapan malam.

... 2 jam kemudian.

Jalur tidak menunjukkan tanda-tanda selesai, tikungan demi tikungan yang terlihat identik sudah kita lalui. Perjalanan ini pada akhirnya mengajarkan gue untuk tidak mempercayai anak gunung. Standar waktu mereka berbeda.

Saking menyebalkannya perjalanan, gue sampai bertitah tidak akan mau ikut apabila diajak naik gunung lagi. Seenggaknya gue akan berpikir dua, tiga, atau bahkan ratusan kali sebelum mengiyakan ajakan untuk naik gunung.

Perjalanan berakhir di sebuah pertigaan. Setelah pertigaan tersebut, akhirnya kita bisa melihat secercah cahaya dan mendengar suara riuh rendah para pendaki yang lebih dulu sampai. Bale-bale warung menjadi tempat dan saksi teparnya gue setelah mengakhiri pendakian pertama gue. Pendakian resmi berakhir pada pukul 2130. 

Pendakian ke Gunung Gede mungkin akan dianggap cemen oleh para expert pendakian dan tulisan ini mungkin akan ditertawakan. Gunung Gede mungkin bagi mereka hanyalah tempat rekreasi Sabtu-Minggu yang bahkan dapat didaki dalam jangka waktu 2,5 jam oleh para penggiat trail running. Namun bagi gue, Gunung Gede seperti kencan pertama yang melelahkan. Di satu sisi gue capek menghadapinya. Di sisi lain, gue jatuh cinta dengan keindahan lukisan alam, kesejukan udara segar, dan hamparan bintang indah yang berbaris rapi di langit.






Saya... jatuh cinta dengan alam.



mari kita lanjut...