Kamis, September 03, 2015

Ceremai, Sang Penguasa Jawa Barat

Selepas perjalanan ke Gunung Puntang, gue langsung mencari info trip ke Gunung Ceremai. Titik tertinggi di Jawa Barat. Rasa penasaran menyeruak saat memandang puncaknya dari Gunung Puntang, Bandung. Puncak Gunung Ceremai, yang berdiri kokoh melawan langit di tengah kepungan awan. Dia terkesan kokoh, megah, dan angkuh. Memang, tidak ada gunung yang bisa ditaklukan oleh manusia. Namun sungguh amat sayang apabila memiliki sepasang kaki yang masih kuat tapi tidak dimanfaatkan untuk menjejakkan kaki di atasnya.

Keinginan disambut kesempatan, kesempatan yang langsung dikonversi jadi kenyataan. Pada suatu pagi di dalam kamar tua yang sudah gue tinggali sejak kelas 4 SD, masuk pesan whatsapp di hape. Pesan itu berisi undangan perjalanan sharecost ke Ceremai dari Abi, seorang trip organizer yang mengusung merk Bulaba (Buat Langkah Baru) pada tanggal 3-4 April 2015.

"Book 1 orang, tau jadi apa enggak, yang penting book," balas gue.

Gayung pun bersambut, niatan gue ke Ceremai dijawab oleh ajakan trip. Tentu saja gayung bersambut. Karena kalau gayung bersambit, berarti lagi ada tawuran antar tukang gayung.

Karena model trip nya sharecost, maka gak ada istilah 'Tau beres'. Setiap orang harus berbagi biaya perjalanan dan paham mengenai kebutuhan-kebutuhan saat hiking. Oleh karena itu walaupun informasi ini disebar melalui broadcast message dan forum backpackerindonesia, peserta yang ikut tidak begitu banyak. Hanya ada 8 orang yang sepakat berkumpul di Kp. Rambutan pada tanggal 3 April 2015.

***

Malam hari di terminal Kampung Rambutan, pada saat tanggal muda dan long weekend. Suasana terminal sangat lah padat, beberapa kura-kura yang berjalan tegak (orang-orang yang membawa carrier) terlihat berkeliaran, bergerombol, dengan masing-masing tujuannya. Selain itu, ada beberapa rombongan keluarga dengan berbagai macam model tas berjalan beriringan. Raut muka mereka terlihat bersemangat untuk sampai ke tempat tujuan mereka, bertemu dengan keluarga nun jauh disana. 

Kita berkumpul di dekat parkiran motor yang terletak di depam terminal Kp. Rambutan. Tanpa tedeng aling-aling, ada seorang Bapak nyamperin rombongan kita. Bapak-bapak itu terlihat bingung dan bajunya lusuh. Sepertinya dia disuruh nanya ke kita, karena gak beberapa jauh dari Bapak-bapak itu ada sekelompok anak muda yang sedang mengamati pergerakan dia. Seakan menunggu keputusan yang diambil dari pertemuan dengan kita.

"Dek, mau naik gunung kemana?" tanya dia.

"Ke Ceremai, Kuningan Pak," jawab kita.

"Oooh... Berat gak trek-nya? Kalau enggak, barengan kita aja ke sana. Kebetulan kita pake mobil travel," kata dia sambil menunjuk mobil ELF yang sedang dikelilingi beberapa orang.

"Berat maksudnya gimana? Memang Bapak mau kemana?" balas kita bingung. Baru kali ini orang ngajakin bareng tapi nanya berat apa enggak. Orang mau hiking normalnya tau tempat mana yang akan dituju dan sudah mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan tempat tersebut. Lah ini nanya berat apa enggak. Aneh. 

"Belom tau nih. Tapi kalo adanya temen ke Ceremai ya kita kesana. Tadinya kita mau ke Papandayan, Cikuray, atau Merapi."

Oke. Kita butuh beberapa waktu untuk mencerna statement tersebut. Walaupun kita bukan ahli di bidang Geografi, tapi kita jelas tahu kalo Papandayan, Cikuray itu ada di Garut dan Merapi itu ada di... Yogyakarta. Kita gak paham apakah Bapak itu sedang halusinasi akibat nyium bau pipis kering yang tersebar di pojok-pojok parkiran apa gimana.

"Liat nanti ya Pak, kita masih nunggu yang lain dulu." Balas kita sembari berusaha keras bersikap ramah dan seakan-akan paham akan maksud dan tujuan Bapak itu. 

Karena gak jelas, kita memutuskan untuk menolak ajakan Bapak itu. Lebih baik kita bergerak sedikit ke dalam terminal untuk naik bis umum ketimbang ikut barengan tanpa arah itu. Takutnya kita malah dibawa ke Gunung Sahari.

***

Pada perjalanan kali ini, gue sangat merasakan efek long weekend dan tanggal muda. Kita berangkat dari Kp. Rambutan pukul 01.00 dan baru sampe pertigaan kota Kuningan jam 10.00. Yak. 9 jam saja. Dimana normalnya perjalanan Jakarta-Kuningan memakan waktu 4-5 jam.

Selain akibat kemacetan di Cikampek dan Jalur Pantura yang seakan tidak ada habisnya, lama perjalanan juga diakibatkan oleh jalur bus yang diputar dulu ke Indramayu. Bis 45 seat segede Optimus Prime tidur tengkurap itu dipaksa masuk jalan kampung Indramayu yang sempit dan belum beraspal. Pada akhirnya bis kita sukses bikin macet jalan dan menghambat lalu lintas.

Selain korban waktu, bis kampret itu juga memakan korban lainnya. Topi fedora abu-abu kesayangan yang sudah melindungi kepala gue saat jalan-jalan ke Bali, Merbabu, Sawarna, Solo, dan berbagai tempat lainnya, resmi ilang. Hal terakhir yang gue inget, topi itu gue jadikan semacam bantal saat molor dengan gaya nemplok di jendela. Karena setengah sadar, gue gak sadar kalo jendela itu terbuka lebar. Sehingga bisa dipastikan, topi itu pasti terhempas ke ruas tol Cikampek. 

Ah, biarkanlah dia bebas diluar sana. Semoga pemilik barunya juga suka ngajak dia jalan-jalan.  #menangisterharu

Yang bikin bis itu makin kampret adalah : kita diturunin di tengah jalan. Padahal pada awalnya bis itu janji akan ngelewatin Linggajati. Gue lupa nama jalan tempat kita diturunin, pokoknya pertigaan antara tol - kota kuningan - Linggajati. Disitu kita dioper ke angkot yang ujug-ujug nembak 20 rb per orang untuk sampe pos Linggajati. Beruntung tim kita punya Andi, orang Sunda yang bisa debat pake bahasa Sunda. Jadilah kita bisa nolak pemalakan ter struktur tersebut dan berjalan sedikit untuk dapet angkot bertarif 10 rb untuk ke pos Linggajati, basecamp pendakian Ceremai.

Terhindar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau, Ternyata pos yang dimaksud abang angkot adalah POS POLISI. Mungkin bisa dimaklumi kalo jarak antara Pos Polisi dengan basecamp pendakian deket. Pada kenyataannya, basecamp Linggajati masih berjalan 2KM lagi. Kembali Andi bersuara dan pada akhirnya kita bayar cuma 7 rb. Dia harimau, kita T-Rex.

Turun di pos polisi, ada banyak angkot yang siap mengantar kita ke base camp dengan tarif 5-10rb. Namun sebelum perjalanan dilanjutkan, kita belanja dulu di Indomaret yang letaknya tepat di seberang pos polisi.

***

Setelah naik angkot, akhirnya kita sampai di Pos pendakian Gunung Ceremai Jalur Linggajati. Di pos ini, kita wajib mendaftar dengan menyerahkan fotokopi KTP/SIM. Jadi yang ingin ke Ceremai jangan lupa siapin dokumen tersebut. Selain itu, kita diwajibkan bayar uang masuk sebesar... Jeng Jeng Jeng! 50 Ribu rupiah. Kita shock. Gunung Gede via cibodas Simaksi nya 22,5 rb, via Selabintana 7,5 rb , Merbabu 5 rb, Puntang 10 rb, dan Burangrang Gratis. Walaupun keki, tapi apalah daya. Ga mungkin kita balik ke Jakarta karena gak mau bayar Simaksi. Semoga uang yang terkumpul bener-bener dipakai untuk merawat alam kita tercinta ini.




"Naik lewat sini, turunnya harus lewat sini lagi ya," kata Bapak penjaga pos saat kita mau jalan. Suatu hal yang bertentangan dengan rencana perjalanan kita, naik via Linggajati turun via Apuy. Sebodo teing lah. Kita sepakat mau nekat. Kalo misalnya pas sampe Apuy kita disuruh balik, kita akan pura-pura pingsan.

Sekitar pukul 13.00, perjalanan menuju Puncak Ceremai dimulai. Tak lupa kita berdoa dulu sebelum melanjutkan perjalanan, karena tidak ada perlindungan yang lebih aman dibanding perlindungan dari-Nya.

Dari basecamp, kita diarahkan melewati jalan aspal yang cukup menanjak. Di sepanjang jalan ini, terdengar teriakan burung-burung yang suaranya persis kayak orang buang reak. Entah burung apa. Setelah jalan sekitar 30 menit, kita sampai di sebuah bangunan kantor milik Bumi Perkemahan Cibunar. Di tempat ini orang-orang bisa buka camp dan menikmati pemandangan cantik ala kaki gunung Ceremai. Setelah pos Cibunar, perjalanan mulai memasuki hutan lebat dengan trek berupa tanah yang belum begitu menanjak.



Perjalanan mulai serius saat melewati pos Kuburan Kuda, yang konon katanya tempat ini dulu memang dipakai sebagai kuburan kuda tentara Jepang. Capek bener ya para tentara Jepang untuk nguburin kuda. Musti nanjak 2 jam dulu. Setelah pos ini, trek mulai menanjak curam dengan tanah yang dilapisi akar licin. Perlu sedikit berhati-hati karena apabila meleng sedikit kita bisa terpeleset akibat menginjak akar.

Sekitar pukul 18.00, matahari sudah tertidur dan gelap malam mulai menampakkan kuasanya. Kita memutuskan camp di pos Pangalap. Dari pos ini kita rencana bangun jam 3 pagi untuk melanjutkan perjalanan ke summit yang masih berjarak sekitar 6 jam lagi.

***

Keadaan dalam tenda yang sejuk dan gelap malam yang begitu pekat membuat tidur kita begitu lelap. Niatan bangun jam 03.00, jadinya malah jam 04.00. Segera kita beres-beres tenda karena niatan kita melintas jalur dan tidak melewati jalur yang sama, sehingga tenda tidak bisa ditinggal. Setelah berdoa, kita langsung melanjutkan perjalanan pada pukul 05.00.

Tanpa ampun. Itu lah deskripsi yang pas untuk jalur setelah pos Pangalap. Dimulai dari tanjakan Seruni yang konturnya sempit, membuat kita harus menyelip diantara tanah-tanah tinggi. Tanjakan Seruni selesai dilewati, lanjut ke Bapa Tere. Di pos ini, tanjakan nya sangat curam sehingga memaksa kita untuk merayap di antara tanah dan akar. Untungnya di ujung tanjakan ada bantuan tali yang cukup membantu kita saat melewati jalur Bapa Tere.


Batu Lingga, Sangga Buana I, dan Sangga Buana II adalah pos yang kita lewati selanjutnya. Kontur jalur berupa hutan lebat dengan tanjakan yang curam dan konsisten. Kondisi jalur yang berputar seringkali menurunkan motivasi dan menambah kelelahan. Pelan tapi pasti gue melalui pos demi pos sampai menemukan sebuah lapangan terbuka yang cukup besar. Lapangan itu sudah ramai diisi para pendaki yang sedang beristirahat cenderung tepar.


Pos Pengasinan, itulah nama pos terakhir sebelum mencapai puncak Gunung Ceremai via jalur Linggajati. Dari pos ini sudah terlihat gagahnya puncak Gunung Ciremai yang berdiri tegak menantang langit dan awan. Sangat menggoda melihat tujuan akhir di depan mata. Seakan-akan mudah untuk digapai. Setelah cukup beristirahat di pos ini, gue melanjutkan perjalanan.





Jalur setelah Pos Pengasinan ibarat raja terakhir. Track-nya perpaduan batu dan tanah gembur yang mudah longsor. Bahkan gue sempat nyusruk masuk ke salah satu lubang di jalur ini.  Untung bukan nyusruk ke jurang. Karena sudah mendekati puncak vegetasi cenderung didominasi oleh pohon-pohon berukuran kecil seperti Edelweiss yang keindahannya luar biasa, sehingga bisa dipastikan jalur ini akan terasa panas menyengat apabila musim kemarau. Mungkin itu penyebabnya pos terakhir dinamakan Pengasinan. Trek-nya bikin kita kering kerontang macam ikan asin.


Tanjakan demi tanjakan dan berbagai formasi batu berhasil membuat paha dan betis gue kaku. Teknik dua-puluh-langkah-berhenti + ngap-ngapan gue pake. Salah satu motivasi gue untuk mencapai puncak adalah bayangan akan Colonel Sanders yang menyambut gue saat turun nanti. Bayangan 3 ayam crispy KFC memotivasi gue untuk segera mencapai puncak dan turun untuk mampir ke gerai KFC.

Pukul 11.30 akhirnya gue sampai ke puncak Panglongokan, SUMMIT!


Rasa puas langsung mengusir rasa lelah saat melihat paparan langit di sekitar puncak. Berdiri di dalam langit, di atas titik tertinggi Jawa Barat, membuat gue serasa terbang. Paparan kawah Gunung Ceremai yang tampak seperti wajah raksasa yang sedang tertidur merangsang bulu kuduk gue untuk berdiri. Kemegahan alam tampak sempurna di Puncak Ceremai.




Selesai foto-foto dan menikmati summit, gue langsung mencari tim yang sudah sampai duluan. Ternyata tim sudah siap dengan makanan berupa nasi putih dan sarden. Makanan paling enak sedunia. Terlebih lagi karena dari pagi gue cuma bisa ngemil Honey Star untuk makan.




***

Sekitar pukul 15.00 kita memulai perjalanan turun via jalur Apuy. Karena dari 8 orang anggota tim belum pernah ada yang ke Gunung Ceremai via Apuy, kita semua bergerak dengan petunjuk dari pendaki yang lewat. Pendaki yang kita tanya menunjuk salah satu ujung puncak Ceremai yang jika dari jalur Linggajati arahnya ada di sebelah kiri.

Permasalahannya, pada saat kita mulai bergerak ke daerah yang ditunjuk, hujan deras tiba-tiba turun. Selain itu, kabut tebal mulai berdatangan dan menyelimuti puncak Ceremai. Daerah yang menjadi patokan pun tertutup, membuat kita kehilangan arah. Orang-orang yang tadinya sliweran mendadak hilang, raib entah kemana. Akhirnya kita hanya mencari jalur dengan sistem trial & error. Beberapa tebing kita turuni demi mencari jalur namun hasilnya tetap hampa. Jalur Apuy belum berhasil ditemukan.

Kondisi puncak Ceremai yang botak dan minim pohon membuat gue berpikiran buruk. Kita ada di tengah awan mendung dengan kilat yang menyambar di kanan-kiri. Suaranya sangat tajam dan menggelegar, membangun rasa takut gue. Pikiran kebayang kalo kita tersambar petir. Rintik hujan yang deras juga menyulitkan pandangan kita dalam mencari arah, menambah rasa was-was. Di puncak Gunung Ceremai langit serasa mengamuk dan berperang dengan awan mendung. Satu persatu kita mulai putus asa.

Saat mulai putus asa tersebut, kita menemukan sebuah bivak oranye diantara selipan batu. Bivak itu berjendol dan berbentuk seperti kepompong, tanda ada orang di dalamnya.

Bergegas kita teriak untuk menanyakan arah, "Woi! Jalur Apuy lewat mana ya!?"

Tanpa dialog ataupun monolog, sebuah tangan menyembul keluar dari bivak tersebut. Tangan itu menunjuk suatu arah. Hey, dia menjawab pertanyaan kita!

"Terima kasih ya!" sahut kita yang dibalas oleh lambaian oleh tangan misterius penunjuk arah tersebut. Segera kita meneruskan perjalanan ke arah tersebut. Kondisi cuaca yang semakin memburuk membuat kita terburu-buru ingin meninggalkan puncak Ceremai.

Ternyata arah yang ditunjukkan adalah arah yang benar. Kita akhirnya sampai di puncak Palutungan, puncak lain dari gunung Ceremai. Dari puncak Palutungan, akhirnya kita menemukan jalur turun dari puncak Ceremai. Terima kasih wahai tangan misterius!

***

Track awal jalur turun Gunung Ceremai adalah track berbatuan yang curam dan labil. Di jalur ini kita harus berhati-hati agar tidak jatuh dan terkena batu-batu tajam. Kalau gak salah pos pertama yang ditemui di jalur ini adalah pos Goa Walet yang berisi beberapa tenda pendaki.

Sekitar 1-2 jam perjalanan, kita menemukan percabangan. Keberadaan petunjuk arah membuat kita tidak bingung menentukan jalur selanjutnya. Jalur kiri mengarah ke Palutungan, Kuningan sedangkan jalur kanan mengarah ke Apuy, Majalengka. Segera kita memilih dan bergerak ke jalur Apuy.

Setelah percabangan, kontur jalur berubah dari bebatuan menjadi tanah gembur / lempung yang licin akibat diguyur hujan. Sudut kemiringan cukup curam, mirip jalur Putri pada Gn, Gede, namun dengan tanah yang lebih dalam dan licin. Beberapa kali gue jongkok dan main perosotan akibat licinnya jalur. Celana gue udah abis belepotan lumpur akibat teknik tersebut. Abi, si empunya BuLaba, bahkan sukses kebalik badannya. Kepala di bawah kaki di atas, nyangkut di akar yang menyeruak di balik tanah.

Perbekalan yang sudah habis membuat kita mempercepat laju .Untuk tim 8 orang, kita hanya punya air 1 liter. Membuat kita harus irit dalam minum air. Selain itu, bekal makanan tinggal sebatang coklat Silverqueen. Lengkap sudah penderitaan. Saking cepatnya kita melaju, salah satu anggota tim ada yang terkena kram perut. Untungnya kejadian dia kram perut ada di pos 2, tidak jauh dari basecamp.

Sekitar pukul 22.00 kita sampai basecamp Apuy. Kelelahan menguasai kondisi fisik kita semua dan pakaian pun udah basah sampe ke kolor. Kita akhirnya selesai melintasi Kuningan - Majalengka dengan berjalan kaki. Setelah lapor ke penjaga, kita langsung ke warung pesen Indomie dan makanan apapun yang bisa dimakan.


Pukul 00.00, setelah selesai repacking dan bersih-bersih, kita numpang pickup tukang sayur ke terminal Maja, Majalengka untuk kemudian naik angkot ke Bandung. Dari Bandung, gue naik bis MGI jurusan Bandung - Depok. Sesampainya di Depok, sebelum pulang ke rumah, gue berhenti di sebuah warung bernuansa merah yang ditemukan oleh seorang Colonel Sanders. Segera gue pesan KFC Bucket yang berisi 9 ayam untuk dibawa ke rumah.

Sesampainya dirumah, 3 ayam Crispy KFC berhasil gue sikat.

Keberhasilan dalam mendaki gunung bukan pada saat sampainya kita di puncak, tapi pada saat kita berhasil pulang ke rumah dan membawa cerita yang akan kita kenang selamanya.




mari kita lanjut...

Selasa, Juni 02, 2015

Puntang, Surga Tersembunyi di Bandung Selatan

Gunung Puntang, Bandung.
[14 Februari 2015]

Mungkin hampir semua orang belum pernah mengetahui atau mendengar obyek wisata yang tersembunyi di ujung kota Bandung ini, tepatnya di daerah Banjaran, Bandung Selatan. Dimana orang-orang lebih mengenal Bandung Selatan dengan Ciwidey-nya. Kalau dari pintu tol Kopo, Banjaran letaknya setelah Soreang. Tau Soreang? Soreang adalah anak yang manis, anak yang manis jangan lah dicium sayang, kalau dicium merahlah pipinya.

Mengingat gue harus mengetahui medan sebelum memulai perjalanan, maka gue mencari wangsit ke Mbah Google yang mengetahui segala tempat, peristiwa, dan tokoh. Judul pertama yang muncul saat search keyword 'gunung puntang' adalah : "Cerita Hantu – Kisah Pilu di Bumi Perkemahan Gunung Puntang," "ANGKER BANGET, Misteri Gunung Puntang," atau "Pengalaman Mistis Saya Di Gunung Puntang."

Sumber atau awal mula cerita mistis ini mungkin dari adanya stasiun Malabar yang didirikan pada tahun 1917-1929. Stasiun Malabar merupakan stasiun pemancar radio Belanda dan selain stasiun pemancar, di sekitarnya terdapat komplek perumahan dinas dan gua Belanda. Mungkin inilah yang membuat Puntang terdengar menyeramkan. Konon terdapat gua-gua Belanda di sekitar Gunung Puntang, sehingga orang-orang beranggapan banyak noni dan mister Belanda yang masih patroli disana.

Walaupun begitu, gue tetap berniat menuju Gunung Puntang. Gue yakin kalau dengan niat yang baik dan gak ada keinginan untuk merusak, semua akan berjalan aman tentram dan damai. Tujuan gue hanya satu, menikmati lukisan Yang Maha Kuasa pada kanvas alam yang indahnya tiada tara. Semacam Tara Reid.

Oke, mari kembali ke Puntang, sebelum pembicaraan terfokus ke Tara Reid dan melebar ke Baywatch.

Perjalanan ke Puntang dimulai di pos bumi perkemahan, dimana ada seorang akang penjaga gerbang yang dengan kejamnya gue bangunin tepat pukul 2 pagi. Mungkin dia kesal, mungkin dia marah, dan mungkin dia mau menyelipkan sendal jepitnya ke biji mata gue karena bisa saja sebelum terbangun dia ternyata sedang mimpi nikah dengan Chelsea Islan dan pergi keliling dunia naik Jumbo Jet.

Mau bagaimana pun, nasi sudah nyelip di dubur. Akang itu sudah bangun dan kita segera registrasi, menyerahkan pembayaran sebesar 10.000 /orang. Setelah selesai urusan pendaftaran, gue istirahat sejenak di Musholla sembari menunggu adzan Subuh berkumandang. Sekitar pukul 04.00 gue dan temen seperjalanan, Andi, melanjutkan perjalan menuju puncak Gunung Puntang. Anggota tim perjalanan kali ini hanya dua orang. Duet.

Pada awal pendakian, jalur mengarahkan gue menyusuri sungai kecil. Tak beberapa lama berjalan, jalur terputus  dan membelok ke jembatan yang dibuat dari beberapa batang kayu yang disusun tidak rapi. Imbasnya, batang kayunya goyah dan membuat gue seperti main trapeze saat melintasinya.

Setelah menyebrangi sungai dan berjalan menyusuri jalan setapak, gue menemukan semacam kolam kecil yang berdiri kaku di tengah hutan. Tidak ada air di kolam itu, hanya ada barisan bebatuan yang terbaring kaku di tengah gelap malam. Sepertinya bukan kolam cinta bekas stasiun radio Malabar dahulu, karena sepengetahuan gue bentukan kolam cinta besar dan lebar.

Suasana yang masih gelap dan beberapa cerita mistis yang gue baca sebelum perjalanan membuat pikiran mengkhayal macam-macam di tempat ini. Segera pikiran konyol semacam itu gue tepis dan fokus mencari jalur. Ternyata jalur pendakian bukan di sekitar kolam, gue harus mundur ke belakang dan mengambil jalan lain yang menanjak. 

Selain bangunan kolam misterius tersebut, di jalur awal Gunung Puntang terdapat beberapa pondokan semi permanen yang dipakai petani sebagai tempat istirahat. Terlihat dari baju-baju yang digantung di luar pondokan tersebut dan suara baju yang diterpa tiupan angin kadang terdengar seperti langkah kaki orang. Syahdu dan misterius.

Ternyata jalur yang kita lewati itu memang digarap sebagai perkebunan oleh warga sekitar. Terlihat dari kontur tanah yang gembur, sehingga sering longsor saat dipijak. Di sela-sela kebun dan pepohonan, kita menemukan jalur yang mulai menanjak curam.

Pendakian dimulai.

Sekitar 1 jam perjalanan, tiba-tiba mata gue berkunang dan napas mulai tersengal. Bahkan untuk menarik napas panjang pun tidak sanggup karena udara seakan tertahan di ujung tenggorokan dan menolak masuk ke paru-paru. Tangan gue gemetaran dan beberapa kali jalan gue condong ke kiri mendekati jurang, tidak fokus.

Akhirnya kita memutuskan berhenti sejenak di jalur. Gejala-gejala tersebut berasal dari perut yang kosong dan kelaparan. Gue baru ingat kalau terakhir kali gue makan itu jam 3 sore, sehari sebelum perjalanan, setelah selesai dinas di Kota Bandung. Dalam rentang waktu jam 15.00 sampai 04.30 tersebut gue nonton 2 film di Mall Miko, keliling daerah Kopo sembari nunggu Andi dateng, dan melakukan perjalanan ke Gunung Puntang tanpa menerima asupan makan sama sekali. Pantas saja badan gue protes.

Karena kita kelupaan bawa roti dan hanya bawa snack berupa biskuit, pada akhirnya gue melahap habis satu bungkus biskuit Good Time dalam waktu singkat. Setelah melahap sebungkus biskuit Good Time dengan congok (Rakus), energi gue perlahan muncul dan perjalanan kami lanjutkan.

Peristiwa ini menjadi semacam pengingat untuk gue. Olahraga hiking membutuhkan stamina dan energi yang cukup besar. Kedua hal itu hanya bisa didapat dari asupan makanan yang cukup, minimal 6 jam sebelumnya. Selain itu, perjalanan ini juga mengingatkan gue untuk selalu sedia roti di setiap perjalanan sebagai sumber karbohidrat yang cukup efektif untuk mengisi tenaga. Walaupun perjalanan kali ini dalah One Day Trip, persiapan harus tetap maksimal.

Setelah beristirahat, perjalanan segera kita lanjutkan. Jalur berikutnya sangat khas Gunung Jawa Barat, berbentuk tanah lempung yang licin disaat hujan dengan sudut kemiringan yang cukup curam. Seringkali akar-akar menyembul dari balik tanah dan menambah licin pijakan. Sempitnya jalur dan lebatnya hutan beberapa kali membingungkan kita saat mencari jalur. Yang cukup mengherankan, jalur pendakian yang kita lewati cukup padat dengan tanaman, tanda jalur tersebut jarang dilewati. Selain itu, tidak ada suara pendaki lain baik di depan ataupun di belakang. Sepertinya hanya kita berdua yang melewati jalur itu, tanpa ada orang lain untuk ditanya.




Semakin lama kita berjalan, sekitar 2 jam perjalanan. Jalur semakin absurd dan menanjak tanpa ada bonus sama sekali. Beberapa kali kita ragu atas jalur yang kita lewati dan ada kecurigaan bahwa jalur yang kita lewati adalah jalur yang salah. Namun mengingat kita terlalu jauh untuk turun dan samar-samar masih terlihat jalur yang mengarah ke atas, kita tetap maju ke depan. 

Cahaya.


Seberkas cahaya menyeruak dari ujung jalur. Cahaya matahari yang sulit menembus padatnya pohon-pohon di sekitar jalur. Motivasi kita bertambah karena dengan adanya cahaya maka hutan sudah mulai menipis dan itu pertanda kita menapaki jalan yang benar, mendekati puncak.

Sedikit berlari kita bergerak menuju cahaya tersebut dan sampailah kita di suatu pelataran besar yang berserak daun. Pada pelataran itu, berdiri satu tenda yang sepertinya sedang ditinggal penghuni-nya untuk summit attack. Walau belum Summit, setidaknya arahnya sudah benar. Akhirnya, setelah 2 jam tidak ada tanda-tanda peradaban manusia. Di pelataran tersebut terdapat papan penunjuk arah bertuliskan PGPI.

“Apaan tuh PGPI?” tanya gue ke Andi. Percuma. Dia pasti gak tau.


“Puncak Gunung Puntang Indonesia kali, tapi kok ngarahnya ke bawah ya?” balas dia. Asal.

“Itu jalur coi. Dan sepertinya terlihat lebih normal dari jalur yang kita lewatin tadi,” kata gue sambil melihat arah panah tersebut. Terlihat sebuah jalur landai yang tampak bersahabat. Dari jalur tersebut gue melihat beberapa pendaki yang sedang berjalan ke arah kita.

Ngobrol-ngobrol sebentar, ditemukan fakta bahwa jalur tersebut merupakan jalur yang lazim dipakai untuk mencapai Gunung Puntang. Sontak kita bengong dan bertanya-tanya jalur apa yang kita lewati tadi. Mungkin jalur porter, mungkin jalur evakuasi, atau mungkin jalur pesugihan. Entahlah. Yang penting kita udah ngarah ke jalur yang benar.

Sebagai informasi bagi yang ingin melakukan perjalanan ke Gunung Puntang, lebih baik melalui jalur PGPI (Persaudaraan Gunung Puntang Indonesia). Basecamp PGPI terletak beberapa meter sebelum gerbang bumi perkemahan Puntang dan memiliki penjaga yang lebih informatif dibanding basecamp di bumi perkemahan.




Perjalanan kita lanjutkan dengan kontur jalur yang lebih terbuka, tanah kering yang nyaman untuk dipijak, dan sudut kemiringan yang tidak terlalu sadis seperti sebelumnya. Di jalur ini, mulai muncul keindahan-keindahan Gunung Puntang.

Gak begitu jauh dari pelataran, terdapat pos bernama Batu Kaca. Pos itu berisi bebatuan  besar yang tersusun cantik di tengah jalur. Di ujung batu kita bisa berdiri dan memandangi jurang yang berisi pepohonan Gunung Puntang yang lebat. Menurut gue pos ini merupakan salah satu keunikan Gunung Puntang.










Sekitar setengah jam berjalan dari Pos Batu Kaca, mulai terlihat lautan awan di sisi kiri-kanan jalur, menyelimuti bukit-bukit di sekitar Gunung Puntang. Seketika bulu kuduk gue merinding, tanda kekaguman gue melihat keindahan ciptaan –Nya.



Pemandangan di jalur menuju Puncak Mega (Puncak Gunung Puntang) sangatlah indah. Lautan awan yang terhampar luas berpadu dengan hijau nya pepohonan di bukit seberang. Rerumputan Puncak Mega yang berwarna kuning semakin bersinar diterpa cahaya matahari yang bersinar cerah di pagi itu. Di sela-sela dan di ujung lautan awan terlihat beberapa pegunungan dan perbukitan yang berdiri kokoh di antara langit.



Pemandangan menuju puncak Gunung Puntang mirip dengan pemandangan saat di puncak Khenteng Songo, Merbabu. Hanya jalur Gunung Puntang relatif lebih singkat ketimbang Merbabu yang memaksa kita untuk melewati beberapa puncak untuk mencapai titik tertingginya. Gelar ‘Merbabu Kecil’ layak disematkan di gunung yang letaknya tidak sebegitu jauh dari Jakarta ini.











Tepat satu jam perjalanan setelah pelataran camp, kita sampai di Puncak Mega (2.222 Mdpl). Total perjalanan kita kali ini adalah 4 jam. Cukup singkat bagi yang ingin mencoba hiking namun takut untuk melakukan perjalanan panjang. Selain itu, waktu pendakian Gunung Puntang yang relatif singkat tersebut bisa dimanfaatkan sebagai sarana refreshing singkat tanpa harus menginap / camp (One Day Trip).






Di puncak sudah ada beberapa orang yang sedang berfoto riang menikmati puncak. Pagi yang cerah memperjelas pemandangan di sekitar Gunung Puntang. Lautan langit biru dengan pulau-pulau awan berhambur adalah imaji yang terlihat sejauh mata memandang. Sayang sekali pemandangan seperti ini tertutup oleh kisah-kisah misteri yang tidak relevan. Alhamdulillah di perjalanan kali ini gue tidak mengalami kejadian apapun juga. Yang penting kita tetap menghormati lingkungan sekitar.

Hembusan angin sepoi-sepoi yang dingin bercampur dengan hangatnya matahari pagi. Segera kita menggelar alas untuk duduk dan memasak air untuk menikmati secangkir kopi. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi dan itu adalah kopi paling enak di dunia. Tak ada yang mengalahkan nikmatnya seduhan kopi  panas di bawah langit, dikelilingi awan, dan dialun lembut angin segar tanpa polusi.

View yang paling mencolok adalah sebuah puncak gunung yang berdiri angkuh melewati awan, berjuang sendiri melawan langit. Sendiri seakan-akan ada dia adalah yang terkuat dibanding lainnya. Puncak yang gue lihat itu adalah Puncak dari Gunung Ceremai, gunung tertinggi di Jawa Barat. Seketika gue menentukan target perjalanan  selanjutnya.





Ceremai, saya datang.




mari kita lanjut...