Senin, November 20, 2017

Akad

Bila nanti saatnya t'lah tiba
Kuingin kau menjadi istriku
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian kesana-kemari dan tertawa
(Akad - Payung Teduh)


Lagu Akad - Payung Teduh mendadak merangsek menempati posisi teratas dalam daftar lagu-lagu yang wajib dimainkan pada saat resepsi pernikahan jaman sekarang. Mengalahkan lagu "Dengarkanlaah... Wanita pujaanku... Malam ini akan kusampaikan..." yang sudah gue dengar melewati berbagai macam jenis tenggorokan dengan output yang terkadang merdu, terkadang sember, dan terkadang membuat kuah Bakso Malang bergetar hebat apabila kebetulan kita berdiri di sebelah speaker saat mendengarnya.

Akad.

Ah.

Mungkin hal ini masih menjadi khayalan liar pada saat 2 tahun yang lalu.

Berada di ujung cerita tanpa tahu bagaimana cara menulis kata pada bab berikutnya sukses membuat gue diam bermuram durja. Apalagi kesibukan dunia kerja cukup membatasi cakupan kehidupan sosial dan membatasi diri pada rutinitas yang itu-itu saja. Boro-boro mikirin akad, ngebayangin calonnya aja gak bisa.


***


Stasiun Manggarai, 10 Mei 2015


Kantuk adalah musuh terbesar pada hari itu dan keadaan kaki yang pegal menambah keengganan gue untuk beranjak dari tempat tidur yang empuk nan membuai. Ahoy rasanya.

Keadaan tepar tersebut disebabkan karena sehari sebelumnya gue baru pulang nanjak one-day-trip dari Gunung Salak, berjalan kaki selama 8 jam dan malam harinya lanjut bawa mobil dari Cimelati, Sukabumi, ke Jakarta. Patut digarisbawahi, mengendarai mobil lewat jalur Sukabumi dengan keadaan mata yang baru tidur +/- 4 jam merupakan pengalaman yang sangat-sangat mendebarkan. Banyak lubang-lubang kejutan, manuver kanan-kiri angkot setan, dan motor-motor terminator (motor yang body nya dicopot sehingga terlihat rangka kurusnya) bersliweran liar ngepot gak keruan.

Ada semangat luar biasa yang menarik gue keluar dari lapisan-lapisan belenggu tempat tidur. Di hari itu gue janjian ketemu dengan seorang wanita yang belum lama gue kenal. Perkenalan lewat udara yang singkat nan berwarna membawa kita untuk bertemu di stasiun kereta. Dia adalah seorang mahasiswi tingkat akhir di salah satu Universitas mahsyur di Surabaya. Kebetulan pada saat itu dia balik ke rumahnya di Bekasi, Kota Seribu Matahari, untuk sejenak mencari inspirasi buat menyusun skripsi.

Berhubung pada tanggal 10 Mei tersebut dia mau balik ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah dan belum tau kapan lagi akan balik ke Jakarta, maka buru-buru gue ajak dia ketemuan pada saat itu juga. Bagai N'Golo Kante yang jago memotong jalur operan bola, gue berhasil memotong rencana dia. Dimana modus operandi yang gue pakai adalah nganterin dia ke Stasiun Gambir. Mungkin apabila pergerakan gue dikomentari oleh Valentino 'Jebret' Simanjuntak dia akan berteriak, "SEBUAH INTERCEPT MEMBELAH LAUTAN YANG SEMPURNA!!!"

Pada saat itulah gue melihat dia berjalan menyusuri jalan setapak dari pintu keluar stasiun Manggarai. Kalau kata Afgan, senyumnya mengalihkan dunia, teguran satpam stasiun, dan bunyi klakson yang bersahut-sahutan dari belakang mobil akibat gue berhenti persis di depan stasiun untuk menjemputnya. Pada saat itu, seluruh suara berada pada posisi mute.

"Chima," kata dia.

Pada pertemuan pertama itu, kita berdua jalan untuk dinner ke Hollycow Steak Sabang. Di dalam pertemuan singkat itu kita berbagi cerita.  Di pertemuan singkat itu, kita memulai cerita.

***


Bulan Ramadhan merupakan pertemuan kedua kita, setelah sebelumnya sempat LDR beberapa bulan karena dia sedang kuliah di Surabaya. Rencana nya kita mau buka puasa bareng di daerah Epicentrum.

Seperti biasa,  mencari restoran saat buka puasa susahnya kayak nyari jerami di tumpukan jarum. Nyakitin. Banyak bangku gaib, yaitu bangku yang keliatan kosong tapi ternyata udah ada penghuni bernama Reserved.

Bingung mau kemana, semua tempat sudah tak ada.

"Di sini ada supermarket kan?" tanya dia.

"Ada sih Ranch Market dibawah," jawab gue.

"Yaudah beli bukaan aja dulu, nanti makan nya gampang"

Akhirnya kita berdua turun ke Ranch Market membeli roti dan bukaan lainnya. Kemudian kita ke pinggir sungai depan Mall Epicentrum, duduk berbuka puasa disana. Pada saat itu langit malam terlihat cerah dan bulan bintang sedang bermain riang di dalamnya.

Di bawah langit, kita berdua melepas rindu. Bercerita apa saja dan tidak sengaja menumpahkan kuah lupis sembari melepas tawa. Kita berdua menikmati momen bersama tanpa butuh apa-apa. Tidak butuh bangku indah karena senyumnya kadung membuat nyaman, tidak perlu Ice Mojito karena momen berdua ini sudah terlampau manis, dan tidak perlu Candlelight karena suasana sudah begitu hangat.

Hanya kita berdua.

Pada saat itulah gue membatin, sepertinya pencarian gue akan segera berakhir.

***

Kisah kita berdua berlanjut hingga beberapa bulan. Kuliah dia sudah selesai dan dengan mengucap Bismillah gue berniat melamarnya. Jika memang telah menemukan seseorang yang pantas mendampingi hidup, kelebihan dan kekurangan dia bukan alasan untuk tidak hidup bersama. Cukup hadirnya yang membuat kita bahagia.

Pada saat itu kita lagi jalan ke Gn. Puntang, Bandung.

"Mau nyoba naik gunung," kata dia.

Batin gue langsung merencanakan skenario melamar dia, karena kisah ini terlalu berharga untuk tidak dibawa ke KUA. Melamar dia di atas puncak gunung adalah rencana yang gue bawa di perjalanan.

Malang seribu sayang, Malang ada di Jawa Timur. Saat itu jalur pendakian sedang ditutup. Setelah tanya sana sini, ternyata ada spot lain yang masih bisa kita kunjungi sambil hiking. Kita diarahkan ke Curug Siliwangi yang masih ada di area Gn. Puntang.

Kita mendaki sekitar 2,5 jam, menyebrangi sungai, dan menembus hutan untuk sampai ke Curug Siliwangi. Rasa hati gue deg-deg an tak menentu. Semacam deg-deg an waktu nembak namun versi upgrade. Takut ngomong di moment yang gak tepat.

Pada saat istirahat di Curug Siliwangi, sembari disinari matahari yang menyusup dari balik derasnya air, serta ditemani hijaunya pepohonan yang menghias Curug Siliwangi, gue memberanikan diri untuk melamar dia.

Pada saat itu, tanggal 01 November 2015, she said yes.

Kalau aja ga inget musti ngelamar ke Papa nya, pengen rasanya loncat terjun dari atas curug saking seneng nya.

Deg-deg an itu bertambah 10x lipat saat gue ngelamar ke Bapaknya. Gimana enggak, kita sebagai lelaki harus meyakinkan dia kalau anaknya diberikan ke orang yang tepat. Banyak pikiran negatif menyeruak, seperti:

Apakah nanti ditolak dan dikasih ceban buat ongkos pulang?

Apakah nanti gue dites hafalan dulu?

Apakah nanti gue disuruh ikut Psikotes, Kraeppelin, dan tes medis?

Semua apakah-apakah dan kekhawatiran itu ternyata hanya distraksi saja. Kalau kita memang berniat baik dan mengutarakan niatan itu dengan baik juga, maka orangtua pasti menyetujui, Insya Allah.


***


20 November 2016


Tanggal ini adalah tanggal kelahiranmu
Tepat di tanggal ini juga kisah kita terlahir
Pasang surut kisah menjadi badai pengganggu
Sampai ijab kabul terucap, mengikat janji denganmu


Meja itu berada di depan panggung yang sudah dihias indah. Semalaman gue gak bisa tidur membayangkan kejadian di meja itu. Di meja itu gue akan menggenggam  tangan Papa Chima untuk melaksanakan ijab kabul.

Dengan memakai baju beskap putih adat Sunda dan dengan kepala nyut-nyutan karena dapet topi yang kesempitan, gue duduk di meja itu. Rasa nervous beberapa kali mendesak masuk ke kepala dan gue bersusah payah untuk menangkisnya.


 sempit banget dah ini topi


Setelah berhasil mengatasi semua rasa nervous dan sakit kepala, akhirnya gue berhasil melaksanakan akad nikah. Suatu hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Alhamdulillah.

Seusai ber ijab kabul dia datang.

Seorang wanita cantik yang memakai baju khas Sunda berwarna putih. Senyumnya teduh dan menawan, senyum yang membuat gue di klakson di Manggarai. Saat dia datang, gue bingung harus gimana.

"Ayo deketin istrinya," kata Pak Penghulu.

Gue pikir Pak Penghulu mau melontarkan jokes standar, "Ayooo ini istrinya bukaan? Gak ketuker kan Mas?" Kemudian gue senyum-senyum tengik menanggapi jokes yang tak lucu itu.

Ternyata tidak.

Tangan gue disuruh pegang ubun-ubun Chima. Gue lebih bingung lagi. Perasaan di briefing cuma disuruh tanda tangan di buku nikah. Daripada diem gak keruan, gue gerakin bibir ke jidat Chima, gue pikir disuruh cium jidat.

"Eh bukan! Main nyosor aja," kata Pak Penghulu.


Ternyata gue disuruh baca doa yang disunnahkan Rasulullah SAW :


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ ، وَأَعُوْذَ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ


"Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepadaMu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepadaMu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya."


Gedung Sinema, Cawang, menjadi saksi dimulainya kisah kita berdua. Sebuah kebahagiaan yang sungguh luar biasa melihat teman-teman dan para saudara datang hadir di acara kita.

Sesekali kami mengintip dari balik kepala para tamu yang berbondong datang bersalaman. Ketakutan terbesar kami adalah makanan kurang dan mengecewakan tamu. Sedih rasanya membayangkan tamu datang jauh-jauh menyempatkan waktu namun pulang dengan perut kosong kelaparan.

Lagi-lagi itu hanya ketakutan saja, karena Alhamdulillah acara akad dan resepsi kami berlangsung lancar. Bahkan di tengah acara gue berhasil mencuri senyumnya dengan membawa kue ulang tahun ke pelaminan dan merayakannya di atas panggung bersama para tamu undangan. Sebuah rasa bahagia yang tak terkira.


***

Wahai istriku, tulisan ini aku persembahkan sebagai kado ulang tahun mu.

Wahai istriku, tawa dan tangis akan selalu ada di kisah kita namun percayalah aku akan selalu membuatmu bahagia. 

Wahai istriku, jangan lah engkau bersedih apabila dunia membuatmu terjatuh karena aku akan selalu ada menopang tubuhmu.

Wahai istriku, sabarlah jika kita dihantam dunia karena kesabaran kita akan diganjar surga.

Wahai istriku, jika aku sudah menua nanti tetaplah manja padaku karena itulah makanan hatiku.

Wahai istriku, tetaplah sayang padaku sampai tiba di rumah surga bersama keluarga kita nanti.

Aaamiin.





mari kita lanjut...