Minggu, Juli 14, 2019

Annabelle Tak Bisa Diam

Selasa, 09 Juli 2019

"Malem nanti nonton Annabelle yok," kata bini gue melalui pesan masuk di WA.

Sebuah tawaran yang menarik.

Annabelle adalah boneka ke-empat yang sempat gue kenal sejauh ini setelah Unyil, Susan, dan Cepot di Asep Show di TPI di Asep Show di TPI di Asep Show di TPI yang nyanyian nya akan terus looping di ingatan gue sampai kapan pun.

Ngomongin Annabelle tentu tidak bisa lepas dari sepak terjang dua pasangan supranatural Anang & Ashanty Ed & Lorraine Warren yang diperkenalkan kisahnya melalui film The Conjuring yang udah masuk seri kedua dan akan menuju seri ketiga. Dimana pasangan tersebut sudah sukses mengangkat karir dua dedemit yang sebelumnya tidak dikenal khalayak ramai, Annabelle dan Valak.

XXI City Plaza Jatinegara jadi pilihan kita untuk nonton film Annabelle yang kali ini bertajuk Annabelle Comes Home. Jam tayang yang kita pilih adalah pukul 21.30 dengan harapan penonton yang hadir tidak begitu banyak karena larut nya malam dan posisi hari yang terletak di tengah pekan.



Namun kenyataan yang terjadi sedikit di luar ekspektasi. Setelah kita masuk ke dalam Studio 4 dan melewati lorong bertembok hitam nan kelam, kemudian berjalan menuju kursi yang telah dipesan, serta merasakan hembusan AC yang dingin mencekam, ternyata bangku studio hampir terisi penuh.

"ITU ADA YANG BERDIRI!" komentar seorang (terduga) Ibu-ibu dengan suara yang mengalahkan teknologi DTS 7.1 (All Around You) pada saat film Annabelle baru memulai adegan pembuka.

Ya, kami semua di studio 4 kebetulan melihat layar dan adegan yang sama. Sepertinya penjelasan Ibu tersebut tidak diperlukan sama sekali oleh para penonton di studio 4. Kecuali apabila di dalam studio 4 diputar empat film yang berbeda dan penonton diminta menyampaikan cerita melalui permainan kata berkait.

Ini adalah awal dari keseruan nonton Annabelle.

Adegan film berlanjut ke Warren's Occult Museum yang berisi berbagai macam benda terkutuk dan berisi energi-energi jahat nan negatif. Salah satu tokoh di film tersebut, Daniela, sedang mengendap masuk untuk membuktikan apakah pasangan Warren benar-benar pakar dalam dunia spiritual atau hanya sekedar penipu belaka.

Daniela kemudian menemukan lemari kaca yang berisi boneka Annabelle. Ada tulisan, "Warning Positively Do Not Open" menempel di pintu lemari kaca tersebut yang sebenarnya memperingatkan orang-orang agar tidak membuka lemari tersebut. Pada awalnya Daniela tidak mau membuka lemari tersebut, namun dia jadi penasaran karena bunyi benturan kepala boneka Annabelle yang tiba-tiba menyundul pintu lemari kaca.



"Nanti pas diangkat sama mbak nya, tau-tau pala Annabelle benjol," kata seorang bocah di depan bangku gue yang kira-kira berumur 13 tahun kepada teman yang duduk berjarak 3 bangku ke samping dari tempatnya.

Sebuah lelucon yang sebenarnya sangat cocok disampaikan pada saat mereka nonton film hasil unduhan ilegal dengan subtitle yang berisi iklan judi poker, berlima di rumah orangtua mereka masing-masing. Namun sayang sekali, lelucon itu disampaikan di bioskop dalam suasana mencekam yang susah payah dibangun oleh sutradara sehingga lelucon tersebut menjadi sesuatu yang sangat menyebalkan.

Seiring berjalan nya waktu, gue terpaksa harus menerima fakta bahwa kemungkinan hanya gue dan istri yang merasa bahwa berbicara selama film berlangsung di bioskop adalah hal yang menyebalkan. Karena intensitas suara orang-orang meningkat linear seiring dengan meningkatnya adegan film menuju klimaks.

Kita pada akhirnya dipaksa untuk memaklumi bahwa ada berbagai macam reaksi orang pada saat menghadapi ketakutan di depan mata. Ada yang pasif seperti nutup mata pakai tangan, merem, atau tutup kuping sampai ada yang aktif seperti ngobrol dengan teman nya, ngelawak, atau main handphone. Sayang demi sayang, di studio 4 ini berkumpul orang-orang yang cenderung aktif dalam mengatasi ketakutan nya.

Berkali-kali istri gue menegur dengan, "SSSSTTT....!!" pada saat penonton lain berbicara. Teguran tersebut malah ditanggapi dengan komentar, "Hihihi... kita berisik banget yah" yang tentu saja disampaikan dengan suara yang keras.

Ada juga pencemaran lain yang terjadi pada studio 4 selain polusi suara, yaitu polusi cahaya. Tidak tanggung-tanggung, cahaya yang muncul dari handphone aktif tersebut bahkan masih terasa oleh istri yang duduk sejajar dan hanya dipisahkan oleh tangga studio dengan si pelaku. Kegiatan main handphone di dalam bioskop ini sebenarnya memiliki dua gangguan kronis : 


  • Matae Kecototus : Pernah kebangun pada malam hari dan langsung melihat handphone dengan brightness tinggi pada keadaan lampu kamar mati? Mata akan terasa perih seakan dicolok lightsaber oleh Darth Vader.
  • Matae Ranglaen Gafocus : Orang, pada umumnya, ke bioskop untuk nonton film yang ditembak dari proyektor ke layar di depannya. Seiring dengan munculnya duplikasi layar akibat handphone maka tentu saja penonton lain akan terdistraksi, padahal logika nya apa yang dilakukan saat main handphone di dalam bioskop juga dapat dilakukan di luar bioskop dengan cahaya yang memadai tanpa harus membuat orang lain melihat dia main Mobile Legends atau sekedar liat timeline sosmed.

Gue lebih memilih tertawa dan mengamati situasi ketimbang marah-marah tersulut emosi akibat situasi, karena sepertinya mayoritas penduduk studio 4 sudah mengadakan konsensus yang membolehkan komentar netijen disampaikan pada saat film masih berlangsung. Hal ini membuat keadaan studio 4 lebih terasa seperti layar tancep gratisan yang ramai dengan celotehan iseng, senda gurau, serta tepukan tangan ketimbang bioskop XXI yang mengharuskan orang membayar sejumlah uang yang tidak sedikit untuk nonton film.

Film Annabelle Comes Home sendiri kalau menurut gue kurang mengalami pengembangan cerita dibanding dua seri sebelumnya, karena film ini lebih terasa seperti media presentasi studio untuk mengorbitkan karir dedemit-dedemit yang belum se terkenal Annabelle dan Valak tanpa memiliki dasar cerita yang kuat.  Film ini semacam showcase untuk dedemit.

Dedemit yang paling memorable di film ini tentu saja Annabelle sebagai dedemit utama yang memiliki kemampuan pindah-pindah tempat kayak pedagang kopi keliling / Starling (Starbak Keliling). Selain dia, film Annabelle juga memperkenalkan dedemit materialistis bernama Ferryman. Dimana dia selalu meminta ongkos 2 koin perak agar korban yang dibunuh olehnya tidak ikut dibawa ke dunia dedemit.

Adegan paling epik di film ini adalah pada saat tokoh utama film, Mary Ellen, berjalan melewati jalan setapak yang dikelilingi oleh korban-korban Ferryman. Mereka terbujur kaku dengan muka yang dingin. Keadaan jalan gelap dan satu-satunya cahaya bersumber dari lampu teplok yang dibawa Mary Ellen. Di ujung jalan, salah satu korban Ferryman memeluk boneka Annabelle dan Mary Ellen harus merebut boneka itu dari pelukannya.



Tangan Mary Ellen perlahan-lahan mendekat dan meraih boneka Annabelle...


"WAKWAW...!" terdengar suara misterius dari belakang bangku gue.

Rusak sudah seluruh kerja keras aktor, aktris, sutradara, produser, penulis skenario, ahli efek khusus, procurement, UPM, bahkan sampai cleaning service studio yang sudah mencurahkan seluruh tenaga, pikiran, dan waktu untuk menciptakan adegan yang seram, tegang, dan mencekam untuk film Annabelle Comes Home.


mari kita lanjut...

Rabu, Februari 27, 2019

Aku Rindu

Untukmu yang ada di rumah
Wajah cantikmu terkadang basah berbasuh peluh
Tangan halusmu terkadang berubah menjadi kasar
Bagai pepohonan yang melindungi gunung dari runtuhnya tanah

Untukmu yang berkorban waktu demi memapah jalan ku
Mungkin hati mu lelah dan raga mu resah
Namun di sela lelah senyum mu merekah
Bagai mentari pagi yang memecah kebekuan malam

Untukmu yang mencurahkan cinta
Yang meracik kasih sayang dengan harapan
Yang mengisi ruang-ruang kehidupan
Yang memberi hangat saat bersama

Aku rindu...


-MRZ
mari kita lanjut...