Rabu, Desember 27, 2023

Harmoni

 Minggu, 27 November 2023


Gerbang depan Istora Senayan terlihat ramai, penuh dengan anak muda dengan berbagai macam outfit andalannya. Matahari terik yang terasa mengamuk tidak serta merta menurunkan semangat mereka untuk datang ke konser Pertamina Eco-RunFest. Sayup-sayup terdengar lagu Tutur Batin yang dilantunkan Yura Yunita dari lapangan parkir Istora Senayan.


Tutur batinku tak akan salah

Silahkan pergi, ku tak rasa kalah

Namun, percayalah, sejauh mana kau mencari

Takkan kau temukan yang sebaik ini


Suara adem nan syahdu Yura Yunita bertarung keras dengan sengat mentari nan panas. Beberapa penonton terlihat basah kuyup bermandi keringat di sekujur wajah mereka , membentuk paguyuban dengan air mata. Mungkin mereka relate dengan lagu Tutur Batin. Mungkin lagu Tutur Batin pernah digunakan mereka sebagai penguat diri dalam episode pedih kisah kehidupannya.


Festival musik ini adalah yang pertama gue datangi semenjak Covid, atau bahkan setelah married. Urat sendi yang bertambah kaku akibat bertambahnya umur membuat gue lebih sering merasa malas untuk berangkat ke festival musik. Namun kemarin, karena diajak oleh para sepupu yang kebetulan masih muda belia, tumbuh tunas-tunas semangat untuk berangkat ke sana. 


Asiknya nonton festival adalah kita bisa melihat berbagai macam musisi dalam satu rangkaian acara. Dimulai oleh Yura Yunita, kemudian berlanjut dari Efek Rumah Kaca sampai Armada, Kunto Aji sampai Raisa, para musisi membawakan cerita dan pesan yang berbeda melalui suatu harmoni berbagai macam suara.


Gitar yang berdawai dipetik oleh para gitaris handal yang seakan memiliki jari yang menyatu dengan fret gitarnya. Jari jemari mereka bisa meliuk tanpa belibet, genjrengannya hadir mewarnai lagu dengan pas, dan terkadang para gitaris memainkan gitar sembari memejamkan mata. Merem. Bayangin,  merem aja bisa bener nada nya. Kalo gue, melotot aja bisa kepeleset kunci. Niatnya mau mainin The Beatles eh malah kepeleset jadi Cocomelon.


Berdiri di sampingnya seorang pemain bass. Sama-sama berdawai namun tidak dipetik melainkan dibetot. Suara betotannya berdebum, tegas, dan gagah seperti bodyguard. Tugasnya pun kurang lebih mirip, kalau bodyguard bertugas menjaga selebriti atau Mbak-mbak Uang Kaget, bassis bertugas menjaga tempo lagu.


Pada sisi lain panggung, bertugas seorang keybordis dengan bermacam tuts hitam putihnya. Buat gue yang kepiawaian bermain keyboardnya sebatas intro lagu Ibu Kita Kartini, melihat keybordis profesional bermain selalu mempesona. Jari mereka bisa dengan tepat memencet tuts yang tepat walau tanpa tanda-tanda detil seperti di keyboard komputer.


Bersembunyi di belakang, ada suatu alat yang berbentuk seperti gentong yang disusun bernama drum. Di depannya ada piring-piring bertebaran layaknya piring di tangan uda-uda restoran Padang. Kalau alat lainnya dipencet, dibetot, atau dipetik untuk membunyikannya, alat ini hanya bisa berbunyi apabila dipukul. Input yang kasar seperti pukulan akan menghasilkan output yang kencang, nyaring, dan membahana. Gak percaya? Coba deh beli drum dan mainin di rumah pada hari minggu jam 7 pagi. Niscaya anda akan dipukulin seperti drum oleh warga sekitar. Minimal oleh Pak RT sebagai satuan pemerintahan terkecil.


Pusat perhatian panggung selalu tertuju pada sosok yang hanya bermodalkan tenggorokan dan microfon. Itulah dia sang vokalis. Dia adalah satu-satunya pemain band yang paling gak bisa sakit flu. Karena jika vokalis flu sampai suaranya bindeng, Kunto Aji pun akan terdengar seperti Komeng. Vokalis adalah perekat lagu yang menyampaikan lirik dan pesan di dalamnya melalui suara. Suara yang bisa merdu seperti Raissa, kasar seperti Arian13, atau asal-asalan seperti vokalis Clap Your Hands and Say Yeah! namun tetap bisa membentuk harmoni yang indah bersama gitar, bass, drum, dan keyboard.


Berbeda-beda instrumen tapi tetap satu harmoni. Tidak mungkin pemain gitar menghardik drum hanya karena bersuara kasar, tidak juga drum yang ada di belakang protes ke vokalis untuk minta di depan, apalagi vokalis tidaklah mungkin meminta bass bersuara falsetto. Setiap instrumen punya ciri khas, bunyi, dan pembagian masing-masing. 


Ah, semoga saja kita bisa seperti itu lagi agar tercipta harmoni yang merdu. Band aja bisa harmonis, masak sama orang lain ribut melulu karena beda. Sumbang deh jadinya.

mari kita lanjut...

Selasa, Desember 26, 2023

Bungkus 2023

Janji adalah janji. Janji adalah ucapan penuh harapan yang acapkali saya ucapkan di awal tahun. Janji kepada diri sendiri yang sebenarnya tidak muluk-muluk, apalagi butuh pengorbanan harta seperti membayar gym membership setahun penuh dengan harapan timbulnya keterikatan antara diri dengan olahraga.


Janji itu adalah menulis. Pada awal tahun 2023 saya berjanji akan memperbanyak tulisan dan mengurangi interaksi dengan media sosial. Sebuah janji yang seharusnya ditopang dengan peningkatan stamina membaca buku, bukan twitwar (atau sekarang Xwar). Namun apa lacur, jarak antara tulisan ini dengan tulisan terakhir berjumlah hampir 365 hari. Hal ini sejalan juga dengan kuantitas buku yang saya baca di tahun ini yang mungkin bisa dihitung dengan jari. Perselingkuhan saya dengan media sosial ini benar-benar telah menelantarkan kawan lama saya bernama buku.


Tahun 2023 ini lebih banyak diwarnai dengan beragam janji yang bertumpah ruah di media sosial. Ruang digital publik dipenuhi dengan interaksi pemberi, penerima, dan penyokong janji. Janji-jani tersebut disampaikan dengan citra yang beragam, ada yang tegas cenderung keras, ada yang canda penuh tawa, dan ada yang cerdas berbalut kata.


Semakin hari, semakin mendekati akhir tahun 2023, janji-janji tersebut menyebar bukan hanya di media sosial. Janji-janji menyeruak dari ruang maya ke ruang nyata.


Pohon-pohon tertancapkan paku demi tertgantungnya poster-poster janji. Tua, muda, terpampang dengan citra beragam rupa. Citra yang sebenarnya dapat terungkap dengan bantuan mesin pencari,  sehingga seberapa harum citra tersebut terpampang kita tetap bisa mencari tindak tanduk tindakannya. Karena pada era digital seperti sekarang, segala perbuatan, pekerjaan, dan perkataan figur publik dan politik dapat dicari dengan mudahnya. 


Namun cukup disayangkan, kita masih sering termakan janji dan terpesona citra . Sebegitu pemaafnya bangsa kita sehingga para koruptor bisa bebas nyaleg. Bahkan seorang publik figur yang ditahan atas kasus pelecehan seksual bisa diarak, dielu-elukan, dan diliput eksklusif pada saat keluar penjara. Kita juga sempat melihat persekongkolan pada proses pembuatan peraturan yang seakan tuli mendengar teriakan dari luar pagar, tempat ribuan masyarakat disemprot air, ditembak gas air mata, dan sesekali dipentung gemes.


Padahal teriakan itu mungkin karena masyarakat terluka melihat dan merasakan pekerjaan makin susah didapat, harga sembako makin mahal, dan pejabat yang bersikap layaknya pengamat yang gemar mengomentari situasi tanpa ada mengambil alih kendali. Walaupun  setelah beberapa tahun ketika janji yang sama ditebar, citra yang sama dibentuk, dan orang yang sama diusung, kita tetap percaya. Kalau kata Koil : Aku Lupa Aku Luka.


Janji dan citra tak bisa menjadi pengangan. Karena jika hanya berpegang pada janji dan citra, seekor serigala dapat terlihat menyayangi, mencintai, dan memperdulikan domba. Walau sebenarnya sudah menjadi pandangan umum bahwa makanan terlezat bagi serigala adalah domba, tak peduli gemuk atau kurus.


Data dan perbuatan adalah pegangan yang seharusnya. Berlimpah ruahnya jejak digital seharusnya menjadi palu godam penghancur tembok algoritma yang dibentuk dari janji dan citra. Media sosial mencekoki kita dengan algoritma yang dibentuk untuk membenarkan persepsi yang sudah kita pegang dan percaya tanpa punya kesempatan melihat sisi lain dari tembok tersebut. Sehingga kita cenderung keras dan defensif saat melihat pendapat atau pemahaman yang berbeda dari apa yang kita percaya.


Janji harus diuji dengan data, bukan puja-puji. Dari data akan terlihat apakah janji tersebut akan terealisasi. Jika dulu suka berjanji tapi tidak ditepati, mendadak tuli saat diberi aspirasi, apalagi tutup mata saat ada rakyatnya yang lapar sampai mati, untuk apa dibela sampai mati. Buka pikiran seluas-luasnya agar dapat mencerna data yang tak kita suka tentang sosok yang kita puja berdasarkan janji dan citra. Jangan sampai kita menjadi domba yang memilih sendiri serigala pemangsanya.

mari kita lanjut...