Rabu, September 15, 2021

Catatan Pandemi : Kena Giliran

Pandemi Covid-19 sudah ulang tahun yang kedua. Dua tahun yang berat telah kita jalani dengan hidup berdampingan bersama virus yang tampangnya kayak topeng anggota Slipknot #5 ini. Berbagai gaya hidup baru telah kita terapkan, waspada jadi kebiasaan, dan setiap orang saling mengingatkan protokol kesehatan. Beberapa pemerintah daerah bahkan membuat tugu peringatan Corona, mungkin agar masyarakat bisa selalu teringat akan bahaya dan kengeriannya. Mungkin juga untuk meningkatkan devisa daerah melalui wisata selfie. Mungkin juga untuk membuat virus Corona depresi saat melihat rupa dia yang seram dipajang di tengah kota. Dia akan merasa jahat, sedih, dan jera hingga kemudian bertobat.




Seperti Android, virus Corona mengalami update dari hari ke hari. Bahasa kerennya : Mutasi. Varian Delta yang ditengarai bermutasi di negara Sakh Ruh Khan mulai menyebar pada bulan Maret-April 2021. Gambar dan video pasien-pasien penderita Corona varian Delta beredar cepat baik di media sosial maupun portal berita.


Masyarakat negara Bollywood terpapar di Rumah Sakit (RS) yang sudah penuh sesak. Tempat-tempat tidur, baik yang biasa maupun darurat, memenuhi kamar, halaman, dan koridor RS. Tangisan masyarakat yang bermasker dengan mata sayu dan putus asa menggambarkan situasi pelik di negara tersebut. Tenaga kesehatan (Nakes) yang memakai baju hazmat sibuk merawat pasien yang bertumpuk di satu waktu yang sama. Para penggali kubur yang juga memakai baju hazmat terlihat kelelahan akibat bolak-balik melaksanakan tugasnya. Situasi mencekam. Cepatnya penularan varian Delta membuat pemerintah, nakes, dan masyarakat kewalahan mengobati orang-orang yang terdampak.




Indonesia kedatangan varian Delta pada medio April - Juni 2021 setelah sebelumnya membuat heboh di negara asalnya. Tersentak kaget, satu persatu masyarakat Indonesia mulai terkena Covid-19, terutama di pulau Jawa-Bali. Kita semakin terbiasa melihat postingan medsos orang-orang yang terkena Covid-19. Jika sebelumnya Covid-19 belum masuk ke dalam lingkungan terdekat, sekarang dia hadir dan bahkan mampir di badan gue.  


Alhamdulillah 'ala kulli hal gue terjangkit Covid-19.


Pada awalnya, gue hanya merasakan kepala puyeng gak keruan saat di kantor. Puyeng yang berpusat di tengah dahi, tepatnya di lurusan selat alis. Selat alis sendiri adalah nama lokasi yang baru gue ciptakan sekitar 5 detik yang lalu, yaitu daerah di antara dua alis yang terkadang juga memiliki bulu-bulu halus untuk mereka yang beralis nyambung. Saking pusingnya, gue sampai sering memicingkan mata dan sempoyongan saat berjalan. Dunia seakan berubah menjadi Nutrijell dan gue berpijak di atasnya.


Sepulangnya ke rumah, gue langsung tepar. Puyeng masih menyerang dan malah ditambah dengan kondisi badan meriang. Minyak kayu putih menjadi andalan untuk memantau kondisi apakah gue terkena Covid atau memang hanya sekedar flu biasa. Pada saat itu minyak kayu putih masih tercium dan gue sedikit lega karena masih ada peluang gue gak kena Covid. Setelah minum obat, gue langsung tidur.


Tengah malam menjelang subuh gue kebangun karena badan kerasa sangat aneh. Badan semakin lemas, kepala pusing, dan sekujur badan serasa digebukin. Mau telentang salah, hadap kanan atau kiri salah, mau tengkurep juga salah. Gak ada posisi tidur yang enak dan nyaman. Walhasil gue baru bisa tidur setelah subuhan.


Pagi menjelang siang kondisi badan gue membaik. Pusing dan meriangnya sudah reda walaupun badan masih lemas tak berdaya. Namun ketimbang tidur terus menerus yang pada akhirnya bikin badan masih lemas, gue memutuskan untuk beberes rumah. Itung-itung olahraga cari keringet. Wangi hutan pinus Wipol masih tercium pada saat gue ngepel rumah dan memesan nasi padang berlauk tunjang untuk makan siang. Tunjang dan cabe ijo terbukti jadi multivitamin dalam hal memicu keluarnya keringet sehingga badan gue berasa agak enakan.


Sore menuju malam, meriang dan pusing itu kembali. Badan kembali tepar, sampai-sampai tidak sanggup untuk sekedar beranjak dari tempat tidur. Kualitas tidur juga tidak baik karena gak pules, istilah ilmiahnya : Tidur ayam. Sebentar-bentar kebangun, keringetan, dan dada berdebar seperti mau nembak cewek di program Katakan Cinta. Nafas juga susah melalui hidung karena penuh ingus. Nafas lewat mulut juga susah karena  dada terasa sesak karena minjemin duit ke temen tapi pas nagih malah diomelin. Enggak ding. Nafas lewat mulut juga susah karena dari tenggorokan sampai ke dada penuh sesak dengan lendir seakan gue baru aja nelen Flubber milik Robin Williams.




Esok harinya, tepatnya Minggu tanggal 25 Juni 2021, pusing sudah ilang tapi badan grendeng banget kayak lagi guling-gulingan di pijakan refleksi yang biasanya ada di taman. Setelah minta saran sama Kakak Ipar yang Dokter, gue membutuhkan obat antibiotik yaitu Amoxsan. Ditemani abang tukang ojek langganan, gue nyari obat ke apotik-apotik sekitar rumah. Obat baru bisa gue temukan pada apotik ketiga karena pada dua apotik sebelumnya stok kosong. 


Sore harinya badan udah enakan tapi hidung masih tersumbat. Pada  titik ini gue mulai tidak bisa mencium aroma secara tepat. Gue adalah pemakai rutin Peppermint Young Living dan aroma khas nya tiba-tiba berubah jadi aneh. Aroma Peppermint yang tadinya wangi, menyegarkan, dan terasa hangat berubah menjadi pahit, asam, dan hangatnya berubah jadi menusuk hidung. Perlahan tapi pasti, penciuman gue menghilang.


Salah satu ciri khas gejala Covid-19 adalah anosmia, kehilangan indra penciuman. Jika pada flu biasa, hilang penciuman timbul karena hidung kita penuh dengan ingus. Apabila ingus tersebut kita keluarkan secara rutin maka aroma bisa tercium kembali. Anosmia pada Covid menyerang syaraf penciuman sehingga mau kita buang ingus sebanyak apapun sampai idung bengkak dan merah seperti Pennywise, aroma apapun tidak akan tercium.


Seakan tidak percaya, gue coba satu-satu aroma kuat yang ada di sekitar. Segala macem oil Young Living gak ada yang bisa kecium. Gue coba nyemprot baygon di rumah juga gak kecium apa-apa. Terakhir gue coba nyium aroma Wipol, gak kecium juga. Padahal sehari sebelumnya masih kecium. Seakan-akan hutan pinus yang ada di dalam Wipol hilang dibabat untuk buka cluster perumahan.


Penciuman gue benar-benar hilang dan satu-satunya aroma yang dapat tercium adalah kehampaan.


Keesokan harinya gue langsung book tes antigen, tepatnya di laboratorium mikrobiologi milik salah satu Universitas terkenal, tertua, dan terbaik di Indonesia yang saking tua gedungnya membuat gue curiga bahwa tempat ini dulu pernah dipakai untuk merawat para pejuang kemerdekaan. Kemudian melalui tangan tenaga medis yang berlapis karet, hidung gue dicolok oleh alat tes. Betul saja, dua garis biru muncul. Dengan raut muka yang pucat dokter yang meriksa gue hanya memberitahu dengan isyarat tangan. Dia menunjuk ke alat tes antigen, membentuk lambang piss dengan jari telunjuk dan tengahnya, dan terakhir memberikan jempol. Senyap tanpa suara dia memberitahukan bahwa gue positif Covid-19.


Hal pertama yang harus gue lakukan saat terkonfirmasi Covid-19 adalah mencari obat dan supplement yang dibutuhkan. Tidak tanggung-tanggung, ada 8 jenis obat dan supplement yang harus gue cari. Untung ada Halodoc, gue gak harus keliling-keliling apotek sehingga beresiko menularkan Covid ke orang-orang di sekitar. Tinggal duduk cantik di rumah, ketik obat yang dibutuhkan, dan kang ojek akan tiba di gerbang depan.


Hal yang gue rasakan saat kena Covid adalah badan terasa lemas tak berdaya, kalau jalan suka limbung nan linglung, serta tenggorokan gatal. Namun sesuai anjuran dari Satgas Covid dan WHO, gue tidak boleh malas. Pagi hari harus berjemur, makan yang banyak, dan berolahraga rutin walaupun hanya sekedar jongkok ngosek-ngosek lantai WC.


Berbekal anosmia yang membuat penciuman hilang total, gue memanfaatkan waktu isoman di rumah untuk suatu kegiatan berfaedah yang akan sangat sulit dilakukan pada saat penciuman normal. Gue membongkar taman depan yang berisi harta karun berupa pupup kucing. Sebuah kedermawanan yang luar biasa dari kucing-kucing di sekitaran rumah, dimana mereka rajin sekali membuang hajat di taman kecil depan rumah. Biasanya kalau nemu harta karun kayak begitu gue hanya bisa mengambil sekop, nyerok tanah yang masih bersih, dan gue timpain di atasnya. Bertumpuklah itu ranjau darat di taman.


Yang paling ditakutkan saat virus Covid 19 bersarang di badan adalah gue gak tau apakah kondisi badan suatu saat bisa drop atau enggak. Imunitas harus dijaga bukan hanya dari sisi fisik, tetapi juga mental. Berita buruk yang membuat was-was sebisa mungkin dihindari walaupun kondisi saat itu terdapat banyak berita buruk hadir di sekeliling gue.


TOA mesjid, baik yang di dekat rumah ataupun entah dimana, selalu mengabarkan berita duka cita. Membuka sosial media, keadaan tidak jauh berbeda. Insta story selalu berisi tulisan putih berlatar belakang hitam yang mengabarkan berita duka cita atau kebutuhan donor plasma kovalen. Twitter isinya video-video rumah sakit yang kepenuhan sampai-sampai pasien terpaksa dirawat di parkiran. Grup SMP dan SMA yang biasanya gak pernah aktif tiba-tiba penuh pesan belasungkawa karena salah satu teman kita telah tiada. Cerita-cerita mengenai korban Covid yang tadinya sehat kemudian menjadi tak berdaya dalam waktu yang tidak lama juga menghiasi dunia maya. Seluruh hal yang terjadi di sekeliling gue pada saat itu terkadang membuat gue keringet dingin dan khawatir berlebih.


Ah sudahlah, gue memutuskan menjauhi berita-berita buruk dan menyelami kisah petualangan Tommy Shelby di Birmingham dalam perjuangannya mendirikan ormas Peaky Blinders. 


21 hari gue habiskan di rumah saat menjalankan protokol isolasi mandiri. Covid-19 mengajarkan gue untuk lebih menghargai aroma. Selama ini gue hanya menghargai aroma wangi daun sehabis diterpa hujan, wangi parfum yang diracik dari ekstrak berbagai wewangian terbaik, atau wangi rempah bercampur kuah yang menenggelamkan tunjang di dalam gulai. Sedangkan bau busuk pupup kucing, sampah yang membusuk di tempat pembuangan umum, atau rendaman berbagai sampah maupun bangkai yang mengendap di dalam dasar got sering gue remehkan keberadaannya dan membuat gue berandai-andai agar bau tak sedap itu tak ada.


Tapi begitu seluruh aroma itu ditarik sementara oleh Covid-19, akhirnya gue bisa memahami bahwa hidup ini tak hanya sekedar wangi yang menggoda, tapi juga ada bau busuk yang terkadang menerpa. Kemudian pada saat gue bisa menerima kedua hal yang bertentangan tersebut sebagai realita, maka pada saat itulah gue mulai bisa menikmati hidup secara seutuhnya. Karena tanpa kehadiran keduanya, hidup terasa hampa.



mari kita lanjut...