Rabu, September 15, 2021

Catatan Pandemi : Kena Giliran

Pandemi Covid-19 sudah ulang tahun yang kedua. Dua tahun yang berat telah kita jalani dengan hidup berdampingan bersama virus yang tampangnya kayak topeng anggota Slipknot #5 ini. Berbagai gaya hidup baru telah kita terapkan, waspada jadi kebiasaan, dan setiap orang saling mengingatkan protokol kesehatan. Beberapa pemerintah daerah bahkan membuat tugu peringatan Corona, mungkin agar masyarakat bisa selalu teringat akan bahaya dan kengeriannya. Mungkin juga untuk meningkatkan devisa daerah melalui wisata selfie. Mungkin juga untuk membuat virus Corona depresi saat melihat rupa dia yang seram dipajang di tengah kota. Dia akan merasa jahat, sedih, dan jera hingga kemudian bertobat.




Seperti Android, virus Corona mengalami update dari hari ke hari. Bahasa kerennya : Mutasi. Varian Delta yang ditengarai bermutasi di negara Sakh Ruh Khan mulai menyebar pada bulan Maret-April 2021. Gambar dan video pasien-pasien penderita Corona varian Delta beredar cepat baik di media sosial maupun portal berita.


Masyarakat negara Bollywood terpapar di Rumah Sakit (RS) yang sudah penuh sesak. Tempat-tempat tidur, baik yang biasa maupun darurat, memenuhi kamar, halaman, dan koridor RS. Tangisan masyarakat yang bermasker dengan mata sayu dan putus asa menggambarkan situasi pelik di negara tersebut. Tenaga kesehatan (Nakes) yang memakai baju hazmat sibuk merawat pasien yang bertumpuk di satu waktu yang sama. Para penggali kubur yang juga memakai baju hazmat terlihat kelelahan akibat bolak-balik melaksanakan tugasnya. Situasi mencekam. Cepatnya penularan varian Delta membuat pemerintah, nakes, dan masyarakat kewalahan mengobati orang-orang yang terdampak.




Indonesia kedatangan varian Delta pada medio April - Juni 2021 setelah sebelumnya membuat heboh di negara asalnya. Tersentak kaget, satu persatu masyarakat Indonesia mulai terkena Covid-19, terutama di pulau Jawa-Bali. Kita semakin terbiasa melihat postingan medsos orang-orang yang terkena Covid-19. Jika sebelumnya Covid-19 belum masuk ke dalam lingkungan terdekat, sekarang dia hadir dan bahkan mampir di badan gue.  


Alhamdulillah 'ala kulli hal gue terjangkit Covid-19.


Pada awalnya, gue hanya merasakan kepala puyeng gak keruan saat di kantor. Puyeng yang berpusat di tengah dahi, tepatnya di lurusan selat alis. Selat alis sendiri adalah nama lokasi yang baru gue ciptakan sekitar 5 detik yang lalu, yaitu daerah di antara dua alis yang terkadang juga memiliki bulu-bulu halus untuk mereka yang beralis nyambung. Saking pusingnya, gue sampai sering memicingkan mata dan sempoyongan saat berjalan. Dunia seakan berubah menjadi Nutrijell dan gue berpijak di atasnya.


Sepulangnya ke rumah, gue langsung tepar. Puyeng masih menyerang dan malah ditambah dengan kondisi badan meriang. Minyak kayu putih menjadi andalan untuk memantau kondisi apakah gue terkena Covid atau memang hanya sekedar flu biasa. Pada saat itu minyak kayu putih masih tercium dan gue sedikit lega karena masih ada peluang gue gak kena Covid. Setelah minum obat, gue langsung tidur.


Tengah malam menjelang subuh gue kebangun karena badan kerasa sangat aneh. Badan semakin lemas, kepala pusing, dan sekujur badan serasa digebukin. Mau telentang salah, hadap kanan atau kiri salah, mau tengkurep juga salah. Gak ada posisi tidur yang enak dan nyaman. Walhasil gue baru bisa tidur setelah subuhan.


Pagi menjelang siang kondisi badan gue membaik. Pusing dan meriangnya sudah reda walaupun badan masih lemas tak berdaya. Namun ketimbang tidur terus menerus yang pada akhirnya bikin badan masih lemas, gue memutuskan untuk beberes rumah. Itung-itung olahraga cari keringet. Wangi hutan pinus Wipol masih tercium pada saat gue ngepel rumah dan memesan nasi padang berlauk tunjang untuk makan siang. Tunjang dan cabe ijo terbukti jadi multivitamin dalam hal memicu keluarnya keringet sehingga badan gue berasa agak enakan.


Sore menuju malam, meriang dan pusing itu kembali. Badan kembali tepar, sampai-sampai tidak sanggup untuk sekedar beranjak dari tempat tidur. Kualitas tidur juga tidak baik karena gak pules, istilah ilmiahnya : Tidur ayam. Sebentar-bentar kebangun, keringetan, dan dada berdebar seperti mau nembak cewek di program Katakan Cinta. Nafas juga susah melalui hidung karena penuh ingus. Nafas lewat mulut juga susah karena  dada terasa sesak karena minjemin duit ke temen tapi pas nagih malah diomelin. Enggak ding. Nafas lewat mulut juga susah karena dari tenggorokan sampai ke dada penuh sesak dengan lendir seakan gue baru aja nelen Flubber milik Robin Williams.




Esok harinya, tepatnya Minggu tanggal 25 Juni 2021, pusing sudah ilang tapi badan grendeng banget kayak lagi guling-gulingan di pijakan refleksi yang biasanya ada di taman. Setelah minta saran sama Kakak Ipar yang Dokter, gue membutuhkan obat antibiotik yaitu Amoxsan. Ditemani abang tukang ojek langganan, gue nyari obat ke apotik-apotik sekitar rumah. Obat baru bisa gue temukan pada apotik ketiga karena pada dua apotik sebelumnya stok kosong. 


Sore harinya badan udah enakan tapi hidung masih tersumbat. Pada  titik ini gue mulai tidak bisa mencium aroma secara tepat. Gue adalah pemakai rutin Peppermint Young Living dan aroma khas nya tiba-tiba berubah jadi aneh. Aroma Peppermint yang tadinya wangi, menyegarkan, dan terasa hangat berubah menjadi pahit, asam, dan hangatnya berubah jadi menusuk hidung. Perlahan tapi pasti, penciuman gue menghilang.


Salah satu ciri khas gejala Covid-19 adalah anosmia, kehilangan indra penciuman. Jika pada flu biasa, hilang penciuman timbul karena hidung kita penuh dengan ingus. Apabila ingus tersebut kita keluarkan secara rutin maka aroma bisa tercium kembali. Anosmia pada Covid menyerang syaraf penciuman sehingga mau kita buang ingus sebanyak apapun sampai idung bengkak dan merah seperti Pennywise, aroma apapun tidak akan tercium.


Seakan tidak percaya, gue coba satu-satu aroma kuat yang ada di sekitar. Segala macem oil Young Living gak ada yang bisa kecium. Gue coba nyemprot baygon di rumah juga gak kecium apa-apa. Terakhir gue coba nyium aroma Wipol, gak kecium juga. Padahal sehari sebelumnya masih kecium. Seakan-akan hutan pinus yang ada di dalam Wipol hilang dibabat untuk buka cluster perumahan.


Penciuman gue benar-benar hilang dan satu-satunya aroma yang dapat tercium adalah kehampaan.


Keesokan harinya gue langsung book tes antigen, tepatnya di laboratorium mikrobiologi milik salah satu Universitas terkenal, tertua, dan terbaik di Indonesia yang saking tua gedungnya membuat gue curiga bahwa tempat ini dulu pernah dipakai untuk merawat para pejuang kemerdekaan. Kemudian melalui tangan tenaga medis yang berlapis karet, hidung gue dicolok oleh alat tes. Betul saja, dua garis biru muncul. Dengan raut muka yang pucat dokter yang meriksa gue hanya memberitahu dengan isyarat tangan. Dia menunjuk ke alat tes antigen, membentuk lambang piss dengan jari telunjuk dan tengahnya, dan terakhir memberikan jempol. Senyap tanpa suara dia memberitahukan bahwa gue positif Covid-19.


Hal pertama yang harus gue lakukan saat terkonfirmasi Covid-19 adalah mencari obat dan supplement yang dibutuhkan. Tidak tanggung-tanggung, ada 8 jenis obat dan supplement yang harus gue cari. Untung ada Halodoc, gue gak harus keliling-keliling apotek sehingga beresiko menularkan Covid ke orang-orang di sekitar. Tinggal duduk cantik di rumah, ketik obat yang dibutuhkan, dan kang ojek akan tiba di gerbang depan.


Hal yang gue rasakan saat kena Covid adalah badan terasa lemas tak berdaya, kalau jalan suka limbung nan linglung, serta tenggorokan gatal. Namun sesuai anjuran dari Satgas Covid dan WHO, gue tidak boleh malas. Pagi hari harus berjemur, makan yang banyak, dan berolahraga rutin walaupun hanya sekedar jongkok ngosek-ngosek lantai WC.


Berbekal anosmia yang membuat penciuman hilang total, gue memanfaatkan waktu isoman di rumah untuk suatu kegiatan berfaedah yang akan sangat sulit dilakukan pada saat penciuman normal. Gue membongkar taman depan yang berisi harta karun berupa pupup kucing. Sebuah kedermawanan yang luar biasa dari kucing-kucing di sekitaran rumah, dimana mereka rajin sekali membuang hajat di taman kecil depan rumah. Biasanya kalau nemu harta karun kayak begitu gue hanya bisa mengambil sekop, nyerok tanah yang masih bersih, dan gue timpain di atasnya. Bertumpuklah itu ranjau darat di taman.


Yang paling ditakutkan saat virus Covid 19 bersarang di badan adalah gue gak tau apakah kondisi badan suatu saat bisa drop atau enggak. Imunitas harus dijaga bukan hanya dari sisi fisik, tetapi juga mental. Berita buruk yang membuat was-was sebisa mungkin dihindari walaupun kondisi saat itu terdapat banyak berita buruk hadir di sekeliling gue.


TOA mesjid, baik yang di dekat rumah ataupun entah dimana, selalu mengabarkan berita duka cita. Membuka sosial media, keadaan tidak jauh berbeda. Insta story selalu berisi tulisan putih berlatar belakang hitam yang mengabarkan berita duka cita atau kebutuhan donor plasma kovalen. Twitter isinya video-video rumah sakit yang kepenuhan sampai-sampai pasien terpaksa dirawat di parkiran. Grup SMP dan SMA yang biasanya gak pernah aktif tiba-tiba penuh pesan belasungkawa karena salah satu teman kita telah tiada. Cerita-cerita mengenai korban Covid yang tadinya sehat kemudian menjadi tak berdaya dalam waktu yang tidak lama juga menghiasi dunia maya. Seluruh hal yang terjadi di sekeliling gue pada saat itu terkadang membuat gue keringet dingin dan khawatir berlebih.


Ah sudahlah, gue memutuskan menjauhi berita-berita buruk dan menyelami kisah petualangan Tommy Shelby di Birmingham dalam perjuangannya mendirikan ormas Peaky Blinders. 


21 hari gue habiskan di rumah saat menjalankan protokol isolasi mandiri. Covid-19 mengajarkan gue untuk lebih menghargai aroma. Selama ini gue hanya menghargai aroma wangi daun sehabis diterpa hujan, wangi parfum yang diracik dari ekstrak berbagai wewangian terbaik, atau wangi rempah bercampur kuah yang menenggelamkan tunjang di dalam gulai. Sedangkan bau busuk pupup kucing, sampah yang membusuk di tempat pembuangan umum, atau rendaman berbagai sampah maupun bangkai yang mengendap di dalam dasar got sering gue remehkan keberadaannya dan membuat gue berandai-andai agar bau tak sedap itu tak ada.


Tapi begitu seluruh aroma itu ditarik sementara oleh Covid-19, akhirnya gue bisa memahami bahwa hidup ini tak hanya sekedar wangi yang menggoda, tapi juga ada bau busuk yang terkadang menerpa. Kemudian pada saat gue bisa menerima kedua hal yang bertentangan tersebut sebagai realita, maka pada saat itulah gue mulai bisa menikmati hidup secara seutuhnya. Karena tanpa kehadiran keduanya, hidup terasa hampa.



mari kita lanjut...

Kamis, Juni 10, 2021

Catatan Pandemi : Ramadhan

Tanggal sebelas bulan Mei tahun dua ribu dua puluh satu. Sudah 2 kali Ramadhan kita jalani dalam kondisi keterbatasan akibat pandemi. Kondisi yang membuat kita semua beradaptasi dengan berbagai kebiasaan baru, termasuk dalam pelaksanaan ibadah pada bulan Ramadhan.

Pada tahun 2021, mesjid sudah mulai dibuka dengan catatan harus menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Jamaah pada saat masuk mesjid ditembak jidatnya pake thermo gun, sholat wajib pake masker, peralatan sholat bawa sendiri, dan kita mengenal cara sholat berjamaah yang  berjarak antar satu jamaah dengan lainnya.

Jika dilihat dari keadaan tahun lalu, keadaan seperti ini sebenarnya jauh lebih baik ketimbang Ramadhan sebelumnya. Seluruh mesjid ditutup total bahkan untuk sholat 5 waktu sekalipun. Yang boleh masuk ke mesjid hanya muadzin untuk sekedar mengumandangkan adzan. Akibatnya suasana Ramadhan yang tadinya meriah menjadi sunyi senyap.

Tidak ada tukang peci yang selalu menggelar ratusan peci dagangannya di pelataran mesjid. Tidak ada suara ramai anak kecil yang perang sarung hingga membuat gaduh di dalam mesjid. Tidak ada teriakan Bapak-bapak yang jengkel akibat terganggu gaduhnya para bocah, "KALO MAU BERISIK DI LUAR!" sehingga membuat mereka takut sejenak sampai saat sholat dimulai dan mereka kembali ke dalam untuk melanjutkan kembali perang sarung.

Silaturahim yang sering digelar pada bulan Ramadhan seketika bubar jalan. Mall, cafe, restoran, sampai warung-warung pinggir jalan juga tutup total dan makanan hanya boleh dibeli dengan cara take away. Tidak ada reuni TK, SD, SMP, ataupun SMA dengan korban satu orang rajin yang datang 2 jam sebelum maghrib untuk booking 20 tempat duduk di restoran favorit. Tidak ada kumpul-kumpul dengan keluarga besar bersama om, tante, dan sepupu yang mungkin gak kita tahu namanya. Mereka yang selalu berhasil membuat kita cengar-cengir awkward saat membahas isu terhangat atau terhoax di status grup WA keluarga.

Dikarenakan mesjid tutup total, maka shalat tarawih pada Ramadhan tahun 2020 gue kerjakan di rumah. Tepatnya di rumah mertua yang berlokasi di Bekasi.

Kondisi pandemi yang penuh ketidak jelasan menuntut seluruh keluarga untuk tinggal di satu atap yang sama. Permasalahannya, ada 9 keponakan kecil-kecil dengan umur yang tidak jauh berbeda  antar satu dengan lainnya. Implikasi dari keadaan tersebut, selalu terjadi keributan pada saat sholat tarawih kita di tahun 2020.

Saat berdiri, shaf taraweh selalu dianggap jogging track oleh mereka untuk berlari-larian sambil tertawa dan berteriak. Saat rukuk, mereka selalu mengadakan perlombaan copotin peci dan mukenah. Saat sujud, permainan kuda-kudaan adalah kegiatan favorit dan membuat kita yang menjadi kuda tidak bisa segera bangkit dari sujudnya. Itu semua adalah kegiatan yang dilakukan oleh keponakan dengan rentang umur 1-3 tahun.

Yang agak gede sekitar 3-6 tahun, mereka sholat sambil nyikut, jambak, dan ujungnya bisa dipastikan menggelar eksebisi Smackdown. Berantem. Namun berbeda dengan Smackdown yang diakhiri pemberian gelar juara, keponakan gue selalu mengakhiri tarung laga dengan tangis membahana. Pada akhirnya, malam Ramadhan tetap meriah di rumah saya.

Ramadhan berganti Syawal dan sejarah mencatat bahwa tahun 2020 adalah Idul Fitri pertama dengan kondisi seluruh mesjid ditutup total dan kerumunan tidak diperbolehkan. Tidak boleh ada sholat Idul Fitri di lapangan atau mesjid manapun.

Sholat Idul Fitri diadakan di rumah masing-masing dengan imam sesuai konsensus masing-masing keluarga. Bisa ditebak, gue ditunjuk sebagai imam pada sholat Idul Fitri tahun 2020. Sebuah pengalaman baru yang tidak pernah gue alami sebelumnya. Pengalaman yang menarik karena gue harus menjaga takbir supaya tidak lebih atau kurang pada masing-masing rakaat. Idul Fitri 2020 adalah pertama kalinya gue sholat sambil ngitung pake jari tangan yang terselip di balik siku. 

Ramadhan di tengah pandemi membuat kita beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru dan membuat ibadah kita lebih personal karena dijalani dalam kondisi prihatin. Di lain sisi, kita juga bisa merasakan harumnya semerbak aroma nafas surgawi yang terpantul pada masker saat kita melaksanakan kegiatan sehari-hari.


mari kita lanjut...

Rabu, Maret 03, 2021

Catatan Pandemi : Masker

Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama setahun mulai mencapai ujung terowongan dan sedikit demi sedikit terlihat cahaya dari ujungnya. Baru-baru ini telah ditemukan vaksin oleh beberapa perusahaan farmasi. Negara-negara di seantero dunia sedang berlomba-lomba untuk mendapatkan dan memberikan vaksin kepada seluruh warga negara, pejabat, maupun  b̶u̶z̶z̶e̶r̶n̶y̶a̶ influencernya. Semoga dengan ditemukannya vaksin ini gelombang pandemi bisa segera surut dan hidung serta mulut kita terbebas dari masker.


Sebelum pandemi, masker selalu saja dipandang sebelah mata. Masker hanya dipakai pada saat sakit flu ketika mulai bersin-bersin atau  pada saat membersihkan kotoran kucing di halaman depan. Heran juga, padahal gue gak melihara kucing tapi setiap hari selalu aja dikasih end product metabolisme mereka. Apakah mungkin di mata mereka halaman depan gue bermerk TOTO? Sungguh sebuah misteri alam.


Oke, saatnya kembali ke masker.


Semasa pandemi, masker sekonyong-konyong berpansos ria dan menjadi primadona. Jika sebelumnya masker hanya tersedia satu atau dua kotak saja di pojok bawah etalase Apotek, sekarang banyak box masker tersedia di depan kasir. Etalase utama, setara dengan Kinderjoy dan Tissue Magic. 


Tingginya permintaan masker bahkan sampai memunculkan kriminalitas jenis baru, yaitu Kartel Masker. Kartel masker ini merupakan kumpulan para spekulan yang menyadari betapa pentingnya masker pada saat pandemi dan menumpuk masker di gudang mereka dengan harapan harga masker mengikuti prediksi Femmy Rose, "Hari Senin harga naik!"


Melonjaknya demand masker dalam waktu singkat yang tidak mampu diimbangi oleh supply yang memadai, menyebabkan harga masker melambung tinggi. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang dikemukakan oleh Adam Smith, Bapak Ilmu Ekonomi, yang tentu saja tidak berhubungan darah dengan Adam Suseno, Bapaknya Anak Inul Daratista. 


Imbasnya, satu box masker medis yang berisi 50 pcs dapat mencapai harga Rp 500.000 alias Rp 10.000 per masker. Sebuah harga yang sangat tinggi, mengingat adanya himbauan bahwa masker harus diganti minimal 2x sehari. Sehingga kalau himbauan diikuti dengan baik, minimal satu orang butuh Rp 4.000.000 sebulan hanya untuk beli masker medis sekali pakai.


Namun bukan masyarakat negara berkode telp +62 jika tidak kreatif pada saat kepepet. Harga masker medis yang mahal merupakan peluang bagi para produsen baju batik, beha, dan bahkan sampai celana dalam untuk melakukan pivot. Kondisi penjualan pakaian jadi yang sedang lesu membuat mereka berbondong-bondong memproduksi masker kain walau tanpa standarisasi.


https://otomotif.okezone.com/read/2019/01/17/15/2005752/viral-pengendara-gunakan-bra-sebagai-masker-ini-kata-pakar-keselamatan


Masker kain terus ber eveolusi menjadi berbagai macam bentuk dan motif yang secara berangsur-angsur mengikuti standarisasi WHO. Ada yang satu lapis, dua lapis, atau ada juga yang berfitur ruang selipan tisu. Harga masker kain yang relatif murah seakan menjadi jawaban atas demand masker yang menggila.


Kemudian di saat kita kalap memesan masker kain dari marketplace, muncul saingan masker berbahan kain. Bahan kain mulai tersaingi oleh bahan scuba yang cenderung lebih elastis. Rendahnya fleksibilitas masker kain terkadang membuat pembeli kecewa pada saat barang sampai ke tempatnya.


Bisa jadi sang pembeli wajahnya lebar sedangkan masker kain yang dia pesan ternyata ukurannya terlalu kecil. Walhasil dia akan merasakan sesak napas karena memaksakan tali masker untuk nyangkut ke kuping. Selain sesak napas, masker kekecilan juga menurunkan nilai estetika seseorang. Seperti pepatah, "Mati segan hidup tak mampu," masker kekecilan juga seperti itu. Nutup idung enggak, nutup mulut juga enggak. Pada akhirnya akan nyangkut di tengah-tengah hidung dan mulut kayak kumis Hitler versi kegedean.


Namun seiring berkembangnya kajian mengenai COVID, semakin terkuak cara mengatasi dan mencegahnya. Setelah popularitas masker scuba meningkat karena kemudahan produksi serta harga kompetitif, penelitian terakhit menemukan bahwa jenis bahan tersebut tidak efektif dalam mencegah masuknya droplet ke sistem pernapasan kita. Di beberapa Mall bahkan sudah ada larangan masuk apabila pengunjung hanya memakai masker berbahan scuba. Ternyata masker berbahan scuba hanya efektif bagi bapak-bapak agar terlihat lebih jenaka.


"Barusan saya ke apotek beli obat tidur, pas pulang saya bawa nya pelan-pelan, takut obatnya bangun. Xixixixi"


Efektifitas pencegahan droplet yang tinggi dapat ditemukan pada masker kain minimal berlapis 3 atau masker medis yang juga minimal berlapis 3. Sehingga dengan semakin matangnya kesiapan para produsen masker medis dalam menyediakan supply yang berakibat pada semakin murahnya harga, maka orang-orang cenderung lebih memilih untuk kembali menggunakan masker medis dalam menunjang kegiatan mereka sehari-hari.


Masker, baik dengan nama dan bentuk apapun, pada akhirnya seakan-akan menjadi kebutuhan pokok pada saat kita melakukan kegiatan di tempat umum. Pada saat kerja kita wajib pakai masker, pada saat jalan-jalan ke mall kita wajib pakai masker, dan bahkan pada saat jogging atau naik sepeda pun kita wajib pakai masker.


Hal ini mungkin akan menyulitkan kita dalam melakukan aktivitas tersebut, terutama pada saat olahraga. Masker yang dipakai dengan sempurna akan membuat napas kita akan cepat tersengal-sengal karena hidung dipaksa menghirup CO2 yang terjebak dalam masker. Bahasa ilmiahnya : Ngap-ngapan. Kesulitan ini semakin diperparah apabila kita lupa sikat gigi sewaktu jogging di pagi hari. Aroma semerbak El Jigonge Nyempilus Digusi akan selalu tercium untuk kemudian berkolaborasi dengan bau keringat yang merembes hebat di masker. Amboi ambune.


Berjalan tanpa masker di tempat umum pun bukanlah sebuah opsi yang bijak di masa pandemi seperti ini. Selain resiko menghirup droplet yang membawa virus meningkat, berjalan tanpa masker juga akan membuat kita menjadi pusat perhatian khalayak ramai. Di masa pandemi, berjalan di tempat umum tanpa masker sama dengan berjalan memakai baju tanpa pakai celana. Udah gitu pahanya panuan.


Orang-orang akan melihat kita dengan tatapan sinis, jijik, dan curiga. Judgement mereka akan terngiang di kepala pada saat kita menyambut pandangan mereka.


"Dih ini orang gila banget keluar rumah gak pake masker, membahayakan orang!"

"Jaman lagi banyak penyakit gini masih ada aja orang ignorant!"

" Pelit banget sih ini orang, beli masker aja gak mau!"


Padahal mungkin juga pada saat itu kita sekedar lupa memakainya atau ketinggalan di suatu tempat, seperti yang pernah gue alami pada saat masker gue ketinggalan di meja kantin dekat kantor.


Kegiatan makan merupakan satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukan di khalayak ramai tanpa perlu memakai masker. Karena gak lucu juga kalau masker medis kita berwarna ijo di tengah akibat kena sambel bebek. Akibat setelah makan gue nerima telpon dan langsung bergerak, maka masker medis yang sebelumnya gue pakai tertinggal di meja kantin.


Saat gue jalan dari kantin menuju kantor, gue selalu cengar cengir saat berpapasan dengan orang yang entah mengapa selalu menatap gue dengan tajam. Pada saat itu, gue gak tau apa yang sebenarnya terjadi sampai akhirnya ketemu dengan security, "Pak, maskernya tolong dipake."


Mohon maap pemirsa


Saat gue menyadari kenyataan tersebut, sontak gue merasa malu dan salah tingkah. Bibir gue terasa seperti aurat yang harus gue tutupi dengan tangan atau ujung kaus di sepanjang jalan. Situasi kemudian menjadi bertambah akward saat gue masuk lift yang sedang terisi penuh oleh orang-orang bermasker. Gue terlihat seperti orang yang sedang kebauan oleh kentut sendiri di dalam lift dan dikucilkan oleh orang-orang sekitar. Aku merasakan  sebuah kehinaan saat hidung dan mulutku tak tertutup masker.


Sejujurnya, gue merindukan kegiatan diluar tanpa masker. Kita bisa bergerak kemanapun, ngobrol dengan siapapun, dan menyentuh apapun tanpa harus khawatir dengan virus yang tersebar di sekitar kita. Namun bagaimanapun tidak ada yang meminta kondisi seperti ini dan sayangnya kondisi ini sedang terjadi tanpa terlihat titik terang kapan akan berhenti. Hal-hal yang perlu kita jalani hanyalah mematuhi protokol kesehatan, jaga 3M, dan tetap saling melindungi sambil berharap pada ampuhnya vaksinasi.




mari kita lanjut...