Rabu, Maret 03, 2021

Catatan Pandemi : Masker

Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama setahun mulai mencapai ujung terowongan dan sedikit demi sedikit terlihat cahaya dari ujungnya. Baru-baru ini telah ditemukan vaksin oleh beberapa perusahaan farmasi. Negara-negara di seantero dunia sedang berlomba-lomba untuk mendapatkan dan memberikan vaksin kepada seluruh warga negara, pejabat, maupun  b̶u̶z̶z̶e̶r̶n̶y̶a̶ influencernya. Semoga dengan ditemukannya vaksin ini gelombang pandemi bisa segera surut dan hidung serta mulut kita terbebas dari masker.


Sebelum pandemi, masker selalu saja dipandang sebelah mata. Masker hanya dipakai pada saat sakit flu ketika mulai bersin-bersin atau  pada saat membersihkan kotoran kucing di halaman depan. Heran juga, padahal gue gak melihara kucing tapi setiap hari selalu aja dikasih end product metabolisme mereka. Apakah mungkin di mata mereka halaman depan gue bermerk TOTO? Sungguh sebuah misteri alam.


Oke, saatnya kembali ke masker.


Semasa pandemi, masker sekonyong-konyong berpansos ria dan menjadi primadona. Jika sebelumnya masker hanya tersedia satu atau dua kotak saja di pojok bawah etalase Apotek, sekarang banyak box masker tersedia di depan kasir. Etalase utama, setara dengan Kinderjoy dan Tissue Magic. 


Tingginya permintaan masker bahkan sampai memunculkan kriminalitas jenis baru, yaitu Kartel Masker. Kartel masker ini merupakan kumpulan para spekulan yang menyadari betapa pentingnya masker pada saat pandemi dan menumpuk masker di gudang mereka dengan harapan harga masker mengikuti prediksi Femmy Rose, "Hari Senin harga naik!"


Melonjaknya demand masker dalam waktu singkat yang tidak mampu diimbangi oleh supply yang memadai, menyebabkan harga masker melambung tinggi. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang dikemukakan oleh Adam Smith, Bapak Ilmu Ekonomi, yang tentu saja tidak berhubungan darah dengan Adam Suseno, Bapaknya Anak Inul Daratista. 


Imbasnya, satu box masker medis yang berisi 50 pcs dapat mencapai harga Rp 500.000 alias Rp 10.000 per masker. Sebuah harga yang sangat tinggi, mengingat adanya himbauan bahwa masker harus diganti minimal 2x sehari. Sehingga kalau himbauan diikuti dengan baik, minimal satu orang butuh Rp 4.000.000 sebulan hanya untuk beli masker medis sekali pakai.


Namun bukan masyarakat negara berkode telp +62 jika tidak kreatif pada saat kepepet. Harga masker medis yang mahal merupakan peluang bagi para produsen baju batik, beha, dan bahkan sampai celana dalam untuk melakukan pivot. Kondisi penjualan pakaian jadi yang sedang lesu membuat mereka berbondong-bondong memproduksi masker kain walau tanpa standarisasi.


https://otomotif.okezone.com/read/2019/01/17/15/2005752/viral-pengendara-gunakan-bra-sebagai-masker-ini-kata-pakar-keselamatan


Masker kain terus ber eveolusi menjadi berbagai macam bentuk dan motif yang secara berangsur-angsur mengikuti standarisasi WHO. Ada yang satu lapis, dua lapis, atau ada juga yang berfitur ruang selipan tisu. Harga masker kain yang relatif murah seakan menjadi jawaban atas demand masker yang menggila.


Kemudian di saat kita kalap memesan masker kain dari marketplace, muncul saingan masker berbahan kain. Bahan kain mulai tersaingi oleh bahan scuba yang cenderung lebih elastis. Rendahnya fleksibilitas masker kain terkadang membuat pembeli kecewa pada saat barang sampai ke tempatnya.


Bisa jadi sang pembeli wajahnya lebar sedangkan masker kain yang dia pesan ternyata ukurannya terlalu kecil. Walhasil dia akan merasakan sesak napas karena memaksakan tali masker untuk nyangkut ke kuping. Selain sesak napas, masker kekecilan juga menurunkan nilai estetika seseorang. Seperti pepatah, "Mati segan hidup tak mampu," masker kekecilan juga seperti itu. Nutup idung enggak, nutup mulut juga enggak. Pada akhirnya akan nyangkut di tengah-tengah hidung dan mulut kayak kumis Hitler versi kegedean.


Namun seiring berkembangnya kajian mengenai COVID, semakin terkuak cara mengatasi dan mencegahnya. Setelah popularitas masker scuba meningkat karena kemudahan produksi serta harga kompetitif, penelitian terakhit menemukan bahwa jenis bahan tersebut tidak efektif dalam mencegah masuknya droplet ke sistem pernapasan kita. Di beberapa Mall bahkan sudah ada larangan masuk apabila pengunjung hanya memakai masker berbahan scuba. Ternyata masker berbahan scuba hanya efektif bagi bapak-bapak agar terlihat lebih jenaka.


"Barusan saya ke apotek beli obat tidur, pas pulang saya bawa nya pelan-pelan, takut obatnya bangun. Xixixixi"


Efektifitas pencegahan droplet yang tinggi dapat ditemukan pada masker kain minimal berlapis 3 atau masker medis yang juga minimal berlapis 3. Sehingga dengan semakin matangnya kesiapan para produsen masker medis dalam menyediakan supply yang berakibat pada semakin murahnya harga, maka orang-orang cenderung lebih memilih untuk kembali menggunakan masker medis dalam menunjang kegiatan mereka sehari-hari.


Masker, baik dengan nama dan bentuk apapun, pada akhirnya seakan-akan menjadi kebutuhan pokok pada saat kita melakukan kegiatan di tempat umum. Pada saat kerja kita wajib pakai masker, pada saat jalan-jalan ke mall kita wajib pakai masker, dan bahkan pada saat jogging atau naik sepeda pun kita wajib pakai masker.


Hal ini mungkin akan menyulitkan kita dalam melakukan aktivitas tersebut, terutama pada saat olahraga. Masker yang dipakai dengan sempurna akan membuat napas kita akan cepat tersengal-sengal karena hidung dipaksa menghirup CO2 yang terjebak dalam masker. Bahasa ilmiahnya : Ngap-ngapan. Kesulitan ini semakin diperparah apabila kita lupa sikat gigi sewaktu jogging di pagi hari. Aroma semerbak El Jigonge Nyempilus Digusi akan selalu tercium untuk kemudian berkolaborasi dengan bau keringat yang merembes hebat di masker. Amboi ambune.


Berjalan tanpa masker di tempat umum pun bukanlah sebuah opsi yang bijak di masa pandemi seperti ini. Selain resiko menghirup droplet yang membawa virus meningkat, berjalan tanpa masker juga akan membuat kita menjadi pusat perhatian khalayak ramai. Di masa pandemi, berjalan di tempat umum tanpa masker sama dengan berjalan memakai baju tanpa pakai celana. Udah gitu pahanya panuan.


Orang-orang akan melihat kita dengan tatapan sinis, jijik, dan curiga. Judgement mereka akan terngiang di kepala pada saat kita menyambut pandangan mereka.


"Dih ini orang gila banget keluar rumah gak pake masker, membahayakan orang!"

"Jaman lagi banyak penyakit gini masih ada aja orang ignorant!"

" Pelit banget sih ini orang, beli masker aja gak mau!"


Padahal mungkin juga pada saat itu kita sekedar lupa memakainya atau ketinggalan di suatu tempat, seperti yang pernah gue alami pada saat masker gue ketinggalan di meja kantin dekat kantor.


Kegiatan makan merupakan satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukan di khalayak ramai tanpa perlu memakai masker. Karena gak lucu juga kalau masker medis kita berwarna ijo di tengah akibat kena sambel bebek. Akibat setelah makan gue nerima telpon dan langsung bergerak, maka masker medis yang sebelumnya gue pakai tertinggal di meja kantin.


Saat gue jalan dari kantin menuju kantor, gue selalu cengar cengir saat berpapasan dengan orang yang entah mengapa selalu menatap gue dengan tajam. Pada saat itu, gue gak tau apa yang sebenarnya terjadi sampai akhirnya ketemu dengan security, "Pak, maskernya tolong dipake."


Mohon maap pemirsa


Saat gue menyadari kenyataan tersebut, sontak gue merasa malu dan salah tingkah. Bibir gue terasa seperti aurat yang harus gue tutupi dengan tangan atau ujung kaus di sepanjang jalan. Situasi kemudian menjadi bertambah akward saat gue masuk lift yang sedang terisi penuh oleh orang-orang bermasker. Gue terlihat seperti orang yang sedang kebauan oleh kentut sendiri di dalam lift dan dikucilkan oleh orang-orang sekitar. Aku merasakan  sebuah kehinaan saat hidung dan mulutku tak tertutup masker.


Sejujurnya, gue merindukan kegiatan diluar tanpa masker. Kita bisa bergerak kemanapun, ngobrol dengan siapapun, dan menyentuh apapun tanpa harus khawatir dengan virus yang tersebar di sekitar kita. Namun bagaimanapun tidak ada yang meminta kondisi seperti ini dan sayangnya kondisi ini sedang terjadi tanpa terlihat titik terang kapan akan berhenti. Hal-hal yang perlu kita jalani hanyalah mematuhi protokol kesehatan, jaga 3M, dan tetap saling melindungi sambil berharap pada ampuhnya vaksinasi.




mari kita lanjut...