Selasa, November 29, 2022

Mbok Bacao

Gedung berwarna putih itu menjulang tegap di jantung ibukota Jakarta. Seorang anak kecil sedang duduk bersila di lantai sembari binge reading novel Lupus. Kegiatan yang membuat waktu berlalu seperti perahu kertas yang melaju di atas sungai deras, cepat sekali. 
 
"Dek, kalau baca jangan sambil duduk!" kata satpam membuyarkan pikiran si anak kecil yang sedang seru membaca novel Lupus. Dia sontak berdiri, meminta maaf, dan berpindah tempat untuk mencari lokasi yang lebih aman dari patroli satpam.
 

Anak kecil itu adalah gue, yang dulu hobinya membaca buku berjam-jam baik itu di rumah ataupun Gramedia Matraman. Sebuah toko buku legendaris yang konon merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Sebuah kebanggaan kota Jakarta yang sekarang malu-malu tersembunyi di balik mall-mall yang besar namun dengan toko buku yang kecil, atau bahkan tidak ada.

 

Pergeseran kebanggaan kota Jakarta dari toko buku besar menjadi mall besar sedikit banyak terjadi juga pada diri gue. Membaca bukanlah menjadi kegiatan favorit gue pada saat ini. Kemampuan membaca buku setebal 400 halaman dalam waktu satu hari hanya menjadi sebuah kenangan manis. Seperti orangtua yang mengenang kekuatan fisik dan stamina mereka pada saat muda dahulu.

 

Stamina membaca gue pada saat ini hanya sebatas 5 halaman. Selebihnya, konsentrasi baca gue terpecah antara membaca, mikirin kerjaan, dan cek handphone. Banyak distraksi, terutama dari item ketiga. Kemampuan handphone seakan menggantikan kemampuan otak untuk berpikir dan memproses bacaan.

 

Intensitas gue memegang handphone dan berselancar di internet secara gak langsung mereduksi stamina otak dalam memproses kata demi kata. Kata demi kata yang kemudian menjadi imajinasi adegan atau penjelasan yang ingin disampaikan oleh buku tersebut. 

 

Melalui internet, imajinasi diganti visualisasi dan semua hal sudah tersaji di depan mata. Binge reading turun tahta, digantikan oleh binge watching. Beragamnya platform streaming membuat kita bisa menyaksikan film terbaru ataupun yang klasik sekalipun. Dimanapun, kapanpun.

 

Banyaknya informasi melalui konten yang beredar membuat gue terbiasa kenyang tanpa sempat mengunyah, kembung tanpa sempat menyesap, dan kurang tanpa sempat menyadari. Stamina baca gue termanja dengan adanya tuntutan bahwa inti informasi harus segera didapat pada saat selesai membaca satu atau dua kalimat. Gue jadi seseorang yang tidak menghargai proses atau narasi, padahal proses itu yang membuat kita berimajinasi. Proses juga yang membuat kita bisa berpikir dan menyaring apakah informasi yang didapat benar atau salah. 

 

Semua keterburu-buruan itu pada akhirnya membuat pikiran gue seperti algoritma explore Instagram.  Gue hanya mendapatkan informasi atas hal-hal yang gue suka. Padahal apa yang kita suka belum tentu benar dan gue tidak bisa menentukan benar tanpa mengetahui hal yang salah. Dengan membaca, pengetahuan gue lebih beragam.

 

Dulu gue sempat baca buku The Alchemist yang menceritakan tentang Nicholas Flamel dengan batu abadinya. Pada buku yang terdiri dari 6 seri tersebut, gue bisa tahu kisah hidup serta pemikiran Miyamoto Musashi, William Shakespeare, Virginia Woolf atau bahkan mengenai dewa dewi seperti Zeus, Hekate, dan Yggdrasil. Dengan membaca buku, gue bisa tahu pemikiran Adolf Hitler dengan membaca buku terjemahan Mein Kampf hitam karangan dia. Pemikiran yang tentu saja salah dengan segala kekejaman yang telah dia perbuat.


Menyelami pemikiran dan detil suatu peristiwa tentu saja akan sulit didapat dari, misalnya, film perang. Durasi film yang 3 jam tentu saja kurang untuk menceritakan Perang Dunia II yang berdurasi 6 tahun. Tidak mungkin suatu film bisa menceritakan secara detil proses perjalanan pemikiran Adolf Hitler dari seorang seniman yang mencintai keindahan menjadi seorang diktator yang mencintai kebencian.

 

Ada satu kalimat yang cukup menohok saat gue mulai membaca buku akhir-akhir ini. Kalimat ini ada di buku ReThinking karya Adam Grant :

 

We laugh at people who still use Windows 95, yet we still cling to opinions that we formed in 1995. We listen to views that make us feel good, instead of ideas that make us think hard

 

Membaca adalah berpikir dan berpikir adalah melelahkan. Jangankan baca buku, nonton film aja gue masih suka cari yang ringan-ringan karena males mikir.

 

Namun tentu saja, lelah bisa dilatih. Kalau dulu gue bisa baca buku Harry Potter and The Goblet of Fire dalam waktu sehari, sekarang pasti bisa. Percayalah. Percayalah.

 

Seperti kata Pak Waluyo, dosen Kebijakan Administrasi Publik gue dulu, "MBOK BACAO..."

mari kita lanjut...