Selasa, Desember 26, 2023

Bungkus 2023

Janji adalah janji. Janji adalah ucapan penuh harapan yang acapkali saya ucapkan di awal tahun. Janji kepada diri sendiri yang sebenarnya tidak muluk-muluk, apalagi butuh pengorbanan harta seperti membayar gym membership setahun penuh dengan harapan timbulnya keterikatan antara diri dengan olahraga.


Janji itu adalah menulis. Pada awal tahun 2023 saya berjanji akan memperbanyak tulisan dan mengurangi interaksi dengan media sosial. Sebuah janji yang seharusnya ditopang dengan peningkatan stamina membaca buku, bukan twitwar (atau sekarang Xwar). Namun apa lacur, jarak antara tulisan ini dengan tulisan terakhir berjumlah hampir 365 hari. Hal ini sejalan juga dengan kuantitas buku yang saya baca di tahun ini yang mungkin bisa dihitung dengan jari. Perselingkuhan saya dengan media sosial ini benar-benar telah menelantarkan kawan lama saya bernama buku.


Tahun 2023 ini lebih banyak diwarnai dengan beragam janji yang bertumpah ruah di media sosial. Ruang digital publik dipenuhi dengan interaksi pemberi, penerima, dan penyokong janji. Janji-jani tersebut disampaikan dengan citra yang beragam, ada yang tegas cenderung keras, ada yang canda penuh tawa, dan ada yang cerdas berbalut kata.


Semakin hari, semakin mendekati akhir tahun 2023, janji-janji tersebut menyebar bukan hanya di media sosial. Janji-janji menyeruak dari ruang maya ke ruang nyata.


Pohon-pohon tertancapkan paku demi tertgantungnya poster-poster janji. Tua, muda, terpampang dengan citra beragam rupa. Citra yang sebenarnya dapat terungkap dengan bantuan mesin pencari,  sehingga seberapa harum citra tersebut terpampang kita tetap bisa mencari tindak tanduk tindakannya. Karena pada era digital seperti sekarang, segala perbuatan, pekerjaan, dan perkataan figur publik dan politik dapat dicari dengan mudahnya. 


Namun cukup disayangkan, kita masih sering termakan janji dan terpesona citra . Sebegitu pemaafnya bangsa kita sehingga para koruptor bisa bebas nyaleg. Bahkan seorang publik figur yang ditahan atas kasus pelecehan seksual bisa diarak, dielu-elukan, dan diliput eksklusif pada saat keluar penjara. Kita juga sempat melihat persekongkolan pada proses pembuatan peraturan yang seakan tuli mendengar teriakan dari luar pagar, tempat ribuan masyarakat disemprot air, ditembak gas air mata, dan sesekali dipentung gemes.


Padahal teriakan itu mungkin karena masyarakat terluka melihat dan merasakan pekerjaan makin susah didapat, harga sembako makin mahal, dan pejabat yang bersikap layaknya pengamat yang gemar mengomentari situasi tanpa ada mengambil alih kendali. Walaupun  setelah beberapa tahun ketika janji yang sama ditebar, citra yang sama dibentuk, dan orang yang sama diusung, kita tetap percaya. Kalau kata Koil : Aku Lupa Aku Luka.


Janji dan citra tak bisa menjadi pengangan. Karena jika hanya berpegang pada janji dan citra, seekor serigala dapat terlihat menyayangi, mencintai, dan memperdulikan domba. Walau sebenarnya sudah menjadi pandangan umum bahwa makanan terlezat bagi serigala adalah domba, tak peduli gemuk atau kurus.


Data dan perbuatan adalah pegangan yang seharusnya. Berlimpah ruahnya jejak digital seharusnya menjadi palu godam penghancur tembok algoritma yang dibentuk dari janji dan citra. Media sosial mencekoki kita dengan algoritma yang dibentuk untuk membenarkan persepsi yang sudah kita pegang dan percaya tanpa punya kesempatan melihat sisi lain dari tembok tersebut. Sehingga kita cenderung keras dan defensif saat melihat pendapat atau pemahaman yang berbeda dari apa yang kita percaya.


Janji harus diuji dengan data, bukan puja-puji. Dari data akan terlihat apakah janji tersebut akan terealisasi. Jika dulu suka berjanji tapi tidak ditepati, mendadak tuli saat diberi aspirasi, apalagi tutup mata saat ada rakyatnya yang lapar sampai mati, untuk apa dibela sampai mati. Buka pikiran seluas-luasnya agar dapat mencerna data yang tak kita suka tentang sosok yang kita puja berdasarkan janji dan citra. Jangan sampai kita menjadi domba yang memilih sendiri serigala pemangsanya.

0 comments: