Kamis, Januari 05, 2012

Pantura Tengah

Jalan gelap yang berliku-liku, tak tampak apapun di samping kiri dan kanan jalan. Satu-satunya sumber penerangan jalan hanyalah lampu depan mobil yang terangnya tak seberapa. Sesekali gue menyalakan lampu jauh dan terkejut karena tiba-tiba jalanan membelok tajam, jembatan, komplek kuburan, atau motor bernyawa tujuh belas yang tidak memakai lampu di daerah yang sangat gelap seperti itu. Jalan yang disebut jalan tengah Pantura.

Kira-kira selama 3 tahun ke belakang, gue selalu menghabiskan malam tahun baru bersama teman-teman kuliah. Dua kali di rumah Jihan dan satu kali di Taman Menteng. Untuk tahun ini, kita mengalami kebingungan untuk pergi kemana. Rencana tahun kemarin sih, kita berniat mau ke Monas atau Ancol. Namun membayangkan kerumunan orang yang bergumul disana membuat kami malas. Apalagi setelah ngeliat berita bahwa diperkirakan bakal ada 300.000 orang menuju dua tempat itu. Apa enaknya ngerayain tahun baru sambil rebutan tempat dan napas kayak begitu? Sudah cukup lah sehari-hari di busway.

Seminggu sebelum tahun baru, seorang pria arab bernama Ojan melontarkan wacana untuk tahun baruan di Kuningan, kampung halamannya Heru. Ternyata usul itu disambut baik oleh warga ADM 2005 dan setelah dikumpul-kumpul, ada 16 orang yang berminat ikut dengan 3 mobil yang ada.

Manusia berencana, Tuhan yang memutuskan. Dari 3 mobil itu, 2 mobil mendadak labil. Livina item kebanggaan gue bonyok kena tabrak batu oleh abang gue dan asuransinya belum diperpanjang. Mobil Baleno punya Heru mesinnya bermasalah. Untuk anggotanya, satu persatu bertumbangan. Ada yang kecapekan, ada yang kompak nemenin pacarnya yang kecapekan, ada yang ikut pelantikan pencinta alam, dan berbagai macam alasan lainnya.

Setelah dilakukan rekapitulasi ulang pada H-1 sebelum keberangkatan, akhirnya terbentuklah satu rombongan yang terdiri dari 10 orang dengan memakai mobil gue dan Gimbal. Ternyata bonyok yang dialami mobil gue gak seberapa parah dan perpanjangan asuransi-nya sudah dalam proses, sehingga saat gue berada di perjalanan asuransi udah meng-kover semua kejadian yang (jangan sampai) terjadi. Kuningan, kami datang!

Seperti biasa, janjian udah dibikin secepat mungkin di Mekdi Salemba, 19:00 WIB. Tetep aja makenya WITA. Walhasil, jam 9 malem baru berangkat. Itu pun kita masih berhenti di rest area tol Cikampek untuk nunggu rombongan mobil Gimbal yang ngejemput Heru di Bekasi. Ditambah ngobrol-ngobrol dan nonton Transformers di Torabika Café, jam setengah 11 kita baru bener-bener berangkat ke Kuningan.

Sesampainya di gerbang tol Cikampek, keadaan udah sangat macet. Bahkan 3 dari 4 jalur yang ada dipakai untuk kendaraan yang menuju gerbang tol Cikampek. Udah gitu masih ada aja orang yang nekat make jalur ke-4. Edun. Karena orang-orang sableng macam itulah kemacetan terjadi, masing-masing orang sibuk rebutan jalur. Jarak yang seharusnya dapat ditempuh dalam waktu 5 menit bertambah menjadi 30 menit, imbas dari kemacetan panjang.

Pada perjalanan ke Kuningan sebelumnya, begitu keluar dari gerbang tol Cikampek gue belok ke kiri, lewat jalur Pantura yang terkenal akan karaoke Nur Hasanah 1, 2, dan 3. Sebuah tempat karaoke dengan nama pesantren. Kali ini gue diarahkan Heru ke kanan, “Lewat jalur tengah Pantura kan, hutan. Pantura pasti macet panjang. Gue pernah 8 jam nyampe Kuningan pas keadaan kayak gini” sahut Haru dengan logat Sunda-Kuningan kental yang memakai qolqolah untuk huruf ‘H’ dan ‘K’. Begitu belok kanan, hanyalah gelap yang terlihat. Gelap, gelap, dan gelap. Seperti kata Efek Rumah Kaca : Gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang (ERK-Sebelah Mata).

Jalan tengah Pantura semakin lama semakin absurd. Ditambah dengan banyaknya bis yang sliweran dari arah sebaliknya, jalanan ini jadi semakin menantang dan berbahaya. Dari yang tadinya gue ngantuk di jalan tol, mendadak jadi seger begitu masuk jalan ini. Konsentrasi penuh agar tidak nyemplung ke pinggir jalan. Jalannya naik turun. Begitu turun dan nyalain lampu jauh, tiba-tiba jalanan mendadak belok 90 derajat. Bikin gue kelimpungan nyetir.

Karena jalan sudah semakin gelap dan sunyi. Gue memutuskan untuk nyari siaran radio. Siaran apapun lah yang masih bisa ditangkap, berhubung tempat CD gue hilang entah kemana. Muter-muter channel, radio malah ngangkep satu siaran yang isinya orang ngomel-ngomel pake bahasa Sunda dengan intonasi seperti lagi merapal mantra pemanggil setan. Kampret. Adalagi macam radio lawak dengan bahasa Sunda. Kayaknya sih kocak, penontonnya terdengar kayak lagi ketawa sampe usus dua belas jarinya keluar lewat idung. Tapi tetep aja, gak ngarti.

Muter-muter lagi, berhenti di 94.1 FM, siaran lagu dangdut. Cocok. Apalah artinya lewat Pantura tanpa denger radio dangdut. Nama radionya Lazuardi FM Karawang. Saat itu lagi ada acara Café Dangdut. Siarannya itu sangat asal-asalan. DJ-nya entah satu atau dua orang. Yang satu suaranya normal, satu lagi terdengar seperti Doraemon dan kerjaannya cuma nyeletuk gak penting make bahasa Sunda. Yang lebih ngeselin pada saat lagu dimulai tiba-tiba seenaknya aja dia motong, “HE HE HEE.. AU URANG BLA BLA BLA BLA” dengan nada bicara kayak orang mabok. Abis itu dia diem. Kemudian muncul satu intro yang berbeda dengan lagu sebelumnya. Kalau lagu sebelumnya dimulai dengan dentuman murahan, kali ini lagu dimulai dengan suara piano gothic yang terkesan kolosal. Cocok buat soundtrack Tutur Tinular Versi 2011.

Gue berharap akan muncul geraman kasar ala vokalis band Metalcore yang nyanyinya kayak orang buang tahak, menyanyikan lirik semacam, ”Munafik dusta ingkar arogan sombong angkuh takabur riya bakhil kikir iri dengki sirik curang hasad hasud fitnah khianat keparat !!!”. Kenyataannya muncul vokal wanita yang terdengar seperti diambang bunuh diri, “Sayaaaangg… Aku gak bisa booboo…Mata ini tak bisa kupejamkan.”

Sungguh keren. Seakan-akan mengucapkan, “Selamat datang di Karawang.”



0 comments: