Sabtu, Juli 17, 2010

Garis Itu Bernama Tanda Tangan

Sidang skripik telah selesai. Dilanjutkan dengan masa hibernasi, dimana otak dijauhkan dari hal-hal terkutuk seperti persentase, Undang-Undang, Teori, Operasionalisasi Konsep, dan segala hal yang berhubungan dengan skripik.

Masa hibernasi itu gue sebut masa idah. Masa idah ini jaraknya sebulan dari tanggal sidang, itu kalau untuk sidang outline. Untuk sidang akhir, atau sidang skripik, atau sidang pembantaian, masa idah gak boleh lama-lama karena deadline pengumpulan skripik final adalah tanggal 9 Juli sedangkan gue sidang 28 Juni. Masa idah dalam sidang skripik gue patok 2 hari.

Oke. Gue bo'ong.

Patokan bukan berarti sama dengan kenyataan. Patokan adalah harapan, harapan adalah angan-angan, angan-angan adalah mimpi, mimpi biasanya jauh dari kenyataan. Sebenar-benarnya benar, masa idah gue adalah 5 hari. Selama 5 hari itu kerjaan gue cuma jalan-jalan, tidur di sofa, guling kiri-guling kanan, gelantungan di kusen buat olahraga, dan Poker Superstar II.

Pada hari ke-6 gue baru ngerjain revisi berdasarkan koreksi penguji saat sidang sebelumnya, bertempat di rumah, di atas sofa item, di temani Football Manager. Ternyata revisiannya gak ribet-ribet banget. Sehari langsung kelar. Tinggal nambahin satu atau dua kalimat, apus tulisan 'dalam' di awal paragraf, dan bikin matriks hasil penelitian. Kata' dalam' ternyata gak boleh ditaro di awal paragraf. Mungkin sesuai dengan arti kata-nya yaitu sesuatu yang ada di balik sesuatu. Seperti contohnya pada kalimat 'Dunia Dalam Berita' yang selalu motong keasyikan gue nonton Layar Emas di RCTI saat gue kecil dulu. Apalagi kalo ditambah Laporan Khusus, pengen rasanya gue demo Departemen Penerangan. Oke, ngaco.

Yang susah dalam revisi itu adalah nyocokin halaman. Terkadang penambahan 1 kalimat bisa merubah keseluruhan skripik. Membuat gue harus merombak ulang nomer halaman di dalam daftar isi dan di pojok kanan atas tiap halaman skripik. Belum lagi dengan persoalan teknis penulisan yang harus sesuai dengan SK Rektor. Puter puter diputer puter.

Setelah dipastikan benar skripiknya, baru gue print. Untuk kali ini gue gak perlu ngeluarin biaya gede, karena gue berhasil ngebajak printer yang diboyong abang gue ke kantornya. Kurang lebih seratus dua puluh-an halaman gue print. Sempet juga ngadat printer-nya. Entah kenapa. Mungkin dia ngambek, kerja banyak tapi gak dikasih makan. Sedikit ketukan lembut di badannya cukup untuk mengakhiri itu semua. Skripik final resmi dirilis.

Skripik final itu belum tentu final. Artinya, skripik itu masih mungkin di otak-atik lagi kalo misalnya tim penguji belum setuju sama isinya. Untuk itu dibuat yang namanya lembar pengesahan, sebagai bukti kalo skripik gue udah bener dan disetujui oleh mereka. Lembar itu harus ditandatangani oleh para penguji:
  1. Bapak Sanur, Ketua Sidang
  2. Bapak Awan, Sekretaris Sidang
  3. Bepe (Babe Pembimbing)
  4. Mbak Miss, Penguji Ahli
  5. Rektor UI*
  6. Presiden Indonesia*
Ket : * DUSTA

Pencarian tanda tangan ini mengenal sistem hirearki, dimana penguji ahli duluan, kemudian pembimbing, sekretaris, ditutup ketua sidang sebagai pentolannya. Hari Rabu, 7 Juli 2010, petualangan gue dimulai. Gue berangkat ke FISIP UI, tempat dimana Mbak Miss sering berada. Dari jam 12 siang gue udah sms dia, janjian mau ketemu minta tanda tangan. Ternyata dia lagi gak ada di kampus, baru ada jam 4 sore. Demi dia, gue nunggu sampe jam 4 sore.

Jam 4 sore, dia gak ada kabar. Baru ada kabar jam 5, katanya dia udah dijalan menuju kampus tapi masih kejebak macet. Jam 6, tepat abis adzan maghrib terdengar lantang, dia baru bisa ditemuin ke ruangannya.

"Mbak, ini revisinya..."

"Beneran udah dibenerin kan?"

"Pastinya mbak" kata gue. Yakin. Di mulut, bukan di hati.

Dia pun langsung tanda tangan di lembar pengesahan. Gue kasih dia 5 biji lembar pengesahan, buat jaga-jaga. Setelah tanda tangan baru dia liat skripik gue, bagian kata pengantar. Dicorat coret lagi. Dia mencoret tulisan 'sobat kentel macem kopi' dan 'J'taime!'.

"Ini apaan coba!?"

"Ucapan terima kasih mbak"

Ternyata dalam situ pun kata-katanya harus ilmiah. Untung gue gak jadi masukkin ucapan terima kasih ke Amerika Nakal, Raja Realitas, Apartemen Si Mike, atau Saya Mau Bercinta Dengan Emak-Emak.

Selesai minta tanda tangan Mbak Miss, selanjutnya, gue mau nyari Bepe.

Bepe gue orangnya sibuk, dia adalah praktisi perpajakan yang kerja di Kantor Akuntan Publik di daerah Kuningan. Nama perusahaannya bisa diliat di papan iklan pinggir lapangan kalo lagi maen PES. Untuk memastikan dia ada dimana, gue sms dia. Gue memilih kata-kata terbaik. Kata-kata sopan untuk ngajak ketemuan, istilah jaman sekarangnya Kopi Darat. Kopi darat kayak tren ababil jama sekarang sama temen Fesbuknya. Gue sms dia malah balik tilpun.

"Oi jal! Ketemu besok pagi aja ya di Pengadilan Pajak!"

"Jam brapa ya pak?"

"Yaa kira-kira jam 10 lahh. Gue ada sidang soalnya"

"Kalo sekarang bisa gak pak?"

"Waduh, kalo malem ini gue mau wara-wiri, susah ditemuin"

Ternyata dia mau wara wiri, kayak Komeng sama Adul. Gue cuma bisa pasrah, nurut. Gue curiganya sih dia mau nonton bareng, karena malemnya ada pertandingan Argentina-Jerman.

~o~

8 Juli 2010, H-1 deadline pengumpulan skripik.

Gue bangun jam 1.45, nonton Argentina-Jerman sambil nge-print skripik dengan format bolak balik. Hasil print skripik gue sebelumnya resmi tak terpakai. Menambah sampah kertas di dunia dan memberi kontribusi nyata ke global warming. Greenpeace bisa marah-marah kalo tau hal ini.

Ternyata repot juga ngeprint bolak-balik. Semua karena konsep UI sebagai Green Campus yang meminimalkan penggunaan kertas dengan format bolak-balik. Alih-alih hemat kertas, malah banyak kertas yang kebuang karena gue gak biasa nge print bolak balik. Ini sangat merepotkan, apalagi dengan konsentrasi yang terpecah antara nge-print, ngantuk, dan ngeliat gol Thomas Mueller. Seringkali hasil print-annya gagal, dibalik halaman 1 bukannya halaman 2 malah halaman 8. Jelas aja harus diulang. Mencintai lingkungan memang bagus untuk anak cucu . Tapi untuk kali ini, anak cucu gue sangat merepotkan.

Jam 5 subuh gue baru selesai nge-print skripik. Abis itu tidur sampe jam 8 pagi. Jam 8 bangun, tidur lagi. 8.05 bangun, tidur lagi. 8.10 bangun, tidur lagi. 8.15 bangun dan hape gue lempar. Fungsi snooze sangat menggoda untuk dipencet. Gue langsung loncat dari tempat tidur, menuruti lagu 'Bangun Tidur', kecuali pada bagian ngompol dan menolong Ibu.

Jam setengah 10 gue baru sampe di Kemenkeu, gedung Dhanapala, tempat dimana Pengadilan Pajak berada, diiringi oleh ujan deras yang mengguyur Jakarta. Derasnya luar biasa. Bumi seakan disemprot pake selang pemadam kebakaran. Yang nyemprot anak umur 2 tahun yang suka nyiram sarang semut pake selang aer. Selain ujan deras itu, angin juga bertiup sangat kencang. Payung gue yang tadinya berbentuk tutup panci berubah jadi corong minyak karena ketiup angin. Sampe-sampe ada nenek terbang... Naek pesawat tentunya, bukan karena ketiup angin.

Setelah masuk ke lobby gedung, gue langsung sms Bepe.

Pak, ada dimana ya? Saya udah di Pengadilan

Setelah beberapa lama menunggu, sms balesannya baru masuk.

After lunch ya, sekitar jam 2

Percuma gue bangun pagi, ternyata dia belum bisa ditemuin juga. Gue kebingungan di lobby gedung. Lama gue bengong disana, mikirin langkah selanjutnya. Akhirnya gue berinisiatif untuk nyari ketua sidang dulu, Bapak Sanur. Ternyata dia lagi ada di kampus Depok sampe jam 2. Tanpa pikir panjang, gue langsung meluncur kesana. Naik mobil Livina dengan temen satu bimbingan gue bernama Za. Ngebut. Menembus ujan yang derasnya membuat jarak pandang cuma sekitar 5 meter ke depan. Itu dilakukan untuk ngejar ketemu Bepe jam 2 nanti. Gue berubah jadi Jason Statham, minus badan sterek dan muka tampannya.

Parahnya, saat gue jadi Jason Statham, setelah keluar dari tol, tepatnya di daerah Lenteng Agung, tilpun gue berbunyi.

"Dimana kamu?" Ternyata cewek gue, Ode, nelpon.

"Aku lagi di Lenteng Agung, mau ke kampus"

"Hah? Aku dari tadi nungguin di Dunkin Tanjung Barat, kirain mau bareng ke kampus"

"Ya ampun, LUPA!"

Gila, demi mendapat garis-garis bernama tanda tangan gue sampe lupa pacar sendiri. Kemaren gue sempet bilang untuk barengan ke kampus begitu gue dari Kemenkeu. Tapi apa lacur, nasi udah menjadi bubur, dan bubur itu harus dimakan. Setelah minta maaf lewat sms, gue tetep meluncur ke kampus begitu aja. Dia pasti marah, tapi ya sudahlah, gak semua bubur rasanya enak.

Jam 11 gue berangkat dari Kemenkeu, 11.45 gue udah sampe kampus. Langsung ke ruangan Bapak Sanur. Sesampainya di depan ruangan Bapak Sanur, gue mendengar musik ala Frank Sinatra sedang diputer di dalam. Saat gue ngintip ke dalem, ternyata Bapak Sanur lagi santai-santai menjelang tidur. Kakinya dilurusin sambil dengerin musik dengan suara vokal yang berat itu. Mungkin saat-saat santai seperti itu adalah surga dunia bagi dia. Datanglah gue sebagai iblis mengetuk pintu. Merusak surga dunia. Untung aja dia gak kaget dan kejengkang dari tempat duduknya. Kalau itu terjadi memang sangat lucu sekali, tapi jadi tak enak hati.

"SIAPA ITU!?"

"Saya pak". Gue malah ngasih jawaban absurd. Goblok.

"SAYA SIAPA!?"

Pengen rasanya gue jawab "Saya adalah Jin dari Timur Tengah", tapi gue baru inget kalo masa tayang Jin dan Jun udah abis.

"Mau ngasih revisi pak"

"MASUK!"

Setelah disuruh masuk dan duduk di bangku yang telah disediakan, gue langsung ngasih skripiknya, tepat di lembar pengesahan, biar gak dibaca dulu. Licik memang.

"Saya jadi apa ini?"

"Ketua sidang pak"

"Mana bisa saya tanda tangan? Pembimbing aja belum. Saya kan yang terakhir. Gini aja, kamu kejar dulu pembimbing, saya masih disini sampe jam 3"

"Gitu ya pak? Makasih." Gue langsung keluar dari ruangannya. Kembali bingung. Jauh-jauh gue dari Kemenkeu di daerah Senen dan ngebut sampe ngelupain pacar sendiri hanya untuk ditolak.

Daripada usaha gue kebuang percuma, gue memutuskan untuk ngejar Bapak Awan dulu sebagai Sekretaris Sidang. Kebetulan dia lagi ada di kampus. Untungnya saat gue datengin ke ruangannya, tanpa banyak argumen dia langsung tanda tangan di lembar pengesahan gue. Selanjutnya, kembali ke Kemenkeu.

Jam 12.00 gue berangkat dari kampus, Depok-Senen gue tempuh untuk kedua kalinya. Pada kali ini, gue kejebak macet di jalan tol dan berkhayal kalo mobil gue bisa berubah jadi Transformer. Bakal gue injek-injekkin mobil yang lain sambil ketawa ngenyek. Yang bikin iri, arah sebaliknya lancar jaya makmur sentosa, pengen rasanya nabrak pager pembatas dan jalan ngelawan arah. Sayang, ini kehidupan nyata bukan GTA.

Jam 13.00 gue kembali sampe ke Kemenkeu, gedung Dhanapala, buat ketemu Bepe. Sesampainya di lobby, secara gak sengaja gue ketemu sama Bepe. Berpapasan. Dia lagi jalan menuju ruang sidang diiringin sama dua orang ajudannya yang nyeret-nyeret koper gede berisi dokumen pajak. Tanpa banyak cing cong dia langsung gue todong Bepe buat tanda tangan.

Dia sempet nanya-nanya apa aja revisi gue, tapi belum sempet gue jelasin dia udah bilang "Oke". Semua itu hanya berlangsung 5 menit. Oret-oret 5 halaman pengesahan. Bolak-balik Jakarta-Depok 2x hanya untuk itu, seharga 5 menit umur dan 10 liter bensin, mungkin.

Ah, sudahlah. Yang penting gue udah dapet tanda tangannya dan tinggal melengkapinya dengan kembali ke Depok untuk minta tanda tangan boss terakhir, Pak Sanur sebagai Ketua Sidang. Kalo dia gak mau tanda tangan juga, ruangannya gue konciin, lampu gue matiin, dan gue kasih bom kentut di ruangannya. Kalau gak ada yang jual bom kentut, dengan senang hati saya kasih sumbangan kentut berbau Lavender.

Jakarta-Depok kembali gue lalui untuk yang ketiga kalinya. Lalu lintas di depan mata seakan melaju lebih cepat dari mobil, gue seperti terhisap di dalamnya. Dengan mata gue yang udah pice' itu, gue ngelirik indikator bensin. Ternyata tinggal satu tingkat di atas E, udah sekarat dan beresiko mati di jalan.

Oleh karena itu sebelum masuk ke jalan tol gue meraba jalan untuk nyari pom bensin. Ternyata gak ketemu. Gue nekat. Jakarta-Depok yang kira-kira berjarak 30 Km gue babat dengan bensin sekarat. Musik gue matiin dan AC gue bunuh untuk menghemat bensin, tanpa musik dan AC gue menerabas jalan tol. Anehnya -dan sialnya- jalan yang tadinya terlihat sepi jadi rame begitu gue ada di dalemnya. Gue cuma bisa manyun sambil kepanasan.

Begitu turun di Tanjung Barat, gue langsung ke pom bensin. Sempet juga ngeliat keadaan mobil gue yang terlihat seperti abis berkubang sama babi. Bodo amat lah. Itu bisa dipikirin nanti. Yang gue pikirin pada saat itu cuma lengkapnya lembar pengesahan.

15.00, gue kembali sampe di Depok. Tangan dan kaki udah gemeter. Kepala tengleng kayak orang India. Jalan udah sempoyongan. Barang apapun yang gue pegang pasti jatoh-jatohan. Efek kecapekan, sakit,dan belum makan. Gue langsung hubungin Bapak Sanur. Lagi nguji, ternyata. Dengan setia gue nungguin dia kelar nguji di luar ruangan.

15.30, dia keluar dari ruangan sidang untuk kembali ke ruang kerjanya. Tanpa banyak tanya, dia langsung tanda tangan di lembar pengesahan. Alhamdulillah. Tuntas sudah. Lembar pengesahan yang udah lengkap ditanda tangan langsung gue gabung ke dalam skripik untuk kemudian dijilid hard cover. Abang-abang penjilidan bilang jadinya besok. Yaudah lah. Pas. Emang besok deadline-nya.

Nulis cerita ini aja bikin gue ngos-ngosan karena harus mengingat kembali semua kejadian itu. Ampun. Ngebayanginnya aja bikin capek. Abis naro skripik di abang fotokopian, gue kembali ke kampus. Jalan-jalan sebentar sama pacar, cuci mobil, dan tepar. Hari esok menunggu. Hari pengumpulan skripik dan berkas-berkasnya. Salah satu berkasnya adalah pembayaran ijazah sebesar 75ribu. Dengan pengetahuan gue tentang dunia percetakan, gue tau akan ada yang mendadak kaya.


0 comments: