Kamis, September 27, 2012

Batin, Kasta, dan Jawaban

“Hi, boleh kenalan gak?” Sebuah tulisan terlihat di Facebook chat milik Tiwa, mengirimkan pesan kepada Sarah Veronica, Ayu Rahmawati, Selly Stevens, Dewi Setaman, dan VeEeChyYnkKCmuuHa.  Bagian bawah browser internet penuh sesak diisi jendela-jendela chat yang tak terjawab. Setiap menit tiap-tiap jendela chat itu diperiksa, namun jawaban tak kunjung ada. Akhirnya dia menutup seluruh jendela chat tersebut karena lelah menunggu.

“Hah... gagal lagi,” keluh Tiwa sambil menutup layar laptop. 25 tahun, itulah lama dia menjomblo. Teman-teman menjulukinya Jomblo Perak dan satu-satunya pacar yang pernah dia miliki adalah Tamagochi berkelamin betina. Kisah dia mencari pacar selalu saja mentok di PDKT. Entah sudah berapa kali dia mendengar jawaban klise seperti, “Gue belum mau pacaran dulu,” tapi beberapa hari setelahnya sang cewek pujaan hati jadian dengan orang lain. Mungkin seharusnya jawaban itu diperjelas menjadi, “Gue belum mau pacaran sama lo. Pih.”

Berbicara soal fisik, penampilan Tiwa terlihat biasa-biasa saja. Kalau saja terdapat batas antara jelek dan ganteng, pasti dia ada di batas itu, merapat tipis ke zona jelek. Kulit dia hitam, berkacamata, dengan wajah yang selalu terlihat seperti habis bergadang tiga hari berturut-turut.

Untuk urusan fashion, baju yang dipakai akhir-akhir ini dengan baju yang dipakai 3 tahun sebelumnya tetap sama. Tidak berubah. Pakaian favoritnya adalah polo shirt gombrong garis-garis dengan warna yang berbeda untuk masing-masing garis.  Menurutnya baju gombrong itu adem, penetrasi angin mudah, dan seperti gak pake baju. Sepatunya? Tetap sama dari tahun ke tahun, plus ornamen tambal karya tukang sepatu di dekat rumahnya.

Tiwa bekerja sebagai akuntan sebuah perusahaan sedot WC. Pekerjaan yang yang bisa dibilang sangat membosankan. Kerjaan yang tidak pernah berubah, di dalam perusahaan yang tidak bisa dibanggakan. Kalau ditanya teman atau keluarganya, Tiwa selalu mengaku bekerja di Waste Energy Management Company.

Beruntung perusahaan menyediakan internet tak terblokir di komputernya. Sehingga dia bisa mengusir kebosanan dan memantau Facebook. Berusaha mencari pasangan yang tak kunjung dia temukan. Begitu saja siklus kehidupan Tiwa : Bangun-kantor-Facebook-pulang-mandi-tidur.

Suatu saat setelah seharian bekerja di kantor, Tiwa tiba di rumah. Dia merasa lelah menembus lautan mobil dan motor yang berdesak seperti kapas di dalam bantal. Emosi, lelah, dan lesu menghinggapi badan kurus-nya. Terbayang nikmatnya masuk ke dalam rumah dan bermalas-malasan di atas kasur. Setelah memarkir motor, dia bergegas masuk ke dalam rumah. Namun apa yang dilihat Tiwa membuatnya terkesima.

Sesosok gadis yang tak pernah dia liat sebelumnya sedang menyapu ruang tengah. Rambutnya lurus dikuncir kuda, wajahnya manis manja, dan walaupun dia bercucur peluh, paras cantiknya tidak ikut luntur. Didalam imajinasi Tiwa, dia terlihat seperti bidadari yang sedang bermain harpa di atas awan, walaupun faktanya dia sedang menyapu kecoak mati di atas lantai. Tiwa terpana, tak bisa berkata-kata.

Melihat Tiwa masuk, gadis itu mendadak berhenti menyapu. “Misi Mas,” sahut gadis itu -membuyarkan seluruh lamunan Tiwa- sambil berjalan menunduk menuju dapur.

“Eh, iya…iya…” balas Tiwa sembari menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Sebuah sindrom panik dadakan yang selalu dialami Tiwa apabila bertemu dengan wanita yang dia suka.

Ketika gadis itu menghilang di balik pintu dapur, Ibu Tiwa keluar. “Tumben cepet pulangnya, biasanya nongkrong dulu di warteg depan, godain yang jaga warteg,” sambut Ibu Tiwa sembari ngeloyor ke arah kamar.

“Enak aja, ade kan kesana gara-gara Mama jarang masak,” kata Tiwa, “Ngomong-ngomong itu yang baru masuk dapur siapa Ma?”

“Itu Sunar, pembantu baru kita. Baru aja dateng tadi siang dibawain Tante kamu. Emang kenapa? Cantik ya?” Goda Ibu Tiwa sambil nyengir-nyengir tupai dan mencolek pinggang Tiwa.

“Dih. Cantik darimana. Udah deh jangan ngomong macem-macem, cuma nanya doang kok,” omel Tiwa. Tubuhnya reflek tersengat karena pinggang kurusnya dicolek oleh sang Ibu. Wajahnya memerah, jantung berdebar, dan keringat dingin sedikit keluar karena berbohong. Sebenarnya dia sangat menyukai Sunar, tapi setelah mengetahui kalau dia hanya seorang pembantu, Tiwa berusaha menghilangkan rasa suka itu. “25 tahun gue jomblo, masak sekalinya pacaran sama pembantu,” batin Tiwa di dalam hati.

“Lah, sewot. Hahaha,” kata Ibu Sunar sembari masuk ke kamarnya.

Dari dalam  dapur, Sunar mendengarkan pembicaraan itu. Dia telah menyukai Tiwa sejak pertemuan di ruang tengah. Ibunya di kampung pernah berkata, “Neng, jodoh itu teh orang yang bisa bikin kamu deg-degan.” Nasihat sederhana itu akhirnya dimengerti Sunar. Pada saat Sunar menatap mata Tiwa, jantung Sunar berdebar kencang. Persis seperti kata Ibunya.

Namun Sunar sadar kalau dia hanya seorang pembantu, tidak mungkin menjalin hubungan dengan majikannya. Pembicaraan antara Tiwa dan Ibu-nya semakin mempertegas bahwa perasaan itu harus dienap. Hubungan mereka terhalang oleh tembok status yang berdiri kokoh dan keras. Sedikit demi sedikit mata Sunar terasa panas dan air mata nya pun menetes.

“Udah selesai motong bawangnya?” Tiba-tiba Ibu Tiwa kembali ke dapur.

“Sudah Bu, tinggal saya tumis,” balas Sunar sembari mengelap mata-nya.

***

Lima bulan berlalu sejak pertemuan itu. Hari ini Tiwa tidak masuk kantor. Sudah sejak pulang kantor suhu badannya meninggi. Kepalanya pusing tidak keruan dan menjelang pagi penyakitnya bertambah parah karena batuk. Kasurnya basah karena keringat, kantung matanya menghitam seperti memakai eyeliner.

“Anjrit, bau banget badan gue. Mandi ah,” gumam Tiwa sambil beranjak dari tempat tidurnya. Karena keadaan dia sedang demam, Tiwa berniat memasak air untuk mandi.

Pandangan Tiwa seperti bergoyang-goyang karena pusing. Jalannya sempoyongan sehingga dia harus mencari pegangangan untuk ke dapur. Di mata Tiwa, rumahnya bergerak seperti kapal, terombang-ambing di tengah laut dan memabukkan. Sesampainya di dapur dia langsung memasak air dan terduduk di kursi dapur. Napas Tiwa tersengal-sengal.

Reff Thank God I Found You - Mariah Carey & 98 Degrees tiba-tiba terdengar. Ada telepon masuk di hape Tiwa. Caller ID ‘My Luvly’ tertera di layar hape. Yak, setelah sekian lama menjomblo, dia akhirnya punya pacar. Pacar Tiwa adalah teman satu kantor yang sebenarnya tidak begitu Tiwa suka. Apalagi ‘My Luvly’ selalu menghubunginya setiap hari selama sebulan penuh, membuat Tiwa jengah. Tapi karena tekanan sosial dan gengsi, dia terpaksa menjadikan ‘My Luvly’ sebagai pacar. Dengan mengucap, “Yaudah lah ya,” Tiwa menembak ‘My Luvly’.

“Ayang lagi atit yaa??” Sahut ‘My Luvly’.

“Iya,” jawab Tiwa lemas dan malas.

“Ayang jangan lupa minum obat… bla… bla… Kalo atit kan aku jadi khawa…  bla… bla… bla… ” lanjut si ‘My Luvly’ yang lebih terdengar seperti kicau burung gagak di telinga Tiwa.

“Ya… ya, udah ya aku mau tidur lagi,” balas Tiwa sambil menutup telepon.

“I lo…” Belum sempat kalimat itu selesai, telepon sudah diputus.

Tak beberapa lama, ada sms masuk ke hape Tiwa :

[From : ‘My Luvly’]
kOq qM tUtp TeLp dlAn!!??


Tiwa hanya sekilas melihat sms itu, kemudian langsung dihapus. Ternyata pacaran gak seenak yang dia kira. Pacaran malah bikin sering emosi gak jelas. Kebebasan Tiwa pun dibatasi oleh peraturan wajib lapor yang diciptakan oleh ‘My Luvly’. Kebanggaan punya pacar (yang selalu ingin dia raih) hanya ada di awal. Kebanggaan hanya sebatas sanjungan sementara. Kebanggaan semu.

Sejujurnya, Tiwa masih menaruh hati pada Sunar. Wajahnya yang manis selalu berhasil membuat Tiwa kabur apabila berpapasan dirumah. Saking gugupnya, Tiwa pernah jatuh tersandung ujung lemari karena ingin menghindari Sunar, walaupun sebenarnya dia ingin dekat dan mengenal Sunar. Ketakutan akan status, gengsi, dan omongan orang lain menghalangi niatan Tiwa tersebut.

“Ngomong-ngomong Sunar dimana ya?” Tiwa baru sadar kalau keadaan rumah sangat sepi. Ayah dan Ibu Tiwa sudah berangkat dari pagi sehingga biasanya cuma Sunar yang ada dirumah. Renungan Tiwa di kursi dapur membuat dia sadar kalau saat ini hanya ada mereka berdua dirumah.

Kepala Tiwa celingak celinguk mencari Sunar, namun dia tidak ada di sekitar dapur. Siulan teko mengakhiri pencarian Tiwa. Dia bergegas mematikan kompor dan menuangkan air panas ke dalam ember yang telah dia bawa sebelumnya.

Dalam keadaan normal, Tiwa dapat dengan mudah mengangkat ember tersebut. Bahkan kalau sehat dia bisa mengangkat ember yang terisi penuh dengan satu tangan sambil berjalan loncat satu kaki. Tapi berhubung kali ini dia sedang sakit, bahkan tenaga kedua tangannya tidak cukup kuat mengangkat ember yang hanya terisi setengah tersebut.

“Sini mas, biar saya saja yang bawa,” sebuah tangan muncul dan meraih ember yang dibawa Tiwa.

Tiwa spontan kaget, “Eh Mbak Sunar. Gak usah Mbak, saya aja.” Tiba-tiba otaknya seperti tertarik 20 meter ke udara dan pandangannya berkunang-kunang. Jalan Tiwa semakin sempoyongan dan hampir saja terjatuh apabila tidak ditahan Sunar.

“Tuh kan, jalan aja susah,” sahut Sunar tersenyum tipis. “Saya aja yang bawa. Kata Ibu, Mas Tiwa lagi sakit ya.”

Tersenyum malu, Tiwa akhirnya membiarkan Sunar mengangkat ember merah itu.

“Kamu dari mana Sunar?” Perkataan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut Tiwa. Keberanian tiba-tiba datang menyeruak, menampakkan diri dari ketiadaan.

“Dari ngepel kamar Ibu Mas,” kata Sunar sembari merapikan rambutnya yang terjuntai ke balik telinga. “Mas Tiwa baru bangun? Nanti habis mandi makan ya, saya siapkan dulu makanan buat Mas. Banyak makan Mas, biar cepat sembuh.”

Tiwa terhipnotis melihat wajah Sunar. Setelah 5 bulan, ini adalah percakapan terlama dengan Sunar. Ditambah perhatian yang diberikan Sunar terasa tulus dan hangat, menimbulkan rasa nyaman. Perasaan ini bahkan tidak dia temukan saat berpacaran dengan ‘My Luvly’. Perasaan ini yang dia cari.

Pembicaraan berakhir saat Tiwa menutup pintu kamar mandi. Sunar bergegas pergi ke dapur untuk mempersiapkan sarapan Tiwa. Pikiran mereka sedang bercanda riang gembira, bahagia, dan penuh suka cita. Bahagia tidak perlu diperoleh dari suatu kejadian kompleks dan keadaan mewah. Bahagia bahkan bisa muncul dari kegiatan sederhana, se-sederhana mengangkat ember ke kamar mandi.

Sudah terbayang hal-hal apa yang akan dibicarakan Tiwa dengan Sunar. Oleh karena itu, Tiwa mandi dengan kecepatan cahaya. Dia semakin tidak sabar untuk berbicara dengan Sunar tanpa ada batas apapun.

Selesai mandi, dia berlari ke kamar. Sakitnya seakan hilang dan seperti kencan pertama, Tiwa memilih baju terbaik yang ingin dia kenakan sambil bersiul-siul kegirangan, mematut-matut di cermin seolah gadis umur 17 tahun yang akan berangkat Prom Nite. Hari ini istimewa. Hanya ada dia, Sunar, dan perasaannya. Tidak ada campur tangan orang lain, status, ataupun gengsi.

Suara piring pecah menghentikan siulan Tiwa, mengusir keheningan. Tiwa sontak keluar, berlari menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan, Tiwa kaget melihat keadaan disana. Ruang makan kosong, tidak ada Sunar disana. Yang ada hanya serpihan piring dan makanan berserakan di lantai. Belum sempat Tiwa mencari Sunar, punggung-nya ditendang dari belakang. Tiwa tersungkur tepat di atas pecahan piring.

“MAS TIWA!!” Suara Sunar muncul dari dalam dapur. Teriakan yang tertahan dibalik telapak tangan seorang lelaki asing.

“Ssstt… Jangan berisik!! Lo mau dia mati!?” Kata lelaki yang menendang Tiwa sambil menginjak kepalanya yang terkulai di lantai. Kedua lelaki itu memakai topeng rajut hitam dan masing-masing membawa golok besar yang menjulang angkuh. Dari balik topeng terlihat mata mereka yang merah serta tercium bau nafas beraroma alkohol.

Darah bercucuran dari tangan Tiwa yang tergores serpihan beling. Beberapa serpih beling bahkan masih menempel di tangannya. Tiwa meringis kesakitan.

Perampok yang berbaju hitam tersebut berjongkok dan mendekatkan mulutnya ke kuping Tiwa, “Kalau mau lo berdua selamat, jangan keluarin suara sekecil apapun. Golok di tangan gue ini lagi haus, jangan sampai dia minum darah dari leher lo berdua.” Kemudian dia mengeluarkan tali dari celana jeans-nya yang buluk dan berbau apek. Lalu dia mengikat kencang tangan Tiwa di balik punggung dengan tali tambang berwarna biru tersebut.

Badan Tiwa bergetar hebat, ketakutan menguasai tubuh lemahnya. Setelah mengikat Tiwa, perampok berbaju hitam itu memeriksa rumah Tiwa untuk mencari barang-barang berharga, meninggalkan Tiwa di lantai ruang makan.

Tiba-tiba terdengar pekik tertahan dari arah dapur. Perampok yang menyandera Sunar tidak bisa menahan nafsu-nya. Dengan menghunus golok ke leher Sunar, dia berusaha untuk memperkosanya. Sunar pun meronta-ronta hebat dan menangis. Tanpa ampun, perampok itu menampar keras wajah Sunar dengan telapak tangannya yang besar dan kasar.

Tiwa tersentak saat mendengar pekik dan tangis Sunar. Keberanian dia serta merta muncul. Tiwa sadar kalau ada orang yang harus dia lindungi, Sunar. Lalu dia membalik badannya sambil meringis menahan sakit, mengambil salah satu serpihan kaca di lantai dan memotong tali yang mengikatnya. Serpih-serpih beling semakin menancap saat dia berusaha untuk meraih beling dan memotong tali.

Semangat melindungi memunculkan kekuatan tersembunyi Tiwa sehingga tak beberapa lama tali itu putus dan tangan Tiwa akhirnya terbebas. Dia melihat sekeliling ruang makan untuk mencari alat perlindungan diri. Tiwa melihat patung Asmat yang dibawakan Om-nya dari Papua. Patung berbentuk tiga orang yang sedang duduk bertumpuk dan terbuat dari kayu yang keras.

Tiwa meraih patung tersebut dan memegangnya seperti tongkat bisbol. Dengan mengendap-endap dia bergerak ke dapur. Perampok itu  sedang membelakangi pintu dan terlihat sedang membuka celananya. Tanpa ampun Tiwa menggunakan patung Asmat tersebut untuk memukul kepalanya. “ARGH!!” Teriak perampok itu sembari terhuyung menjauhi Sunar yang sedang menangis terisak.

Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, perampok itu meraih golok dan menerjang Tiwa. Sambil memegang patung Asmat, Tiwa bersiap untuk mempertahankan diri, mata-nya terpejam ketakutan.

Langkah perampok itu tiba-tiba tertahan. Sunar mendekap kaki perampok itu dan menghambat usahanya untuk menyerang Tiwa. “LARI MAS! MINTA BANTUAN!! TOLOOONG!” teriak Sunar.

Perampok itu panik mendengar teriakan Sunar. Dia memutar badan dan langsung mengayunkan goloknya ke punggung Sunar. Ayunan golok itu menembus punggung Sunar dan menghilangkan suara teriakannya. Sunar terbujur di atas lantai.

Melihat keadaan Sunar, Tiwa mengamuk seperti orang gila. Sambil menangis meraung dia memukul perampok itu membabi buta. ”BANGSAT LO!! ANJING!!” Teriak Tiwa kesetanan. Perampok itu sempat tersungkur terkena pukulan Tiwa. Namun dengan secepat kilat dia kembali membalik badan, mendorong Tiwa, dan menendang perutnya. Tiwa terhempas dan menjatuhkan senjatanya.

Kemudian secara reflek perampok itu mengayunkan goloknya ke dada Tiwa. “UGH,” pekik Tiwa sambil memegang dada-nya yang berlumuran darah. “Darah,” batinnya. Seketika Tiwa jatuh telungkup di lantai dapur. Setelah melihat Tiwa terbaring di lantai, perampok itu tertegun dan menjatuhkan goloknya. Dia seakan baru bangun dari mimpi buruknya. Nafasnya berderu kencang seperti kereta api.

Perampok lain datang ke dapur dengan tas penuh barang jarahan. Apa yang dilihat mengejutkannya, “Goblok! Lo ngebunuh dua orang ini!? Pasti gara-gara nafsu lo yang kayak anjing!” Perampok berbaju hitam itu lantas mencengkram baju dan menampar rekannya, “Lo tau gak apa konsekuensi perbuatan lo, tai!? ARGH!”

“Maafin Bang. Bocah sial ini nge-gebuk kepala gue dan cewek ini teriak-teriak manggil warga,” bela perampok itu dengan suara bergetar ketakutan.

“Tapi lo kan gak harus bunuh mereka! Tolol!” sahut perampok berbaju hitam sambil melepaskan cengkraman dan menenangkan napasnya . “Sekarang, kita kabur. Semoga aja gak ada yang denger keributan yang lo bikin tadi!”

Kedua perampok itu kemudian meninggalkan rumah, meninggalkan Sunar dan Tiwa tersungkur di lantai. Seiring hilangnya langkah kaki dua perampok itu, kesadaran Tiwa muncul perlahan. Tiwa melihat Sunar berlumuran darah di lantai dapur. Wajahnya terbenam dan tangannya terjulur ke arah Tiwa. Seakan-akan ingin memanggil dan meraihnya.

Tiwa menyeret badannya mendekati Sunar, meninggalkan jejak merah di lantai dapur yang berwarna biru. Tiwa ingin mengatakan satu hal terakhir kepada Sunar. Kata-kata yang tidak pernah dia katakan. Kata-kata yang mewakili diri dan perasaannya. Kata-kata yang tidak sempat dia katakan.

Saat Tiwa berusaha mendekati Sunar, tiba-tiba dia bergerak dan menghadapkan wajahnya ke arah Tiwa. Sunar tersenyum. Senyuman terakhir sebelum dia menutup mata dan kembali tenggelam di lantai dapur. Tiwa ingin memanggil Sunar tetapi suaranya tidak kunjung keluar. Pandangan matanya semakin memburam dan berganti gelap.

Gelap. Hitam seluas pandang dan tidak ada suara yang terdengar. Sebuah keheningan sempurna. Imaji Tiwa tentang Sunar seketika muncul dan menimbulkan rasa hangat. Senyuman terakhirnya mengisi batin dan menyamankan gelap.  Seketika tubuh Tiwa terasa melayang dan semua akhirnya bisa terlihat jelas. Pandangan matanya menatap tubuhnya dan Sunar, terbujur kaku di lantai dapur. Tangannya tak pernah mampu menggapai Sunar. Perasaan itu terkubur mati di balik tanah, membusuk dan tak pernah terungkap.

source : kazegamas.com

Story Inspired by :
Oh I Never Know - Sarasvati




5 comments:

sepeda motor bebek injeksi kencang dan irit jupiter z1 mengatakan...

salam kenal, bagus ceritanya

Mirza Annisa mengatakan...

Aduh kak.... Pertamanya aku kira ceritanya bakal lucu-lucuan, abis pertamanya udah bikin ketawa ngakak aja. Taunya akhirnya begini ih sedih.. :'| Bagus deh kak ceritanya. Ciyus.. :'3

Mirzal Dharmaputra mengatakan...

Thankss...

Keep reading, semoga saya sempat lanjutin writing.. Oh, kerjaan bikin saya berpaling :p

Ika mengatakan...

Keren banget ceritanya!

Mirzal Dharmaputra mengatakan...

Thanks Ikaa :D