Selasa, Oktober 18, 2016

Menari Bersama Kopi

Hiking menurut gue adalah sebuah kegiatan yang membuat kita lebih menghargai proses. Lelah, letih, dan lutut yang bergetar saat mendaki puncak ibarat halangan / rintangan yang kita hadapi apabila ingin mencapai suatu tujuan atau pencapaian dalam hidup. Selalu ada pilihan untuk menghadapinya : menyerah dan mundur atau berjuang dan menjejakkan kaki diatasnya.

Terkadang, proses mendaki gunung tidak berhenti sampai di puncak. Proses masih berlanjut sampai di bawah dan bahkan setelah pulang ke rumah. Hal ini gue rasakan saat melakukan perjalanan ke Gunung Burangrang, Bandung.

Pada mulanya, nama Gunung Burangrang masih sangat terdengar asing di telinga. Namanya tenggelam di deretan gunung-gunung lain di Jawa Barat seperti Ciremai, Cikuray, Papandayan, dan Tangkuban Perahu. Dengan ketinggian yang mencapai 2.064 mdpl, Gunung Burangrang bersembunyi di balik ketenaran Dusun Bambu. Sebuah tempat makan yang sangat hype bagi para aktivis instagram yang gemar posting #OOTD dengan latar belakang rumah danau atau rumah pohon-yang-berbiaya-sewa-seratus-ribu.

Walaupun Dusun Bambu adalah tempat yang instagram-able, gue mendapat info Burangrang bukan dari instagram. Gue mendapat info Burangrang dari artikel mengenai Willem Tasiam yang berhasil mendaki tiga puncak gunung dalam 1 hari (Gede, Pangrango, dan Burangrang). Penasaran dengan nama Burangrang pada artikel tersebut, gue langsung konsul dengan Mbah Google demi mendapat informasi yang dibutuhkan.

Gunung Burangrang ternyata dipakai sebagai tempat pelatihan sekaligus markas tentara Kopassus. Letaknya ada di sebelah kota Bandung, tepatnya di daerah Cimahi. Dari cerita-cerita pendakian yang gue baca, jarak tempuh ke puncak Burangrang hanya 3-4 jam, sehingga diputuskan untuk tidak bermalam di sana. Cukup tektok saja. Peserta perjalanan kali ini adalah 3 orang : Gue, Andi, dan Rizki.

Rencana yang disusun adalah : 


  1. Berangkat dari kantor hari Jum'at
  2. Sampai di basecamp Burangrang Sabtu dini hari
  3. Muncak jam 7 pagi dan turun paling lama jam 11 siang
  4. Lanjut ke kawinan temen kantor di Setiabudi jam 4 sore
  5. Memohon tumpangan pada siapa saja yang mau ke Jakarta selepas kawinan
  6. Pergi Haji bila mampu

Rencana yang disusun rapi, toh keadaan lapangan yang menentukan. Di Cimahi kita sempat kebingungan cari angkot ke basecamp Burangrang. Tol Cikampek yang luar biasa macet menyebabkan kita sampai ke Cimahi pukul 02.30. Keadaan sudah sepi mencekam dan jarang angkot yang lewat. Pada akhirnya kita charter angkot sampai Gerbang Komando dan sampai disana sekitar pukul 03.30. Biaya charter-nya kalau tidak salah sekitar 120.000 (Rupiah, bukan Dollar, apalagi Poundsterling).

Gerbang Komando merupakan pintu masuk sebelum sampai ke Basecamp Burangrang. Dari tempat itu kita berjalan +/- 1 Km, melewati Dusun Bambu dan perumahan warga. Jangan kaget apabila mendengar suara,"MOO...!!" saat melewati perumahan. Karena jalan yang kita lalui tepat di sebelah kandang sapi.

Sekitar 30 menit jalan, kita sampai ke Basecamp Gunung Burangrang. Di depannya terdapat pos penjagaan kecil dan bangunan musholla yang terbuat dari kayu dengan kaca yang penuh stiker komunitas-komunitas pendaki. Apabila berjalan ke belakang musholla, terdapat warung yang disinari cahaya redup bohlam kecil. Waktu menunjukkan pukul 04.00 dan tidak ada tanda-tanda kehidupan pada tempat kita berdiri, baik di pos jaga maupun warung.



Ini Rizky, masih Jomblo

Kita memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan tidak melapor apa-apa di pos tersebut. Setelah 5 menit berjalan kaki kita menemukan pos lainnya. Seperti pos sebelumnya, cahaya lampu pijar seakan lelah bertarung dengan gelapnya subuh. Cahaya nya redup dan samar. Di depan pos ada seekor anjing herder yang menyalak keras mengikuti langkah kita mendekati pos.





Bermodalkan tekad dan nekat, kita mendekati pintu pos untuk mencari penjaga yang mungkin sedang tertidur di dalam. Pos yang kita datangi adalah pos penjagaan KOPASSUS dimana menurut penuturan beberapa catatan perjalanan diwajibkan untuk melapor ke pos ini sebelum naik ke Burangrang. Sebuah pilihan yang cukup bijak dibanding menyusup masuk dan disergap pake bayonet karena dikira mau nyolong sepatu Boots tentara.

Anjing herder itu ternyata cuma bluffing. Semakin kita mendekat semakin dia mundur teratur dan akhirnya lari ke belakang pos. Sambil sesekali dia mengintip penasaran ke arah kita yang sedang mengetuk pintu depan pos jaga. Pintu terbuka setelah kita mengetuk pintu +/- 15 menit. Seorang bapak-bapak gemuk dengan model rambut cepak ala tentara membuka pintu dengan wajah yang masih berada di antara dua dunia  Mimpi indah dan kenyataan pahit.

Sembari menggaruk-garuk kepala dia bertanya," Pada mau ngapain?"

"Ini Pak, kita mau izin main ke Burangrang. Boleh kan Pak?" jawab gue ke Bapak itu. Jaket army nya yang kegedean melambai-lambai seiring makin derasnya garukan tangan dia ke kepala.

"Ini hari apa? Sabtu yah. Yaudah gak apa-apa. Gak ada latihan gunung hari ini," jawab Bapak tentara itu.

"Kita perlu daftar sama biaya nya berapa Pak?"

"Halah, gak usah. Yang penting lapor aja biar kita tau ada yang naik. Takutnya kalo kamu nyelusup, bakal kena peluru nyasar. Hati-hati juga nyasar ke atasnya, jalurnya given kok tinggal melipir ke kiri. Kalo kamu ke kanan bisa ke danau Situlembang, tempat latihan Kopassus, bakal digampar Kapten Mustari kamu."

Dari pembicaraan tersebut, kita bisa menarik dua topik utama : Peluru nyasar dan digampar. Ok. Sebuah pesan yang akan kita ingat sampai kapanpun.

"Ok pak, kalo gitu kita lanjut jalan dulu ya,"  kata gue sembari berjalan menuju jalan setapak yang sudah ditunjuk Bapak Tentara.


***

Waktu menunjukkan pukul 05.00, keadaan masih cukup gelap sehingga kita harus menyalakan senter di awal jalur. Tiga lampu senter menerangi hamparan hutan pinus di trek awal Burangrang. Pikiran gue membatin dan curiga akan adanya pasukan Kopassus yang sedang latihan sembunyi di dalam rapatnya hutan pinus. Imajinasi gue membayangkan kaki gue menginjak perut tentara yang sedang kamuflase di tanah, kemudian gue disergap bayonet, kemudian gue disuruh jalan jongkok naik-turun gunung.

Trek hutan pinus nan datar tersebut ibarat makan pembuka yang membangkitkan selera sebelum lanjut ke menu utama : Tanjakan curam tak kunjung padam. Jarak tempuh Burangrang yang hanya sekitar +/- 3 jam perjalanan menyebabkan tajamnya sudut kemiringan jalur. Ditambah sehari sebelumnya hujan, sehingga jalur menjadi berlumpur dan licin.








Sekitar 2 jam perjalanan, setelah mengalami kebingungan di persimpangan, kita sampai di puncak Burangrang. Namun sayang pemandangan di puncak tertutup rapatnya pohon-pohon yang mengelilingi puncak tersebut. Sebagai dokumentasi, kita mencari tugu batu penanda Puncak Burangrang.

Puncak sudah kita kelilingi tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan tugu puncak Burangrang. Takutnya kita nyasar dan dari balik semak-semak muncul Kapten Mustari dengan telapak tangan terhunus. Siap menggampar pipi-pipi gembil kita yang terkontaminasi Burger King & KFC. Akhirnya kita kembali ke persimpangan sebelumnya.

Ternyata puncak yang kita datangi itu adalah Puncak Bayangan. Terkuak sudah misteri kenapa tidak ada tugu di tempat itu. Pada jalur terdapat dua cabang, ke kanan menuju Puncak Bayangan dan ke kiri menuju jalur yang menurun dan mengarah ke Puncak Burangrang sebenarnya.

Kontur jalur setelah Puncak Bayangan berbentuk seperti mangkok yang memiliki pemandangan indah di sela-sela nya. Jika beruntung, kita akan melihat pemandangan danau Situlembang yang menyembul di balik hamparan awan, serta hutan pinus yang mengelilingi nya. Tempat ini seperti doping sebelum kita melangkah lebih lanjut ke Puncak Burangrang.






Jalur Puncak Burangrang memiliki kontur tanah liat yang berdebu saat musim kering dan licin saat musim hujan. Kita bahkan akan menemukan tali bantuan saat beberapa meter sebelum puncak sebagai pegangan kita saat memanjat jalur yang curam.






Puncak Burangrang akhirnya berhasil kita capai pada pukul 08.30, tepat setelah 3.5 jam perjalanan. Puncak nya kecil dan tertutup oleh pepohonan. Sebagai penanda, terdapat sebuah tugu tepat pada pintu masuk puncak. Tugu semen berbentuk balok tersebut seperti pita garis finish para pelari marathon. Menandakan bahwa kita sudah sampai di Puncak Burangrang, 2.050 mdpl.





Sembari melepas lelah, kita buka nesting untuk masak Kopi. Karena tak ada yang mengalahkan nikmatnya menyesap kopi di puncak tertinggi, sembari memandangi burung yang terbang kesana kemari, dan dibuai angin seakan tak ada esok hari. Tapi jangan lupa, hari esok tetap menanti dan kehidupan tetap harus dijalani. Yang pasti, kehidupan yang berat akan sedikit teringankan saat kita bersembunyi sembari menyeduh kopi di puncak tertinggi.






Vandalisme murahan
di tugu Puncak Burangrang




Pukul 10.00 kita memulai perjalanan turun dan sekitar 11.30 kita sudah sampai di perkampungan warga. Dikarenakan di tempat ini sinyal handphone sudah pulih, gue langsung menyalakan handphone untuk memberi kabar. Tak beberapa lama ada sms masuk dari nomor yang sudah lama dikenal :

[Kalau sudah dapat sinyal kabarin aku. Kita harus ketemu, we need to talk.]

Seketika perasaan gue tidak enak.



***

Tepat pukul 12.00 kita sudah sampai lagi di Gerbang Komando. Badan dekil dan mata sudah berat mengantuk akibat cuma tidur 2 jam. Namun sayangnya, perjalanan kita belum usai. Kita masih harus melanjutkan perjalanan  ke acara resepsi pernikahan teman kantor di daerah Setiabudi.

Pukul 14.00 kita sampai di tempat resepsi dengan mengenakan celana pendek dan baju basah bersimbah keringat. Pada saat itu sedang akad nikah dan kita tidak mungkin menghadiri acara tersebut dengan pakaian seperti itu. Ditambah lagi muka kita berlapis debu tebal Gunung Burangrang. Dekil. Kita kemudian mencari teman yang dititipkan baju dari Jakarta dan mencari kamar mandi.

Mencari kamar mandi di venue resepsi merupakan hal yang cukup sulit. Karena banyak tersedia namun tak bisa dipakai sama sekali. Karena kamar mandi itu ada di dalam kamar yang tentu saja dihuni oleh orang lain. Apabila kita masuk dan memakainya, niscaya satpam akan mencekik kita dengan kerai Gordyn.

Daripada dicekik satpam, kita lebih memilih bekerja sama dengan mereka. Kita memutuskan untuk mandi dan bersiap di kamar mandi satpam. Satu-satunya kamar mandi umum yang memiliki bak mandi. Karena tidak mungkin kita mandi di urinoir, apalagi urinoir sensor. Coba dihitung, berapa kali kita harus bolak balik maju-mundur untuk dapat membasuh seluruh badan dengan air bersih?

Selesai mandi, rapi jali, tiba saatnya kita berpesta. Dari yang tadinya make celana pendek, kaos oblong, dan sepatu gunung berganti menjadi celana panjang, kemeja lengan panjang, dan sepatu pantofel. Penampilan berubah 180 derajat, namun muka (tetap) pas-pasan.

***

Resepsi pernikahan selesai kira-kira pukul 18.00. Dikarenakan lokasi pernikahan di Bandung, maka gue harus mencari tebengan untuk balik ke Jakarta. Walaupun pada saat itu masih hari Sabtu dan besoknya hari Minggu dan besoknya Senin dan besoknya Selasa itulah nama-nama hari, gue sama sekali tidak berniat untuk menginap di Bandung. Badan sudah capek dan mata sudah berat mengantuk, sehingga cukup bijak apabila gue memutuskan untuk istirahat di rumah.

Gue berhasil menemukan tebengan untuk pulang ke Jakarta. Ada beberapa teman yang sewa mobil dari Jakarta dan pulang balik malam itu juga. Pada saat mereka ke Bandung, ada yang bisa bawa mobil. Sedangkan saat balik dari Bandung, gak ada yang bisa bawa mobil karena orang yang bisa mau stay dulu di Bandung.

Sehingga dari total 7 orang penumpang hanya gue yang bisa nyetir. Seseorang yang baru tidur selama 2 jam dengan fisik terkuras akibat jalan naik-turun gunung selama 5,5 jam. 

"Yakin gue yang nyetir?" kata gue sambil menjelaskan kondisi fisik pada mereka.

"Iya lah, daripada kita semua gak pulang?"

Jika kata Vito Corleone, itu adalah, "An offer I can't refuse." Daripada gue gak pulang, lebih baik gue menerima tawaran tersebut. Sembari menarik kesadaran yang sedang tersesat di ufuk kantung mata, gue terpaksa membawa mobil mengarungi Dago Atas Bandung - Jakarta dengan jarak +/- 165 km.

Malam gelap terasa syahdu akibat kelopak mata yang berat. Setiap tikungan ibarat buaian tangan Ibu saat menggendong anaknya. Buaian tangan yang selalu berhasil mengantarkan anaknya ke gerbang mimpi. Walhasil, mau gak mau kita harus berhenti di 2 Rest Area untuk sekedar menyesap tiga gelas kopi sebagai motivator mata agar tetap kuat untuk terjaga.

Sekitar pukul 23.00 akhirnya kita semua sampai di Jakarta tanpa kurang apapun. Alhamdulillah.

Masalah besar masih menanti untuk diselesaikan esok hari, terkait sms yang gue terima di siang tadi. Namun  pada saat itu, fokus gue terpusat pada tempat tidur. Kedua kelopak mata sudah memberontak marah dan mereka meminta untuk terlelap.


***

Keesokan harinya, hari Minggu 19 Oktober 2014, gue berangkat ke Cilandak Town Square. Mata masih berat, badan serasa melayang, dan pikiran menerawang. Seperti zombie yang sedang menyetir mobil.

Setelah mengarungi tol JORR dan sampai ke Cilandak Town Square dengan selamat, gue langsung ke Restoran Seruput dan memesan secangkir es kopi. Secangkir es kopi yang jenisnya tidak cocok untuk keadaan pada saat itu. Gue memesan Double Shot Espresso hanya karena gambarnya menarik. Yah, keadaan tiga perempat ngantuk pada saat itu membuat gue tidak dapat berpikir jernih. 

Benar saja. Efek double shot espresso secara luar biasa membuat jantung gue berdegup kencang. Seperti ada serdadu yang sedang baris-berbaris di rongga dada. Kemudian terjadi selisih paham di antara serdadu, kemudian mereka berantem dan kemudian timbul tawuran massal antar serdadu. 

Sesampainya dia datang dan kami bulai berbincang, pandangan gue maju mundur. Kemampuan gue mencerna percakapan menurun drastis. Kepala gue seakan muter tak menentu. Pandangan seakan maju menembus kepala lawan bicara, bergerak liar bagai kecoak terbang. Padahal pembicaraan pada saat itu berisi hal yang sangat serius.

Ya. Kisah kasih gue (yang bukan di sekolah) berakhir di Warung Seruput dengan ditemani kopi pahit yang semakin terasa masam.

Sapaan, "Sukses terus ya" di balik kaca mobil dia yang terbuka seperempatnya merupakan sapaan terakhir yang menutup cerita yang sudah berlangsung selama 4 tahun. Ah, betapa lelahnya badan, pikiran, dan perasaan yang ditempa banyak kejadian selama dua hari.

Sayangnya walaupun badan lelah dan perasaan gundah, asupan kopi dingin Double Shot Espresso menghalangi niatan gue untuk beristirahat saat sampai di rumah. Batin gue terjaga sampai sekitar jam 4 pagi walaupun badan terasa lemas. Memang hebat pengaruh kafein yang bersemayam di balik pekatnya bubuk kopi. Kopi dapat memacu hati walau dia lelah untuk berlari.

Namun sayang sekali, pada saat itu saya lebih butuh tidur, bukan pikiran yang menari.




0 comments: