Rabu, Juni 03, 2020

#DiRumahAja

Wuhan, sebuah kota yang barangkali belum pernah terdengar di seantero dunia. Dia tak seterkenal Beijing yang memiliki Kota Terlarang, Shanghai yang merupakan pusat bisnis, atau kota tak bernama di film Kungfu Hustle yang dikelola oleh emak-emak bermahkota roll rambut. Kota yang terletak di negara China itu sekarang menjadi sorotan negatif dunia karena disinyalir sebagai episentrum atau tempat lahirnya virus Corona jenis Covid 19 (Corona Virus Disease 2019).
Apelu ngomongin gue!?
Jenis virus ini belum pernah ditemukan sebelumnya. Menyebabkan manusia yang terinfeksi mengalami gejala umum seperti demam tinggi dan sesak napas, penurunan imunitas tubuh sehingga memperparah kondisi fisik seseorang yang memiliki penyakit bawaan. Bahkan di beberapa kondisi virus ini dapat menyebabkan kematian mendadak tanpa ada gejala apapun. Dunia dibuat gempar oleh makhluk tak kasat mata.

Wuhan berjarak 4.167 km dari Indonesia (Bekasi, khususnya. Lebih khusus lagi, Kampung Siluman - Tambun). Jauhnya jarak antara lokasi kita dengan episentrum bencana membuat kita sempet abai pada awal kemunculan virus di sekitaran Desember 2019.


Naek pesawat aja 13 jam Bor

Ada yang bilang virus tidak dapat masuk ke Indonesia karena kita biasa makan nasi pecel ayam di pinggir jalan pake piring yang dicuci dengan air bekas cucian 500 piring sebelumnya. Sehingga virus tersebut akan berantem rebutan kavling dengan bakteri E.Coli apabila masuk ke dalam tubuh masyarakat +62.

Ada yang bilang virus tidak dapat masuk ke Indonesia karena kita rajin minum jamu sehingga badan kita imun dari berbagai jenis virus.

Ada yang bilang virus dari luar negeri gak akan masuk ke Indonesia karena ketahan di Bea Cukai.

Ada, ada, dan ada.

Semua canda dan tawa renyah itu tersapu habis pada bulan Maret 2020. Ditandai dengan pengumuman Presiden tentang adanya kasus 2 pasien positif Covid-19 di Indonesia.

Setelah pengumuman itu, keadaan berbalik 180 derajat.

2 pasien bertambah jadi 10, kemudian menjadi 100, kemudian 200, sampai kemudian menyentuh angka 4.000 penderita virus Covid-19 dengan tingkat kematian mencapai 400 orang dan terus bertambah. Demi mengurangi tingkat penyebaran wabah Covid-19 yang sudah ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO, pemerintah berusaha mengurangi kerumunan orang.

Hal yang pertama dilakukan pemerintah adalah meliburkan sekolah dan anak-anak diminta belajar dari rumah. Kemudian dilanjutkan dengan kantor-kantor yang perlahan mengurangi jumlah karyawan yang masuk melalui mekanisme bekerja dari rumah, atau nama keren nya Work From Home.

Mobilitas peradaban manusia yang sedang melaju kencang tiba-tiba menginjak pedal rem. Jalan raya yang biasanya penuh sesak dengan kendaraan menjadi sepi. Orkestrasi klakson dari berbagai jenis kendaraan mulai dari telole-lolet bis Primajasa sampai terompet tukang roti Tan Ek Tjoan pun berhenti bergema, jalan raya hening seketika.

Pusat perbelanjaan yang biasanya setiap harinya tak pernah sepi mulai dari jam 10.00 sampai 22.00 serentak tutup. Restoran yang bangkunya selalu penuh terisi mendadak terlarang untuk diduduki. Orang-orang yang gemar duduk sendirian dan hobi memonopoli 10 tempat duduk kosong buat teman-teman lainnya di restoran atau food court ramai pasti kebingungan mencari pekerjaan baru.

Masker, hand sanitizer, dan tisu toilet, di beberapa negara, menjadi produk primadona yang selalu habis terjual. Manusia mulai berpikir detil mengenai kebersihan dan kita mulai mengetahui alat-alat serta istilah-istilah medis seperti APD, baju hazmat, ventilator, dan lain sebagainya. Saking prima

Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di negara-negara lain yang terinfeksi virus Covid-19. Manusia dipaksa diam di rumah dan daerah masing-masing tanpa tahun kapan pandemi ini akan berakhir.

Diam di rumah, untuk saat ini, adalah cara terbaik dalam memutus rantai penyebaran Covid-19 agar para pahlawan medis bisa fokus menyelesaikan kasus yang ada tanpa terus bertambahnya kasus baru.

0 comments: