Rabu, Oktober 19, 2011

Medan Perang Itu Bernama Harmoni

Luar biasa. Sudah lama sekali blog ini tidak terurus. Jaring laba-laba bertebaran, debu, dan kotoran kucing ada dimana-mana.Terakhir post itu tanggal 7 Agustus, yang berarti udah 3 bulan tidak di update. Kalau aja blog ini diibaratkan sebagai istri, mungkin gue udah di talak 9 dan dia kembali ke rumah orang tua nya sembari mengurus proses perceraian di pengadilan agama setempat.

Membicarakan perceraian, baru-baru ini gue mengalami hal tersebut. Tapi bukan dalam hubungan perpacaran ataupun pernikahan, melainkan pekerjaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, gue pindah kerja. Bahasa India-nya : Resign. Sungguh berat, memang, untuk bisa keluar dari tempat kerja gue di Trans Tipi. Lingkungan-nya begitu nyaman dengan teman-teman luar biasa. Sebuah tempat kerja yang bisa masuk jam 10, kerja sambil baca koran BOLA pinjeman dari atasan, kalo bosen bisa nonton tipi, terkadang ketemu artis-artis cakep nan wangi, dan mengenal lika liku dunia alay.

Hambatan untuk resign semakin terasa saat gue diharuskan untuk minta 18 tanda tangan. Repotnya minta ampun. Seringkali orang yang dicari gak ada di tempat. Ditunggu jam 9 belom dateng, jam 11 juga belom, jam 1 belom balik makan siang, jam 3 meeting, jam 6 gue-nya yang pulang. Bahkan gue harus minta tanda tangan sama orang yang gak pernah gue temuin sekali pun selama kerja di Trans. Tapi itulah prosedur, tetap harus dijalankan walau bagaimana pun repotnya.

Sekarang gue pindah ke daerah Kebon Jeruk. Sangat jauh dari rumah gue yang ada di bilangan Senen. Bahkan dulu gue mengira daerah Tangerang dan sekitarnya itu ditempati alien dan makhluk asing lainnya, suatu hal yang gue buktikan di Bekasi, karena saking gak kebayang bagaimana bentuk daerahnya.

Busway masih gue manfaatkan sebagai transportasi pengangkut gue ke kantor. Disinilah perkenalan gue dengan shelter Harmoni (back sound : Musik seram -> Apapun lagu The Sisters yang dinyanyikan secara live). Rute gue tiap pagi, shelter Kramat-Harmoni-Kebon Jeruk. Setiap pagi selalu terlihat antrian mengular. Entah yang menuju Blok M, Kali Deres, Pulo Gadung, dll. Tapi yang namanya masih pagi, orang masih sabar dan mengantri dengan senyum yang lebarnya melebihi telinga.

Neraka ada saat jam 6 sore, saat pulang kantor. Harmoni semacam penjara bawah tanah Fatahillah. Terlalu banyak orang. Untungnya gak disuruh jongkok kayak di penjara itu. Apalagi antrian Kalideres, panjangnya ngelebihin antrian tiket film Power Rangers : The Movie (yang ngerti pasti umurnya >20). Blok M, terlihat lebih sepi. Pulo Gadung walaupun antriannya pendek, tapi ada tujuh lapis orang.

Setiap turun dari bus arah Lebak Bulus pas jam 6 sore, gue merasakan sensasi menjadi David Beckham. Semua mata memandang, melihat, dan memperhatikan setiap gerak gerik gue. Ingin rasanya melambai dan bilang, "I Love you" sambil sesekali mengeluarkan gesture peace, love, and gaul ke mereka. Namun sayangnya mereka bukan senang akan kedatangan gue, pandangan mata penuh kebencian karena gue jalannya lelet. Dan bener aja, sesaat setelah kaki kanan gue berpijak di lantai shelter yang dibikin dari seng itu, mereka semua langsung berlari masuk ke dalam bis yang gue tumpangi itu.

Tujuan selanjutnya adalah mencari bis arah PGC. Ini lah medan perang yang harus gue hadapi tiap hari, dimana para pengelola Transjakarta seperti gak rela kalo bis arah PGC gak ngantri panjang. Biasanya setelah menunggu diatas 20 menit, bus baru datang. Dan orang-orang selalu berebut, mendesak masuk. Entah kenapa setiap kali bus dateng, selalu terdengar jeritan cewek. Padahal pintu belom juga dibuka. Setelah gue liat ke depan, itu cewek gak mau naik. Dia lebih memilih untuk nahan badan di depan, didorong-dorong orang lain, sambil teriak teriak. Hipotesis gue : Ini cewek pengidap Sado Masochist.

Begitu masuk di bis, banyak penumpang bingung. Antara mau ke kanan atau ke kiri. Dan tentu saja, shelter Harmoni tidak mengenal belas kasihan. Shelter Harmoni adalah tempat dimana orang-orang baik bisa berubah menjadi seperti Ryan Jombang. Penumpang-penumpang kebingungan itu sukses didorong sampe nemplok di kaca atau bahkan nyusruk ke lantai.

Saat jalan, keberuntungan yang mengambil kuasa. Gue bisa aja dapet duduk dan pura-pura tidur, berdiri nyaman sambil berpegangan, atau kegempet di tengah dan di-bully orang-orang yang masuk dari shelter lainnya. Kalau lagi sangat sial, gue merasakan apa yang dialami oleh Siluman Kera Sakti. Kalau dia dihukum dijepit di gunung Lima Jari karena ngacak-ngacak Khayangan, gue dijepit oleh Ketek Lima Abang-Abang. Mereka datang dari semua arah mata angin. Dengan keadaan hari yang sudah semakin larut dan pola pikir konservatif mereka yang menolak memakai deodoran, perjalanan pulang gue ditemani bau yang bisa menyebabkan trauma berkepanjangan untuk orang-orang yang tidak tahan mentalnya.

Begitu sampai di halte Kramat, gue selalu menghela nafas panjang. Seakan terbebas dari penjara brutal semacam Alcatraz. Ohlala, ini lah hal yang gue jalani setiap hari. Menyusahkan, memang, tapi bisa dinikmati. Karena seburuk apapun suatu keadaan, selalu komedi yang bisa dijadikan alat pemicu senyum.


3 comments:

Samuel Yudhistira mengatakan...

Yepp ini blog udah lama vakum :D

berhubung gw udah cukup lama juga jadi pembaca blog ini jadinya cukup kehilangan juga (hehehe penjilat banget, njir!!)

Melihat postingan tentang cuhatan busway jadi inget kakak gw yang udah saban hari bolak-balik kantor naik beginian, dan emang lebih mirip warzone daripada sekedar bus shelter :D

Bali Tours Club mengatakan...

Hidup..memang sebuah pilihan, kalau itu merupakan pilihan tepat untuk kita....go head.

Mirzal Dharmaputra mengatakan...

THANKSS!! =D