Selasa, Februari 09, 2016

Sebuah Cerita Tentang Film


Masyarakat Jakarta, yang terdiri dari banyak keluarga, memiliki kecenderungan untuk menghabiskan hari libur, baik Sabtu - Minggu maupun libur nasional, di banyak mall yang tersebar di sekujur Jakarta. Kegiatan yang dilakukan dalam mall pun beragam seperti window shoppingshopping beneran, makan, atau nonton di bioskop. Hal ini tidak bisa dihindari lagi, mengingat minimnya ruang terbuka di Jakarta yang (semakin) sempit ini.

Film merupakan hiburan terjangkau bagi masyarakat kaum perkotaan, khususnya kota Jakarta, tempat gue hidup, bernafas, berjalan, dan pipis di WC Umum dengan biaya Rp 2.000. Jumlah mall di Jakarta yang mencapai 170 buah semakin memudahkan kita untuk memilih bioskop sesuai dengan budget yang tersedia.

Kita bisa menikmati film dengan harga Rp 100.000 pada bioskop Premiere XXI atau bahkan menikmati film sambil tiduran pada Satin Class seharga Rp 75.000 pada bioskop CGV Blitz. Sebaliknya, kita juga bisa menikmati paket nonton film murah meriah seharga Rp 25.000 - Rp 35.000 di Hollywood XXI. Film sama dengan fasilitas yang berbeda. Semua tergantung selera.

Pada saat libur Imlek tanggal 8 Februari 2016, secara random gue pergi ke Gandaria City. Tujuan gue kesana untuk nonton film terbaru Quentin Tarantino : Hateful Eight. Walaupun hujan badai, banjir, dan macet menghadang perjalanan dari Tanjung Barat ke Gandaria City, gue tetap berkeras nonton film itu. Pasalnya, Gandaria City XXI merupakan satu-satunya bioskop yang memutar Hateful Eight dan gue merasa sayang jika hanya menonton film itu melalui soft copy berjudul Hateful_Eight_UNRATED1080p.MKV.

Mengingat keberadaan film Hateful Eight yang cepat hilang pada bioskop-bioskop di Jakarta, gue gak berharap banyak orang tertarik nonton film itu. Karena biasanya jumlah penonton sedikit mengakibatkan pendeknya masa tayang film di bioskop. Namun pada saat sampai di bioskop dan bertemu dengan embak loket berbaju terusan hitam, dugaan gue terbukti salah. Ternyatacukup banyak penonton mengisi Studio 5 Gandaria City XXI.


Salah satu penontonnya adalah keluarga kecil yang terdiri dari Ibu, Bapak, dan anak perempuannya yang berumur kira-kira 7 atau 10 tahun. Suatu hal yang sungguh mengejutkan. Di era internet seperti saat ini dengan informasi yang bisa diakses melalui ujung jari, seharusnya orangtua tahu film apa yang akan mereka tonton dengan anaknya.

Sebelum mengajak anaknya nonton film, ada baiknya mengunjungi situs yang bernama IMDB.com. Bahkan situs itu punya aplikasi yang bisa diakses melalui Android atau iOS. Hey sesuatu yang amat mudah bukan? Kecuali mungkin anda termasuk orang yang masih menggunakan Nokia 8250 Monochrome dengan ringtone Polyphonic dan game Snake yang melegenda.

Quentin Tarantino, seperti dikutip pada situs IMDB.com, merupakan salah satu sutradara yang memiliki nama besar di ranah Hollywood. Judul-judul film seperti Pulp Fiction, Kill Bill, Reservoir Dogs, Inglorious Basterds, dan Django Unchained mentasbihkan dia sebagai sutradara yang menghasilkan film-film penuh dengan unsur kekerasan. Saking kerasnya film Tarantino, bisa dibilang selain aktor dan aktris, orang yang paling banyak meraup untung pada proses pembuatan film dia adalah para penyedia darah-darahan.

Oleh karena itu, gue cukup kaget saat melihat keluarga kecil tersebut duduk manis di samping kanan tempat duduk. Kedua orangtua itu mengajak anak perempuannya yang manis, yang seharusnya lebih cocok nonton Frozen atau Petualangan Singa Atlantos, menonton Hateful Eight karya Quentin Tarantino.

Lampu diredupkan, layar dilebarkan, dan film pun dimulai. Pada awalnya, film hanya menampilkan dialog-dialog antara para tokoh yang penuh kata-kata kotor, ciri khas lain dari fim Tarantino.

Menjelang akhir, film Hateful Eight mulai menunjukkan taring nya, diawali adegan muntah darah yang menyembur layaknya semprotan air menerjang tanaman. Setelah adegan tersebut, film menjadi semakin keras. Aksi koboi adu tembak dengan penggambaran yang eksplisit saat peluru merobek perut dan dada ditampilkan. Sekilas gue lihat ke samping kanan untuk melihat keadaan si anak perempuan. Dia terlihat gelisah namun Bapaknya terpaku geming menonton adegan demi adegan

Puncaknya pada saat adegan hancurnya kepala salah satu tokoh akibat ditembak pistol Magnum laras panjang. Melihat adegan otak berhamburan ke muka, si anak perempuan memekik tertahan, menutup mata, dan bergerak ke pangkuan Bapaknya. Mungkin ketakutan, mungkin jijik, atau mungkin trauma. 

Entahlah.

Yang pasti si Bapak tetap asik nonton dan memeluk anaknya tanpa berusaha menutup matanya. Sambil membenamkan kepala ke dada Bapaknya, sang anak yang penasaran mengintip adegan mutilasi lengan dan eksekusi gantung leher. Tangannya sontak menggenggam kemeja Bapaknya. 

Saat film selesai, si anak perempuan tetap membenamkan kepala ke dada Bapaknya sampai lampu studio dinyalakan. 


***

Menurut gue, film bukanlah suatu media hiburan yang bisa dinikmati semua kalangan. Ada rating-rating yang memisahkan antara tontonan anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Atau bahkan menurut gue ada usia-usia dimana anak belum bisa diajak nonton di bioskop. 

Sebelumnya pada hari Sabtu, 6 Februari 2016, Grand Metropolitan Bekasi. Gue nonton The Revenant nya Leonardo Di Caprio. Dikarenakan film tersebut cukup populer dan pada hari itu merupakan awal long weekend, studio cukup penuh dengan penonton. Gue sendiri dapat tempat di pinggir kiri baris ke empat.

Film The Revenant merupakan film petualangan yang natural dan terasa sangat nyata. Tokoh utama film, dalam keadaan sekarat akibat serangan beruang, berusaha bertahan hidup di tengah pegunungan bersalju dengan peralatan minim. Untuk bertahan hidup dia terpaksa makan bangkai hewan, ikan mentah, dan liver bison. Bahkan ada satu adegan dimana dia harus bermalam di dalam perut kuda yang sudah dibelah dan dikeluarkan isinya.

Pada saat seru menonton adegan Leonardo Di Caprio kelaperan makan liver Bison, terdengar suara tangisan bayi. Ya, tangisan bayi. Dan gue yakin itu bukan salah satu adegan film dimana Leonardo menemukan bayi raja yang tertinggal di tengah hutan, merawatnya, dan pada saat anak itu besar sang Raja datang membawa anak tersebut. Sebagai ucapan terima kasih Leonardo dijadikan penasihat Raja dengan diiringi lantunan musik Lyla - Magic dan di akhiri tagline "Satu Untuk Semua."

Bukan.

Itu adalah suara tangisan bayi dalam gendongan yang dibawa Bapaknya nonton The Revenant. Mungkin bayi itu terganggu oleh suara membahana Studio dengan teknologi THX, DTS, DLL, DHL, etc. Masih dalam gendongan bayi si Bapak membawa bayi nya keluar studio untuk mendiamkannya. Kemudian setelah anaknya diam dia kembali masuk studio dan melanjutkan nonton The Revenant. Melihat Leonardo Di Caprio main tusuk-tusukan pake pisau.

Pikiran anak kecil ibarat kertas putih yang masih polos tanpa tulisan.

Dua kejadian yang gue alami saat long weekend seakan menyadarkan gue akan sulitnya mencari hiburan yang pantas untuk anak-anak. Waktu kecil dulu, gue masih bisa melihat Bambi yang lucu berkeliling hutan ditemani kelinci putih yang berlari riang. Sekarang gue melihat sendiri seorang Bapak mengajak anaknya nonton Bambi dibelah perutnya untuk dijadikan selimut atau nonton koboi yang biji-nya ditembak oleh pistol magnum.

Yah, kejadian-kejadian yang kita alami sehari-hari dapat diambil sebagai refleksi diri. 

Semoga gue bisa lebih kreatif dan cerdas dalam menciptakan atau mencari hiburan apabila sudah punya anak nanti. Semoga juga gue bisa menghindari godaan untuk mengajak anak duduk 2 jam di ruangan gelap, dimana satu-satu nya hal yang bisa dilihat adalah peluru yang menembus kepala orang.




1 comments:

KalkulatorGrosir.com mengatakan...

hah memang kurang ditangapi tentang rating umur bioskop dan tayangan televisi.
semua sebenernya sudah ada rate nya untuk dewasa, ummum maupun anak2x cuman memang kebiasaan orang melanggar aturan, contoh paling sederhana dari antrian kadang masih juga nyerobot atau lalu lintas udah merah tetap melanggar. tidak di golokan berdasarkan pendididkan kadang yang berpendididakan juga melanggar aturan.. contoh yang itu suka korup... nasib.
Berharap ada seseorang yang benar...