Jumat, Desember 06, 2013

Seorang Anak Band

Rutinitas pekerjaan membuat gue melupakan nikmatnya hobi. Post terakhir gue di blog ini terbit entah beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya beberapa kali ada niatan untuk menulis kembali. Namun seringkali terjadi kesalah pahaman (seperti kata komentator sepakbola) antara otak dan kelopak mata yang menyebabkan tumbangnya gue diatas bantal yang empuk. Tidur sampai pagi.

Menulis menurut gue merupakan metode escaping yang murah dan meriah. Hanya bermodal koneksi internet, secangkir kopi hangat, dan diskusi dengan imajinasi. Sebuah metode relaksasi untuk kabur sejenak dari penatnya rutinitas yang seperti penjara. Cuma gue, komputer, dan fantasi.

Selain menulis, sebenarnya ada hobi lain lebih tidak tersalurkan sejak lulus kuliah. Hobi itu adalah nge-band. Sebuah hobi yang dimulai saat SMP dahulu. Posisi gue waktu itu gitaris-vokalis di dalam band yang bernama JFO. Kependekan dari Jungle F*ck Off. Emang. Gue akui nama itu sok asik cenderung norak. Sebuah nama yang berangkat dari filosofi bahwa anggota band tersebut ada yang dipanggil 'Babi' dan 'Monkey', jadi ibaratnya band itu seperti sebuah hutan. Tempat bernaungnya hewan-hewan.

JFO pada saat itu membawakan lagu-lagu rock termutakhir (pada jamannya). Mulai dari Padi - Semua Tak Sama , Blink 182 - All The Small Things , Limp Bizkit - Take A Look Around, sampai Rage Againts The Machine - Bulls On Parade. Efek DJ pada lagu Bulls On Parade yang seyogyanya dimainkan Tom Morello dengan cara menggosokkan tremolo di senar, kita ganti secara brutal oleh penggaris Butterfly. Yang penting bunyinya mirip. Walaupun dengan konsekuensi keritingnya sumbu X & Y pada saat ujian Matematika.

JFO pernah manggung di pensi acara ulang tahun sekolah dan membawakan Rage Againts The Machine - Killing In The Name. Pada saat itu koneksi internet masih minim (cenderung tidak ada) dan sumber data lirik hanya bisa mengandalkan majalah dwi mingguan bernama MBS. Berhubung Rage Againts The Machine tidak begitu populer di khalayak ramai, gue tidak bisa menemukan lirik lagu tersebut di MBS edisi manapun. Sehingga gue sebagai vokalis yang bertanggung jawab berinisiatif untuk mengarang liri dengan alasan profesionalitas. Daripada tengsin di panggung? Lirik karangan yang paling gue inget adalah mengganti lirik 'And now you do what they told ya' menjadi 'Dagadu buatan Jogja'. Lirik bertema kritisi berhasil gue rubah jadi promosi.

Beranjak SMA, JFO bubar secara otomatis. Anggotanya mencar-mencar ke berbagai sekolah. Sehingga gue mengumpulkan teman-temab baru dan mendirikan band bernama Supersonic. Nama yang diambil dari salah satu hit single-nya Oasis. Lagu-lagu yang dibawakan juga gak jauh dari British Pop / Rock n' Roll seperti Oasis, Blur, The Beatles, atau The Strokes.

Selain Supersonic yang membawakan genre Rock n' Roll, gue juga punya band 1 lagi yang dinamakan Portgas. Bedanya dari Supersonic, Portgas membawakan lagu-lagu Emo dan Screamo yang lagi ngetren di jamannya. Pokoknya lagu yang penyanyi-nya kayak lagi bersusah payah buang reak. Tapi tentu aja bukan gue vokalisnya, karena teriakan gue terkesan lebih mirip kucing kawin ketimbang gahar. Pada masa SMA, gue jadi gitaris dan backing vocal. Pengalaman manggung pun cukup banyak. Beberapa kali di acara pensi sekolah, ikutan audisi, atau menggunakan band sebagai alasan untuk cabut sekolah.

Satu pengalaman manggung yang gue inget pas SMA adalah di UNJ. Gue jadi satu-satunya band SMA yang manggung di acara tersebut. Lagu yang gue bawain Hell Is For Heroes - I Can Climb Mountain. Berbekal gitar Epiphone pinjeman, gue merasakan ekstasi berdiri di atas panggung yang cukup besar. Mata-mata asing memandang gue dan kawan-kawan, sorotan lampu memanaskan badan, dan jantung berdegup cepat. Kita menggila.

Kelar SMA, lagi-lagi Supersonic dan Portgas bubar. Para anggotanya terpisah-pisah ke berbagai macam daerah. Hobi gue bermusik pun terkubur pelan-pelan. Pada saat kuliah, gue gak pernah mendirikan band secara resmi. Konsep bermusik gue saat kuliah adalah seperti organ tunggal. Dimana ada acara, disitu gue ada. Begitu kelar acara, band bubar.

Kampanye calon ketua BEM, ospek, seminar, awards, sampe wisuda pernah merasakan konsep bermusik yang gue tawarkan. Genre musik yang gue tawarkan adalah 'Pop Destruktif', dimana segala macam musik pop gue hancur leburkan dengan kunci yang salah dan sound pas-pasan. Kenapa musik pop? Karena jenis lagu itulah yang diketahui banyak orang. Kenapa destruktif? Karena pengetahuan gue tentang teknik bermusik yang pas-pasan.

Panitia acara biasanya memberikan kita waktu untuk check sound beberapa jam sebelum acara. Kalau band lain, kesempatan check sound biasanya dipakai semaksimal mungkin. Mulai dari ketok-ketok microphone sambil bilang,"Low... Loww...," setting entah-apa-itu-puteran-yang-di-ampli, sampai gebuk-gebuk bass drum. Minimal 15 menit abis dipakai sama mereka.

Melihat keseriusan band sebelumnya, kita gak mau kalah. Anggota band gue biasanya 3 orang, 2 gitar dan 1 vokalis beatbox. Yang megang gitar colokin gitar ke ampli, terus belagak nyetem. Untuk ngecek microphone kita bilang,"Haloo... Haloo..." sambil getok-getok.

"Bunyi coi?"

"Bunyi"

"Oke," kemudian kita turun dari panggung dan ritual checksound selesai sudah. Rampung dalam waktu 5 menit. Gak ngerti juga mau nyetting apa. Yang penting itu alat bunyi. LO kita sampai kesel karena kita sempet bawel minta checksound sebelum manggung. Untuk alasan profesionalitas tentunya.

Pernah gue manggung di acara wisuda yang uniknya ditujukan untuk angkatan gue sendiri. Bingung? Gini. Jadi normalnya itu mahasiswa lulus 4 tahun. Untuk kasus gue dan kawan-kawan, kita berprinsip bahwa masuk UI susah, masak lulus mau cepet-cepet. Sehingga pada saat temen-temen gue lulus, gue masih di kampus. Dan gue Alhamdulillah ditugaskan untuk melepas mereka secara sukarela.

Karena ada kewajiban dari panitia untuk menamai band kita dan nama tersebut harus earcatching, jadilah gue ciptakan band sehari jadi bernama Amir & The Earcatching. Sesaat sebelum naik panggung sepasang MC mengumumkan kedatangan kita.


"Band berikut ini ingin memberikan persembahan kepada kakak-kakak sekalian yang telah lulus," kata MC sambil mempersilahkan kita masuk. Bermain di depan teman-teman gue yang pada cekikikan karena kita dikira junior. Padahal dulu kita masuk, ikut paduan suara, dan di-ospek bareng.  Damn. Parahnya, saat manggung bawain Slank - Terlalu Manis, kita salah kunci. Saling celingukan satu sama lain, kemudian cuek. Yang penting nyanyi-nya kenceng. Kunci salah-salah dikit bisa ditutupin.

Pengalaman manggung di depan orang banyak masih menjadi sensasi yang sangat unik dan adiktif. Saat nonton konser pasti gue membayangkan ada di atas panggung seperti band yang gue tonton. Ribuan orang bernyanyi, mengelu-elukan lagu yang kita ciptakan sendiri. Mimpi. Semoga dapat terlaksana. Untuk saat ini, cukuplah berkaraoke di Inul Vizta saja.



3 comments:

Anonim mengatakan...

titip iklan ya Bang..


Rumah bernuansa danau dengan lokasi strategis, klik http://www.citralakesawangan.com/lake_area_gambar_pemandangan/

jam tangan original mengatakan...

mantap gan, terima kasih banyak atas artikelnya :) . .

Jaket Kulit Anak Band mengatakan...

Inspiratif banget bro cerita lu.. Thanks ya :)