Minggu, November 16, 2014

Rejeki Anak Soleh

Musik adalah aktualisasi diri. Marah? Bisa dilampiaskan dengan Marilyn Manson - Beautiful People. Butuh semangat?  Slipknot - Wait and Bleed bisa jadi pelecutnya. Saat sendiri dan butuh diskusi dengan pikiran? Cobalah mendengar Sigur Ros - Fjögur píanó. Sedih? Silahkan akrab dengan lagu-lagu Adele yang konon memiliki notasi orang patah hati. 

Setiap orang memiliki lagu favorit sesuai dengan keadaannya masing-masing. Layaknya film, setiap orang memiliki soundtrack yang berbeda-beda dalam hidupnya.

Setiap tahun gue selalu menyempatkan diri untuk nonton minimal satu konser. Tapi karena kesibukan yang cukup menyita waktu, akhir-akhir ini gue bahkan tidak sempat untuk sekedar melihat-lihat jadwal konser yang ada. Sampai suatu hari ada ajakan dari temen gue, Ise, untuk nonton Soundsfair di JCC Senayan hari Jum'at, 24 Oktober 2014.

Tanpa ragu, gue meng-iya kan.

Tentu saja untuk bisa nonton Soundsfair, gue butuh benda yang namanya 'Tiket'. Namun karena jadwal konser tepat di ujung nafas gaji bulanan, gue harus bijak memilih antara beli tiket konser tapi makan siang pakai "Krupuk Putih Siram Kecap Manis" atau gak beli tiket konser tapi makan siang pake Burger King.

Keadaan kritis membuat otak berpikir lebih kreatif. Tidak punya budget untuk membayar harga tiket yang cukup mahal (+/- 300rb), gue mencoba mencari peruntungan di Google.

Kata kunci : "Kuis Tiket Soundsfair Gratis".

Voila. Google menuntun gue ke forum Okezone. Mereka sedang mengadakan kuis untuk acara hari Jum'at. Pertanyaannya gampang, "Apa artis yang ingin kamu tonton pada hari Jum'at?"

Aliran ska merupakan musik tumbuh kembang gue. Pada saat SMP dahulu, musik -musik Noin Bullet, Jun Fan Gang Foo, Reel Big Fish, Goldfinger, Save Ferris, etc. telah kusut gue putar di Stereotape Sony. Sampai-sampai butuh bantuan pensil Staedler untuk meluruskan pita kaset-nya. 

Tanpa pikir panjang lebar, gue langsung menulis keinginan gue nonton Tokyo Ska Paradise Orchestra. Sebuah band beraliran ska asal Jepang dengan musik yang enerjik, brutal, namun tidak meninggalkan kesan elegan di dalamnya.

Hari demi hari berlalu.

Tepat pada hari Rabu, 22 Oktober 2014 gue dapet konfirmasi dari admin forum Okezone. Gue menang! Saking senangnya menang, gue sampai berteriak dan mengangkat tangan di meja kantor. Jadilah semua orang menatap ke arah gue. Awkward. Usut punya usut, ternyata peserta kuisnya cuma ada 4 dan gue adalah salah satu dari 3 orang pemenang. Rejeki anak soleh. Nemu kuis yang partisipannya lebih sepi dari kuburan.

Satu tiket sudah ditangan dan gue bisa bernapas lega karena tinggal beli tiket Magic! on the spot. Walaupun sebenarnya gue tidak begitu suka dengan band itu dan sudah cukup muak dengar, "Saturday moorning jumped out of bed..." Tapi ya, cuma butuh 50rb untuk menyaksikan band yang lagi hit ini. Apa mau dikata, sikat saja. Selagi hangat.

Mendengar gue dapet tiket gratis hasil kuis, temen gue panik. Tentu saja dia gak mau kalah, walaupun pada kenyataannya sudah terlambat. Sudah H-1 menuju konser dan semua kuis sudah ditutup. Apa mau dikata, pada akhirnya dia pasrah dan berniat untuk beli tiket di calo yang biasanya menjamur di sekeliling venue konser. Berharap tiket-tiket dijual murah apabila kita datang terlambat.

Namun siapa sangka, rejeki datang disaat yang sangat tidak terduga. Saat gue iseng nanyain temen gue nonton Soundsfair atau enggak, dia malah nawarin gue tiket gratis. Bukan cuma 1, tapi 2. Olala. Sebuah keberuntungan beruntun. Benar-benar rejeki anak soleh. Kalau saja diperbolehkan, gue bakal loncat-loncat kegirangan layaknya Chunli menang berantem. Namun tentu saja lingkungan kantor menghalangi saya untuk berbuat itu. Daripada diusir satpam?

***

Pada hari H, beberapa jam menjelang konser, lapisan kulit gue melakukan kegiatan sekresi . Mengeluarkan keringat dingin. Gue dapet kerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Sambil dag-dig-dug gue menyelesaikan pekerjaan tersebut secepat mungkin dan pada akhirnya rampung pada pukul 8 malam.

Semacam telah menjadi kesepakatan umum, Jum'at merupakan hari macet sedunia. Rutinitas para commuter memaksa jalan raya menanggung beban sebegitu banyaknya. Yang biasanya naik angkot dari kos menuju kantor, berbondong-bondong mengeluarkan mobil atau kendaraan lainnya untuk pulang ke rumah-rumah kota satelit. Di kota Jakarta, rutinitas mudik berlangsung setiap pekannya.

Tapi entah mengapa, pada hari Jumat 24 Oktober 2014 pukul 20.00, jalanan kosong melompong tanpa hambatan. Perjalanan dari Gatot Subroto - Senayan hanya ditempuh dalam 10 menit saja. Selain itu, sesampainya di Senayan, petugas parkir langsung mengarahkan gue ke jalan di balik lapangan ABC yang mengarah ke lapangan D, dimana spot parkir masih tersedia luas dan lapang. Lagi-lagi saya dapet rejeki anak soleh. Hanya butuh 15 menit untuk sampai ke Senayan plus parkir dan gue masih sempat makan. Jam menunjukkan pukul 20.30 dan Tokyo Ska Paradise main pukul 21.30, masih ada waktu untuk mengisi tenaga. Bekal riang berdansa pogo. Walaupun tetap saja gue gak dapet nonton salah satu band favorit gue, SORE.

Tepat pukul 21.20 gue mulai masuk venue, langsung menuju panggung Garuda, tempat dimana Tokyo Ska Paradise Orchestra (TSPO) manggung.

Panggung masih gelap dan hanya terlihat beberapa crew band yang sliweran di sekitar panggung. Di seberang panggung para sound engineer bertindak seakan-akan tukang parkir, selalu menggerakkan tangan dan berteriak-teriak. Tapi walaupun mereka orang Jepang, ilmu ninja mereka kalah dengan tukang parkir Indonesia. Tukang parkir Indonesia selalu muncul disaat yang tidak terduga. Sirna saat tiba, nyata saat pergi.

Tak beberapa lama satu persatu anggota TSPO muncul dan mereka langsung menggebrak dengan lagu theme song Godfather. Tentu saja versi ska. Para penonton langsung tersentak dan mulai bergoyang pogo tanpa harus dikomando. Seru!

Musik adalah bahasa universal. Pada beberapa lagu yang berbahasa Jepang, gue sama sekali gak ngerti dia nyanyi apa. Bahkan bisa jadi dia ngata-ngatain penonton atau bahkan lagi baca dialog film bokep Jepang. Tapi itu tidak masalah, musik bagus tetaplah pantas untuk diajak bergoyang. Apapun liriknya.

Beberapa kali personil TSPO bergonta-ganti posisi. Para brass section bergantian menyanyi, begitupun para perkusi. Walaupun secara kasat mata mereka terlihat tua, penampilan mereka amat sangat enerjik dan hiperaktif. Tiupan saxophone dan trombone begitu lantang menghempas telinga. Lagu-lagu seperti Pride Of Lion, Natty Parade, dan Lovers' Walk sukses membius para penonton yang tampak memakai bretle dan topi pet. Seragam wajib para penggemar ska.

Ambience sempat turun saat TSPO mengundang bintang tamu dari Indonesia... Fade 2 Black. Oke, mungkin mereka adalah artis hip hop yang baik, tapi musik mereka seakan-akan menutupi irama ska yang sudah terjalin rapih sebelumnya. Seperti pada saat kita sedang asik ngobrol dengan teman-teman dan tiba-tiba ada satu orang menyebalkan nimbrung dan sok asik, "Lagi ngomongin apa nih? Gue ikutan dong." Bubar semua.

Konser TSPO ditutup oleh Down Beat Stomp dan Ska Me Crazy, dua lagu wajib band yang terbentuk dari tahun 1988 ini. Kakek-kakek enerjik pun semakin menggila di dua lagu terakhir ini, begitu juga dengan penonton. Badan mereka seakan-akan memiliki mode otomatis goyang pogo. Seluruh orang bergoyang tanpa diganggu tangan-tangan yang memegang tempayan bersinar. Indah sekali. Terima kasih TSPO yang telah menyadarkan bahwa saya masihlah anak ska dan goyang pogo masih menjadi ekstasi sempurna. Luar biasa.




Setelah nonton TSPO, gue dan Ise bergerak ke venue utama untuk nonton Magic! . Berbekal tiket tribun, gue akhirnya bisa duduk manis dan melihat band yang akrab disebut 'Wahyu' ini.

Kesan pertama yang gue tangkap dari penampilan Magic! adalah : Biasa aja. Mungkin ini disebabkan oleh habisnya hormon endorphin gue di TSPO, sehingga  melihat penampilan Magic yang beraliran reggae-pop ini terasa membosankan. Ditambah dengan penonton yang lebih senang melihat Magic! melalui layar ajaib buatan manusia ketimbang menyaksikan langsung secara HD melalui bola mata sendiri. Penonton monoton, bahkan sekedar bergoyang pun mereka emoh. Untung gue cuma harus bayar gocap untuk melihat mereka. Bahkan sekedar mengambil foto pun gue enggan.

Penampilan lebih seru justru ditampilkan oleh Asian Dub Foundation, dengan kualitas sound yang jauh lebih megah dan penampilan vokalis yang ikonik. Bahkan kalo gue ketemu di pinggir jalan, gue bakal ngira dia dukun pengusir hujan. Wajahnya seram, rambutnya dreadlock, kulitnya sehitam malam, dan wajahnya dipenuhi rambut. Seakan-akan rambutnya berpindah ke depan wajah. Saat tidak bernyanyi, dia seperti sedang melakukan ritual dengan memutar tangannya di kepala. Bahkan terkadang dia terlihat sedang bermunajat dan berlutut di atas panggung. Saya tidak mengerti, itu vokalis apa tukang santet.




Asian Dub Foundation tidak gue saksikan sampai habis, karena takut macet apabila keluarnya bareng acara selesai. Sesampainya di pos parkir dan menyerahkan karcis, ternyata gue gak diminta bayar parkir. Cuma bayar lima ribu untuk 1 jam pertama di awal, sedangkan untuk jam-jam selanjutnya tidak dihitung. Entah mengapa di karcis gue ada tulisan 'voucher' dan akibat tulisan sakti tersebut sisa uang parkir tidak ditagih. Rejeki anak soleh.

Pada hari minggu, kuturut ayah ke kota, naik delman istimewa ku duduk di muka.

Oke. Saya salah ketik.

Maksudnya pada hari Minggu, 2 hari setelah acara Soundsfair, gue iseng buka twitter. Ada sebuah twitpic dari @dissidents_ :



Lagi-lagi rejeki anak soleh. Ketidakpuasan gue yang gak sempet nonton SORE pada hari Jum'at bakal terbayar oleh acara Seperlima ini. Apalagi dengan tambahan Dialog Dini Hari dan Tika yang luar biasa. Tanpa sempat mencari teman nonton, gue berangkat sendiri ke Taman Menteng.

Temaram lampu Taman Menteng terasa hangat menyentuh kulit. Tiupan lembut angin malam seakan membuai kuping yang disuguhi musik Dialog Dini Hari dan Tika. Sembari duduk diatas rumput yang sedikit basah dan ditemani langit hitam yang bersembunyi malu dibalik awan kelabu, pikiran gue berkelana menyusuri ruang-ruang masa lalu. Memandangi kisah-kisah yang seakan berputar di kepala, menyusuri sudut-sudut etalase otak. Konser Seperlima seakan jadi ruang renung akan perubahan yang terjadi, kembali menjadi penyendiri.




SORE menutup hari dengan lantunan lagu yang tak lekang dilindas jaman. Mata Berdebu, Etalase, dan Aku mengembalikan imaji ke masa-masa gue aktif menjadi Kampiuns. Sebuah istilah bagi para penggemar SORE. Bahkan gue sempat tergabung dalam panitia acara Las Familias, yaitu sebuah konser tunggal SORE yang berkolaborasi dengan para musisi-musisi lain seperti The Adams dan White Shoes & The Couples Company.



Ssssst...!! Pada akhirnya menutup penampilan SORE dan acara Seperlima. Seluruh kejadian yang terjadi pada gue akhir-akhir ini memang gila. Segala senang, bahagia, murung, sedih, dan menyebalkan bercampur aduk dalam satu rentang waktu yang cukup singkat. Yah, seperti saat mendaki, trek akan semakin susah dan variatif saat mendekati puncak. Namun percayalah, keindahan selalu berkuasa di puncak.


0 comments: