Jumat, Desember 19, 2014

Bertamu ke Merbabu

2014 merupakan tahunnya travelling. Di penghujung tahun, tepatnya di bulan November 2014, catatan perjalanan gue bertambah lagi. Dimulai dari bulan Mei ke Gede, Agustus Papandayan & Dieng, September balik lagi ke Gede via Selabintana, Oktober Burangrang, dan November ke Cikuray. Capek, lelah, namun bermakna.

Pada tanggal 28 & 29 November 2014, gue melakukan perjalanan ke Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Sebuah perjalanan yang tidak direncanakan. Awalnya gue mau berangkat tanggal 25 Desember 2015 dengan menggunakan jasa travel. Namun apa ayal, tiket kereta untuk tanggal tersebut sudah ludes terjual. Bahkan sang travel pun nyerah, tiket kereta tidak bisa mereka dapat dan gue pun urung berangkat.

Angin ternyata tetap membawa gue ke Merbabu. Di satu pembicaraan santai saat jam kantor, tercetus ide dari temen gue untuk berangkat kesana. Susun menyusun rencana, Chuntel dan Wekas menjadi jalur pilihan kita untuk sampai ke Khenteng Songo, puncak tertinggi Merbabu (3.145 mdpl). Cari mencari tiket, akhirnya kita sepakat berangkat pada hari Kamis, 27 November 2014 dan pulang hari Sabtu, 29 November 2014 dengan menggunakan kereta kelas ekonomi. Murah meriah, gampang disiksa.

***

Hari-H keberangkatan, keraguan timbul dan peserta berkurang satu. Rencana awal kita mau berangkat ber-4, namun apa lacur, ada 1 orang yang mendadak punya urusan pribadi. Terlebih lagi, hanya dia lah yang paham cara mengarungi gunung Merbabu via jalur Chuntel. 

Rencana perjalanan langsung kita ubah. Mengingat jalur Chuntel cukup panjang dan berliku, sedangkan waktu perjalanan yang tersedia cukup sempit. Kemudian kita sepakat bahwa perjalanan kali kita hanya melaju melalui jalur Wekas saja. Jalur yang paling singkat diantara kedua jalur lainnya, Selo dan Chuntel. Jumlah pesertanya pun berkurang dari 4 menjadi 3.

Tepat pukul 2159 kereta Bogowonto yang kita tumpangi berangkat. Tas carrier sudah rapi ditaruh di kompartmen atas. Di depan gue ada serombongan laki-laki yang bercanda ribut, heboh, dan memusatkan olok-olok ke seseorang di depan gue. Seorang lelaki gemuk berkacamata yang memegang 3 gadget. Satu di tangan kanan, satu di tangan kiri, dan satu lagi diparkir di atas perutnya yang angkuh membusung. Kupingnya tersumpal rapat oleh earphone putih yang seakan menempel permanen di sana. Untuk dia, dunia seakan hanya sebesar 4 inch saja. Matanya tak pernah lepas dari layar plastik itu, terhipnotis oleh cahaya dan warna yang menyalak riang.

"Oi gendut!" teriak teman-temannya. Namun dia tetap bergeming.

Tak sabar, salah seorang temannya datang dan mencopot salah satu earphone di kupingnya.

"Yaelah! Di kereta masih aja nonton bokep lo!" teriak dia ke mas gemuk itu.

Edan. Lama perjalanan kereta dari Pasar Senen - Lempuyangan kurang lebih 8 jam. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di perjalanan sehingga dunia dan akhirat hanya dipisahkan oleh tangan terampil masinis. Pada saat seperti ini, seharusnya mas gemuk bermunajat ke Allah SWT dan memohon keselamatan perjalanan. Eh, malah nge-bokep. Mau memohon keselamatan ke Miyabi?

Seberkas benda hijau tiba-tiba bergerak dari atas kepala mas gemuk. Secepat peluru, benda tersebut bergerak mengikuti gravitasi. Benda itu, tak lain dan tak bukan, adalah carrier gue. Sebelum naik, sebenarnya gue sudah  mengikat carrier tersebut di besi-besi kompartmen agar tidak jatuh ke bawah. Namun apa yang terjadi sungguh diluar dugaan.

Carrier memang tidak jatuh kebawah akibat ikatan tersebut, namun dia malah berayun. Lebih tepatnya berayun ke kepala mas gemuk yang sedang nonton bokep. Bunyi benturan keras menyeruak ke koridor kereta, hasil gesekan antara tas carrier dan pipi mas gemuk. Tas carrier yang isinya 2 matras, 1 sleeping bag, 1 kamera, 1 gelas besi, 1 botol spirtus, 1 kompor, 2 panci, 3 baju, 1 scarf, 1 jaket, Astor, Sari Madu, dan Coki Coki dengan mesra menimpa pipi mas gemuk. Sunguh, kejadian ini sungguh pantas masuk headline majalah Hidayah : Kepala Seorang Pemuda Ditampar Tas Carrier 38L Karena Nonton Bokep di Kereta.


***

Hari Jumat, 28 November 2014 pukul 0615 kita sampai di Lempuyangan. Sekitar 0700 kita sudah bergerak dari stasiun dengan menggunakan mobil charteran, langsung menuju basecamp Wekas di Magelang.

Pukul 0900 kita sampai di basecamp Wekas. Namun tepat setelah kita selesai packing ulang barang-barang, hujan turun sederas-derasnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 1000 dan seharusnya pendakian sudah dimulai. 


Menu sebelum mendaki


Keadaan udara sangat dingin dan air hujan terlihat seperti bisa menembus pori-pori kulit. Terpaksa pendakian kita tunda sampai hujan mereda.

Ada sebuah kejadian unik pada saat kita menunggu hujan. Pukul 1145, muadzin mengumandangkan Adzan Dzuhur melalui TOA mesjid yang terletak tepat di depan basecamp. Hujan secara ajaib berhenti saat Adzan berkumandang dan langit berangsur cerah. Mengingat ada kewajiban untuk Sholat Jum'at, kita tetap tidak melanjutkan pendakian, walaupun langit terlihat sangat cerah dan menggoda.

Setelah sholat Jum'at, saat kita sudah selesai pakai sepatu dan memanggul tas masing-masing, hujan deras kembali turun. Walhasil pendakian kembali tertunda. Ternyata alam sekedar mengingatkan kita agar tidak melalaikan sholat Jum'at. Sebuah ajakan halus.

Pukul 1300, hujan deras berangsur menjadi rintik. Setelah memastikan sejenak, akhirnya kita memutuskan untuk memulai pendakian saat rintik hujan semakin halus.

Plang : Puncak 5 Km (JANGAN PERCAYA!) menjadi gapura selamat datang kami ke puncak Merbabu. Jalur awal pendakian adalah jalan desa yang sudah dilapis con blok dengan kemiringan yang cukup signifikan. Seketika gue langsung ngos-ngosan, tanda badan ngomel dan protes. Mereka seakan berkata, "Untuk apa capek-capek mendaki saat dirumah tersedia springbed empuk dan segelas coklat hangat?"

Bodo amat.

Perjalanan sempat terhenti di sebuah bedeng tempat penampungan jerami. Hujan deras kembali turun. Kita kembali berhenti dan mengeluarkan jas hujan masing-masing.  Kita sepakat melanjutkan perjalanan dengan menembus hujan.

Sekitar 15 menit jalan, kita sampai di pintu masuk jalur pendakian Merbabu. Ditandai oleh sebuah bangunan makam bercat kuning.

Jalur pendakian berubah kontur dari con blok menjadi tanah dengan tingkat kemiringan yang cenderung lebih landai ketimbang sebelumnya. Vegetasi jalur berupa pepohonan tinggi dan rerumputan hijau yang terlihat segar. Dikarenakan banyak nya jalur air, kita harus berhati-hati saat memilih jalan yang tepat. Kalau salah belok, kita bisa nyasar atau dipaksa menghadapi tanjakan curam yang jarang dilalui manusia.

Setelah berjalan sekitar 1 jam, kita sampai di pos 1. Sebuah pelataran kecil yang berisi beberapa batang pohon yang melintang dan dapat dipakai sebagai tempat duduk bagi para pendaki yang ingin beristirahat sejenak. Disini kita berhenti sejenak untuk melemaskan kaki yang cukup tegang dan kaku. Tak lupa kita menyantap Coki-Coki untuk mengisi tenaga.

Perjalanan kita lanjutkan menuju pos 2, kontur jalan berupa tanah lempung yang cukup licin saat dipijak. Di tengah perjalanan, kita bertemu dengan pendaki lain yang berasal dari Tangerang. Tim mereka terdiri dari 3 orang, namun pada saat itu kita hanya bertemu dengan 2 diantaranya. Satu lagi udah ngacir ke pos 2 untuk mendirikan tenda. Mulai saat itu, tim kita bergabung. Teman pendakian kita bertambah 3 orang.


Sekitar 2 jam perjalanan, kita sampai di pos 2. Pos ini sering dipakai camp oleh para pendaki karena terdapat mata air yang melimpah ruah. Selain itu, kontur pos yang datar beralaskan rumput memudahkan para pendaki untuk mendirikan tenda. Di sekeliling pos kita bisa melihat bukit-bukit Merbabu yang terlihat seperti kampung halaman Hobbit dan Teletubbies. Biasanya para pendaki bermalam disini dan melanjutkan perjalanan menuju puncak saat pagi-pagi buta. Jarak tempuh antara pos 2 dan puncak adalah sekitar 3 jam perjalanan.


Setelah berdiskusi sejenak, kita memutuskan untuk tidak camp di pos 2. Waktu masih menunjukkan pukul 1600 dan kita merasa tanggung untuk menghentikan perjalanan. Dalam hemat kita, lebih baik mendekati puncak dan sampai agak malam agar keesokan harinya tidak harus bangun terlalu pagi. Bahkan diatas gunung pun kita malas bangun pagi. Ha!

Pukul 1630 kita berangkat dari pos 2, melanjutkan perjalanan ke puncak Menara, salah satu puncak gunung Merbabu. Rencananya kita akan camp disana.

Jalur demi jalur dan tanjakan demi tanjakan kita lalui, hingga pada sekitar pukul 1830 kita sampai di sebuah persimpangan. Keadaan perut sudah lapar keroncongan dan kedua kaki terasa lelah untuk melangkah. Di jalur sebelah kanan terdapat plang Puncak, namun terdapat tanda silang di ujungnya. Di jalur sebelah kiri, terdapat jalur tanah mendatar dan ada jejak sampah di atasnya. Tanda bahwa jalur tersebut sering dilewati. Gelap menyelimuti jarak pandang dan menyulitkan kita memilih jalur yang benar.

Pada awal pendakian, kita sempat diberikan wejangan oleh penjaga base camp agar menyusuri jalur kiri untuk mencapai puncak Merbabu. Berdasarkan wejangan tersebut, akhirnya kita memilih jalur kiri.

Jalur tersebut terlihat indah di awal namun menyesakkan di akhir. Jalan mendatar itu hanyalah PHP. Karena setelahnya kita dipertemukan dengan tebing bebatuan dengan sudut kemiringan 90 derajat. Disini kita dipaksa panjat dengan kaki gemetar, perut lapar, dan berselimut kegelapan malam. Sedikit tertatih, akhirnya kita sampai di suatu pelataran kecil yang muat untuk 2 tenda.

Di pelataran itu terdapat sebuah tugu yang bentuknya mirip batang korek api berwarna putih. Di sekitar tugu terdapat sebaran bebatuan yang teronggok kaku menyambut kita. Tentu saja kita bingung, karena tujuan kita adalah puncak Menara dan tidak terlihat tanda-tanda adanya menara di tempat ini.

Otak sudah terlalu lelah untuk berpikir dan kaki sudah terlalu getir untuk melangkah. Tidak ada seberkas niat untuk lanjut menapak. Perjalanan resmi dihentikan dan kita sepakat untuk mendirikan camp di pelataran kecil tersebut.

Tingginya posisi daerah (sekitar 2.500 mdpl) membuat kita seakan bertamu ke kerajaan angin. Prosesi mendirikan camp terasa seperti pertempuran dengan angin. Dinginnya udara yang bergerak kencang membekukan telapak tangan, menggetarkan tangan yang sedang memantapkan pancang tenda. Kalang kabut, tenda berkali-kali salah berdiri karena strukturnya tertiup angin. Bahkan angin tetap mengganggu pada saat tenda sudah berdiri dan kita ada di dalamnya.

Pada pukul 2330, disaat perut kita sudah terisi makanan dan mulai tertidur lelap, tenda bergoyang hebat seakan mau diterbangkan ke langit. Dimensi tenda serasa menyempit akibat frame yang berbelok diterpa angin. Bunyi kepakan tenda mencipta harmoni mengerikan, menambah syahdu suasana. Mata gue pejamkan erat dan untungnya berhasil tertidur.

Pukul 0130, gue kembali terbangun. Udara dingin yang menusuk tidak membiarkan gue beristirahat dengan tenang. Terpaan angin sebelumnya sudah hilang, berganti heningnya dingin yang menusuk-nusuk kulit. Tangan gue gerakkan ke pinggir tenda, meraih speaker portable dan memutar lagu Sigur Ros. Membuai.


***

Waktu telah menunjukkan pukul 0230 dan mata gue tidak bisa terpejam lagi. Alunan suara Jonsi tidak bisa menjadi kendaraan menuju mimpi. Sesuai jadwal, gue langsung membangunkan semua anggota tim untuk bersiap-siap Summit Attack menuju Khenteng Songo, puncak tertinggi Merbabu. Gue langsung bergerak keluar tenda untuk meregangkan badan.

Udara diluar tenda cukup dingin walau tidak sadis seperti semalam. Angin seakan masih tidur dan bersembunyi entah kemana. Di atas kepala, terlihat langit kelam yang bertabur bintang, berpadu mesra dengan cahaya lampu kota yang mengintip genit di tepian gelap.

Sebelum memulai perjalanan, kita ber-6 kumpul sejenak dan berdoa memohon keselamatan di perjalanan.

Batu-batu yang berserak mengawali perjalanan kita dan udara terasa tipis saat berjalan. Sesaat kita langsung tersengal-sengal, beradaptasi dengan alam. Cahaya bulan bersinar lantang menerangi jalur menuju puncak, menemani kita di tengah kepungan gelap. 

Tak beberapa lama berjalan, kita sampai di sebuah pelataran luas yang terlihat lebih nyaman untuk camp. Namun berhubung kemarin malam otak dan badan sudah tidak kompak diajak bereaksi, maka kita tidak mampu mengeksplorasi tempat lebih lanjut. Di pelataran ini terdapat tugu peringatan untuk pendaki yang (sepertinya) tidak beruntung dan harus menghentikan perjalanan hidupnya di tempat itu.

Pelataran ini mengarah pada dua jalur. Jalur kanan terlihat meyakinkan, curam, dan terlihat lebih singkat namun sepertinya jarang dilewati, terlihat dari rapatnya tumbuh-tumbuhan yang menutupi jalur.

Akhirnya kita memilih jalur sebelah kiri yang menurun dan terlihat tidak meyakinkan, namun merupakan jalur yang benar. Ditandai oleh penunjuk jalan bertuliskan Puncak Helipad, salah satu puncak Merbabu, berbentuk pelataran luas yang terbuka tanpa tertutup pepohonan. Dari bibir puncak kita bisa melihat kota dan Puncak Menara. Di bawah Puncak Menara, terlihat dua tenda kita yang terlihat seperti kutu kuning. Ternyata tempat kita camp tepat berada di bawah puncak Menara.

Perjalanan kembali kita lanjutkan dan mulai terjadi beberapa drama. Mulai dari ada yang kebelet dan butuh melipir sebentar, sampai ada salah satu anggota yang muntah karena tidak kuat jalan. Memang perjalanan ini terbilang cukup berat. Untuk menuju puncak Merbabu, kita harus naik-turun beberapa puncak dan terkadang harus merayap di batu-batu untuk memanjat. Hal ini sangat menguras fisik. Apalagi salah satu teman pendakian kita baru pertama kali hiking. Pantas lah dia megap-megap dan terlihat frustrasi.

Terpaksa gue mengeluarkan jurus, "Ayo, deket lagi! Itu puncak nya udah keliatan!" padahal secara de facto gue juga frustrasi karena dibalik puncak itu masih ada puncak lain dan Kentheng Songo masih terlihat jauh disana.

Pukul 0500, setelah naik-turun melewati Puncak Geger Sapi dan menyusuri jalan setapak kecil dengan jurang di kanan kiri-nya, akhirnya kita sampai di pertigaan Syarief. Sebuah pertigaan yang tepat dibawah Puncak Syarief. Dari pertigaan ini, puncak Khenteng Songo semakin terlihat jelas. Dengan semangat kita melanjutkan melangkah.



Menuju Khenteng Songo, kita kembali diminta memilih. Di depan kita ada jalur menanjak menyusuri puncak Ondorante (credit to : belantaraindonesia.org), Di sisi kiri, ada sebuah jalur yang menyusuri punggungan puncak, melipir di pinggir jurang. Teman-teman gue berjalan terlebih dahulu, meninggalkan gue yang sedang asyik menangkap momen melalui jepretan kamera. Saat gue menyusul, tiba-tiba mereka sudah berbalik arah. Menurut mereka jalur itu terputus.


Oleh karena itu kita semua putar balik dan mengambil jalan satunya. Kembali menaiki satu puncak yang terlihat seperti raja terakhir.

Pada awalnya jalur puncak Ondorante ini terlihat biasa saja, tanjakannya curam namun luas dan permukaannya empuk. Kita bisa mendakinya dengan santai. Tapi, sesampainya di ujung jalur, gue menemukan sebuah pemandangan yang indah nan mengerikan. Sebuah kontradiksi.

Ujung puncak Ondorante adalah sebuah tebing dengan sudut kemiringan 90 derajat. Ya, kita kembali dipaksa panjat tebing. Sebelum menuju tebing, kita dipaksa untuk melewati jalan setapak yang lebarnya hanya cukup untuk satu orang. Jarak jalan setapak itu sekitar 10 Meter, namun itu adalah 10 Meter paling menyeramkan di sepanjang hidup gue. Sampai saati ini.

Di kanan-kiri jalan, jurang siap menyambut tubuh kita apabila lengah. Posisi puncak Ondorante mungkin berada di +/- 3.000 mdpl dan dari kejauhan gue bisa melihat awan putih melayang sejajar. Badan gue serasa ikut melayang, kaki lemas, dan pada akhirnya gue berjalan setengah merangkak.


Ternyata jalan setapak itu hanyalah awal dari kengerian sebenarnya. Sesampainya di tebing, gue dihadapkan pada fakta dimana gue harus melakukan panjat tebing di ketinggian 3.000 mdpl. Kaki tentu saja semakin lemas tak berdaya. Saat melongok ke bawah, langsung muncul imajinasi gue jatuh dan terguling. Dijamin badan gue bakal terpecah ke lima arah mata angin apabila imajinasi itu menjadi nyata.



Walau kaki lemas dan pikiran meragu, perjalanan harus tetap lanjut. Pantang pulang sebelum puncak. Setelah menghela nafas dan membuang jauh-jauh pikiran negatif, gue mulai menuruni tebing secara perlahan lahan. Tangan gue bergerak meraba bebatuan untuk mencari cengkraman yang kuat. Setelah kedua tangan kokoh mencengkram, kaki kiri gue turunkan untuk mencari pijakan. Setelah menendang-nendang batu dan memastikan bahwa itu kuat, gue pijakkan kaki kiri ke batu tersebut.

Kedua tangan sudah mencengkram dan kaki kiri sudah mantap memijak, perlahan gue gerakkan kaki kanan ke bawah. Sayangnya, gue tidak bisa menemukan batu pijakan untuk si kaki kanan. Panik. Sejenak gue terdiam. Bergantung di ketinggian 3.000 mdpl membuat gue melankolis. Gue langsung membayangkan sedihnya nyokap apabila perjalanan gue terhenti disini. Seketika gue inget kesalahan-kesalah yang gue perbuat di dunia. Gue juga inget jemuran di rumah belum diangkat, gimana kalo ujan? Oh, alam bisa membuat orang sebegitu religius.  Bergelantungan di ketinggian 3.000 mdpl membuat nyawa serasa ada di ujung rambut.

Akhirnya gue menekuk kaki kanan dan memarkir dengkul di salah satu batu. Kemudian gue menghela nafas dan melihat kebawah, mencari pijakan. Kepala gue kliyengan saat menyadari seberapa tingginya gue sekarang. Namun gue mencoba tetap tenang dan mulai menentukan jalur yang tepat. Perlahan gue bisa menentukan jalur turun, walaupun harus nyerosot. Sebodo amat celana dan tangan kotor, yang penting nyawa selamat.

Sesampainya di bawah, setelah melalui tebing yang mengerikan itu, kita berpapasan dengan rombongan pendaki lainnya. Mereka berjalan santai sambil bernyanyi-nyanyi sumbang dari arah jalan yang sebelumnya dibilang terputus.

"Berani amat Mas lewat situ, jalur ini lebih gampang," kata salah satu anggota rombongan sambil menunjuk jalan tersebut.

Seketika kita bengong. Damn.

Perjalanan kembali kita lanjutkan setelah berhasil mengatasi bengong karena sadar bahwa tadi kita mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang sia-sia.

Puncak Kentheng Songo sudah ada di depan mata. Kita hanya tinggal melewati tanjakan terakhir dengan pemandangan padang rumput kekuningan yang bersinar cerah tertimpa lembutnya sinar matahari pagi. Pukul 0530 kita sampai di puncak tertinggi Merbabu, Kentheng Songo.



Puncak Kentheng Songo ditandai oleh jejeran 4 buah batu berlubang (Watu Kenteng). Cerita yang beredar, katanya ada 9 buah batu di pelatarang Kentheng Songo. Namun 5 batu lainnya secara kasat mata menghilang dan hanya dapat dilihat secara gaib. Entahlah.



Yang terpenting dari puncak Kentheng Songo adalah : kita berada di negeri atas awan. Kita seakan-akan diberi hadiah oleh Sang Pencipta akibat Sholat Jum'at dulu sebelum mendaki. Cuaca sangat cerah dan kita bisa melihat pemandangan sekitar puncak secara jelas tanpa cela. Padahal hujan terus mengguyur pada saat awal perjalanan, tak mengizinkan kita untuk sekedar merasakan hangatnya matahari.

Di satu sisi, ada Gunung Merapi berdiri tegap dan angkuh.  Merapi terlihat kekar dengan permukaan gunung yang terlihat seperti urat-urat kuli pekerja bangunan. Dia hanya berdiri sendiri tanpa ada yang menemani.



Di sisi lain terlihat jejeran Gunung Sindoro-Sumbing yang berdempet mesra, berhadapan antara satu dengan lainnya. Selain kedua gunung itu, ada juga beberapa gunung lain yang tidak gue ketahui namanya. Maklum, dulu suka bolos pas pelajaran Geografi.




Di puncak Kentheng Songo ini, segala lelah dan susah terbayar oleh suatu hal yang indah. Hangatnya sinar matahari perlahan merayap ke permukaan kulit, meredakan rasa dingin yang menyelimuti kita semenjak jam tiga tadi. Kita semua langsung sibuk masing-masing, mencari-cari spot foto dan beberapa pendaki menuliskan pesan-pesan di kertas selembar. Tak lupa gue memberikan penghormatan untuk seorang pendaki yang namanya diabadikan di sebuah tugu peringatan.




Pukul 0700 kita berbenah dan kembali ke camp. Sepanjang perjalanan turun, mata dimanjakan oleh pemandangan indah bukit Hobbit yang sebelumnya bersembunyi di balik gelap. Sebentar-sebentar gue berhenti dan mengabadikannya di dalam kamera. Tak jarang gue berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas  sambil memejamkan mata, menikmati keramahan alam.








Pukul 0800 gue udah sampai ke camp. Ternyata daerah camp kita dinamakan Kawah Mati, karena berada tepat di atas kawah yang sudah tidak aktif. Pantas saja sepanjang malam tercium samar bau belerang.

Pukul 0930 kita bergerak turun, kembali ke basecamp Wekas untuk mengejar kereta pukul 1700. Berhubung hujan kembali turun dan memang sebelumnya hujan terus menerus, kita beberapa kali terpeleset akibat tanah lempung yang licin. Pada saat naik, paha kita diuji. Namun pada saat turun, kekuatan lutut yang memegang kendali.

Tepat pukul 1200 kita sampai ke basecamp Wekas. Rombongan kembali berjumlah 3 orang, karena 3 orang lainnya tertinggal jauh dibelakang. Apa mau dikata, kita bertiga tidak mau ketinggalan kereta. Di basecamp, hanya gue yang berani mandi dan bersih-bersih. Mandi yang terasa seperti ice swimming challenge. Udah bukan disiram lagi. Dinginnya terasa sampai ke dalam kalbu.

Lebay.

Akhir kata, kita sampai ke stasiun Lempuyangan pukul 1600 dan perjalanan kita ke Merbabu berakhir saat kaki melangkah ke Senja Utama Malam. Perjalanan kita ditutup oleh bocornya AC di kereta. Padahal seperti telah kita ketahui bersama, gue udah mandi.

Mari keluar dan kagumi Indonesia yang indah ini


Showcase Foto Narsis :)











0 comments: