Sabtu, Mei 24, 2008

Kisah Seorang Sahabat

Hari ini aku lahir. Bagian tubuhku yang bermula dari benang-benang yang dibentuk menjadi tubuh yang indah. Satu per satu bagian tubuhku dipasangkan oleh para pekerja di pabrik besar itu. Wanita penggerutu, pria penggoda, perempuan penggosip, dan tangan-tangan besi yang kekar membentuk setiap lekuk di badanku sehingga mempunyai nilai lebih.

Badan coklatku (dibentuk) gendut berbulu penuh berisi kapas dan tanganku akan selalu terangkat ke depan, seperti ingin memeluk. Sejujurnya aku sangat ingin memeluk. Sikap badanku hanya satu, duduk. Dan raut wajahku akan selalu dihiasi oleh senyum lebar dengan mata berbinar yang tidak bisa mengedip walaupun hanya sekali. Telingaku berdiri kokoh di atas kepalaku, hidungku yang hitam pekat sangat pas dengan bibirku yang besar. Di leherku tergantung kertas bertuliskan TEDDY. Mungkin ini namaku.

Aku ditempatkan dalam sebuah bungkus plastik bening yang diikat dengan pita merah agar badanku tidak berdebu. Kemudian semua gelap dan aku pun tertidur. Aku terlonjak saat cahaya putih menyilaukan menerpa mataku yang terbuat dari plastik, tapi tentu saja aku tidak terlihat seperti terlonjak karena aku tidak bisa bergerak.

Kembali ke cahaya putih yang menerpaku. Ada lampu yang terang benderang menyorot langsung ke mataku, sungguh menyilaukan. Kemudian datang tangan kurus seorang pegawai toko mengangkatku atau bisa dibilang menyelamatkanku dari cahaya menyilaukan itu. Atas instruksi dari wanita gemuk bermata sipit dengan kacamata berantai yang selalu melorot dari hidungnya, aku ditempatkan di etalase depan oleh tangan kurus tersebut.

Mulai saat ini aku menunggu. Melihat orang-orang bersliweran di depanku dengan tatapan ramah. Aku melihat wanita centil sedang bergandengan pria tua, wanita setengah tua berambut pirang buatan dengan membawa ajudan yang terlihat kewalahan membawa kantong belanjaan sang wanita , kemudian anak kecil dengan tangis histeris melihat dan menunjuk aku kemudian memohon kepada ibunya yang sedang meminta uang kepada wanita sipit pemilikku saat ini dengan plastik pembungkus permen. Aku ingin sekali menghibur gadis itu.

Detik berlalu berganti menit kemudian jam berubah menjadi hari yang kemudian bermetamorfosa menjadi bulan. Entah berapa lama aku duduk termenung seperti ini, hingga suatu ketika.

“ma, lucu ya boneka ini..”

Pada suatu rutinitas hari, lamunanku dikejutkan oleh permintaan seorang gadis kecil yang cantik dan lucu kepada ibunya yang berada di sampingnya. Dia memakai baju kuning dengan rok merah. Dia menatapku lekat seolah dia menginginkan aku lebih dari apapun di dunia ini. Aku tidak akan melupakan hari indah ini. Aku ingat usia dia waktu itu 7 tahun.

Aku berjumpa dengan si tangan kurus untuk yang terakhir kalinya, dia memasukkan aku ke dalam kantung belanja pink. Sempat aku melihat sang gadis kecil dengan berwajah gembira sedang memeluk erat ibunya dan kemudian berkata, “ Terima kasih ma..!!”. Pandanganku pun menjadi putih dan diluar terlihat bayangan sang gadis kecil. Rambut dia dikuncir dua kanan-kiri, mirip seperti telingaku yang terletak di atas kepalaku.

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

Hal pertama yang aku lihat adalah wajah lucu sang gadis, dia membuka pita yang telah mengurungku di dalam plastik selama berbulan-bulan dan kemudian mengangkatku dengan kedua tangan kecilnya. Aku ditempatkan di atas tempat tidur bergambar tikus hitam bercelana merah. Kamarnya berwarna biru langit, kehangatan sangat terasa sesaat aku dikeluarkan dari plastik tersebut. Kemudian dia menggenggam tangan bulatku.

“Aloooo, nama aku Ayu..”

“Nama kamu ciapa yaa..??”

“Mmmm…” , dia bergumam sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk kecilnya.

“Nama kamuu… Diku.. Soalnyaa… soalnya kamu boneka Teddy punya akuu!!”

Kemudian dia memelukku, terasa hangat dan bahagia sekali. Mulai sekarang pemilikku bukan lagi wanita bermata sipit, melainkan gadis kecil periang yang lucu ini.

“Kita akan menjadi sahabat untuk selamanya ya dikuu…!!!”

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

Hari-hariku selanjutnya dilalui bersama Ayu. Kemanapun dia pergi aku akan selalu berada di sampingnya. Saat makan aku akan selalu berada di pangkuannya walaupun sudah beberapa kali Ibu menegor Ayu dia tetap saja memangkuku “Diku khan juga mau makan”. Sang Ibu hanya bisa geleng-geleng kepala dan sang Ayah tersenyum. Seiap malam aku tidur di samping kepala Ayu, dan sebelum tidur dia selalu bilang “Met tidur Dikuu..”. Dan kemudian dia memelukku sampai aku bisa merasakan dan mendengar nafasnya. Aku tidak bisa tidur, mataku tak bisa tertutup. Aku bersyukur, karena aku tidak ingin melewatkan sedikit pun saat-saat indah bersama Ayu.

Kita hanya berpisah saat dia berangkat sekolah karena dia tidak diperbolehkan untuk membawaku saat sedang belajar. Pertama kali mendengar larangan ini dia menangis sekeras-kerasnya kepada ibunya. Tapi dengan bijak ibunya berkata, “Sayang.. kalau kamu bawa Diku ke sekolah, nanti dia hilang.. Mama takut kamu gak ada teman lagi nanti.. biar Mama aja yang jaga Diku”.

“Janji ya ma dijaga…”, kata Ayu sambil terisak-isak

“Iya sayang…”, kata si Ibu lembut.

Dan setelah memelukku dan berpamitan denganku dia meninggalkanku terduduk di atas tempat tidurnya. Langkahnya terasa berat, dia berjalan mundur sambil menatap sedih mataku. Aku ingin sekali bilang “Aku tidak apa-apa ayu” tetapi mulutku hanya bisa terkatup rapat dan tersenyum. Pintu pun tertutup. Tapi tiba-tiba pintu terbuka dan terbanting. Ayu berlari ke arahku, memeluk dan menciumku sambil berbisik, “ Dadahh… Diku…”.

Ada saat-saat dimana dia menolongku. Saat dimana aku tidak sengaja terjatuh dari tangannya saat menyebrang jalanan. Ayu dengan cepat berlari menyebrangi lalu lintas ramai menuju arahku dan mengambilku kemudian berlari kembali ke arah Ibunya. Di saat lari kembali dia terpeleset dan terjatuh menghujam aspal kasar yang keras hingga lututnya berdarah. Ibunya sangat marah karena dia bertindak nekat. Tapi dengan menangis dia berkata “Aku gak mau Diku matiii…”

Ada juga saat dimana aku “menolongnya”. Kenapa dengan tanda kutip? Karena aku tidak menolongnya secara langsung. Aku hanya menemaninya. Menemaninya di kamar terduduk di lantai kamar yang dingin sambil menangis mendengar pertengkaran kedua orang tuanya di luar yang saling melempar kata-kata makian tanpa henti. Menemaninya di saat dia duduk diantara orang-orang asing sementara kedua orang tuanya di depan dikelilingi oleh orang-orang asing lainnya, dan pemimpin orang-orang tersebut adalah seorang tua dengan palu di dekat tangan kanannya. Menemaninya di saat dia pindah ke lingkungan benar-benar baru untuknya. Menemaninya di saat Ibunya, yang dia pilih saat kedua orangtuanya berpisah saati dia berumur 12 tahun, telah bersikap masa bodoh terhadap dirinya dan sering pulang larut malam dengan membawa laki-laki entah dari mana.

Hanya itu yang aku bisa lakukan, MENEMANINYA. Tak bisa berbuat apa-apa.

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

Tidak terasa sudah 10 tahun sejak pertemuanku di etalase depan toko dengan Ayu. Aku sudah mengempis, tidak terlihat gendut lagi. Senyumku masih mengembang dan mataku masih (sedikit) berbinar. Tetapi warna tubuhku sudah pudar. Benang-benang yang bersatu padu di tubuhku sudah tidak kompak lagi. Banyak yang berpisah-pisah tidak menentu.

Sejak Ibunya menikah dengan laki-laki- entah-dari-mana itu, Ayu dan Ibunya pindah rumah. Tempat kedudukanku di kamar Ayu berpindah. Tempatku sekarang ada di lemari tua yang usang milik Ayu. Aku semakin terbiasa dengan kegelapan, karena aku ditempatkan di lemarinya bersama buku-buku pelajaran miliknya dengan pintu tertutup erat. Aku terjebak dan terhimpit di belakang buku-buku. Aku kangen dengan Ayu, andai saja aku bisa menggerakkan tubuhku aku akan mendobrak pintu sialan ini hanya untuk melihat Ayu yang telah beranjak dewasa.

Sesekali saat Ayu lupa menutup sang pintu sialan, aku bisa melihat tempatku di kasur Ayu telah diganti oleh benda berbentuk hati berwarna pink dengan bulu-bulu putih di pinggirnya bertuliskan I LOVE YOU. Aku ingat dia melemparku dengan wajah riang gembira ke pojok ruangan saat itu dan menggantiku dengan benda tersebut. Ya, itulah saat aku tersisih untuk pertama kali. Dan benda-benda lain pun menyusul setelah itu. Boneka kucing berbulu lembut berwajah angkuh, anjing putih berbintik putih, dan dua babi berwajah hitam-putih. Mereka terlihat kompak menertawakanku seiring dengan ditutupnya pintu lemari tersebut.

Pada suatu hari, pintu terbuka. Dan kulihat si Ibu, raut wajahnya terlihat lelah dan berkeriput. Dia mengeluarkan buku-buku di depanku. Kemudian dia menatapku.

“AYUUUUU…. INI DIKU MAU DIAPAIN!!!??”, dia berteriak keluar dan dari kejauhan datanglah Ayu. Dia terlihat semakin cantik saja. “Diku siapa..??”

“Ini loh boneka kamu..”, kata si Ibu.

“Ohh.. ini..”, kemudian dia memegang leherku. Tapi sentuhan kali ini berbeda dengan sentuhan 10 tahun yang lalu. Sentuhan ini kasar dan mencekik. Ayu berjalan menuju pintu depan rumahnya, kemudian dia mendengus kepada ayah barunya yang botak dan gendut sedang memakai celana pendek dan kaos singlet. Dia tidak pernah menyukainya. Dia kemudian menuju sebuah tempat sampah. Tangan Ayu yang memegang tubuhku bergerak ke atas tempat bau itu. Baunya sungguh menyengat. Kemudian dia melepas cekikan di leherku dan menjatuhkanku ke tempat sampah. Mata pudarku menatap kosong di langit biru, aku berada di atas kulit pisang berbau busuk. Tanganku tergapai ke atas. Aku ingin sekali meraih dan memeluk Ayu dengan tanganku itu. Sampai kemudian kayu-kayu tempat tinggalku selama ini menyusul menimpa badan dan kepalaku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa yang bisa kulakukan hanya terbujur kaku dan tersenyum.

Ya, aku tersenyum. Bahkan pada saat paling menyakitkan pun aku hanya bisa tersenyum. Saat dimana kulitku dirobek dan isi perutku dikeluarkan oleh para anak kecil dengan alat pemungut gelas mineral yang tajam. Saat dimana kepalaku dipenggal dipisahkan dari badanku. Aku dipungut oleh anak-anak ini saat mereka memungut kayu lemari yang dibuang di tong sampah dengan orangtuanya.

Pada saat ini aku merasakan mati, walaupun aku memang benda mati tapi baru kali ini aku merasa benar-benar mati. Bayangan akan saat-saat indah bersama Ayu melintas satu persatu di bayanganku. Dan entah bagaimana caranya tiba-tiba aku sudah berada di kamar Ayu lagi. Aku melihat benda I LOVE YOU dan benda lainnya yang pernah bersekongkol menertawakan aku. Terlihat juga lemari baru Ayu yang kokoh dan gagah berdiri dengan anggunnya di kamarnya. Aku terbang di atas Ayu. “Hey! Aku bisa bergerak!! Dan.. berbicara!!!”, aku senang bukan kepalang. Aku berteriak-teriak memanggil nama Ayu di kupingnya. Dan aku mencoba memeluknya tetapi aku tidak bisa. Teriakanku pun tidak terdengar olehnya.

Ayu tiba-tiba terlihat termenung. Kemudian perlahan-lahan air mata menetes di wajah cantiknya. Kemudian dia berlari keluar menuju tempat sampah di depan rumahnya. Ia mengorek, mencari, mengais tempat sampah.

“Diku.. Dikuu.. kamu dimana..?”

“Diku.. maaf kamu kubuang..!!”

“Diku.. jangan pergi..!!”

Aku juga berteriak untuk mengabarkan aku ada disampingnya. Tapi tentu saja dia tidak mendengar teriakanku itu. Semua sampah di dalamnya telah terkorek habis dan dia tidak menemukanku. Dia terduduk lemas di samping tempat sampah tersebut. Dia menangis. Menangis tersedu-sedu. Saat itu malah hari dan hujan turun menyamarkan air mata Ayu.

Dan saat itulah aku hanya bisa melihat dan tubuhku tertarik ke atas. Sekuat apapun aku berontak aku tetap tertarik layaknya besi yang ditarik medan magnet yang sangat kuat. Aku ditarik menuju cahaya putih. Aku rasa tugasku sudah selesai. Tugasku sebagai penghibur sudah selesai. Kulihat lagi Ayu di bawah sana dituntun Ibunya ke rumah. Buat dia, semua sudah terlambat.

Memang, sesuatu akan terasa berharga saat tidak dimiliki lagi.

0 comments: